Cerpen
Yuditeha dimuat di Lombok Post – Minggu, 20 Desember 2015.
Sukro tidak
begitu percaya dengan berita santer yang kini beredar di masyarakat, tentang
perilaku aneh yang menyerang orang-orang gedean, khususnya para pejabat. Dia
tidak tahu, apakah itu termasuk penyakit atau bukan. Kabarnya begitu orang jadi
pejabat, selang beberapa waktu kemudian mereka akan punya kebiasaan itu.
Perilaku aneh itu suka makan uang. Kata orang yang punya kebiaasaan itu, uang
berasa gurih, renyah dan lebih enak lagi jika uang itu bernominal besar.
Katanya, selayaknya makanan yang bervitamin tinggi.
Sukro adalah
pejabat baru yang idealis dan punya antusias kerja yang hebat. Bahkan karena
etos kerjanya itu dia tak menyadari bahwa uang adalah hal yang diidam-idamkan
banyak orang. Bagi sebagian orang, uang dianggap segala-galanya. Seakan-akan
tak ada yang lebih penting dari uang, bahkan tidak sedikit yang mendewakannya.
Tapi Sukro
bertekat tidak menganggap uang adalah segalanya. Uang baginya nomor keberapa
setelah kerjaan. Dia selalu ingat janjinya sewaktu diangkat jadi pejabat;
mendahulukan kepentingan rakyat yang mempercayai. Menurutnya, masalah uang
sudah ada yang mengatur dan dia tak bernapsu mengeruk, menimbun bahkan mendewakan
apalagi memakannya.
Menurutnya
hanya orang gila yang menganggap uang sebagai makanan. Dan dia berjanji tidak
akan punya keinginan itu. Namun dia juga sadar, di jaman sekarang uang memang
penting karena dengan uang bisa mewujudkan sebagian keinginan tapi dia juga
tahu bahwa tidak semua hal bisa dibeli dengan uang.
Karena
adanya kebiasaan itu, Sukro jadi kepikiran. Menurutnya, hal itu sungguh-sungguh
edan, uang sebagai alat bayar, di tangan para pejabat jadi barang santapan. Dia
tidak heran saat mendengar ada manusia makan kecoak, makan bedak, makan
kerikil, makan beling atau bahkan makan orang sekalipun. Tapi makan uang, dia
anggap hal itu sungguh janggal. Jika hanya sekedar mendewakan, Sukro masih bisa
maklum. Perutnya mendadak mual memikirkannya dan dia bersyukur sampai detik itu
tidak punya keinginan sedikitpun untuk berperilaku demikian.
Orang yang
punya kebiasaan makan uang biasanya perutnya besar dan buncit. Apakah perut
mereka demikian memang karena kebiasaan itu atau karena alasan lain? Atau hal
itu hanya semacam simbol kemakmuran? Untuk itu Sukro tidak paham namun yang
pasti sampai sekarang perut Sukro tidak besar dan tidak buncit. Apa mungkin
karena Sukro termasuk pejabat yang tidak makmur dan dia tidak makan uang? Bagi
masyarakat, masalah perut besar dan buncit tidak membuat mereka heran, tapi
jika masalah pejabat yang memakan uang, itulah baru kejadian aneh.
Kabarnya
lagi, kebiasaan pejabat makan uang itu akan cepat menular ke anggota
keluarganya, seperti istri, anak dan yang lainnya. Hingga nanti seluruh anggota
keluarganya akan jadi keluarga pemakan uang.
Suatu kali
Sukro menemui seorang kawan lama yang juga jadi pejabat baru di kota.
Sebelumnya temannya itu aktif di partai dan akhirnya jadi anggota dewan. Karena
kepandaiannya dia didukung lingkungan kerjanya untuk menduduki jabatan yang
bergengsi. Dia bernama Drajat.
“Perutmu
jadi buncit Jat, ndak pernah olah raga lagi?” tanya Sukro.
“Aku masih
olah-raga kok, yah… sekedar untuk menyeimbangkan dengan kebiasaan baruku, agar
badanku tidak terlalu gembur,” jawab Drajat.
“Kebiasaan
apa itu?” Sukro penasaran.
“Pura-pura
tidak tahu saja.”
“Maksudmu?”
“Apa kamu
belum mulai?”
“Mulai apa?”
“Ya, makan
uanglah, apa kamu tidak suka?”
“Sebenarnya
aku ke sini justru mau menanyakan hal itu?”
“Jadi, kamu
belum mulai juga?”
“Yang ingin
kutanyakan bukan bagaimana cara memulainya.”
“Jadi apa
dong?”
“Sudahlah,
tidak jadi tanya, sudah tak ada gunanya, karena kini kau sendiri telah
melakukannya.” Sukro berlalu meninggalkan Drajat.
“Sukro,
tolong tinggal sebentar. Ada yang perlu aku omongkan. Tolonglah, Kro.” Sukro
terpaksa berhenti.
“Kro, dulu
aku juga bingung dengan hal ini, dan aku tak bisa mempercayainya itu nyata. Aku
berusaha untuk tidak ikut-ikutan. Tapi Kro, ternyata hal itu terjadi juga
padaku. Aku seperti tidak pada kesadaranku, tahu-tahu aku terjangkiti. Aku
seperti tak kuasa menolak, hingga akhirnya menyetujui begitu saja,” terang
Drajat. “Sukro, tolong… duduklah dulu, mohon dengarkan aku,” rayu Drajat
kemudian. Sukro masih diam saja.
“Kau mungkin
beranggapan hal ini hanya pembelaanku, tapi Kro,” Drajat berhenti bicara
sejenak. Lalu dia melanjutkan lagi perkataannya. Dia menerangkan pada waktu
kondisi itu menyergap, dengan mudah dia menuruti. Katanya dia telah berjuang
hebat untuk menghalau. Namun ternyata dengan mudah hal itu terjadi. Dia
beranggapan, mungkin saat itu di dalam dirinya sedang ada perasaan melek, meri
nggendong lali. Menurutnya, kesadaran memang terus terjaga dan berusaha untuk
selalu punya prinsip wani, teteg dan tekan agar tidak mudah terpancing untuk
nyicipi dan akhirnya terbiasa. Dia juga mengatakan bahwa jika sudah masuk, akan
sulit keluar karena kebiasaan itu memberikan keenakan yang bisa membuat lena.
Drajat juga
menjelaskan atas pengertiannya bahwa untuk menjadi baik dalam arti yang mumpuni
tidak bisa diraih dengan usaha yang sekejap, seperti membalikkan telapak
tangan. Kebiasaan baik dan bijak adalah serangkaian perilaku baik yang
dijalankan secara rutin dan terus-menerus. Dan rentang waktu penilaiannya
sampai dengan tak terbatas, artinya sampai maut menjemput. Menurutnya juga,
kita tidak bisa dengan sombong mengatakan bahwa kita tidak akan punya kebiasaan
itu selama hayat. Hanya dengan iman, prinsip hidup dan tekad yang kuatlah, kita
akan jadi manusia tegar.
“Sukro,
sekarang jika kamu mau pergi silahkan. Semoga dengan aku bicara seperti tadi
bisa membantuku keluar dari kebiasaan itu. Doakan aku ya Kro,” kata Drajat
mengakhiri bicaranya.
Sukro seperti terhipnotis, dia menjulurkan tangan begitu saja ketika Drajat mengajaknya berjabat tangan. Lalu Sukro berlalu dengan pikiran yang entah berantah.
Sukro seperti terhipnotis, dia menjulurkan tangan begitu saja ketika Drajat mengajaknya berjabat tangan. Lalu Sukro berlalu dengan pikiran yang entah berantah.
***
Sukro kini telah di rumah, setelah seharian Sukro Raker. Seperti biasanya setiap malam menjelang Sukro santai melepas penat sambil melihat berita di televisi yang akhir-akhir ini dipenuhi berita memprihatinkan, bencana dan wabah yang melanda negri ini, dari banjir, keracunan, begal, kecelakaan, demam berdarah, harga-harga yang melangit, PHK besar-besaran, sampai kisah kemiskinan yang tak kunjung teratasi.
Sukro kini telah di rumah, setelah seharian Sukro Raker. Seperti biasanya setiap malam menjelang Sukro santai melepas penat sambil melihat berita di televisi yang akhir-akhir ini dipenuhi berita memprihatinkan, bencana dan wabah yang melanda negri ini, dari banjir, keracunan, begal, kecelakaan, demam berdarah, harga-harga yang melangit, PHK besar-besaran, sampai kisah kemiskinan yang tak kunjung teratasi.
Tanpa sadar,
di sela-sela dia menyaksikan berita aktual itu, Sukro sambil makan cemilan yang
berada di genggamannya. Sadar-sadar ketika barang yang dijadikan cemilan itu
tinggal tersisa beberapa lembar saja. Sukro kaget bukan kepalang ketika dia
tahu cemilan apa yang telah sebagian besar dilahapnya itu. Lalu dia gusar,
bagaimana jika nanti ada yang tahu dia telah melahap uang dana proyek yang
baru-baru ini dirapatkan. ***
Catatan:
santer : ramai, etos : semangat
melek, meri nggendong lali : menginginkan yang bukan miliknya/menggendong lupa
wani, teteg lan tekan : berani, mantap dan sampai hati
nyicipi : mencicipi
santer : ramai, etos : semangat
melek, meri nggendong lali : menginginkan yang bukan miliknya/menggendong lupa
wani, teteg lan tekan : berani, mantap dan sampai hati
nyicipi : mencicipi
Yuditeha |
Yuditeha:
Cerpenis yang punya hobi melukis wajah-wajah dan bernyanyi puisi. Aktif di
Komunitas Sastra Alit Surakarta. Hujan Menembus Kaca (2011) adalah buku
puisinya dan Komodo Inside (Grasindo, 2014) adalah novel pertamanya. Tinggal di
Jaten RT. 01 RW. 14 Jaten Karanganyar- Surakarta. Hp: 085647226136.