DIA punya dada besar, kaki
ramping, dan mata biru. Begitulah caraku ingin mengingatnya. Aku tidak tahu
mengapa aku begitu jatuh cinta dengan dia, tapi aku benar-benar mencintainya,
dari sejak pertama, maksudku sejak hari pertama, jam pertama, semuanya
berjalan lancar; kemudian Clara kembali ke kota tempat dia tinggal, di selatan
Spanyol (dia sedang berlibur ke Barcelona), dan semuanya mulai berantakan.
|
Suatu
malam aku bermimpi bertemu seorang malaikat: Aku memasuki sebuah bar besar
yang kosong dan melihat malaikat itu duduk di pojok ruangan dengan bertopang
siku di meja dan secangkir kopi susu di depannya. Perempuan itu cinta
sejatimu, ucap sang malaikat, menatapku, lalu dengan kekuatan tatapannya, api
berkobar di matanya, melemparkanku tepat ke seberang ruangan. Aku mulai
berteriak, Pelayan, pelayan, kemudian membuka mata dan bisa terlepas dari mimpi
buruk itu. Malam lainnya aku tidak memimpikan siapa pun, tapi aku
terbangun sambil menitikkan air mata. Sementara itu, Clara dan aku saling
bersurat satu sama lain. Surat-suratnya begitu singkat. Hai, bagaimana
kabarmu, di sini sedang hujan, aku mencintaimu, dah. Pada awalnya,
surat-surat tadi membuatku khawatir. Ini semua akan berakhir, pikirku. Namun,
setelah mempelajari lebih saksama, aku mencapai kesimpulan bahwa alasan
tulisannya begitu singkat karena ia ingin menghindari kesalahan tata
bahasa. Clara berbangga. Dia tidak bisa menulis dengan baik, dan dia tidak
ingin membiarkan hal itu diketahui, bahkan jika itu berarti menyakitiku
lewat bersikap dingin.
Dia
berusia delapan belas pada saat itu. Dia keluar dari SMA dan belajar musik di
akademi swasta, juga menggambar dengan seorang pelukis lanskap yang sudah pensiun,
tapi Clara nampaknya tidak terlalu berminat dengan musik, begitupun dengan
lukisan: dia memang menyukainya, tapi tak bisa disebut bergairah dalam hal
itu. Suatu hari, aku menerima surat yang memberitahuku, seperti biasa
dalam suratnya yang singkat, bahwa ia akan mengikuti kontes
kecantikan. Tanggapanku, yang termuat dalam tiga halaman bolak-balik,
adalah puji-pujian berlebihan untuk kecantikannya yang meneduhkan, matanya yang
manis, kesempurnaan sosoknya, dll. Surat itu sebuah perayaan yang kacangan,
dan ketika aku selesai aku bertanya-tanya haruskah aku mengirimkan ini, tapi
pada akhirnya aku kirimkan juga.
Beberapa
minggu berlalu sampai aku mendengar kabar darinya. Aku bisa saja menelepon,
tapi aku tidak ingin mengganggu, dan juga pada saat itu aku sedang bokek. Clara
memenangkan peringkat kedua dalam kontes dan karenanya tertekan selama
seminggu. Anehnya, dia mengirimiku telegram, yang berbunyi, “JUARA KEDUA.
STOP. TELAH TERIMA SURATMU. STOP. DATANG DAN TEMUI AKU.”
Seminggu
kemudian, aku naik kereta menuju kota tempat dia tinggal, kereta pertama yang
berangkat hari itu. Sebelumnya, tentu saja—maksudku setelah telegram
itu—kami telah berbicara lewat telepon, dan aku telah mendengar cerita tentang
kontes kecantikan itu beberapa kali. Rupanya itu punya dampak besar bagi
Clara. Jadi aku mengemas tasku, dan secepat yang kubisa, naik kereta
api paling awal, dan pagi-pagi sekali aku sudah di sini, di kota yang begitu
asing. Aku tiba di apartemen Clara pukul sembilan tiga puluh, setelah sebelumnya
minum kopi di stasiun dan merokok beberapa batang untuk membunuh
waktu. Seorang wanita gemuk dengan rambut berantakan membuka pintu, dan
ketika aku bilang aku datang untuk bertemu Clara ia menatapku seolah-olah aku
seekor domba yang sedang dalam perjalanan menuju penyembelihan. Selama
beberapa menit (tampak sangat lama waktu itu, dan dipikir-pikir aku menyadari
kemudian bahwa sebenarnya memang benar-benar lama), aku duduk dan menunggu
Clara di ruang tamu, ruang tamu yang tampak bersahaja, meski memang, terlalu
berantakan tapi ramah dan penuh cahaya. Ketika Clara membuka pintu
masuknya, itu seperti seorang bidadari yang menampakan diri. Aku tahu itu
adalah hal yang bodoh untuk dipikirkan—juga bodoh untuk dikatakan—tapi memang
begitulah adanya.
Hari-hari
berikutnya terjadi hal-hal menyenangkan pun tidak menyenangkan. Kami menonton
banyak film, hampir seharian; kami bercinta (aku adalah orang pertama yang
tidur dengan Clara, tampak kurang penting atau anekdot memang, tetapi pada
akhirnya nanti ini sesuatu yang sangat berdampak); kami pergi jalan-jalan; aku
bertemu dengan teman-teman Clara; kami mendatangi dua pesta yang sungguh
mengerikan; dan aku membujuknya untuk pindah dan tinggal bersamaku di
Barcelona. Tentu saja, pada tahap itu aku sudah tahu apa jawabannya.
Setelah satu bulan, aku naik kereta malam kembali pulang ke Barcelona; aku
masih ingat itu adalah perjalanan yang mengerikan.
Segera
setelah itu, Clara menjelaskan dalam surat, sebuah surat terpanjang yang pernah
dia kirim buatku, tentang alasan mengapa dia tidak bisa menerima ajakanku:
Aku menempatkan dia di bawah tekanan tak tertahankan (dengan menyarankan
bahwa kita harus hidup bersama); semuanya sudah berakhir. Setelah itu,
kami berbicara tiga atau empat kali di telepon. Aku pikir aku juga
menulis surat penuh cemoohan sekaligus deklarasi cinta. Sekali waktu,
ketika aku berlibur ke Maroko, aku meneleponnya dari hotel tempat
menginapku, di Algeciras, dan saat itu kami bisa memperoleh percakapan yang
beradab. Setidaknya, dia pikir itu beradab. Atau justru aku sendiri yang
berpikir begitu.
*
BERTAHUN-TAHUN kemudian, Clara menceritakan
kepadaku tentang bagian-bagian hidupnya yang aku lewatkan tanpanya. Dan
kemudian, setahun setelah itu, dia dan beberapa temannya menceritakan kisah
hidupnya lagi, mulai dari awal, atau dari saat kita putus—karena aku cuma
seorang tokoh minor, hal itu tidak terlalu berpengaruh buat mereka, atau
kepadaku, sungguh, meskipun tidak mudah untuk mengakui begitu saja. Bisa
ditebak, tidak lama setelah akhir dari pertunangan kami (aku tahu
“pertunangan” terlalu hiperbolik, tapi itu adalah kata terbaik yang dapat
kutemukan) Clara menikah, dan pria beruntung itu, cukup logis memang, merupakan
salah satu teman yang aku temui ketika perjalanan pertamaku ke kotanya.
Tapi,
sebelum itu, Clara punya masalah psikologis: ia sering bermimpi tentang
tikus-tikus; di malam hari ia akan mendengar mereka di kamar tidurnya, dan
selama berbulan-bulan, bulan-bulan menjelang pernikahannya, dia terpaksa tidur
di sofa di ruang tamu. Aku menduga kalau tikus-tikus terkutuk itu
menghilang setelah pernikahan.
Begitulah.
Clara menikah. Dan suaminya, suami yang begitu Clara sayangi, mengejutkan semua
orang, bahkan dirinya sendiri. Setelah satu atau dua tahun, aku tidak terlalu
yakin kapan tepatnya—Clara yang menceritakannya kepadaku, tapi aku sudah
lupa—bahwa mereka bercerai. Itu bukan perceraian yang berjalan damai. Si
suami menempik, Clara pun berteriak, Clara kemudian menamparnya, dan
suaminya membalas dengan pukulan yang membuat rahang Clara terkilir. Kadang-kadang,
ketika aku sendirian dan tidak bisa tidur tapi tidak merasa perlu untuk
menyalakan lampu, aku membayangkan Clara, yang jadi juara kedua
dalam kontes kecantikan, dengan rahangnya yang gual-gail, tidak bisa
mengembalikan ke posisi normal, mengemudi sendirian ke rumah sakit terdekat
dengan satu tangan di kemudi dan tangan lainnya memegangi rahangnya.
Aku ingin merasa itu sesuatu yang lucu, tapi aku tidak bisa
membayangkannya.
Apa yang
aku pikir lucu adalah malam pernikahannya. Dia menjalani operasi wasir sehari
sebelumnya, jadi aku kira dia masih grogi sedikit. Atau mungkin tidak. Aku
tidak pernah bertanya apakah dia bisa bercinta dengan suaminya. Aku pikir
mereka telah melakukannya sebelum operasi. Lagi pula, apa bedanya? Semua
rincian ini bercerita lebih banyak tentangku bukan soal
yang mereka lakukan tentang Clara.
Dalam
beberapa hal, Clara bercerai dengan suaminya satu atau dua tahun setelah
pernikahan, kemudian melanjutkan kembali studinya. Dia tidak bisa
meneruskan ke jenjang universitas karena dia tidak lulus SMA, tapi dia
mencoba segala sesuatu yang lain: fotografi, melukis lagi (aku tidak tahu
kenapa, tapi dia selalu berpikir dia bisa menjadi seorang pelukis yang hebat),
bermusik, mengetik , IT, semua kursus program diploma satu tahun yang
konon ditujukan menciptakan peluang kerja bagi orang-orang muda yang putus
asa. Dan meskipun Clara sangat senang telah melarikan diri dari suami yang
memukulnya itu, dalam hati dia masih putus asa.
Tikus-tikus
itu datang lagi, bersama depresi, dan juga penyakit misterius. Selama dua atau
tiga tahun ia dirawat karena maag, sampai dokter akhirnya menyadari bahwa
tidak ada yang salah, setidaknya bukan dalam perutnya. Sekitar waktu itu
dia bertemu Luis, seorang eksekutif; mereka menjadi kekasih, dan ia membujuk
Clara untuk belajar sesuatu yang berhubungan dengan administrasi
bisnis. Menurut teman-teman Clara, ia akhirnya menemukan cinta sejatinya.
Tak berselang lama, mereka hidup bersama; Clara mendapat pekerjaan
kantoran, di sebuah perusahaan resmi atau semacam agensi—pekerjaan yang
menyenangkan, sebut Clara, tanpa ada kesan ironi—dan hidupnya tampak berada
dalam jalur, jalur yang benar kali ini. Luis adalah seorang pria perasa
(dia tidak pernah memukul Clara), dan berbudaya (dia, aku percaya, adalah satu
dari dua juta orang Spanyol yang membeli lengkap karya-karya Mozart), dan juga
penyabar (dia mendengarkan, ia mendengarkan Clara setiap malamnya juga
pada akhir pekan). Clara tidak banyak bicara untuk dirinya sendiri, tapi
dia tidak pernah bosan mengatakan itu. Dia tidak mencemaskan kontes kecantikan
lagi, meskipun dia mengungkitnya dari waktu ke waktu; sekarang itu semua
soal periode depresinya, ketidakstabilan mentalnya, beragam gambar yang
ingin dia lukis tapi tidak bisa.
Aku tidak
tahu mengapa mereka tidak memiliki anak; mungkin mereka tidak punya waktu,
meskipun, menurut Clara, Luis sangat tergila-gila pada anak-anak.
Clara menggunakan waktunya untuk belajar, dan mendengarkan musik (Mozart
pada awalnya, kemudian komposer lain), dan memotret, yang dia tidak pernah
tunjukkan pada siapa pun. Dengan jalannya yang masih kabur dan tidak
berguna ini, dia mencoba membela kebebasannya, mencoba belajar.
Pada
usia tiga puluh satu, dia tidur dengan seorang pria rekan sekantornya. Itu hanya hal biasa, bukan perkara besar,
setidaknya untuk mereka berdua, tapi Clara membuat
kesalahan dengan menceritakan ini pada Luis. Tercipta pertengkaran mengerikan. Luis menghancurkan
kursi atau lukisan yang dibelinya, mabuk, dan
tidak berbicara dengannya selama
satu bulan. Menurut Clara,
sejak hari itu tidak lagi sama, terlepas sudah ada
semacam rekonsiliasi, terlepas dari jalan-jalan mereka ke kota di sisi pantai, perjalanan yang agak sedih dan membosankan, pada
akhirnya.
Waktu berlalu sampai Clara berusia tiga puluh
dua, kehidupan seks hampir tidak
ada. Sesaat sebelum Clara
beranjak tiga puluh tiga, Luis
mengatakan bahwa ia mencintainya,
ia menghormati Clara, dia tidak akan pernah melupakannya, tapi dalam beberapa bulan Luis telah terpincut seseorang dari tempat kerjanya, seorang wanita baik dan pengertian, yang telah bercerai dan memiliki anak, dan Luis
berencana untuk pergi dan tinggal bersamanya.
Sekilas,
nampak Clara berpisah dengan cara cukup
baik (itu pertama kalinya seseorang telah meninggalkannya). Tapi beberapa bulan kemudian ia terjerumus dalam
depresi lagi dan harus mengambil
cuti kerja dan menjalani
perawatan kejiwaan, yang tidak
membantu banyak. Pil yang Clara terima menghambat seksualnya, meskipun
dia membuat beberapa upaya
yang disengaja tapi tidak memuaskan untuk tidur dengan laki-laki lain, termasuk
denganku. Dia mulai berbicara
tentang tikus lagi;
tikus-tikus itu tidak mau meninggalkannya
sendirian. Ketika dia gugup dia terus-menerus
akan pergi ke kamar mandi. (Malam pertama kami tidur bersama, dia terbangun untuk pipis sepanjang sepuluh kali.) Dia berbicara tentang dirinya dalam
sudut pandang orang ketiga. Bahkan,
dia pernah mengatakan kepadaku bahwa
ada tiga Clara dalam jiwanya:
seorang gadis kecil, seorang nenek
sangat tua yang diperbudak keluarganya,
dan seorang perempuan muda, Clara yang sesungguhnya, yang ingin kabur dari kota
itu selamanya, yang ingin melukis, dan memotret,
dan berkelana, dan hidup bebas. Selama beberapa hari pertama
setelah kami kembali bersama-sama,
aku mengkhawatirkan dirinya. Kadang-kadang
aku bahkan tidak akan pergi berbelanja karena aku takut datang kembali dan
menemukan dirinya sudah mati, tetapi
sejurus dengan hari-hari yang berlalu ketakutanku
berangsur-angsur memudar, dan aku menyadari (atau
mungkin meyakinkan diri) bahwa Clara tidak akan bertindak
nekat; ia tidak akan menjatuhkan dirinya dari balkon apartemennya—ia tidak akan
melakukan apa-apa.
Segera setelah
itu, aku meninggalkan
dia, tapi kali ini aku memutuskan untuk meneleponnya sesering mungkin dan tetap menjalin komunikasi
dengan salah satu temannya, yang
bisa menampalku (jika bisa untuk sekarang dan kemudian). Begitulah caraku
untuk mengetahui beberapa hal yang
sebetulnya lebih baik tak perlu kuketahui, cerita-cerita yang tidak akan
mengganggu ketenangan pikiranku, jenis berita yang
egoistis sebisa mungkin harus
dihindari.
Clara kembali bekerja (obat baru yang ia peroleh telah melakukan keajaiban bagi penampilannya), dan, tak lama kemudian, manajemen, mungkin sebagai bayaran atas cutinya
yang kelamaan, memindahkannya ke kantor cabang di kota Andalusia
lain, meski memang tidak terlalu jauh. Dia pindah, mulai pergi ke pusat kebugaran (di usia tiga puluh
empat ia tidak lagi secantik yang kutahu saat aku berumur tujuh belas), dan
berkenalan dengan teman-teman baru. Begitulah cara dia bertemu Paco, yang
bercerai, sama seperti Clara.
Tak
berselang lama,
mereka menikah. Pada awalnya, Paco akan memberitahu
siapa pun yang bersedia mendengarkan tentang apa yang
dia pikir dari foto-foto dan
lukisan Clara. Dan Clara berpikir bahwa Paco
seorang yang cerdas dan memiliki selera bagus. Seiring
waktu, bagaimanapun, Paco kehilangan
minat dalam upaya estetika
Clara dan ingin
memiliki anak. Clara berusia tiga puluh lima dan pada awalnya dia
tidak tertarik pada ide itu, tapi dia menyerah, dan
mereka pun punya seorang anak. Menurut Clara, anak itu
memuaskan semua kerinduannya—inilah
istilah yang dia pakai. Menurut
teman-temannya, Clara malah
makin memburuk, apa pun itu artinya.
Pada satu
kesempatan, sebenarnya tidak relevan untuk cerita ini, aku
harus menghabiskan malam di kota
tempat tinggal Clara. Aku meneleponnya dari hotelku, mengatakan di mana
aku berada, dan mengatur pertemuan untuk hari berikutnya. Sebetulnya aku lebih
suka jika bisa bertemu langsung malam itu, tapi setelah pertemuan kami
sebelumnya Clara menganggapku,
dan mungkin dengan alasan yang baik, sebagai semacam musuh, jadi aku tidak
terlalu berkeras diri.
Dia hampir tak bisa dikenali. Dia bertambah gemuk, dan
meski memakai riasan, wajahnya
tampak usang, digerus waktu karena frustrasi, yang sungguh mengejutkanku, karena aku tidak pernah benar-benar berpikir bahwa Clara bercita-cita untuk menjadi apa-apa. Dan jika Anda
tidak bercita-cita untuk apa-apa,
bagaimana Anda akan frustrasi? Senyumnya juga
mengalami perubahan. Sebelum-sebelumnya,
senyumnya begitu hangat dan sedikit
bodoh, senyum seorang
perempuan muda dari kota
pinggiran, tetapi sekarang
menjadi kasar, senyum penuh luka,
dan sangat mudah untuk dibaca bahwa ada semacam aroma kebencian,
kemarahan, dan iri hati di dalamnya. Kami saling
mencium pipi seperti sepasang
idiot dan kemudian duduk; untuk beberapa saat kami tidak tahu harus berkata apa. Aku adalah orang yang pertama memecah sunyi. Aku bertanya tentang anaknya; dia bilang
anaknya sedang berada di penitipan,
dan kemudian menanyaiku tentang anakku
sendiri. Dia baik-baik saja, kataku. Kami berdua menyadari bahwa, kecuali kalau
kita melakukan sesuatu, pertemuan itu akan menjadi sedih tak tertahankan.
Bagaimana penampilanku? Tanya Clara. Seolah-olah dia sedang memintaku untuk
menamparnya. Sama seperti sebelumnya, aku menjawab secara spontan. Aku ingat
kami memesan kopi, kemudian pergi jalan-jalan di sepanjang sebuah jalan
berjajar dengan pohon-pohon yang dipangkas sama tinggi, yang mengarah langsung
ke stasiun. Keretaku hendak pergi.
Kami mengucapkan selamat tinggal di
pintu stasiun, dan itu terakhir kalinya aku melihatnya.
Bagaimanapun,
kami berbicara lewat
telepon sebelum dia meninggal. Aku
pastikan untuk meneleponnya setiap
tiga atau empat bulan sekali.
Aku telah belajar dari pengalaman untuk tidak menyentuh hal-hal pribadi atau intim
(seperti jangan mengungkit klub olahraga
ketika mengobrol dengan
orang asing di sebuah bar)
jadi kami berbicara tentang keluarganya, yang pada percakapan
tetap terkesan abstrak layaknya puisi Kubisme,
atau tentang sekolah putranya, atau pekerjaannya; Clara
masih di kantor yang sama,
dan selama bertahun-tahun dia harus mengenal rekan-rekannya dan kehidupan mereka, dan semua masalah eksekutif—beragam rahasia itu
memberinya semacam kesenangan intens dan mungkin berlebihan. Pada satu kesempatan, aku mencoba
membujuknya untuk menceritakan sesuatu
tentang suaminya, tapi dia
bungkam pada saat itu. Kau pantas mendapatkan yang lebih baik,
aku bilang. Itu aneh, Clara menjawab. Apa yang aneh? Tanyaku. Ini
aneh karena kau yang justru mengatakan itu—kau, dari sekian orang, katanya. Aku
segera mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan, mengaku kalau aku kehabisan
uang receh (aku tidak pernah punya telepon sendiri, dan tidak akan pernah—aku
selalu menelepon dari telepon umum), buru-buru mengatakan selamat tinggal, dan
menutup telepon. Aku menyadari bahwa aku tidak sanggup beradu
argumen dengan Clara; Aku tidak tahan mendengarkan dia yang terus
menciptakan pembenaran tak berujungnya.
*
SATU malam belum lama berselang,
dia bilang dia menderita kanker. Suaranya sedingin sebelumnya, suara
yang dia selalu pakai untuk menceritakan hidupnya dengan detasemen
pendongeng yang buruk, menempatkan semua tanda seru di tempat yang salah, dan
melewati apa yang seharusnya diceritakan, bagian-bagian di mana dia justru
memotongnya untuk mempersingkat. Aku ingat bertanya padanya apakah dia
sudah memeriksakan ke dokter, atau itu hanya di mendiagnosis sendiri kankernya
(atau dengan bantuan Paco). Tentu sudah, katanya. Di ujung
percakapan aku mendengar semacam suara parau. Dia tertawa. Kami berbicara
singkat tentang anak-anak kami, maka (dia pasti merasa kesepian atau bosan) dia
memintaku untuk menceritakan tentang kehidupanku. Aku mereka-reka
saja, dan berkata aku akan menelepon kembali minggu berikutnya. Malam itu
tidurku sungguh buruk. Aku mengalami mimpi buruk yang silih berganti, dan
terbangun tiba-tiba, berteriak, meyakinkan diri kalau Clara telah berbohong
kepadaku: ia tidak menderita kanker; sesuatu menimpanya, sudah pasti,
segala yang telah terjadi selama dua puluh tahun terakhir, semua penuh
omong kosong dan senyuman, yang pasti dia tidak mengidap
kanker. Itu pukul lima pagi. Aku bangkit dan berjalan ke Paseo Marítimo,
dengan angin mengikut di belakangku, sesuatu yang aneh, karena angin bertiup
biasanya berasal dari laut, dan hampir tidak pernah dari arah yang
sebaliknya. Aku tidak berhenti sampai aku sampai ke bilik telepon di
samping salah satu kafe terbesar di Paseo. Teras masih kosong, kursi dirantai
ke meja. Tak begitu jauh, tepat menghadap laut, seorang
gelandangan tidur di bangku, dengan lutut ditarik ke atas, dan
terus-terusan ia bergidik, seolah-olah sedang mengalami mimpi buruk.
Buku
alamatku hanya berisi satu nomor lain yang sekota dengan Clara. Aku
meneleponnya. Setelah jeda yang lama, terdengar suara seorang wanita.
Aku mengatakan siapa diriku, tapi tiba-tiba mendapati diriku tidak
bisa mengatakan apa-apa lagi. Aku pikir dia menutup telepon, tapi aku
mendengar suara klik pemantik dan rokok yang ditempelkan
ke bibir. Apa kamu masih tersambung? tanya wanita itu. Ya,
jawabku. Apakah kau sudah bicara dengan Clara? Ya, jawabku. Apakah
dia memberitahumu kalau dia menderita kanker? Ya, jawabku lagi. Nah, itu memang
benar.
Tahun-tahun
sejak aku bertemu Clara tiba-tiba terasa runtuh, kehidupan yang telah
kujalani, meski sebagian besar tidak ada hubungannya dengan dia. Aku tidak
tahu apa lagi yang dikatakan perempuan itu di ujung sana, serasa ratusan
mil jauhnya; Aku pikir aku mulai menangis meskipun aku seorang
sendiri, seperti dalam puisi karya Rubén Darío. Aku meraba-raba sakuku
mencari rokok, sambil mendengarkan fragmen cerita: dokter, operasi, mastektomi,
diskusi, sudut pandang yang berbeda, musyawarah, segala hal dari Clara yang aku
tidak bisa tahu atau singgung atau bantu, tidak sekarang. Si Clara yang
tidak akan pernah menyelamatkanku sekarang.
Ketika
aku menutup telepon, gelandangan itu berdiri sekitar lima kaki
dariku. Aku tidak mendengar dia mendekat. Dia sangat tinggi, dengan
pakaian yang terlalu hangat untuk musim ini, dan ia menatapku, seolah-olah dia
punya penglihatan buruk, atau khawatir aku mungkin membuat langkah yang
tiba-tiba. Aku sangat sedih sampai aku tak merasa takut, meskipun setelah
itu, saat berjalan kembali melalui jalan memutar dari pusat kota, aku menyadari
bahwa, melihat gelandangan itu, aku melupakan Clara untuk sesaat, untuk pertama
kalinya, dan hanya yang pertama.
Kami
berbicara di telepon cukup sering setelah itu. Beberapa minggu aku meneleponnya
dua kali sehari. Percakapan kami yang singkat dan bodoh, dan tidak ada cara
untuk mengatakan apa yang benar-benar ingin aku katakan, jadi aku
berbicara tentang apa pun, hal pertama yang hinggap di kepalaku, beberapa omong
kosong yang kuharap akan membuatnya tersenyum. Sekali waktu, aku begitu
sentimental dan mencoba untuk menumpahkan segalanya, tapi Clara mengenakan baju
besi es, dan aku segera sadar dan menyerah pada nostalgia. Semakin
mendekati tanggal operasi, aku menelepon lebih sering. Sekali waktu, aku
berbicara dengan anaknya. Lain waktu dengan Paco. Mereka berdua tampak
baik-baik saja, mereka terdengar baik-baik saja, setidaknya tidak gugup
sepertiku. Meskipun bisa saja aku salah tentang hal itu. Faktanya, memang
salah. Semua orang mengkhawatirku, ungkap Clara suatu sore. Aku pikir
maksudnya adalah suami dan anaknya, tapi “semua orang” mencakup lebih banyak
orang, lebih dari yang bisa kubayangkan, semua orang. Sehari sebelum dia pergi
ke rumah sakit, aku meneleponnya di sore hari. Paco yang mengangkat. Clara
tidak ada. Tidak ada yang melihatnya atau mendengarnya dalam dua hari ini. Dari
nada Paco aku bisa merasakan bahwa ia menduga bahwa Clara mungkin sedang
bersamaku. Aku meluruskan, Dia tidak di sini, tapi malam itu aku berharap
dengan segenap hatiku bahwa Clara akan datang ke apartemenku. Aku
menunggunya dengan lampu menyala, dan akhirnya tertidur di sofa, kemudian
memimpikan sesosok perempuan yang sangat cantik, bukan Clara: seorang perempuan
tinggi ramping, dengan payudara kecil, kaki panjang, dan mata cokelat tua, yang
bukan dan tidak akan pernah menjadi Clara, seorang perempuan yang
kehadirannya melenyapkan Clara, mereduksinya menjadi wanita empat puluhan tahun
yang gemetaran, miskin, dan penuh kekalahan.
Dia tidak
datang ke apartemenku.
Hari
berikutnya aku menelepon Paco. Dan dua hari setelah itu aku menelepon lagi.
Masih belum ada tanda-tanda Clara. Ketiga kalinya aku menelepon Paco, ia
berbicara tentang anaknya dan mengeluh tentang perilaku Clara tersebut. Setiap
malam aku ingin tahu di mana Clara, katanya. Dari suaranya dan percakapan
yang ia sampaikan, aku bisa menarik kesimpulan bahwa ia membutuhkan diriku,
atau seseorang, siapa pun itu, untuk menjalin sebuah persahabatan. Tapi
aku tidak dalam kondisi untuk menghadiahinya dengan semacam penghiburan itu.
--------
Cerpen Roberto Bolano ini dialihbahasakan
dari Bahasa Spanyol oleh Chris Andrews, dan terbit di The New
Yorker edisi 4 Agustus 2008.
Roberto Bolaño menghabiskan usia mudanya hidup sebagai
gelandangan, berpindah-pindah dari Cile, Meksiko, El Salvador, Perancis, dan
Spanyol. Bolano pindah ke Eropa pada tahun 1977, dan akhirnya sampai ke
Spanyol, yang kemudian ia menikah dan menetap di pantai Mediterania dekat Barcelona,
bekerja sebagai pencuci piring, penjaga tempat perkemahan, pesuruh dan
pengumpul sampah—yang bekerja pada siang hari dan menulis di malam hari.
Sumber: