Karya Gabriel Garcia Marques
Diterjemahkan oleh Anton Kurnia
dimuat di Jawa Pos, edisi 20 April 2014
|
Maut
lebih Kejam daripada Cinta
ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
|
SENATOR Onésimo Sánchez hanya punya
sisa waktu enam bulan sebelas hari sebelum dijemput maut kala dia menemukan
perempuan idamannya. Dia berjumpa dengan gadis itu di Rosal del Virrey, sebuah kota
kecil yang seperti khayalan. Pada malam hari kota itu menjadi dermaga
tersembunyi bagi kapal-kapal penyelundup dan siang harinya tampak seperti
tempat terpencil paling tak berguna di tengah padang pasir yang gersang dan
seaan berada di antah-berantah, menghadap laut, begitu jauh dari segala takdir
siapa pun yang tinggal di tempat itu. Bahkan nama kota itu –yang berarti rumpun
mawar—seolah lelucon belaka. Sebab, satu-satunya mawar yang ada di sana dipakai
oleh senator Onésimo Sánchez pada suatu senja ketika dia berjumpa dengan
Laura Farina.
Saat itu adalah perhentian
tak terhindarkan dalam kampanye pemilu yang telah dia jalani selama empat
tahun. Iring-iringan mobil-mobil pengangkut barang tiba pada pagi hari. Lalu
datang truk-truk berisi orang-orang Indian sewaan yang dibawa ke tempat itu
untuk menambah jumah kerumunan peserta kampanye di lapangan. Tak lama menjelang
pukul sebelas, bersama musik dan mercon serta jip-jip, mobil dinas sewarna soda
gembira tiba. Senator Onésimo Sánchez duduk tenang dan tak menampakkan gejolak
perasaan di dalam mobilnya yang sejuk ber-AC. Namun, begitu dia membuka pintu,
dia terguncang oleh embusan kencang hawa panas dan kemeja sutra murninya jadi
seakan basah oleh semacam sup berwarna terang. Dia jadi merasa lebih tua serta
lebih kesepian daripada sebelumnya.
Dalam kehidupan nyata dia
baru berusia genap empat puluh dua tahun, lulus dari Gottingen dengan pujian
sebagai insinyur metalurgi, dan seorang pembaca rakus buku-buku Latin klasik
yang diterjemahkan dengan buruk sehingga tak memberinya banyak manfaat. Dia
mengawini seorang perempuan Jerman periang yang memberinya lima anak dan mereka
hidup bahagia. Dialah yang paling bahagia di antara mereka sampai dia diberi
tahu tiga bulan yang lalu bahwa dia akan mati pada hari Natal yang akan datang.
Ketika persiapan kampanye
telah dituntaskan, sang senator berhasil menyisihkan waktu sendirian selama
sejam di rumah tempatnya beristirahat. Sebelum dia berbaring, diletakkannya
dalam gelas air minumnya bunga mawar yang telah dijaganya agar tetap mekar
sepanjang perjalanan melintasi gurun, lalu dia menyantap makan siang sereal
yang dibawanya dari rumah untuk menghindari suguhan oseng daging kambing yang
selalu menantinya pada hari-hari yang telah lewat. Setelahnya, dia menelan
beberapa butir pil penahan sakit untuk mengusir rasa sakitnya. Lalu dia
menyalakan kipas angin listrik di dekat tempat tidur gantungnya dan berbaring
telentang selama lima belas menit dalam bayangan mawar seraya berupaya keras
menghalau pikiran tentang kematiannya sampai dia terlelap. Selain dokter, tak
seorang pun tahu saat kematiannya telah ditentukan karena dia memutuskan untuk
merahasiakannya, tanpa ingin ada perubahan dalam hidupnya. Bukan karena
keangkuhan, melainkan karena malu.
Dia merasa memegang kendali penuh atas dirinya ketika
dia muncul lagi di depan umum pada pukul tiga sore, telah cukup beristirah dan
tampil resik, mengenakan celana panjang linen dan kemeja bermotif bunga, dengan
jiwa yang telah ditopang oleh pil-pil penahan sakit. Namun, ternyata erosi
kematian jauh lebih jahat ketimbang yang dikiranya karena saat dia bangkit ke
atas panggung dia merasakan sensasi jijik yang aneh terhadap orang-orang yang
berupaya berebut menyalaminya dan dia tak merasa kasihan seperti yang kerap
dirasakannya terhadap sekelompok orang Indian bertelanjang kaki yang nyaris tak
mampu menahankan panasnya aspal permukaan lapangan kecil itu. Dia menghentikan
tepuk tangan hadirin dengan lambaian tangan, nyaris dengan kemarahan, dan mulai
berbicara tanpa gerak-gerik tubuh. Sepasang matanya tertuju ke laut yang
meruapkan bahang. Suaranya dalam dan terukur bagaikan air yang tenang. Namun,
pidato yang telah dihafalnya dan dicuapkannya berulang-ulang itu terasa baginya
bukanlah sebagai perkataan yang jujur, melainkan kebalikannya, yakni lebih
serupa pernyataan kepasrahan Marcus Aurelius dalam jilid keempat bukunya, Renungan.
“Kita berada di sini untuk menaklukkan alam,” ucapnya
berlawanan dengan apa yang diyakininya. “Kita tidak akan lagi menjadi anak-anak
yatim di negeri kita sendiri, anak-anak Tuhan yang disia-siakan di tempat
gersang saat badai menerjang, terasingkan di kampung halaman sendiri. Kita akan
menjadi orang-orang yang hebat dan berbahagia.”
Ada satu pola dalam pertunjukan pidatonya. Saat dia
bercuap-cuap, para pembantunya melemparkan burung-burung kertas ke udara dan
makhluk-makhluk buatan itu pun seakan hidup, terbang di atas panggung lalu
meluncur ke laut. Pada saat bersamaan, anak-anak buahnya yang lain mengeluarkan
dari mobil-mobil pengangkut barang sejumlah pohon buatan yang daun-daunnya
berbahan sintesis dan menanam mereka di tanah keras berbatu di belakang
kerumunan orang. Mereka mengakhirinya dengan mendirikan fasad rumah-rumahan
dari papan dan dinding bohongan dari bata merah yang dilengkapi jendela kaca
untuk menutupi gubuk-gubuk reyot sungguhan tempat tinggal menyedihkan para
penduduk setempat.
Sang senator melanjutkan pidatoya dengan dua kutipan
berbahasa Latin untuk memberi tambahan waktu bagi orng-orangnya yang sedang
memasang rumah-rumahan. Ia menjanjikan akan mendatangkan mesin-mesin pembuat
hujan, alat-alat penyubur ternak, minyak kebahagiaan yang akan membuat
sayur-mayur tumbuh subur di tanah keras berbatu dan rerumpun bunga mekar di
kisi-kisi jendela. Ketika dilihatnya dunia fiksinya telah selesai dibuat oleh
orang-oarng suruhannya, dia menunjuk. “Seperti itulah semuanya akan mewujud
bagi kita, Saudara-Saudara,” teriaknya. “Lihatlah! Itulah yang akan terwujud
bagi kita.”
Para
hadirin menoleh. Kapal-kapal pengarung samudera yang terbuat dari kertas
berwarna tampak di belakang rumah-rumahan, lebih tinggi daripada rumah
tertinggi di kota buatan itu. Hanya sang senator sendiri yang memperhatikan
bahwa karena benda-benda itu telah dibongkar-pasang berkali-kali dan diusung
dari satu tempat ke tempat lain, kota papan itu telah lapuk dimakan cuaca buruk
dan kini nyaris tampak seburuk dan seberdebu Rosal del Virrey.
Untuk
pertama kali selama dua belas tahun, Nelson Farina tidak hadir di lapangan
untuk menyambut sang senator. Dia menyimak pidato itu dari tempat tidur
gantungnya sambil melanjutkan tidur siang di gubuknya yang dibangun dengan
tangannya sendiri dan pernah ditinggalinya bersama istri pertamanya. Dia
minggat dari Pulai Iblis dan muncul di Rosa del Virrey dengan naik kapal
bermuatan burung-burung nuri bersama seorang perempuan kulit hitam cantik yang
ditemuinya di Paramaribo dan telah memberinya seorang anak. Perempuan itu mati
karena sebab alamiah tak lama kemudian dikuburkan dengan nisan berterakan nama
Belandanya di kuburan umum setempat. Anak perempuan mereka mewarisi warna kulit
dan bentuk tubuh ibunya serta mata kuning menakjubkan ayahnya. Dia pun tumbuh
menjadi perempuan tercantik di dunia.
Sejak
dia bertemu sang senator dalam kampaye pertamanya, Nelson Farina telah memohon
padanya untuk membantu membuatkan KTP palsu agar dia lolos dari jangkauan
hukum. Sang senator, dengan cara yang bersahabat tapi tegas, menolak permintaan
itu. Nelson Farina tak pernah menyerah. Selama bertahun-tahun, setiap kali dia
menemukan kesempatan, dia akan mengulangi permintaannya dengan jalan berbeda.
Tapi kali ini dia bergeming di ranjang gantungnya, dikutuk membusuk hidup-hidup
di sarang penyamun itu. Saat dia mendengar tepuk tangan terakhir, dia
mengangkat kepala, menatap melalui bilah-bilah pagar rumah dan melihat bagian
belakang bangunan buatan yang dibuat orang-orang suruhan sang senator. Ia
meludah tanpa kebencian.
“Sialan,”
sungutnya. “Itu cuma permainan politik.”
Setelah
pidato, seperti kebiasaannya, sang senator berjalan blusukan melintasi
jalan-jalan kota diiringi musik dan letusan mercon, dikerubungi warga kota yang
berupaya mengadukan kesulitan hidup mereka. Senator tampak menyimak mereka dan
dia selalu berhasil menemukan cara untuk menghibur semua orang tanpa membuat
mereka berani berbuat macam-macam. Seorang perempuan yang berada di atap rumah
bersama enam bocah kecil berhasil membuat suaranya terdengar mengatasi bunyi
letusan kembang api dan suara ribut khala“Saya tidak meminta banyak, Senator,”
teriaknya. “Hanya seekor keledai untuk mengangkut air dari Sumur Orang
Gantungan.”
Senator
memperhatikan keenam bocah kurus itu. “Apa yang terjadi dengan suamimu?”
tanyanya.
“Dia
mencari pekerjaan di Aruba,” sahut perempuan itu. “Tapi yang dia temukan malah
seorang perempuan yang memasang berlian di giginya.”
Orang-orang
itu tertawa berderai mendengar jawaban di perempuan.
“Baiklah,”
ujar sang senator bijak, “kau akan mendapatkan keledai.”
Tak
lama kemudian pembantu sang senator datang menyeret seekor keledai menuju rumah
si perempuan. Di bokong keledai itu tertulis dengan cat tebal slogan kampanye
sang senator sehingga orang-orang tak akan lupa bahwa keledai itu hadiah
darinya.
Di
tikungan terakhir jalan itu dia melihat Nelson Farina yang sedang berbaring di
atas ranjang gantung, tampak murung. Senator menyapanya, “Hai, apa kabar?”
Nelson
Farina menoleh. “Terpujilah Anda,” katanya.
Putri
Nelson Farina keluar menuju halaman saat didengarnya ucapan salam. Dia mengenakan
gaun lebar Indian Guajiro murahan yang telah usang, kepalanya dihiasi pita
warna-warni, dan wajahnya dipulas warna untuk melindungi kulit dari sinar
matahari. Namun, dalam keadaan kacau-balau serupa itu pun orang yang menatapnya
bisa jadi akan membayangkan bahwa tiada yang lebih cantik darinya di seluruh
dunia.
Sang
senator tertegun menahan napas. “Terkutuklah aku!” ucapnya terkesiap. “Tuhan
telah melakukan hal-hal yang gila!”
Malam
itu Nelson Farina mendandani putrinya dengan pakaian terbaiknya dan mengirimkannya
kepada sang senator. Dua penjaga bersenjata menyuruhnya duduk menunggu di atas
satu-satunya kursi di ruang tunggu.
Senator
berada di ruang sebelah, sedang rapat dengan orang-orang penting Rosa del
Virrey. Mereka tampak begitu mirip dengan orang-orang lain yang selalu
ditemuinya di seluruh kota sepanjang gurun sehingga membuatnya muak dan bosan
dengan acara pertemuan malam semacam itu. Kemejanya basah kuyup oleh peluh dan
dia mencoba mengeringkannya dengan embusan hawa panas dari kipas angin listrik
yang berdengung seperti kuda yang terbang di antara hawa panas di ruangan itu.
“Kita
tentu saja tidak bisa makan burung kertas,” ujarnya. “Kita semua tahu bahwa
pada hari ketika pepohonan dan bunga-bunga tumbuh di tumpukan kotoran kambing
ini, pada hari saat ada ikan-ikan dan bukan belatung di lubang-lubang air, pada
hari itulah tugas kita di sini telah selesai. Jelas, bukan?”
Tak
ada yang menyahut. Saat dia biacara, sang senator menyobek sehelai kertas
kalender dinding dan membuat kupu-kupu kertas mainan darinya. Dia lalu
melemparkannya tanpa tujuan ke udara. Kupu-kupu kertas itu tertiup angin dari
kipas listrik dan terbang mengitari ruangan lalu menyelinap keluar melalui
pintu yang separuh terbuka. Senator melanjutkan berbicara. “Maka,” katanya,
“saya tak perlu mengulang apa yang sudah kalian ketahui amat baik: terpilihnya
saya kembali adalah demi kepentingan kalian semua, bukan demi kepentingan
saya.”
Laura
Farina melihat kupu-kupu kertas itu terbang keluar dari ruangan tempat rapat.
Hanya dia yang melihatnya sebab para penjaga di ruang tunggu itu tertidur di
atas tangga, memeluk senapan mereka. Setelah meliuk-liuk beberapa kali,
kupu-kupu yang besar itu terbuka lipatannya, menempel di dinding, dan terus
melekat di sana. Laura Farina mencoba melepasnya dari dinding dengan
mencongkelkan kuku-kukunya. Salah satu penjaga yang terbangun karena suara
tepuk tangan dari ruang sebelah memperhatikan upaya sia-sia gadis itu. “Tak
bakalan lepas,” ujarnya dengan setengah mengantuk. “Itu dicat di dinding.”
Laura
Farina kembali duduk saat orang-orang beranjak keluar dari ruang rapat. Senator
berdiri di muka pintu ruangan dengan tangan memegang kenop pintu. Dia
memperhatikan Laura Farina ketika ruang tunggu itu telah kosong.
“Sedang
apa kau di sini?”
“Ayahku
menyuruhku kemari,” ujarnya.
Sang
senator mengerti. Dia menatap para penjaga yang terlelap lalu memandang lekat
Laura Farina yang kecantikan luar biasanya ternyata jauh lebih mengganggu
ketimbang rasa sakitnya. Dan dia lalu menyimpulkan bahwa maut telah membuat
keputusan untuknya.
“Masuklah,”
katanya.
Laura
Farina berdiri terlongong di muka ruangan itu: ribuan lembar uang kertas
beterbangan di udara berkelepak bagai kupu-kupu. Namun, sang senator mematikan
kipas angin sehingga helai-helai uang yang beterbangan itu berjatuhan di atas
benda-benda yang ada di dalam ruangan.
Senator
tersenyum dan berkata, “Kau lihat, bahkan kotoran pun bisa terbang.”
Laura
Farina duduk di atas sebuah bangku tak bersandaran. Kulitnya lembut dan
kencang, sewarna minyak mentah. Rambutnya serupa surai kuda betina muda. Dan
sepasang mata lebarnya lebih terang ketimbang cahaya. Sang senator mengikuti
arah tatapan gadis itu yang terpaku pada bunga mawar.
“Itu
mawar,” ujarnya.
“Ya,”
sahut si gadis tanpa tampak takjub. “Aku pernah melihatnya di Riohacha.”
Senator
duduk di atas kasur lipat tentara, berbicara tentang mawar seraya membuka
kancing-kancing kemejanya. Di dada kiri, tempat dia membayangkan jantungnya
berada di dalam rongga dadanya, ada sebuah tato bergambar hati tertusuk anak
panah. Senator melempar kemeja kuyupnya ke lantai lalu meminta Laura Farina
membantunya melepas sepatu botnya.
Gadis
itu berlutut menghadap ranjang lipat. Senator menatapnya lekat-lekat. Saat
gadis itu membukai tali sepatunya, sang senator bertanya-tanya siapakah dari
mereka berdua yang akan berakhir dengan nasib buruk gara-gara perjumpaan itu.
“Kau
masih bocah,” ujarnya.
“Percayakah
kalau kukatakan umurku akan genap sembilan belas bulan April ini?” tukasnya.
Sang
senator makin tertarik.
“Tanggal
berapa?”
“Sebelas,”
sahut si gadis.
Senator
merasa lega. “Kita berdua Aries,” ujarnya. Seraya tersenyum, dia menambahkan,
“Itu melambangkan kesunyian.”
Laura
Farina tak memperhatikan perkataan sang senator karena dia kebingungan
bagaimana caranya membuka sepatu itu. Sementara, sang senator kebingungan
bagaimana harus bersikap terhadap Laura Farina karena dia tak terbiasa dengan
kisah cinta tiba-tiba. Seraya terus berpikir, dia merengkuh erat Laura Farina
saat gadis itu berada di antara kedua lutut sang senator. Dia memeluk pinggang
gadis itu lalu membaringkan diri di atas kasur lipat. Lalu baru disadarinya
bahwa gadis itu tak mengenakan apa-apa lagi di balik gaunnya. Tubuh si garis
meruapkan aroma gelap binatang hutan yang merangsang, tapi jantungnya berdegup
kencang. Kulitnya berkilat oleh keringat.
“Ah, tak ada yang mencintai kita,” lelaki itu
mendesah.
Laura Farina mencoba mengatakan sesuatu, tapi napasnya
tersengal. Lelaki itu membaringkan si gadis di sampingnya, mematikan lampu
sehingga ruangan itu jadi temaram dalam bayangan mawar. Gadis itu memasrahkan
diri pada kemurahan hati sang takdir. Senator mengelusnya lembut, tangannya
mencari-cari, nyaris tak menyentuhnya. Namun, di tempat dia berharap menemukan
apa yang dicarinya, dia menyentuh semacam besi yang menghalanginya.
“Apa itu?”
“Celana dalam besi,” sahut si gadis.
“Astaga!” lelaki itu berseru marah. “Mana kuncinya?”
Laura Farina menarik napas lega. “Dipegang ayahku,”
sahutnya. “Dia meminta Anda mengirimkan utusan untuk mengambil kunci itu dan
membawakannya sepucuk surat yang menyatakan bahwa Anda berjanji akan
menolongnya dalam kesulitan.”
Sang senator makin marah. “Dasar bedebah!” gumamnya
sebal. Lalu dia memejamkan mata untuk menenangkan diri dan berpikir dalam
kegelapan. Dia membatin: Ingatlah, tak lama lagi kau akan mati dan namamu
akan dilupakan.
Dinantinya gigil tubuhnya yang gemetar memudar.
“Katakan sejujurnya. Apa yang kau dengar tentang
diriku?” tanyanya kemudian.
“Yang sejujurnya?”
“Sejujurnya.”
“Hm, mereka bilang Anda lebih buruk daripada politikus
lainnya karena Anda berbeda,” ungkap Laura Farina.
Sang senator tidak marah. Dia diam membisu cukup lama
dengan mata terpejam. Ketika dia membuka lagi matanya seolah-olah dia telah
mendapatkan kembali nalurinya yang paling tersembunyi.
“Baiklah,”
dia memutuskan. “Katakan kepada ayahmu yang keparat itu bahwa aku akan
membantunya.”
“Jika
Anda mau, aku akan mengambil sendiri kuncinya,” ujar Laura Farina.
Senator
menahan gadis itu. “Lupakan kunci itu dan tidurlah sejenak bersamaku. Nyaman
rasanya bisa bersama seseorang saat kau begitu kesepian.”
Si
gadis menyandarkan kepalanya pada bahu lelaki itu dengan mata terpaku menatap
mawar. Sang senator memeluk pinggang gadis itu, membenamkan wajah ke celah
ketiaknya yang beraroma binatan hutan, dan takluk pada rasa takutnya. Enam
bulan sebelas hari kemudian dia mati dalam posisi yang sama, ternista dan
tertolak karena skandal terbuka dengan Laura Farina dan menangis penuh amarah
saat mati tanpanya.
***
Gabriel García
Márquez adalah pengarang terkemuka kelahiran kolombia, 1928,
yang baru saja wafat pada Jumat kemarin, 18 April 2014. Ia meraih hadiah Nobel
Sastra pada 1982 dan dikenal terutama melalui novel-novelnya yang menjadi
tonggak aliran realisme magis dalam sejarah sastra dunia, antara lain, Seratus
Tahun Kesunyian dan Cinta pada Musim Kolera. Ia dikenang sebagai
sastrawan Amerika Latin terbesar dan paling berpengaruh yang pernah ada.
Cerpen di atas
diterjemahkan Anton Kurnia dari “Death Constant Beyond Love” dalam kumpulan Innocent
Erendira and Other Stories, Picador London, 1981, terjemahan Gregory
Rabassa dari bahasa Spanyol.