Rabu, 01 April 2020

Tentang Kita dan Laut || Cerpen Yetti A.KA, Kompas, 18 Agustus 2019



Tentang Kita dan Laut ilustrasi Joko Toying/Kompas

Kau bilang sangat menyukai laut. Kau memang tidak mengatakannya langsung kepadaku—sebagaimana juga hal-hal lainnya. Namun, dari balik dinding kamar aku pernah mendengar kau bicara tentang itu; tentang keinginanmu berdiri di depan laut dan kau menyaksikan ikan-ikan berlompatan. Lalu, setelah itu, sambil telentang di tempat tidur aku segera membuat sebuah adegan dalam kepalaku: kau berdiri menghadap laut, ikan-ikan keluar dan melakukan atraksi seperti sedang tampil dalam sebuah pertunjukan sirkus, mereka bergerak ke sana kemari, menari, berjumpalitan, lalu  sebelum bergerak ke atas dan ke atas lagi dalam sekejap mereka mengubah diri menjadi serombongan burung, beberapa ekor terjatuh dan mati, beberapa yang lain terus membumbung tinggi, menjadi titik-titik hitam, menjadi tiada.
Aku terisak-isak karena ikan-ikan yang menjadi tiada itu. Kubayangkan kau masih berdiri sendirian menghadap laut yang telah kosong (karena bagimu apalah arti laut tanpa ikan-ikan), dan akulah yang membuat itu semua terjadi.
Adakah kau tahu itu? Sudah pasti tidak. Bukan salahmu yang selama 25 tahun terlalu sibuk mengurus anak lelaki bernama M itu (M adalah Mars, aku tidak mengerti kenapa kau menamainya dengan salah satu nama planet yang sangat kusukai, yang sejak lama diam-diam kuinginkan menjadi namaku), melainkan aku saja yang telah menyembunyikannya dengan terlalu baik dan rapi apa pun tentang pikiranku. Pokoknya kau sama sekali tidak salah. Aku tak mungkin membuatmu merasa  begitu, bisa-bisa aku lebih banyak lagi menangis karena kesalahanku jadi berlipat-lipat kepadamu. Aku tak ingin menambah luka di kulit pohonmu. Di sana sudah terlalu banyak bekas torehan yang menebal dan sebetulnya aku agak membencinya, tapi satu kali kau bilang, “Jangan membenciku karena ini.”
Tentu aku tak mungkin membencimu. Namun, menurutmu, membenci sesuatu yang melukaimu juga berarti sama saja dengan membencimu—kalau mau sedikit berterus terang sebenarnya kau ingin agar aku berhenti membenci segala sesuatu yang menyakitimu, yang membuatmu menjadi satu-satunya pohon bagi anak lelaki bernama M dan aku. Aku tak mengerti caramu membuat kesimpulan itu. Apa kau memang sekejam itu terhadapku dan dirimu sendiri setelah apa yang kita terima selama ini? Apa kau sengaja ingin menjatuhkanku hingga aku menjadi kepingan-kepingan kecil di lantai? Sayangnya, kau tahu persis, aku tidak terbuat dari kaca. Sama sepertimu, aku juga memiliki kulit pohon yang ketika dilukai bisa menebal dan di sanalah aku berlindung.
Jadi, beginilah, selama berada di sini (pernahkah kau membayangkan ini?), aku mengisi sepi dengan cara mengingat-ingat apa saja yang belakangan telah kita alami dan sebenarnya aku hampir tidak tahan—itu yang dari kemarin ingin kukatakan kepadamu, tapi aku tahu kau tidak mungkin bisa berlama-lama menemaniku sekalipun kau sangat menginginkannya atas nama rasa apalah terhadapku.
***
Dokter bertanya kepadaku (astaga, aku tidak suka baju putih dan sepasang matanya yang sok hangat), “Kau merasa lebih baik hari ini?”
Aku menjawab, “Lumayan.”
Dokter tertawa—yang sok hangat juga dan itu sedikit mengingatkanku pada beberapa orang yang mencoba ramah kepadaku, “Apa yang kaupikirkan sekarang?”
“Ah, ya,” kataku bersemangat, “aku memikirkan laut dan ikan-ikannya.”
Dokter itu manggut-manggut—dan tersenyum sok hangat lagi. Lama-lama aku agak muak dengan senyum itu. Katakanlah ia bermaksud mau ramah seperti banyak orang lain lakukan, tapi jangan begitu memaksakan diri. Aku tidak suka dengan orang yang memaksakan diri—dan untuk ini kau juaranya. Berapa puluh tahun kau melakukannya? Seumur hidupmu? Bagaimana aku tak marah kalau kau terus begitu? Bagaimana aku menahankannya? Bagaimana aku tak akan sampai ke tempat ini?
“Kenapa dengan laut dan ikan-ikannya?” tanya dokter itu setelah berpikir-pikir.
“Ibuku sangat menyukainya,” kataku kembali membayangkan kau berdiri menghadap laut dan di depanmu ikan-ikan berlompatan. Kemudian, tiba-tiba kau menjadi bagian dari salah satu ikan-ikan itu. Kau menggoyangkan ekor indahmu. Kau bersorak. Kau bergembira. Namun, ketika rombongan ikan membumbung tinggi ke langit, kau malah bergerak turun dan kembali menjadi perempuan berwajah muram yang memandang laut tanpa ikan-ikan.
“Woah, perempuan penyuka laut.” Dokter itu kembali manggut-manggut.
“Tapi ia tidak pernah lagi pergi ke laut,” kataku masam.
“Kenapa?” tanya dokter itu dengan suara berubah serius.
Aku tertawa. Entahlah, aku hanya mau tertawa. Dokter itu menanyakan beberapa pertanyaan lagi dan kujawab ogah-ogahan dan akhirnya ia memberikan jadwal terapi.
***
Benar. Kau tak pernah lagi pergi ke laut. Aku tahu itu dari catatan di bukumu yang kubaca sembunyi-sembunyi. Aku memang ingin tahu semuanya tentangmu. Baik dengan cara menguping pembicaraanmu dengan teman-temanmu yang mengunjungi rumah kita atau catatan-catatanmu yang kausimpan rapi di balik bantal atau belakangan dari cerita-cerita kecil yang kautulis di laptop. Sebaliknya, kau tak ingin tahu apa pun tentangku—paling tidak itu yang kurasakan. Sama seperti juga aku merasa kau tidak sungguh-sungguh menganggapku ada dalam hidupmu. Itu terdengar menyakitkan. Bahkan untuk sekadar dipikirkan atau diduga-duga. Dulu, aku pernah bertanya-tanya dalam hati, “Kenapa? Kenapa?”
Jawabannya baru kuterima sepuluh tahun kemudian saat kau berkata, “Kau anak lelaki yang kuat.”
Aku menolak menjadi anak lelaki yang katamu kuat itu. Aku benar-benar ingin menolaknya. Aku pergi mengambil sebuah gunting dan melukai tanganku dan aku menjerit-jerit dan berharap kau memelukku erat dan aku bisa mendengar bunyi jantungmu berlama-lama. Namun, kau tidak melakukannya. Dari matamu aku tahu kalau kau menudingku tengah berbuat curang terhadap anak lelaki bernama M itu—yang katamu terlahir tak sempurna dan karena itu seluruh isi dadamu mesti diberikan untuknya dan kaupikir dengan cara itu kau bisa menambal ketidaksempurnaan itu, menebus semuanya. Dalam sekejap aku telah menjadi seorang penjahat dan aku mengendap-endap keluar sebelum masa pengampunanmu berakhir, sebelum kau sanggup menghukumku dengan api yang keluar dari mulutmu (begitu kau sering mengancam bila aku agak nakal atau mengecewakanmu).
Sejak itu aku tak pernah lagi mencoba menarik perhatianmu.
Sejak itu juga aku makin sering saja membayangkan kau berdiri di laut dan memandang ikan-ikan dengan berbagai kejadian aneh menyertainya—tergantung aku maunya seperti apa. Aku tidak tahu rasanya menjadi dirimu. Pasti saja sulit. Namun, kau juga tidak tahu rasanya menjadi diriku, bukan? Lalu apa lagi yang bisa kulakukan selain membiarkan diriku bersenang-senang dengan segala yang kuciptakan dalam kepalaku?
Kau berdiri menghadap laut. Ikan-ikan berlompatan di depanmu. Kau mau menjadi ikan. Serta merta kau berubah menjadi seekor ikan berekor rumbai-rumbai warna merah. Kau menggerakkan ekormu lincah. Matamu mengedip. Mulutmu terbuka lebar.
Dan aku tertawa saat melihat kau menjadi ikan itu. Ekormu, astaga, ekormu yang indah itu meliuk-liuk saat kau melompat dan menari. Aku berani bersumpah kau belum pernah secantik ini sepanjang hidupmu. Untuk itu, kali ini aku tak akan membiarkanmu kembali menjadi perempuan berwajah muram—yang dinginnya minta ampun dan menyakitkan. Aku ingin kau tetap menjadi ikan dan berbahagia selamanya, yang hatinya paling hangat, yang tawanya bermekaran.
Akan tetapi, anak lelaki bernama M itu tiba-tiba menerobos kamarku dan mulai mengoceh seperti biasa dan kau yang ikan perlahan berubah menjadi si pemuram lagi dalam kepalaku. Anak lelaki bernama M mengoceh dan mengoceh dengan kata-kata yang mungkin sudah ribuan kali ia ucapkan sepanjang hidupnya. Kau yang ikan sudah sama sekali tak berbekas. Anak lelaki bernama M mengoceh tentang nama kota yang itu-itu saja. Kau yang ikan, ada di mana? Aku mencari-carimu. Aku berdiri dan mencari-carimu di dinding. Anak lelaki bernama M menyebut nama kota itu lagi. Kau yang ikan tidak ada di dinding dan aku berlari keluar dan mencarimu di halaman dan aku telentang dan aku memandangi langit dan di sana kulihat kau  tengah menghadap ke laut dan ikan-ikan berloncatan di depanmu. Namun, anak lelaki bernama M telah berdiri menjulang di atasku dan kali ini ia menyebut nama orang yang juga terlalu sering kudengar dan itu membuatmu kembali raib dan aku benar-benar tidak tahan hingga kubanting tubuhnya dan kugigit telinganya, kutonjok mulutnya hingga berdarah dan dua giginya patah dan aku nyaris melakukan yang lebih lagi kalau kau tidak segera datang dan menyemburkan api dari mulutmu dan aku terbakar.
***
Kaulah yang mengantarku ke sini, tempat aku bertemu dokter dengan pertanyaan-pertanyaannya yang sering membosankan (tapi belakangan aku mulai menyukai potongan rambutnya dan nanti ingin kutiru bila sudah keluar dari tempat ini) dan berharap sekali kau menemaniku cukup lama biar kudengar jantungmu, kurasakan hangat kulit lenganmu pada punggungku, kucium bau rambutmu, kudalami hatimu yang selalu datar terhadapku itu. Terkadang, aku terbangun tengah malam, dan di saat-saat begitu, aku ingin sekali mendengar kau berkata, “Ceritakanlah perasaanmu kepadaku.” Maka, sudah pasti dengan senang hati aku akan mengatakan banyak hal dan kau memang tak perlu mencari tahunya sendiri sebab betapa kau tak memiliki waktu untuk itu. Hidupmu sudah demikian penuh oleh segala yang memberatimu dan tak ada seseorang yang bisa menggantikanmu. Kau tidak dapat lagi mengeluarkan dirimu sendiri dari tebalnya kulit pohon yang kau buat itu, bahkan sekadar melepaskan diri sejenak untuk berdiri menghadap laut.
“Dia benci laut,” katamu kepadaku, “Mars tak bisa melihat laut.”
Dan tentu saja kau tidak bisa pergi ke mana pun tanpa lengan anak lelaki bernama M itu—si Mars!—dalam genggaman tanganmu yang rasanya makin kecil saja dari tahun ke tahun.
***
Dokter kembali berkunjung ke kamarku. Ia bertanya “Kau punya kesukaan pada hal tertentu?”
Pertanyaan itu terdengar bodoh di telingaku. Kubilang “Aku mau tidur.”
Dokter itu tertawa—yang tetap sok hangat. Ia tidak mengerti kalau aku benar-benar mengantuk, ditambah ia yang makin membosankan. Sungguh, kalau saja kau ada di sini, kalau saja kau dapat membantuku memberitahukan kepadanya bahwa sekarang ini aku cuma ingin telentang di tempat tidur, melupakan semua sesi pengobatan, dan memilih membayangkanmu berdiri memandang laut dengan ikan-ikan berlompatan sebelum aku jatuh tidur. []

Rumah Kinoli, 2018



diposting ulang dari:



Yetti A.KA lahir di Bengkulu adalah seorang penulis Indonesia. Karyanya berupa cerpen, puisi, dan artikel banyak dimuat di surat kabar, baik media Sumatara Barat, seperti Mimbar Minang, Sumbar Mandiri, dan Padang Ekspres maupun media nasional, seperti Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Jawa Pos, Femina, Tribun Jabar, serta media online seperti Basabasi.Co.  Sejumlah cerita pendeknya telah dimuat di sejumlah buku antologi, di antaranya Bob Marley dan 11 Cerpen Pilihan Sriti (2013), Jalan Menikung ke Bukit Timah: Antologi Cerpen Temu Sastrawan Indonesia II, Bangka-Belitung, 2009 (2009), Pipa Air Mata (2008), Rahasia Bulan (2006), dan Yang Dibalut Lumut (2003). Novel terbarunya, Basirah (2018). Selain menulis, ia bekerja dan menjadi relawan di lembaga nirlaba Yayasan Jortah Indonesia, sebuah lembaga yang fokus melakukan penggalangan dana publik untuk membantu biaya pendidikan anak-anak dari keluarga tidak mampu. Saat ini, ia menetap di Kota Padang, Sumatera Barat.