Oleh Triliana s. Utina (Mahasiswa
Universitas Gorontalo)
![]() |
Foto dokumen www.republika.com |
Pandemi Covid-19 memaksa masyarakat
dunia mendefinisikan makna hidup, penyebaran virus corona (Covid-19) yang
semakin hari semakin meningkat menjadi krisis besar manusia modern, memaksa
kita untuk sejenak melihat kembali kehidupan, keluarga, dan lingkungan sosial
dalam arti yang sebenarnya. Manusia di paksa berhenti dari rutinitasnya, untuk
memaknai hidup yang sebenarnya.
Indonesia punya tantangan besar
dalam penanganan Covid-19. Dari semua aspek yang menjadi tantangan, saya lebih
terfokus pada aspek pendidikan. Pendemi Covid-19 memaksa kebijakan physical
distancing (menjaga jarak fisik) untuk menimalisir persebaran Covid-19.
Penerapan physical distancing sangat berdampak pada aspek pendidikan,
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengeluarkan kebijakan belajar
dari rumah, pembelajaran daring/online dan disusul dengan peniadaan Ujian
Nasional (UN) untuk tahun ini. Namun mekanisme yang berlaku secara tiba-tiba
ini, justru tidak jarang membuat pendidik,siswa,bahkan orangtua kaget.
Akibatnya siswa yang suda
mempersiapkan diri untuk UN merasa sangat kecewa dengan kebijakan ini, karena
mereka lulus begitu saja. Tapi tidak bisa di pungkiri kebijakan ini harus
diterima karena kebijakan ini di upayakan untuk memutus mata rantai Covid-19 di
tengah masyarakat. Metode pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi yang
diterapkan pemerintah dianggap sebagai tantangan tersendiri.
Pembelajaran secara online harusnya
mendorong siswa menjadi kreatif, mengakses sebanyak mungkin ilmu pengetahuan,
serta menghasilkan karya. Bukan membebani siswa dengan tugas yang bertumpuk
setiap hari. Banyak faktor yang menghambat terlaksananya efektifitas
pembelajaran daring ini, diantaranya :
1. Penguasaan teknologi yang masih
rendah, harus diakui tidak semua guru menguasai teknologi terutama guru
generasi 80-an yang pada masa mereka penggunaan teknologi belum begitu tampak.
Keadaan hampir sama juga dialami oleh para siswa, tidak semua siswa terbiasa
menggunakan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan masih banyak sekolah
yang memiliki keterbatasan teknologi sehingga mereka harus rebutan dalam
menggunakan perangkat teknologi pendukung pembelajaran dan bahkan mereka tidak
dikenalkan teknologi dalam pembelajaran.
2. Jaringan internet, pembelajaran online tidak lepas dari penghunaan jaringan internet, penggunaan jaringan seluler terkadang terkadang tidak stabil karena letak tempat tinggal yang masih jauh dari jangkauan sinyal seluler.
3. Biaya, jaringan internet yang sangat dibutuhkan dalam pembelajaran daring menjadi masalah tersendiri. Kuota yang dibeli untuk kebutuhan internet menjadi melonjak.
2. Jaringan internet, pembelajaran online tidak lepas dari penghunaan jaringan internet, penggunaan jaringan seluler terkadang terkadang tidak stabil karena letak tempat tinggal yang masih jauh dari jangkauan sinyal seluler.
3. Biaya, jaringan internet yang sangat dibutuhkan dalam pembelajaran daring menjadi masalah tersendiri. Kuota yang dibeli untuk kebutuhan internet menjadi melonjak.
Kita bisa melihat kesenjangan ini
dengan melihat perbedaan kecepatan internet diberbagai daerah. Orang-orang
dipusat kota sering menikmati internet yang jauh lebih cepat dibandingkan
dengan mereka yang tinggal di daerah yang kurang berkembang.
Kondisi ini tidak hanya berdampak
pada siswa SD, SMP, dan SMA saja tapi juga berdampak pada Perguruan Tinggi.
Mahasiswa, khususnya yang merantau, akan berada dalam kondisi kerentanan baik
secara sosial maupun ekonomi. Mahasiswa perantau yang keluar dari daerah
asalnya untuk menuntuk ilmu jumlahnya terbilang sangat besar. Kebijakan
pembelajaran sistem daring yang kini diterapkan sebenarnya membuka peluang
mahasiswa belajar darimana pun, salah satunya dri rumah. Pembelajaran daring
hingga batas waktu yang belum ditentukan bisa menjadi kesempatan mahasiswa
untuk pulang kampung halaman mereka masing-masing dalam waktu yang cukup
panjang. Satangnya tidak semua mahasiswa bisa pulang ke kampung halamannya,
berbagai hal menjadi alasan bagi mahasiswa untuk tetap tinggal di daerah rantau
tempat mereka menuntut ilmu.
Alasan pertama, pembatasan di daerah
asal mereka , kebijakan tiap-tiap daerah untuk melakukan lockdown lokal menjadi
hambatan bagi mahasiswa. Apalagi bagi mereka yang kuliah di daerah zona merah
Covid-19, peraturan ketat akan diterapkan bagi warganya yang datang dari zona
merah tersebut, misalnya dadi jakarta. Kedua, bagi mahasiswa yang berasal dari
daerah pelosok, boleh jadi keterbatasan kualitas jaringan internet membuat
mereka berpikir ulang untuk kembali ke kampung halamannya.
Semua ini adalah cara tuhan dalam
menjalankan roda kehidupan di dunia ini, semoga kita semua bisa semakin baik
menjalani kehidupan di akhir zaman ini. Aamiin. (*)
sumber: