karya Almin Patta *)
Ilustrasi - Copyright by www.bukuprogresif.com |
Malam ketika
Arika membunuh Kopral Heri, lelaki yang selama berbulan-bulan menjadikannya
simpanan, bayi mungilnya yang konon lahir dari seorang veteran tentara Prancis,
menangis histeris menanti puting susu yang tak kunjung dikulumnya sejak sore.
Disampingnya tergeletak tanpa nyawa Kopral Heri dengan pakaian tentara lengkap
beserta pangkat serta wing bertaburan menghiasi kain seragam. Arika telah
menjalani ini – perempuan penghibur – sejak perjumpaannya dengan Clement
Mallouda setahun lampau dan kini memberinya seorang bocah laki-laki yang
permunculannya lebih banyak Prancis daripada melayu bernama; Griezman. Hingga
datang Kopral Heri sebagai lelaki simpanan penghabisan yang sekaligus
membawanya bercokol didalam penjara.
Arika terlahir
dari keluarga terpandang dan sangat dihormati di sebuah kampung pesisir utara
Ambon. Dibesarkan didalam sebuah keluarga makmur, sentosa sekaligus terpandang.
Di sana ia tumbuh sebagai bocah periang, lincah, manis dan tak tersentuh oleh
tangan-tangan cacingan bocah-bocah kampung sebayanya, sebab ia selalu
dilindungi oleh keluarga bangsawan kecil yang tak pernah memukul dan selalu memperlakukan
anak-anak mereka secara layak. Ibunya anak tertua raja negeri yang hanya sudi
menikah dengan seorang pegawai pemerintah atau paling kurang juragan tanah.
Sayang, garis tangan hanya menuntunnya pada laki-laki pedagang keturunan bugis
yang melamarnya dengan mahar seperangkat alat sholat beserta emas lima belas
gram dan cukup untuk menjadikan laki-laki itu menantu kesayangan keluarga raja.
Arika kecil,
menjalani hari-harinya dengan bahagia dikampung dan menjadi kesayangan bagi
orang-orang gila hormat yang mencari-cari muka kepada keluarga raja sebagai
pembantu tanpa bayaran. Cukuplah diberi lauk alakadarnya saja, sekali dua, atau
bahkan tidak samasekali. Sejak SMA Arika tak sedikitpun menampakkan
kecenderungan sebagai perempuan pemuja kenikmatan badani sebagaimana
gadis-gadis seusianya. Ia gadis sopan dalam tingkah dan tutur bahasa.
Sayangnya, selepas menjadi mahasiswa disebuah universitas di kota, Arika
menjelma sebagai gadis modis dan gonta-ganti membawa teman lelakinya
keluar-masuk kampung. Bagi lelaki-lelaki universitas, Arika termasuk perempuan
yang gampang diajak jalan-jalan. Asalkan punya motor, vespa buntutpun tak
mengapa, siapa saja bisa membawa dara itu kemana saja hingga berhari-hari tak
pulang rumah. Dia pernah menjalin cinta dengan lelaki kampung yang disukainya
lebih karena ketampanan laki-laki itu. Tapi sayang, perjaka itu tak terlalu
kota hingga membuat Arika mencampakkannya dan pergi bersama laki-laki lain yang
lebih kota. Sejak saat itupula, sebagaimana yang diyakini semua orang, Arika
telah hilang kegadisannya hingga akhirnya pulang menggendong bayi merah tanpa
sepotongpun gelar sarjana.
Dalam sebuah event
internasional yang dihelat dikota, Arika terpilih sebagai salah seorang guide
turis dikarenakan selain memiliki roman yang manis, ketrampilan bahasa
Inggrisnya lumayan bisa. Disitulah awal perjumpaannya dengan Clement, seorang
veteran tentara Prancis berumur sekira empat puluhan tahun. Arika yang
keranjingan dibumbui rasa penasaran bersetubuh dengan lelaki dari bangsa asing,
dibuat tak berdaya dengan kegagahan si bule. Maka hanya dengan dua kali beradu
keperkasaan diatas tempat tidur, benih haram telah tertanam di liang rahim
Arika yang kemudian tumpah kedunia dalam wujud seorang bocah blasteran bernama
Griezman. Clement hengkang seiring berakhirnya event megah itu. Pulang ke
Perancis meninggalkan cinderamata seorang jabang bayi yang kini bercokol
didalam perut muda Arika.
Anak itu
kemudian lahir, hendak diberi nama Yusuf oleh kakeknya yang raja, tapi Arika
berkeras tetap menamainya Griezman sebab itulah yang dipesankan Clement kala
malam disela-sela persekutuan mereka sebagai binatang purba yang saling
menggulung di tempat tidur. Tak habis pikir memang, bagaimana bisa Arika masih
berlapang hati menjaga wasiat laki-laki kapiran yang pergi begitu saja setelah
puas menjamahi lekuk tubuh mudanya yang membuncah menghasut berahi. Ajaibnya
cinta, ia tak merasa malu barang sedikitpun dengan aib sebesar itu. Justru
memamerkan perut buncitnya yang berisi bayi kepada seisi kampung dan sumringah mengisahkan
itu pada teman-teman sebaya semasa sekolah dulu.
Semenjak
kejadian itu, Arika berubah menjadi perempuan panggilan seutuhnya. Hingga ia
singgah di kehidupan Kopral Heri dan berlabuh di sana sepanjang waktu yang
berbulan lamanya.
Pertemuannya
dengan kopral Heri terjadi disebuah malam resepsi pernikahan salah seorang
sepupu dekatnya. Arika yang mengenakan gaun satin merah marun, nampak
begitu anggun tanpa tandingan di pesta kawinan itu. Kopral Heri hadir sebagai
tamu dari pihak mempelai laki-laki yang juga seorang perwira tentara. Hati sang
kopral tergugah, kepincut oleh kecantikan tiada tara yang dipancarkan raut
bulat telur Arika, dengan ikat konde tinggi mempertontonkan leher jenjang
pemiliknya, dan berberapa helai rambut tergerai jatuh sekenanya menghiasi kulit
leher yang putih berseri-seri. Dan itu semua cukup untuk membuat kopral Heri
tak sadar diri jika anak-bininya sedang menanti penuh cinta dirumah dinas.
Si kopral yang
bahkan telah mendengar desas-desus jika wanita bergaun satin itu adalah janda
dengan kata tambahan “dia bisa dipakai”, tak risih barang sedikitpun. Dia hanya
ingin menikmati tubuh anggun itu saja. Tak lebih.
Kopral Heri
beruntung, Arika tak menunjukkan gelagat angkuh semestinya perempuan cantik. Ia
ramah, ramah sekali. Barangkali sisa-sisa pengajaran adab tata krama masa kecil
masih ia simpan rapat-rapat dalam pola tingkahnya. Pun barangkali begitulah
tabiat perempuan seperti Arika yang biasa bermanis-manis pada laki-laki.
“Sendiri saja?”
tanya Kopral Heri basa-basi.
“Iya pak. Sendiri
saja”
“Gaunnya indah”
Si Kopral mulai merayu.
Arika senyum.
“Seindah
pemiliknya” sambung Pak Kopral.
Rona Arika
menjelma ranum. Persis kuncup bunga. Beruntung ia cepat menguasai diri. Biarpun
sudah puluhan kali dirayu macam begini tetap saja ia rasai gejolak darahnya
bergemuruh.
Begitulah
perkenalan itu berlangsung lalu keduanya melesat bersama mobil kijang kopral
Heri menuju penginapan kelas melati di pinggiran kota.
Bulan setengah
gerhana ditelan gumpalan awan hitam. Semilir angin darat yang tengah dalam
pengembaraan menuju tepian laut membelai lembut kulit ari Arika yang putih
mulus serupa pati sagu, menegakkan bulu roma. Keduanya lalu berbarengan turun
dari mobil. Setelah melapor dan memesan kamar pada Mba resepsionist yang
bermata panda sebab saban hari begadang hingga malam jatuh, keduanya kemudian
menapaki anak tangga, memasuki lorong sempit dengan jejeran pintu yang
berhadap-hadapan. Pasangan itu lalu menghilang dibalik pintu bernomor 021.
***
“Kamu cantik Arika, saya tak bisa melupakan kamu”. Begitulah kalimat pertama
yang meluncur dari mulut kopral Heri di pagi setengah basah seusai hujan
mengguyur di sepertiga malam.
Arika sekali
lagi tersenyum. Kali ini aura perempuannya kelihatan lebih hidup. Rautnya polos
sebab air kran membuat seluruh polesan makeup pada mukanya luruh tak
tersisa.
“Saya mau kamu
hanya untuk saya saja, Arika. Sudihkah?” nada si kopral setengah memohon.
Arika tertegun.
Ia tak tahu harus menjawab apa? Ia samasekali tak terbiasa dengan gagasan
kepemilikan penuh atas dirinya. Selama ini ia bercinta dengan siapa saja
sekehendak hatinya. Lalu;
“Saya punya
seorang anak yang harus diberi makan pak. Kalau bapak menginginkan saya untuk
bapak sendiri, lantas bagaimana nasib anak saya. Selama ini saya melayani
karena
saya perlu uang
untuk hidup kami berdua.” tutur Arika panjang lebar. Dia tak terbiasa bicara
banyak, tapi pagi ini situasinya lain.
“Saya bisa
menanggung biaya hidup kamu dan anakmu, manis.” Sanggah kopral Heri
segera. “Gaji saya lumayan, usaha saya banyak, dan saya langganan jadi panitia
penerimaan prajurit baru. Tak tanggung-tanggung, posisi saya selalu ketua
panitia dan itu memungkinkan saya banyak menerima cekeran dari situ.”
Kopral Heri terdiam, pandangnya dibuang keluar jendela. Sinar matanya ragu,
gerak tubuhnya tak tentu. Ia gugup. Kopral Heri gugup dihadapan seorang
perempuan panggilan.
“Ahh. Harusnya
tak kukatakan hal itu padamu. Tapi, persetan semua itu.!”.
Keduanya
terdiam.
“Bagaimana
dengan anak-bini bapak?” tanya Arika seketika.
Bibir sang
kopral melebar cekung, kumisnya yang tipis ikut tertarik oleh otot pipinya yang
kini ikutan melebar. Pertanyaan Arika barusan memberi sedikit celah untuk
memiliki perempuan ini seutuhnya.
Kopral Heri
menghela nafas panjang, didekatinya tubuh Arika lalu membelai lembut rambut
kekasihnya yang panjang bergelombang.
“Jangan
pikirkan tentang itu, manisku.” bisik si kopral pelan pada telinga Arika yang
kiri. Hembusan nafasnya terasa hangat dikulit leher Arika yang jenjang, “si
Jena itu, perempuan bodoh itu, matanya tak akan melihat apa-apa lagi jika tiap
bulan sudah saya sodori jutaan rupiah”
“Lalu bagaimana
dengan anak-anak bapak?” Arika.
“Alaahh. Dua
orang anak saya masih kecil. Tahu apa mereka soal beginian”.
Jawaban itu
untuk sementara membuat Arika agak tenang. Dan kopral Heri membaca itu sebagai
pertanda baik. Muka Arika didekapkan kedadanya yang bidang hingga setengah
tubuh perempuan itu nyaris tenggelam di sana. Detik berubah menit, lama Arika
menikmati rasa nyaman itu. Begitu mukanya ditengadahkan ke muka kopral Heri,
seketika ia rasai lekuk bibirnya kembali basah.
Griezman,
hampir genap delapan bulan kala itu, nampak gempal kelebihan nutrisi daripada
bocah-bocah lain. Bola matanya biru, namun kulitnya kuning langsat mendekati
coklat sama seperti si ibu. Rambutnya belum tumbuh betul, namun agak-agaknya
akan pirang sebagaimana sang ayah, Clement Mallouda, pria Perancis itu.
Selepas beduk
magrib bergema dari langgar, Arika buru-buru menutup pintu rumah kontrakannya
takut angin jahat akan masuk dan mengerjai si anak sampai tak enak badan. Dua
bulan telah berlalu sejak pertemuannya dengan kopral Heri. Sering perwira itu
datang berkunjung ke kontrakannya dan menginap hingga sehari dua di sana.
Arika kembali
lalu duduk di sofa berhadap-hadapan dengan si bayi yang tengah pulas didalam
keranjang rotan yang baru dibelinya beberapa hari lalu. Ia menatap Griezman,
bocah itu belum diberi asi sejak tadi sebelum tidur. Arika bangkit dari sofa
menuju dapur menimbah seporsi nasi lengkap dengan sayur katok yang dimasak
santan. Kata ibunya, sayur katok baik untuk perempuan menyusui karena
melancarkan asi.
Tak selang
berapa lama, terdengar deru mesin motor dari luar rumah berhenti tepat didepan
kontrakan. Menyusul ketokan berkali-kali pada pintu. Suasana yang sedari tadi
senyap jadi bising. Hilang selera makan Arika. Untung, Griezmann tetap terjaga
dalam tidur damainya.
“Arika! Arika,
buka pintu. Arika, buka!” Arika kenal suara itu: Kopral Heri.
“Iya iya,
sabarr…” tangan Arika meraih gagang pintu, kunci diputar dua kali kearah kiri,
dan seketika kopral Heri mendobrak pintu sampai perempuan manis itu jatuh
terpental diatas lantai. Pelipisnya terbentur ujung meja kayu jati, dan
menciptakan luka gores sekira tiga senti.
“Dasar
perempuan jalang. Kau laporkan apa pada istri saya, hah?” tanya kopral Heri
lalu menjambak rambut Arika dan tangannya menghunjam pipi kirinya dan perempuan
itu sekali lagi terjerambab ke lantai.
“Perempuan
sundal, gara-gara kau saya dipecat dengan tidak terhormat.” kata si kopral
gelagapan. Kaki kanannya menuju muka Arika, spontan Arika melindunginya dengan
tangan dan ‘krakk’, tulang kering Arika seperti hendak terlepas dari
persendian. Patah.
Arika
meliuk-liuk diatas lantai menahan kesakitan. Nafasnya megap-megap, tangan
kirinya yang patah terkulai lemah dekat kaki meja, sedang matanya merah jingga
sembab. Ingatannya menangkap bayang-bayang ketika ia bersama Griezzman dua hari
lalu, nekat menemui istri kopral Heri dan melaporkan semua tentang hubungan
haram itu.
Jena, istri
kopral Heri tak kuasa menahan rasa terkejut mengetahui suaminya yang selama
tiga puluh tahun menikahinya dan sebagaimana ia yakini, tak menunjukkan rasa
keranjingan berlebih pada perempuan manapun selain Jena seorang, selama ini
mempunyai seorang simpanan yang jujur memang lebih cantik dari Jena sendiri.
“Sekarang saya
sedang mengandung anak dari suami ibu.” tutur Arika kemudian.
Jena menatap
tajam mata Arika dengan segala amarah yang meluap-luap. Rasa panas
perlahan-lahan mencuat dari dada, menjalar kemata, lalu naik hingga ubun-ubun.
Amarahnya tengah memuncak dan segera akan tumpah melabrak perempuan sundal
didepannya ini. Hingga sepersekian detik berlalu, ketika ia rasai
syaraf-syarafnya semakin tegang dan barangkali akan pecah, lututnya tiba-tiba
dielus oleh sepasang tangan mungil dengan jemari kecil-kecil yang nampak merah
jambu menggemaskan. Griezmann telah ada di sana, berdiri disamping Jena, dengan
tingkah polos anak-anaknya berusaha meredakan tangis Jena. Arika menggapai
tangan Griezmann tapi sang anak justru menampik ajakan si ibu. Sepasang mata
birunya kini mengarah pada mata Jena yang telah sembab basah. Lalu keduanya
saling bertatapan. Parahnya, tangisan Jena malah semakin kencang, hingga
akhirnya perempuan itu berbalik badan dan masuk membanting pintu meninggalkan
Arika dan Griezmann yang diam serupa patung.
Begitulah kala
akhirnya Arika membunuh kopral Heri dengan sekali tarikan pelatuk yang
dirampasnya dari saku tempel si kopral hingga dada perwira itu koyak tak ada
bentuk.
Ambon, 12
Januari 2018
__________________________
Almin Patta, penulis lahir
di Desa Wakal, Kecamatan Lihitu
Kabupaten Maluku Tengah.
Kabupaten Maluku Tengah.
Sumber: