Tentang Kita dan Laut ilustrasi Joko Toying/Kompas |
Kau bilang sangat menyukai laut. Kau memang tidak
mengatakannya langsung kepadaku—sebagaimana juga hal-hal lainnya. Namun, dari
balik dinding kamar aku pernah mendengar kau bicara tentang itu; tentang
keinginanmu berdiri di depan laut dan kau menyaksikan ikan-ikan berlompatan.
Lalu, setelah itu, sambil telentang di tempat tidur aku segera membuat sebuah
adegan dalam kepalaku: kau berdiri menghadap laut, ikan-ikan keluar dan
melakukan atraksi seperti sedang tampil dalam sebuah pertunjukan sirkus, mereka
bergerak ke sana kemari, menari, berjumpalitan, lalu sebelum bergerak ke
atas dan ke atas lagi dalam sekejap mereka mengubah diri menjadi serombongan
burung, beberapa ekor terjatuh dan mati, beberapa yang lain terus membumbung
tinggi, menjadi titik-titik hitam, menjadi tiada.
Aku terisak-isak karena ikan-ikan yang menjadi tiada
itu. Kubayangkan kau masih berdiri sendirian menghadap laut yang telah kosong
(karena bagimu apalah arti laut tanpa ikan-ikan), dan akulah yang membuat itu
semua terjadi.
Adakah kau tahu itu? Sudah pasti tidak. Bukan salahmu
yang selama 25 tahun terlalu sibuk mengurus anak lelaki bernama M itu (M adalah
Mars, aku tidak mengerti kenapa kau menamainya dengan salah satu nama planet
yang sangat kusukai, yang sejak lama diam-diam kuinginkan menjadi namaku),
melainkan aku saja yang telah menyembunyikannya dengan terlalu baik dan rapi
apa pun tentang pikiranku. Pokoknya kau sama sekali tidak salah. Aku tak
mungkin membuatmu merasa begitu, bisa-bisa aku lebih banyak lagi menangis
karena kesalahanku jadi berlipat-lipat kepadamu. Aku tak ingin menambah luka di
kulit pohonmu. Di sana sudah terlalu banyak bekas torehan yang menebal dan
sebetulnya aku agak membencinya, tapi satu kali kau bilang, “Jangan membenciku
karena ini.”
Tentu aku tak mungkin membencimu. Namun, menurutmu,
membenci sesuatu yang melukaimu juga berarti sama saja dengan membencimu—kalau mau
sedikit berterus terang sebenarnya kau ingin agar aku berhenti membenci segala
sesuatu yang menyakitimu, yang membuatmu menjadi satu-satunya pohon bagi anak
lelaki bernama M dan aku. Aku tak mengerti caramu membuat kesimpulan itu. Apa
kau memang sekejam itu terhadapku dan dirimu sendiri setelah apa yang kita
terima selama ini? Apa kau sengaja ingin menjatuhkanku hingga aku menjadi
kepingan-kepingan kecil di lantai? Sayangnya, kau tahu persis, aku tidak
terbuat dari kaca. Sama sepertimu, aku juga memiliki kulit pohon yang ketika
dilukai bisa menebal dan di sanalah aku berlindung.
Jadi, beginilah, selama berada di sini (pernahkah kau
membayangkan ini?), aku mengisi sepi dengan cara mengingat-ingat apa saja yang
belakangan telah kita alami dan sebenarnya aku hampir tidak tahan—itu yang dari
kemarin ingin kukatakan kepadamu, tapi aku tahu kau tidak mungkin bisa
berlama-lama menemaniku sekalipun kau sangat menginginkannya atas nama rasa
apalah terhadapku.
***
Dokter bertanya kepadaku (astaga, aku tidak suka baju
putih dan sepasang matanya yang sok hangat), “Kau merasa lebih baik hari ini?”
Aku menjawab, “Lumayan.”
Dokter tertawa—yang sok hangat juga dan itu sedikit
mengingatkanku pada beberapa orang yang mencoba ramah kepadaku, “Apa yang
kaupikirkan sekarang?”
“Ah, ya,” kataku bersemangat, “aku memikirkan laut dan
ikan-ikannya.”
Dokter itu manggut-manggut—dan tersenyum sok hangat
lagi. Lama-lama aku agak muak dengan senyum itu. Katakanlah ia bermaksud mau
ramah seperti banyak orang lain lakukan, tapi jangan begitu memaksakan diri.
Aku tidak suka dengan orang yang memaksakan diri—dan untuk ini kau juaranya.
Berapa puluh tahun kau melakukannya? Seumur hidupmu? Bagaimana aku tak marah
kalau kau terus begitu? Bagaimana aku menahankannya? Bagaimana aku tak akan
sampai ke tempat ini?
“Kenapa dengan laut dan ikan-ikannya?” tanya dokter
itu setelah berpikir-pikir.
“Ibuku sangat menyukainya,” kataku kembali
membayangkan kau berdiri menghadap laut dan di depanmu ikan-ikan berlompatan.
Kemudian, tiba-tiba kau menjadi bagian dari salah satu ikan-ikan itu. Kau
menggoyangkan ekor indahmu. Kau bersorak. Kau bergembira. Namun, ketika
rombongan ikan membumbung tinggi ke langit, kau malah bergerak turun dan
kembali menjadi perempuan berwajah muram yang memandang laut tanpa ikan-ikan.
“Woah, perempuan penyuka laut.” Dokter itu kembali
manggut-manggut.
“Tapi ia tidak pernah lagi pergi ke laut,” kataku
masam.
“Kenapa?” tanya dokter itu dengan suara berubah
serius.
Aku tertawa. Entahlah, aku hanya mau tertawa. Dokter
itu menanyakan beberapa pertanyaan lagi dan kujawab ogah-ogahan dan akhirnya ia
memberikan jadwal terapi.
***
Benar. Kau tak pernah lagi pergi ke laut. Aku tahu itu
dari catatan di bukumu yang kubaca sembunyi-sembunyi. Aku memang ingin tahu
semuanya tentangmu. Baik dengan cara menguping pembicaraanmu dengan
teman-temanmu yang mengunjungi rumah kita atau catatan-catatanmu yang kausimpan
rapi di balik bantal atau belakangan dari cerita-cerita kecil yang kautulis di
laptop. Sebaliknya, kau tak ingin tahu apa pun tentangku—paling tidak itu yang
kurasakan. Sama seperti juga aku merasa kau tidak sungguh-sungguh menganggapku
ada dalam hidupmu. Itu terdengar menyakitkan. Bahkan untuk sekadar dipikirkan
atau diduga-duga. Dulu, aku pernah bertanya-tanya dalam hati, “Kenapa? Kenapa?”
Jawabannya baru kuterima sepuluh tahun kemudian saat
kau berkata, “Kau anak lelaki yang kuat.”
Aku menolak menjadi anak lelaki yang katamu kuat itu.
Aku benar-benar ingin menolaknya. Aku pergi mengambil sebuah gunting dan
melukai tanganku dan aku menjerit-jerit dan berharap kau memelukku erat dan aku
bisa mendengar bunyi jantungmu berlama-lama. Namun, kau tidak melakukannya.
Dari matamu aku tahu kalau kau menudingku tengah berbuat curang terhadap anak
lelaki bernama M itu—yang katamu terlahir tak sempurna dan karena itu seluruh
isi dadamu mesti diberikan untuknya dan kaupikir dengan cara itu kau bisa
menambal ketidaksempurnaan itu, menebus semuanya. Dalam sekejap aku telah
menjadi seorang penjahat dan aku mengendap-endap keluar sebelum masa
pengampunanmu berakhir, sebelum kau sanggup menghukumku dengan api yang keluar
dari mulutmu (begitu kau sering mengancam bila aku agak nakal atau
mengecewakanmu).
Sejak itu aku tak pernah lagi mencoba menarik
perhatianmu.
Sejak itu juga aku makin sering saja membayangkan kau
berdiri di laut dan memandang ikan-ikan dengan berbagai kejadian aneh
menyertainya—tergantung aku maunya seperti apa. Aku tidak tahu rasanya menjadi
dirimu. Pasti saja sulit. Namun, kau juga tidak tahu rasanya menjadi diriku,
bukan? Lalu apa lagi yang bisa kulakukan selain membiarkan diriku
bersenang-senang dengan segala yang kuciptakan dalam kepalaku?
Kau berdiri menghadap laut. Ikan-ikan berlompatan di
depanmu. Kau mau menjadi ikan. Serta merta kau berubah menjadi seekor ikan
berekor rumbai-rumbai warna merah. Kau menggerakkan ekormu lincah. Matamu
mengedip. Mulutmu terbuka lebar.
Dan aku tertawa saat melihat kau menjadi ikan itu.
Ekormu, astaga, ekormu yang indah itu meliuk-liuk saat kau melompat dan menari.
Aku berani bersumpah kau belum pernah secantik ini sepanjang hidupmu. Untuk
itu, kali ini aku tak akan membiarkanmu kembali menjadi perempuan berwajah
muram—yang dinginnya minta ampun dan menyakitkan. Aku ingin kau tetap menjadi
ikan dan berbahagia selamanya, yang hatinya paling hangat, yang tawanya bermekaran.
Akan tetapi, anak lelaki bernama M itu tiba-tiba
menerobos kamarku dan mulai mengoceh seperti biasa dan kau yang ikan perlahan
berubah menjadi si pemuram lagi dalam kepalaku. Anak lelaki bernama M mengoceh
dan mengoceh dengan kata-kata yang mungkin sudah ribuan kali ia ucapkan
sepanjang hidupnya. Kau yang ikan sudah sama sekali tak berbekas. Anak lelaki
bernama M mengoceh tentang nama kota yang itu-itu saja. Kau yang ikan, ada di
mana? Aku mencari-carimu. Aku berdiri dan mencari-carimu di dinding. Anak
lelaki bernama M menyebut nama kota itu lagi. Kau yang ikan tidak ada di
dinding dan aku berlari keluar dan mencarimu di halaman dan aku telentang dan
aku memandangi langit dan di sana kulihat kau tengah menghadap ke laut
dan ikan-ikan berloncatan di depanmu. Namun, anak lelaki bernama M telah
berdiri menjulang di atasku dan kali ini ia menyebut nama orang yang juga
terlalu sering kudengar dan itu membuatmu kembali raib dan aku benar-benar
tidak tahan hingga kubanting tubuhnya dan kugigit telinganya, kutonjok mulutnya
hingga berdarah dan dua giginya patah dan aku nyaris melakukan yang lebih lagi
kalau kau tidak segera datang dan menyemburkan api dari mulutmu dan aku
terbakar.
***
Kaulah yang mengantarku ke sini, tempat aku bertemu
dokter dengan pertanyaan-pertanyaannya yang sering membosankan (tapi belakangan
aku mulai menyukai potongan rambutnya dan nanti ingin kutiru bila sudah keluar
dari tempat ini) dan berharap sekali kau menemaniku cukup lama biar kudengar
jantungmu, kurasakan hangat kulit lenganmu pada punggungku, kucium bau
rambutmu, kudalami hatimu yang selalu datar terhadapku itu. Terkadang, aku
terbangun tengah malam, dan di saat-saat begitu, aku ingin sekali mendengar kau
berkata, “Ceritakanlah perasaanmu kepadaku.” Maka, sudah pasti dengan senang
hati aku akan mengatakan banyak hal dan kau memang tak perlu mencari tahunya
sendiri sebab betapa kau tak memiliki waktu untuk itu. Hidupmu sudah demikian
penuh oleh segala yang memberatimu dan tak ada seseorang yang bisa
menggantikanmu. Kau tidak dapat lagi mengeluarkan dirimu sendiri dari tebalnya
kulit pohon yang kau buat itu, bahkan sekadar melepaskan diri sejenak untuk
berdiri menghadap laut.
“Dia benci laut,” katamu kepadaku, “Mars tak bisa
melihat laut.”
Dan tentu saja kau tidak bisa pergi ke mana pun tanpa
lengan anak lelaki bernama M itu—si Mars!—dalam genggaman tanganmu yang rasanya
makin kecil saja dari tahun ke tahun.
***
Dokter kembali berkunjung ke kamarku. Ia bertanya “Kau
punya kesukaan pada hal tertentu?”
Pertanyaan itu terdengar bodoh di telingaku. Kubilang
“Aku mau tidur.”
Dokter itu tertawa—yang tetap sok hangat. Ia tidak
mengerti kalau aku benar-benar mengantuk, ditambah ia yang makin membosankan.
Sungguh, kalau saja kau ada di sini, kalau saja kau dapat membantuku
memberitahukan kepadanya bahwa sekarang ini aku cuma ingin telentang di tempat
tidur, melupakan semua sesi pengobatan, dan memilih membayangkanmu berdiri
memandang laut dengan ikan-ikan berlompatan sebelum aku jatuh tidur. []
Rumah Kinoli,
2018
diposting
ulang dari:
Yetti A.KA lahir di Bengkulu
adalah seorang penulis Indonesia. Karyanya berupa cerpen, puisi, dan artikel
banyak dimuat di surat kabar, baik media Sumatara Barat, seperti Mimbar
Minang, Sumbar Mandiri, dan Padang Ekspres maupun media nasional,
seperti Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Jawa
Pos, Femina, Tribun Jabar, serta media online seperti Basabasi.Co. Sejumlah cerita pendeknya telah dimuat di
sejumlah buku antologi, di antaranya Bob Marley dan 11 Cerpen Pilihan Sriti
(2013), Jalan Menikung ke Bukit Timah: Antologi Cerpen Temu Sastrawan
Indonesia II, Bangka-Belitung, 2009 (2009), Pipa Air Mata (2008), Rahasia
Bulan (2006), dan Yang Dibalut Lumut (2003). Novel terbarunya, Basirah (2018). Selain menulis, ia
bekerja dan menjadi relawan di lembaga nirlaba Yayasan Jortah Indonesia, sebuah
lembaga yang fokus melakukan penggalangan dana publik untuk membantu biaya
pendidikan anak-anak dari keluarga tidak mampu. Saat ini, ia menetap di Kota
Padang, Sumatera Barat.