Oleh Eeng Nurhaeni *)
Universitas
College London, Inggris, telah mengadakan penelitian dan berhasil menemukan
fakta empiris bahwa kebohongan sangat berkaitan erat dengan kondisi otak
seseorang. Bentuk penelitian dimulai dari proses pemindaian otak kepada
responden. Para ilmuwan menyebutnya dengan istilah Functional Magnetic
Resonance Imaging (FMRI). Kemudian, kepada puluhan responden diberikan
simulasi-simulasi kasus terhadap mereka.
Di
antaranya, suatu hal yang dapat menguntungkan dirinya dan kawannya; lalu hal
yang menguntungkan dirinya dan merugikan kawannya; terus menguntungkan kawannya
dan merugikan dirinya; atau menguntungkan salah satu dari mereka tanpa memberi
efek kepada yang lainnya.
Apakah
sutradara Korea Selatan, Bong Joon-ho, yang berhasil memboyong kemenangan Oscar
dalam filmnya “Parasite” pernah mengadakan penelitian serupa. Saya tidak tahu.
Tapi yang jelas, film tersebut menyiratkan kebohongan sebagai salah satu
fenomena yang mengurat mengakar dalam kehidupan sosial masyarakat kota. Empat
tokoh dalam film Parasite, sebagai keluarga marjinal di tengah perkotaan,
seakan menganggap bahwa kebohongan adalah sesuatu yang lumrah dan wajar saja.
https://www.tribunnews.com/seleb/2020/02/10/ parasite-cetak-sejarah-sebagai-film-asing-pertama- yang-memenangkan-best-picture-di-oscar |
Keluarga marjinal
itu, telah mengesampingkan nilai-nilai kejujuran yang seharusnya menjadi
tanggung jawab moral setiap individu dalam bersosialisasi. Penelitian di
universitas College ini terus mempelajari aktifitas ketidakjujuran, dan
berusaha mengungkap mengapa sedikit kebohongan bisa mendorong pada
kebohongan-kobohongan selanjutnya yang lebih besar lagi. Inilah esensi dari
penggambaran Parasite, sebagai film Asia satu-satunya yang berhasil meraih
Oscar sejak awal penganugerahannya (1927).
Film
tersebut sama sekali tidak menyinggung proses kemajuan teknologi pemindai otak
yang dapat mengungkap fakta medis di balik kebohongan dan perilaku berbohong.
Melalui metode FMRI, para ilmuwan menunjukkan bahwa bagian otak amigdala,
bagian yang sangat berhubungan dengan aktifitas emosi manusia, menjadi sangat
aktif ketika responden melakukan kebohongan kecil pertama demi keuntungan
pribadinya.
Reaksi
amigdala ini akan semakin menurun seiring dengan peningkatan kekuatan berbohong
responden. Bahkan lebih tendensius lagi, penurunan semakin besar dari aktifitas
amigdala diprediksi akan mendorong kebohongan lebih besar di masa yang akan
datang. Inilah yang membuat tokoh-tokoh utama dalam film Parasite tak sanggup
lagi mengukur risiko, sampai pada waktunya mereka menganggap bahwa kebohongan
itu lazim dan biasa saja.
Parasite dan
Neurosains
Dr. Tali
Sharot dari UCL Experimental Psychology menyatakan bahwa, ketika seseorang
berbohong untuk kepentingan pribadinya, amigdala memberi perasaan negatif yang
akan membatasi tingkat di mana ia sedang bersiap-siap untuk melakukan
kebohongan berikutnya. Respon amigdala akan memudar jika seseorang terus
berbohong. Lalu, jika tingkat pemudaran itu semakin rendah, maka ia akan terus
berani melakukan kebohongan yang lebih besar lagi, sampai-sampai – dibuktikan
dalam ending film Parasite – hukum alam sendiri yang akan bertindak dan
membalas keburukannya.
Peningkatan
aktifitas amigdala sangat kentara pada tokoh ibu (diperankan Jang Hye-jin).
Demi keuntungan diri dan keluarganya, ia tega mendiskreditkan pembantu lama
untuk menggantikan posisinya. Degradasi moral semakin menjadi-jadi ketika
seluruh anggota keluarga marjinal ini – yang dilegitimasi oleh peran bapak
selaku teladan (diperankan Song Kang-ho) – terus menggalakkan ketidakjujuran
kecil menjadi kebohongan-kebohongan yang semakin besar.
Suatu kali
muncul pembelaan dari sang suami, bahwa majikannya itu adalah orang kaya yang
baik hati. Namun demikian digugat pula oleh istrinya bahwa, “Bukan karena
kebaikan yang membuat mereka menjadi kaya, tapi justru karena mereka kaya yang
membuat mereka menjadi baik.”
Kisah yang
ditampilkan Parasite pada prinsipnya adalah pembenaran akan sikap korup dari
keluarga marjinal, bahwa dalam diri mereka pun menyimpan benih-benih mentalitas
para koruptor. Memang sangat interesan di era milenial yang sarat hoaks dan
kebohongan yang kadang dilakukan secara struktural akhir-akhir ini. Meskipun
kemenangan film garapan sutradara Bong Joon-ho ini banyak mengundang perdebatan
dan kontroversi, tetapi sampai saat ini makin ramai para penulis dan
intelektual membahasnya, baik melalui resensi atau sinopsis di berbagai media
nasional dan internasional.
Jangan Gagal
Paham
Setelah
kemenangan film Parasite, banyak acara diskusi dan dialog yang diselenggarakan
lembaga kebudayaan maupun perfilman kita, namun nyaris tidak satu pun yang
mengenai sasaran dalam khazanah software perfilman dunia. Kebanyakan pembicara
mengawang-awang ngalor-ngidul, sampai-sampai ada juga yang getol mengelus-elus
batu cincin di jari jemarinya.
Ada pertemuan
budaya di Jakarta yang diakhiri dengan pembicara seorang seniman senior – sebab
ia tak pernah menolak disebut “senior” – yang menyimpulkan bahwa film Parasite
seakan-akan peringatan bagi pemerintah kita agar membangun toilet di seluruh
Indonesia. Saya kira, sah-sah saja kesimpulan seperti itu. Memang ada adegan
seseorang yang kencing di sembarang tempat. Juga peringatan itu ada moral
massage-nya, tetapi maaf, apresiasi seperti itu amat sangat dangkal!
Selain itu,
untunglah ada pengecualian. Saya sempat mengapresiasi resensi yang luar biasa
dari seorang kiai NU Banten, yang sekaligus anggota Mufakat Budaya Indonesia
(MBI), K.H. Chudori Sukra (kolomnis Kompas) dalam opininya, “Mimpi Asia dalam
Belenggu Parasite”. Ia menyandingkan film Parasite dengan novel John
Steinbeck (The Pearl), yakni tentang seorang marjinal pinggiran kota, tiba-tiba
kaya mendadak setelah menemukan mutiara pada saat ia menyelam. Sebutir mutiara
yang menghebohkan itu menjadi bahan perbincangan di seputar tokoh-tokoh yang ditampilkannya.
Mau tidak mau ia dituntut agar menjadi seorang dermawan yang serba dadakan.
Hal ini
mengentakkan ingatan kita pada simbol “batu jimat” yang terus-menerus dalam
genggaman si anak sulung dalam Parasite, yang pada akhirnya harus dikembalikan
ke habitatnya. Peristiwa sakral (syirik) ini bisa disandingkan pula dengan
keris sakti dalam genggaman Mbah Durip dalam novel Perasaan Orang Banten, yang
dianggap sebagai pendatang rezeki dan penangkal marabahaya. Begitupun dalam The
Pearl, mutiara itu diibaratkan kunci surga firdaus yang berada dalam genggaman
keluarga. Mereka membayangkan kehidupan masa depan yang serba mewah dan
membahagiakan. Tetapi, rupanya dugaan itu meleset jauh.
Akibat
kehadiran mutiara itu – sebagaimana simbol batu jimat tadi – justru menimbulkan
komplikasi-komplikasi batin yang tidak kepalang tanggung. Ia menjadi penyulit
jalan hidup yang merepotkan dalam dunia yang serba kalut dan tamak. Sampai pada
akhirnya, keluarga itu memutuskan untuk melemparkan kembali mutiara itu ke
tengah laut. Inilah yang menjadi moral massage, sekaligus menyiratkan pesan
religius dari Steinbeck: “Kehidupan sederhana dan apa adanya, jauh lebih
menentramkan batin, ketimbang diselubungi kemelut uang dan keserakahan.”
Cerpen Hafis
Azhari
Sementara
itu, Dr. Neil Garret selaku pemimpin penelitian di Universitas College,
London, menandaskan bahwa sinyal amigdala menjadi enggan merespon seiring
dengan sikap-sikap korup yang amoral. Karena itu, respon otak menjadi tumpul
jika ketidakjujuran dilakukan secara berulang-ulang, terlebih jika
ketidakjujuran itu hanya mementingkan keuntungan dirinya serta merugikan pihak
lain.
Hal ini
mengingatkan kita pada cerpen Hafis Azhari berjudul “Kampung Abal-abal”
(www.ahmadtohari.com) yang mengisahkan tentang kebohongan seorang ustad yang
mengultuskan diri selaku “tokoh agama” di suatu kampung subur nan makmur, tapi
masyarakatnya hidup miskin dan marjinal.
Meneladani
gaya politik para penguasa, sang ustad memanfaatkan kebodohan massa sebagai
komoditas politik semata. Dikuburlah seonggok kayu besar, lalu dengan
memanfaatkan ayat-ayat Alquran, diiringi dengan gaya retorika seorang
penceramah handal, ia berteriak-teriak di depan publik bahwa gundukan tanah di
samping rumahnya itu adalah makam seorang wali besar.
Ajaran agama
menjadi ajang pamer yang didakwakan ustad, yang tidak membuat masyarakat
menjadi tentram dan nyaman, tapi justru membuat mereka menjadi takut akan
kesaktian ustad berikut makam wali di samping rumahanya. Perlahan namun pasti,
mereka pun memberikan berbagai macam sedekah dan sesajen, hingga membuat taraf
hidup keluarga ustad semakin meningkat drastis. Sementara, nasib kemiskinan dan
kebodohan masyarakat terus meningkat dari waktu ke waktu.
Badai besar
dan banjir bandang selaku pewartaan hukum alam yang berlaku, akhirnya
menghantam rumah sang ustad berikut makam wali yang hanya berisi bongkahan kayu
besar. Rupanya sang ustad tak menyadari faktor geografis, bahwa dirinya telah
membangun bangunan megah di bantaran sungai yang merupakan dataran paling
rendah di kampung tersebut.
Kebohongan
semakin terungkap dengan jelas, dan akal-akal sehat semakin bermekaran menaungi
kehidupan masyarakat kampung. *
***
*) Esais dan
pengasuh Pondok Pesantren Al-Bayan, Rangkasbitung, Banten Selatan
Sumber: