oleh Hairil, M.Pd *)
Pemerintah hentikan
Ujian Nasional (UN) setahun lebih cepat dari rencana 2021. Penghapusan UN,
mencegah penyebaran wabah Covid19. Kebijakan itu, disambut suka ria sebagian
peserta didik.
“Yes, tak ada lagi Ujian Nasional,”
kata seorang anak didik yang duduk di bangku kelas sembilan Sekolah Menengah
Pertama (SMP), usai membaca sebuah berita di media online, sambil tertawa
terbahak.
Sang anak tak menyadari, penghapusan
UN, lebih cepat akibat penyebaran virus mematikan itu, membuat suasana tidak
menyenangkan bagi dirinya, orang tua, dan guru.
Setelah tiga bulan dirumahkan, ia baru
sadar bahwa dirinya bersama jutaan anak didik di Indonesia yang juga angkatan
2020, angkatan pertama yang tak merasakan “nikmatnya” UN.
Mereka tak merasakan
diawasi pengawas UN yang berintegritas, mampu duduk di kursi selama dua jam,
hanya memastikan UN jujur dan berintegritas.
Tak ada lagi guru yang datang beridiri
di pagi buta di depan gerbang sekolah, menyambutnya dengan senyum. Tak ada lagi
memberi salam dan nasihat pagi yang membuat jiwanya tenang.
Tak ada lagi, merapikan bajunya yang
kurang rapi, tidak ada lagi menanyakan kabarnya dan orang tuanya di rumah. Tak
ada lagi cium tangan yang penuh keberkahan.
Tak ada lagi apel pagi, tak ada lagi
baca buku massal, mengaji bersama, salat Duha berjemaah di halaman sekolah yang
rutin digelar setiap Kamis.
Tak ada lagi belajar bersama di kelas,
tak ada lagi diskusi, tak ada lagi presentasi, tak ada lagi ribut-ribut yang menggangu
guru mengajar di ruang sebelah, tak ada lagi cerita sahabat dan wejangan guru
yang membuat kami selalu optimis menggapai masa depan.
Tak ada lagi marah-marah dari guru
karena kami tak mau mendengar nasihatnya. Kini kami mulai rindu masa-masa itu.
Rindu cium tangan guru.
Kini, saya bersedia dimarahi dan mau
menerima nasihat guru. Kami rindu mimik wajahnya yang ikhlas menasihati, memuji
dan memarahi kami.
Selama tiga bulan, kami dirumahkan,
belajar lewat daring. Hanya sapaan tertulis, samangat pagi. Jaga kesehatan,
selalu di rumah, dan selalu berdoa, menjadi penyemangat di kala kami baru
bangun dari tidur.
Kami mulai bosan belajar lewat daring,
tak ada pertemuan tatap muka, kami tak bisa bercengkrama dan bermain lagi
bersama teman-teman sebaya. Saya sadar, kami belum terbiasa belajar via daring.
Hanya kata-kata yang selalui diuntai
di kolom komentar google classroom yang telah disiapkan guru agar kami bisa
belajar dengan baik, meski sangat terbatas.
Kami juga diwajibkan masuk di group
WhatShapp (WA) untuk sekadar saling menyapa atau video call, jika kuota
internet cukup.
Orang tua harus harus memiliki profesi
ganda, menjadi guru bagi anak-anaknya. Merasakan bagaimana susahnya menjadi
guru.
Selain itu, orang tua wajib
menyisihkan budget tambahan, membeli kuota. Lalu, menunggu jaringan internet
bersahabat. Saat jaringan tak bersahabat, anak dan orang tua dibuat pusing
tujuh keliling.
Kini kami rindu suasana di sekolah.
Saya sadar lebih baik belajar di sekolah dibandingkan di rumah. Di sekolah,
bisa bermain dan belajar bersama teman. Meski kami sering buat susah guru.
Guru kami selalu mengajak manfaatkan
kesempatan dan waktu untuk belajar dan bermain bersama. Kini kami merasakan
rindu ingin bertemu dan bertatap muka. Tapi, itu hanya asa, biarlah menjadi
hasrat dan rindu.
Rindu itu harus memenuhi syarat yaitu
jarak dan waktu. Bahkan guruku, pernah membuat rumus rindu. Rindu itu
berbanding lurus waktu dan jarak.
“Makin besar waktu dan jarak maka
rindunya kian besar,” katanya, tertawa menghibur diri.
Kami berharap, wabah penyakit Covid-19
telah menyebar ke berbagai penjuru dunia, dan menjangkiti ratusan ribu warga,
termasuk di Negeri Zambrut Khatulistiwa, segera berlalu. Kembalilah ke asalnya.
Namun, di balik wabah ini, kami
mendapat hikmah dan pelajaran. Kami paham apa itu Virus Corona. Kami mengetahui
mengapa penyakit ini kerap disebut sebagai Corona.
Perbedaan mendasar antara Corona dan
Covid-19 ialah soal pelabelannya. Corona, merupakan nama virusnya, sedangkan
Covid-19 ialah nama resmi untuk penyakit yang disebabkan oleh virus Corona.
Organisasi Kesehatan Dunia, WHO secara
resmi menamai penyakit virus Corona yang pertama kali diidentifikasi di Cina
pada 31 Desember itu dengan nama Covid-19.
Covid-19 yaitu singkatan dari Corona
Virus Disease. Penamaan ini menghindari referensi ke lokasi geografis tertentu,
spesies hewan atau sekelompok orang sesuai dengan rekomendasi internasional
untuk penamaan agar menghindari stigmatisasi.
Sejak Virus Corona mewabah, saya
mengerti makna hidup bersih dan sehat. Selalu berkumpul bersaama keluarga,
belajar dan beribadah di rumah.
Selama ini, kita belum manfaatkan
pertemuan dan tatap muka di kelas dengan maksimal. Saat ini, kami ingin
bertatap muka, tapi harus berjauhan. Khawatir muncul saling curiga, apalagi ada
yang batuk dan bersih. Lebih baik di rumah.
Kini, kami bersiap memasuki fase
kedua, dirumahkan. Kami belajar lewat daring, guru kami racin mengecek posisi
kami. Ia meminta dikirimkan lokasi kami via google map. Mereka ingin memastikan
kami berada di rumah.
“Tapi kalau boleh minta, jangan
terlalu banyak tugas. Saya khawatir banyak temanku yang stres dan sakit. Esensi
dirumahkan, agar kita sehat dan terhindar dari Virus Corona,” katanya berharap.
Mari berdoa agar mahluk bernama Korona
kembali ke habitat aslinya. Manusia bukan inangnya Corona, agar anak didik bisa
belajar dengan riang di kelas.(*)
*) Guru SMP Negeri 9
Parepare
sumber: