Kamis, 26 Maret 2020

TATO – Sebuah Cerpen dari buku “Sang Calon; Antologi Cerpen” (Temalitera, 2019)



Karya SUWARSONO

"Sang Calon, Antologi Cerpen" - ISBN: 9786020769196 (Dok. Temalitera)

Siang yang panas dihabiskan oleh ibu-ibu yang sudah bebas dari tugas dapur dengan bersantai di teras rumah rumah Pak Kasun yang sudah berlantai keramik. Ada yang  petan, sekadar duduk-duduk  sambil kipas-kipas dan bercerita apa saja yang baru dialami, dilihat, didengar, dan bukan ibu-ibu kalau tidak  rasan-rasan atau menggunjing sana-sini.
“Masak apa Yu?”
“Cuma sayur  asem sama goreng ikan asin.”
“Waduh, kamu banyak uang ya, sekarang ikan asin kan mahal?”
Oalah mbak, itu ikan asin sisa dikasih embahnya Adit lebaran kemarin. Kalo beli sendiri ya mending beli ayam. Masa  klotok satu  harganya dua ribu?”
“Iya... Kalau enggak kepingin banget ya eman to?”
“Ya. Tapi kalau seneng berapa pun dibeli.”
“Aku enggak begitu suka kok Mbak, takut darah tinggi.”
“Masa klotok bisa sebabkan darah tinggi?”
“Kan banyak garamnya, jadi asin.”
“Kalau aku darah tinggi sebabnya bukan iwak klotok
“Trus apa?”
“Kalau enggak diberi uang belanja sama suami. Itu yang bikin pusing dan darah tinggi langsung kumat.”
“Hahaha...”
“Omong-omong, kemana ya Dik Kasun?”
“Gak tahulah. Dari tadi sepi.”
“Mungkin di dalam ngeloni si jabang bayinya.”
Begitulah keakraban dan canda tawa mengalir begitu saja di masyarakar perdesaan yang masih guyub rukun. Individualisme, seperti pada masyarakat perkotaan,  tidak  terlihat pada kehidupan mereka sehari-hari.
***
Kala itu kebanyakan rumah masih berlantai ubin bahkan berlantai tanah dan jarang sekali yang berlantai keramik. Kasun memang terkenal sebagai tuan tanah di desa itu meskipun tanah itu warisan dari keluarganya. Sawahnya luas sehingga hasil panennya melimpah. Ia benar-benar petani yang profesional kalau diistilahkan sekarang. Ditambah lagi orangnya yang sederhana. Oleh karena itu, warga akan memilihnya sebagai kepala dusun.
Sayangnya, pria sederhana itu tak kunjung mendapat jodoh hingga minggu-minggu  terakhir pemilihan  kepala dusun. Mungkin karena kuper alias kurang pergaulan sehingga tak sempat punya pacar. Tapi kades dan para pendukung tak kurang akal. Mereka bersepakat mencarikan jodoh buat calon kasun jagoan mereka sebab dua lawannya sudah berkeluarga dan masalah ke-single-an calon ini jadi serangan pihak rival. Bagaimana akan membantu menyelesaikan masalah keluarga warganya jika ia sendiri belum berkeluarga? Itu  jurus pamungkas pihak lawan.
“Ayo kita carikan istri buat jagoan kita.” kata  Lurah.
“Kayak jaman dulu saja Rah. Masa istri dicarikan?”
“Ya, barangkali jodoh.” Istri kan juga enggak mungkin datang sendiri to?”
“Iya sih... wong jagoan kita cuma ke sawah, pulang, ke sawah lagi, begitu terus. Kapan bisa dapat istri kalau begitu?”
“Tapi sampean sendiri yang mengenalkan .”
“Ya sama-samalah.  Pahalanya mencarikan istri dibagi tiga ya enggak apa-apalah.“
***
Ada tiga wanita yang dikenalkan oleh Lurah dan Carik kepada pria lugu itu. Yang  pertama: Aini, seorang santriwati, yang siap menikah kapan pun. Ia  jelas calon istri yang salikhah. Berjilbab rapat. Ia tidak mau menatap lawan bicaranya yang laki-laki. Fotonya telah diberikan pada pria lugu itu.
“Bagaimana  Mas? Cocokkah dengan Aini?” tanya Lurah setelah mengenalkan Aini.
“Eh, saya takut menikah dengan dia Pak.”
Lurah menarik nafas panjang karena gadis pilihannya ditolak pria lugu itu entah apa ketidakcocokannya.
Yang kedua, Shinta. Anak kuliahan yang berhenti karena tak punya biaya membayar uang kuliah. Dia modern. Banyak tanya ini itu pada pria lugu itu. Dia berani menjawil-jawil lengan pria lugu itu ketika berbicara.
“Bagaimana  Mas? Cocokkah dengan Shinta?” tanya Carik  setelah mengenalkan Shinta.
Pria  lugu itu cuma menggeleng. Lurah dan Carik pusing. Kedua wanita yang dikenalkan tak ada yang berkenan di hati pria lugu itu. Lalu tiba-tiba terlintas pikiran di benak Carik. Ia mendekat ke Lurah dan membisikkan sesuatu.
“Jangan Rik. Masa pemuda lugu gitu kamu kenalkan sama gadis nakal?”
“Lha, gimana lagi Rah? Kita kenalkan yang berjibab, gadis pondokan, gak mau, gadis kuliahan gak mau. Gimana?” Lurah angkat tangan. Ia tampak putus asa.
***
Mina berkenalan dengan pria lugu itu melalui carik. Dia bukan wanita simpanan carik atau pun gendakan-nya. Tapi dia kabarnya memang wanita nakal yang menjual cinta sesaat bagi siapa saja yang sanggup membelinya. Dia terjun ke dunia hitam itu karena menanggung biaya pengobatan ibunya yang sakit. Ia sempat merasakan bangku kuliah hanya satu semester ketika ibunya masih sehat dan bekerja keras membiayai kuliah anak semata wayangnya. Perkenalan itu begitu singkat. Semua heran mengapa pria lugu itu menjatuhkan pilihannya pada wanita nakal itu.
“Aku memilih dia karena aku ingin tiket masuk surga,” katanya di depan Carik dan  Lurah.  Kedua pejabat desa itu terdiam tak bisa berkata-kata. Setiap orang memang punya prinsip hidup masing-masing.
“Saya minta bapak berdua menutup rapat-rapat siapa dia sebenarnya. Ini rahasia. Kalau sampai banyak orang tahu dan menggunjingnya, saya tidak bersedia dicalonkan.”
“Tentu, kami akan menutup rapat rahasia ini,” jawab Lurah.
“Iya, jangan kuatir,” sambung Carik.
Pak lurah dan carik mengangguk. Bagi mereka yang penting pria lugu itu segera menikah dan siap berebut kursi kepala dusun yang kosong. Dan hanya pria ini yang cocok dengan kriteria mereka. Kedua calon lainnya enggak  “masuk” harapannya.
***
“Ada tato di dada istri Kasun.”
“Masa?”
“Iya. Gambar kupu-kupu.”
“Kok bisa tahu sampean?”
“Kemarin waktu menyusui bayinya kelihatan.”
“Oh...begitu.”
Sejak itu berita dada istri kasun bertato menyebar seantero desa. Tua muda menggunjingkannya. Di warung-warung kopi anak-anak muda membicarakan tato itu dengan berbisik-bisik. Entah malu atau apa. Mungkin juga mereka sudah berfantasi yang macam-macam. Mungkin juga takut jika suaminya mendengarnya. Anak-anak kecil tiba-tiba saja jadi suka menggambar kupu-kupu, dan lebih heran lagi mereka jadi suka mencari dan mengejar kupu-kupu di pekarangan rumah atau kebun mereka.
Bahkan, di sebuah kelas tiga SD di dusun itu heboh karena desas-desus itu.
“Anak-anak keluarkan buku gambar kalian.” kata guru kelas III.
“Ya, Bu.”
“Hari ini pelajaran mengambar hewan. Silahkan menggambar hewan yang kalian sukai.”
“Boleh menggambar anjing?” tanya Devina.
“Boleh.”
“Boleh menggambar kucing?” tanya Izzah.
“Boleh.”
“Boleh menggambar kupu-kupu?” tanya Farrel.
“Hahaha...” seisi kelas tertawa terbahak-bahak. Guru kelas III heran kenapa anak-anak menertawakan pertanyaan itu. Maklum, bu guru tersebut berasal dari luar desa, jadi tidak dengar atau tidak tahu yang sedang menjadi trending topic  di desa tempat SD itu berada.
“Boleh, kenapa tidak?”
Pelajaran menggambar hari itu menyenangkan sekali bagi murid SD itu. Mereka pulang dengan gembira sambil membayangkan kupu-kupu yang berwarna-warni. Anak-anak SD itu mulai sibuk dengan pensil warna dan buku gambarnya.
“Bu warna kupu-kupu yang bagus apa?” tanya Farel sambil menujukkan sket gambar kupu-kupunya.
“Wah, bagus sekali gambarmu. Boleh dikasih warna kuning, hitam, atau hijau.
“Kalo anjing dikasih warna apa, Bu?” tanya Devina.
“Pernah lihat anjing?” Bu guru balik bertanya.
“Pernah. Coklat,” jawab Devina.
“Boleh.”
***
Hari pemungutan suara pilkasun tiba. Tiga calon kepala dusun duduk di kursi masing-masing di balai desa tempat pemungutan suara. Di samping balai desa, panggung hiburan disiapkan panitia. Sebelum pemilihan dimulai pentas dangdut dengan artis lokal desa itu telah dimulai sejak pukul tujuh untuk menarik minat warga agar mau datang menggunakan hak suaranya.
Pukul satu siang perhitungan suara dimulai dan pasangan pengantin baru itu terpilih menjadi kepala dusun. Carik tersenyum-senyum karena jagoannya menang dan mungkin juga menang taruhan.
“Menang Rik?” tanya Lurah.
“Sedikit,” jawabnya sambil menyilang jari telunjuknya di bibirnya. Bagaimana pun sebagai aparat desa ia tidak boleh memberi contoh yang tidak baik.
“Mbok jangan tanya itu Rah,” kata Carik.
“Halaah. Judi itu sudah jadi rahasia umum.”
Setahun kemudian kasun itu mengundurkan diri dan berpindah tempat tinggal ke luar pulau. Ia   ingin menghapus tato di dada istrinya sebab tato kupu-kupu itu bukan hiasan tapi jejak  masa lalunya yang kelam.  Ia benar-benar ingin memulai hidup baru. 
 __________________________________________________



Tentang Penulis
Suwarsono lahir di Mojokerto. Menyelesaikan S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia  di IKIP Malang (Sekarang Universitas Negeri Malang) pada 1995 dan S2 pada jurusan yang sama di Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya pada 2013. Selain sebagai guru di SMPN 1 Puri Kab. Mojokerto, juga nyambi sebagai dosen di FKIP UNIM Mojokerto sampai sekarang. Buku antologi cerita pendek ini adalah karya kedua yang sudah diterbitkan. Kontak email: msono313@gmail.com.