Kamis, 28 Februari 2019

Cemilan



Cerpen Yuditeha dimuat di Lombok Post – Minggu, 20 Desember 2015.


Sukro tidak begitu percaya dengan berita santer yang kini beredar di masyarakat, tentang perilaku aneh yang menyerang orang-orang gedean, khususnya para pejabat. Dia tidak tahu, apakah itu termasuk penyakit atau bukan. Kabarnya begitu orang jadi pejabat, selang beberapa waktu kemudian mereka akan punya kebiasaan itu. Perilaku aneh itu suka makan uang. Kata orang yang punya kebiaasaan itu, uang berasa gurih, renyah dan lebih enak lagi jika uang itu bernominal besar. Katanya, selayaknya makanan yang bervitamin tinggi.
Sukro adalah pejabat baru yang idealis dan punya antusias kerja yang hebat. Bahkan karena etos kerjanya itu dia tak menyadari bahwa uang adalah hal yang diidam-idamkan banyak orang. Bagi sebagian orang, uang dianggap segala-galanya. Seakan-akan tak ada yang lebih penting dari uang, bahkan tidak sedikit yang mendewakannya.
Tapi Sukro bertekat tidak menganggap uang adalah segalanya. Uang baginya nomor keberapa setelah kerjaan. Dia selalu ingat janjinya sewaktu diangkat jadi pejabat; mendahulukan kepentingan rakyat yang mempercayai. Menurutnya, masalah uang sudah ada yang mengatur dan dia tak bernapsu mengeruk, menimbun bahkan mendewakan apalagi memakannya.
Menurutnya hanya orang gila yang menganggap uang sebagai makanan. Dan dia berjanji tidak akan punya keinginan itu. Namun dia juga sadar, di jaman sekarang uang memang penting karena dengan uang bisa mewujudkan sebagian keinginan tapi dia juga tahu bahwa tidak semua hal bisa dibeli dengan uang.
Karena adanya kebiasaan itu, Sukro jadi kepikiran. Menurutnya, hal itu sungguh-sungguh edan, uang sebagai alat bayar, di tangan para pejabat jadi barang santapan. Dia tidak heran saat mendengar ada manusia makan kecoak, makan bedak, makan kerikil, makan beling atau bahkan makan orang sekalipun. Tapi makan uang, dia anggap hal itu sungguh janggal. Jika hanya sekedar mendewakan, Sukro masih bisa maklum. Perutnya mendadak mual memikirkannya dan dia bersyukur sampai detik itu tidak punya keinginan sedikitpun untuk berperilaku demikian.
Orang yang punya kebiasaan makan uang biasanya perutnya besar dan buncit. Apakah perut mereka demikian memang karena kebiasaan itu atau karena alasan lain? Atau hal itu hanya semacam simbol kemakmuran? Untuk itu Sukro tidak paham namun yang pasti sampai sekarang perut Sukro tidak besar dan tidak buncit. Apa mungkin karena Sukro termasuk pejabat yang tidak makmur dan dia tidak makan uang? Bagi masyarakat, masalah perut besar dan buncit tidak membuat mereka heran, tapi jika masalah pejabat yang memakan uang, itulah baru kejadian aneh.
Kabarnya lagi, kebiasaan pejabat makan uang itu akan cepat menular ke anggota keluarganya, seperti istri, anak dan yang lainnya. Hingga nanti seluruh anggota keluarganya akan jadi keluarga pemakan uang.
Suatu kali Sukro menemui seorang kawan lama yang juga jadi pejabat baru di kota. Sebelumnya temannya itu aktif di partai dan akhirnya jadi anggota dewan. Karena kepandaiannya dia didukung lingkungan kerjanya untuk menduduki jabatan yang bergengsi. Dia bernama Drajat.
“Perutmu jadi buncit Jat, ndak pernah olah raga lagi?” tanya Sukro.
“Aku masih olah-raga kok, yah… sekedar untuk menyeimbangkan dengan kebiasaan baruku, agar badanku tidak terlalu gembur,” jawab Drajat.
“Kebiasaan apa itu?” Sukro penasaran.
“Pura-pura tidak tahu saja.”
“Maksudmu?”
“Apa kamu belum mulai?”
“Mulai apa?”
“Ya, makan uanglah, apa kamu tidak suka?”
“Sebenarnya aku ke sini justru mau menanyakan hal itu?”
“Jadi, kamu belum mulai juga?”
“Yang ingin kutanyakan bukan bagaimana cara memulainya.”
“Jadi apa dong?”
“Sudahlah, tidak jadi tanya, sudah tak ada gunanya, karena kini kau sendiri telah melakukannya.” Sukro berlalu meninggalkan Drajat.
“Sukro, tolong tinggal sebentar. Ada yang perlu aku omongkan. Tolonglah, Kro.” Sukro terpaksa berhenti.
“Kro, dulu aku juga bingung dengan hal ini, dan aku tak bisa mempercayainya itu nyata. Aku berusaha untuk tidak ikut-ikutan. Tapi Kro, ternyata hal itu terjadi juga padaku. Aku seperti tidak pada kesadaranku, tahu-tahu aku terjangkiti. Aku seperti tak kuasa menolak, hingga akhirnya menyetujui begitu saja,” terang Drajat. “Sukro, tolong… duduklah dulu, mohon dengarkan aku,” rayu Drajat kemudian. Sukro masih diam saja.
“Kau mungkin beranggapan hal ini hanya pembelaanku, tapi Kro,” Drajat berhenti bicara sejenak. Lalu dia melanjutkan lagi perkataannya. Dia menerangkan pada waktu kondisi itu menyergap, dengan mudah dia menuruti. Katanya dia telah berjuang hebat untuk menghalau. Namun ternyata dengan mudah hal itu terjadi. Dia beranggapan, mungkin saat itu di dalam dirinya sedang ada perasaan melek, meri nggendong lali. Menurutnya, kesadaran memang terus terjaga dan berusaha untuk selalu punya prinsip wani, teteg dan tekan agar tidak mudah terpancing untuk nyicipi dan akhirnya terbiasa. Dia juga mengatakan bahwa jika sudah masuk, akan sulit keluar karena kebiasaan itu memberikan keenakan yang bisa membuat lena.
Drajat juga menjelaskan atas pengertiannya bahwa untuk menjadi baik dalam arti yang mumpuni tidak bisa diraih dengan usaha yang sekejap, seperti membalikkan telapak tangan. Kebiasaan baik dan bijak adalah serangkaian perilaku baik yang dijalankan secara rutin dan terus-menerus. Dan rentang waktu penilaiannya sampai dengan tak terbatas, artinya sampai maut menjemput. Menurutnya juga, kita tidak bisa dengan sombong mengatakan bahwa kita tidak akan punya kebiasaan itu selama hayat. Hanya dengan iman, prinsip hidup dan tekad yang kuatlah, kita akan jadi manusia tegar.
“Sukro, sekarang jika kamu mau pergi silahkan. Semoga dengan aku bicara seperti tadi bisa membantuku keluar dari kebiasaan itu. Doakan aku ya Kro,” kata Drajat mengakhiri bicaranya.
Sukro seperti terhipnotis, dia menjulurkan tangan begitu saja ketika Drajat mengajaknya berjabat tangan. Lalu Sukro berlalu dengan pikiran yang entah berantah.
***
Sukro kini telah di rumah, setelah seharian Sukro Raker. Seperti biasanya setiap malam menjelang Sukro santai melepas penat sambil melihat berita di televisi yang akhir-akhir ini dipenuhi berita memprihatinkan, bencana dan wabah yang melanda negri ini, dari banjir, keracunan, begal, kecelakaan, demam berdarah, harga-harga yang melangit, PHK besar-besaran, sampai kisah kemiskinan yang tak kunjung teratasi.
Tanpa sadar, di sela-sela dia menyaksikan berita aktual itu, Sukro sambil makan cemilan yang berada di genggamannya. Sadar-sadar ketika barang yang dijadikan cemilan itu tinggal tersisa beberapa lembar saja. Sukro kaget bukan kepalang ketika dia tahu cemilan apa yang telah sebagian besar dilahapnya itu. Lalu dia gusar, bagaimana jika nanti ada yang tahu dia telah melahap uang dana proyek yang baru-baru ini dirapatkan. ***

Catatan:
santer : ramai, etos : semangat
melek, meri nggendong lali : menginginkan yang bukan miliknya/menggendong lupa
wani, teteg lan tekan : berani, mantap dan sampai hati
nyicipi : mencicipi


Yuditeha
Yuditeha: Cerpenis yang punya hobi melukis wajah-wajah dan bernyanyi puisi. Aktif di Komunitas Sastra Alit Surakarta. Hujan Menembus Kaca (2011) adalah buku puisinya dan Komodo Inside (Grasindo, 2014) adalah novel pertamanya. Tinggal di Jaten RT. 01 RW. 14 Jaten Karanganyar- Surakarta. Hp: 085647226136.