oleh Udji Kayang *)
Fakta selalu menjadi alasan bagus bagi setiap tindakan. Namun, sering
kali, fiksi punya daya gerak lebih kuat. Fiksi adalah produk revolusi kognitif
manusia. “Ciri yang benar-benar khas dalam bahasa kita bukanlah kemampuannya
menyampaikan informasi mengenai manusia dan singa, melainkan kemampuannya
menyampaikan informasi mengenai hal-hal yang sama sekali tidak ada. Sejauh yang
kita tahu, hanya Sapiens yang bisa membicarakan tentang segala macam entitas
yang tidak pernah mereka lihat, sentuh, atau cium baunya,” tulis Yuval Noah
Harari dalam Sapiens (2017). Manusia bisa melakukan sesuatu,
menentang sesuatu, bahkan membayangkan identitas bersama atas dasar fiksi.
Jose Saramago menerbitkan novela berjudul O Conto da Ilha
Desconhesida pada 1998—tahun ia menerima Hadiah Nobel Sastra. Edisi
bahasa Spanyol novela itu lantas diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ronny
Agustinus dan diterbitkan Circa dengan judulDongeng Pulau Tak Dikenal (2019).
Dengan paragraf-paragraf panjang dan dialog tanpa tanda petik, Saramago
menyajikan pada pembaca sebuah kisah petualangan—jenis dongeng yang paling
lumrah ditakjubi. Petualangan selalu bertitik mula. “Seorang lelaki datang
mengetuk pintu raja dan berkata, beri hamba kapal. Ada banyak pintu di kediaman
raja, tapi pintu yang diketuknya ini pintu petisi,” tulis Saramago.
Saramago melanjutkan, “Karena raja menghabiskan seluruh waktunya duduk
di depan pintu hadiah (maksudnya, hadiah yang dipersembahkan kepadanya),
manakala ia dengar ada yang mengetuk pintu petisi ia akan pura-pura tuli, dan
hanya bila ketukan terus menerus kenop pintu dari perunggu itu bukan cuma
memekakkan, tetapi juga tak pelak lagi menimbulkan kehebohan, mengacaukan
ketenteraman lingkungan (rakyat akan mulai kasak-kusuk, Raja macam apa dia
kalau tidak mau menjawab pintu itu), baru pada saat itulah ia perintahkan
menteri pertama untuk mencari tahu apa yang dikehendaki si pemohon, sebab
kelihatannya tidak ada cara buat membungkamnya.”
Baru paragraf pertama, Saramago sudah menyisipkan satire. Ia menyindir
para pemimpin yang lebih gemar memerhatikan segala persembahan untuknya,
ketimbang mendengar suara rakyat—kecuali bila suara rakyat sudah teramat
kencang dan dianggap mengganggu. Kira-kira memang demikianlah pemerintahan
bekerja selama ini. Dalam kisah Saramago, raja yang selalu sibuk menikmati
hadiah-hadiah itu tentu tidak sempat meladeni permohonan-permohonan rakyat.
Maka, ia lazim mengutus menteri pertama, yang mengoper perintah ke menteri
kedua, yang mengoperkan lagi ke menteri ketiga, dan begitu seterusnya sampai
perintah itu mentok ke seorang babu wanita “yang akan menjawab ya atau tidak
bergantung kepada suasana hatinya waktu itu”.
Si lelaki peminta kapal memberontak birokrasi yang panjang dan
berbelit-belit itu. “Aku ingin bicara dengan raja… pergi dan beritahu dia bahwa
aku tidak akan hengkang dari sini sampai dia datang secara pribadi untuk
mencari tahu apa yang kuinginkan,” kata si lelaki. Ia pun berbaring melintang
di ambang pintu, siapa pun yang akan masuk atau keluar mesti melangkahinya
lebih dulu. Setelah tiga hari, raja menemui biang kerok yang ogah permohonannya
menjalani saluran birokratis itu. “Bolehkah orang tahu untuk apa kau inginkan
kapal ini?” tanya raja setelah mendengar permintaan si lelaki. “Untuk pergi
mencari pulau tak dikenal,” jawabnya. “Pulau tak dikenal apaan,” raja menahan
tawa, “tak ada lagi pulau yang tak dikenal.”
Mereka berdua saling mengeyel. Saat raja bertanya mengapa si lelaki
bersikeras meyakini pulau itu ada, ia hanya menjawab, “Semata karena tidak
mungkin tidak ada pulau yang tidak dikenal.” Raja sudah menegaskan semua pulau
ada di peta, tetapi si lelaki meyakini ada pulau yang tidak tertera di peta,
dan dengan demikian, tak dikenal. Si lelaki praktis tergerakkan hanya oleh
fiksi, keyakinan atas sesuatu yang tidak benar-benar ada, atau setidaknya belum
terbukti benar-benar ada. Harari menulis, “fiksi telah memungkinkan kita bukan
hanya mengkhayalkan ini-itu, melainkan juga melakukannya secara bersama-sama.”
Fiksi yang entah datang dari mana tentang pulau tak dikenal itu pada akhirnya
bukan diyakini si lelaki seorang.
“Si lelaki tak punya bayangan bahwa meskipun ia belum mulai merekrut
awak kapal, ia sudah dibuntuti oleh seseorang yang akan bertugas mengepel
geladak dan tugas-tugas kebersihan lainnya, memang, seperti inilah nasib
biasanya memperlakukan kita, ia sudah ada di belakang kita, sudah mengulurkan
tangan untuk menjamah bahu kita sementara kita masih menggumam sendirian.”
Gampang ditebak siapa “seseorang yang akan bertugas mengepel geladak dan tugas-tugas
kebersihan lainnya”, yang diam-diam membututi si lelaki untuk turut serta dalam
petualangannya. Lantas, bagaimana akhir petualangan mereka mencari pulau tak
dikenal itu?
“Selamat tinggal, selamat tinggal, sebab matamu hanya terpaku pada pulau
tak dikenal….” Tentu bakal kurang ajar bila akhir Dongeng Pulau Tak
Dikenal, buku yang tipis belaka itu, dibocorkan serta-merta di sini. Namun,
akhir kisah Saramago mungkin mengingatkan pembaca pada petikan novel Hermann
Hesse, Siddharta (2008), berikut—meminjam terjemahan Kris
Budiman dalam novel Tanah Putih (2019): Mencari
berarti mempunyai satu tujuan,/ tetapi menemukan adalah menjadi
bebas,/ terbuka, tanpa tujuan.// Mungkin
betul kau seorang pencari/ karena hanya berjuang demi tujuanmu./ Terlalu
banyak hal yang gagal kau lihat,/ meski tepat berada di depan
matamu. Pulau tak dikenal itu pun akhirnya ditemukan. []
*) Editor buku menyambi penulis lepas. Penulis buku Keping-keping Kota
(2019)
Sumber: