Sabtu, 21 Maret 2020

FIKSI YANG MENGGERAKKAN - Sebuah Resensi

oleh Udji Kayang *)


Fakta selalu menjadi alasan bagus bagi setiap tindakan. Namun, sering kali, fiksi punya daya gerak lebih kuat. Fiksi adalah produk revolusi kognitif manusia. “Ciri yang benar-benar khas dalam bahasa kita bukanlah kemampuannya menyampaikan informasi mengenai manusia dan singa, melainkan kemampuannya menyampaikan informasi mengenai hal-hal yang sama sekali tidak ada. Sejauh yang kita tahu, hanya Sapiens yang bisa membicarakan tentang segala macam entitas yang tidak pernah mereka lihat, sentuh, atau cium baunya,” tulis Yuval Noah Harari dalam Sapiens (2017). Manusia bisa melakukan sesuatu, menentang sesuatu, bahkan membayangkan identitas bersama atas dasar fiksi.
Jose Saramago menerbitkan novela berjudul O Conto da Ilha Desconhesida pada 1998—tahun ia menerima Hadiah Nobel Sastra. Edisi bahasa Spanyol novela itu lantas diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus dan diterbitkan Circa dengan judulDongeng Pulau Tak Dikenal (2019). Dengan paragraf-paragraf panjang dan dialog tanpa tanda petik, Saramago menyajikan pada pembaca sebuah kisah petualangan—jenis dongeng yang paling lumrah ditakjubi. Petualangan selalu bertitik mula. “Seorang lelaki datang mengetuk pintu raja dan berkata, beri hamba kapal. Ada banyak pintu di kediaman raja, tapi pintu yang diketuknya ini pintu petisi,” tulis Saramago.
Saramago melanjutkan, “Karena raja menghabiskan seluruh waktunya duduk di depan pintu hadiah (maksudnya, hadiah yang dipersembahkan kepadanya), manakala ia dengar ada yang mengetuk pintu petisi ia akan pura-pura tuli, dan hanya bila ketukan terus menerus kenop pintu dari perunggu itu bukan cuma memekakkan, tetapi juga tak pelak lagi menimbulkan kehebohan, mengacaukan ketenteraman lingkungan (rakyat akan mulai kasak-kusuk, Raja macam apa dia kalau tidak mau menjawab pintu itu), baru pada saat itulah ia perintahkan menteri pertama untuk mencari tahu apa yang dikehendaki si pemohon, sebab kelihatannya tidak ada cara buat membungkamnya.”
Baru paragraf pertama, Saramago sudah menyisipkan satire. Ia menyindir para pemimpin yang lebih gemar memerhatikan segala persembahan untuknya, ketimbang mendengar suara rakyat—kecuali bila suara rakyat sudah teramat kencang dan dianggap mengganggu. Kira-kira memang demikianlah pemerintahan bekerja selama ini. Dalam kisah Saramago, raja yang selalu sibuk menikmati hadiah-hadiah itu tentu tidak sempat meladeni permohonan-permohonan rakyat. Maka, ia lazim mengutus menteri pertama, yang mengoper perintah ke menteri kedua, yang mengoperkan lagi ke menteri ketiga, dan begitu seterusnya sampai perintah itu mentok ke seorang babu wanita “yang akan menjawab ya atau tidak bergantung kepada suasana hatinya waktu itu”.
Si lelaki peminta kapal memberontak birokrasi yang panjang dan berbelit-belit itu. “Aku ingin bicara dengan raja… pergi dan beritahu dia bahwa aku tidak akan hengkang dari sini sampai dia datang secara pribadi untuk mencari tahu apa yang kuinginkan,” kata si lelaki. Ia pun berbaring melintang di ambang pintu, siapa pun yang akan masuk atau keluar mesti melangkahinya lebih dulu. Setelah tiga hari, raja menemui biang kerok yang ogah permohonannya menjalani saluran birokratis itu. “Bolehkah orang tahu untuk apa kau inginkan kapal ini?” tanya raja setelah mendengar permintaan si lelaki. “Untuk pergi mencari pulau tak dikenal,” jawabnya. “Pulau tak dikenal apaan,” raja menahan tawa, “tak ada lagi pulau yang tak dikenal.”
Mereka berdua saling mengeyel. Saat raja bertanya mengapa si lelaki bersikeras meyakini pulau itu ada, ia hanya menjawab, “Semata karena tidak mungkin tidak ada pulau yang tidak dikenal.” Raja sudah menegaskan semua pulau ada di peta, tetapi si lelaki meyakini ada pulau yang tidak tertera di peta, dan dengan demikian, tak dikenal. Si lelaki praktis tergerakkan hanya oleh fiksi, keyakinan atas sesuatu yang tidak benar-benar ada, atau setidaknya belum terbukti benar-benar ada. Harari menulis, “fiksi telah memungkinkan kita bukan hanya mengkhayalkan ini-itu, melainkan juga melakukannya secara bersama-sama.” Fiksi yang entah datang dari mana tentang pulau tak dikenal itu pada akhirnya bukan diyakini si lelaki seorang.
“Si lelaki tak punya bayangan bahwa meskipun ia belum mulai merekrut awak kapal, ia sudah dibuntuti oleh seseorang yang akan bertugas mengepel geladak dan tugas-tugas kebersihan lainnya, memang, seperti inilah nasib biasanya memperlakukan kita, ia sudah ada di belakang kita, sudah mengulurkan tangan untuk menjamah bahu kita sementara kita masih menggumam sendirian.” Gampang ditebak siapa “seseorang yang akan bertugas mengepel geladak dan tugas-tugas kebersihan lainnya”, yang diam-diam membututi si lelaki untuk turut serta dalam petualangannya. Lantas, bagaimana akhir petualangan mereka mencari pulau tak dikenal itu?
“Selamat tinggal, selamat tinggal, sebab matamu hanya terpaku pada pulau tak dikenal….” Tentu bakal kurang ajar bila akhir Dongeng Pulau Tak Dikenal, buku yang tipis belaka itu, dibocorkan serta-merta di sini. Namun, akhir kisah Saramago mungkin mengingatkan pembaca pada petikan novel Hermann Hesse, Siddharta (2008), berikut—meminjam terjemahan Kris Budiman dalam novel Tanah Putih (2019): Mencari berarti mempunyai satu tujuan,/ tetapi menemukan adalah menjadi bebas,/ terbukatanpa tujuan.// Mungkin betul kau seorang pencarikarena hanya berjuang demi tujuanmu./ Terlalu banyak hal yang gagal kau lihat,/ meski tepat berada di depan matamu. Pulau tak dikenal itu pun akhirnya ditemukan. []


*) Editor buku menyambi penulis lepas. Penulis buku Keping-keping Kota (2019)


Sumber: