Karya SUWARSONO
"Sang Calon, Antologi Cerpen" - ISBN: 9786020769196 (Dok. Temalitera) |
Siang yang panas
dihabiskan oleh ibu-ibu yang sudah bebas dari tugas dapur dengan bersantai di
teras rumah rumah Pak Kasun yang sudah berlantai keramik. Ada yang petan,
sekadar duduk-duduk sambil kipas-kipas
dan bercerita apa saja yang baru dialami, dilihat, didengar, dan bukan ibu-ibu
kalau tidak rasan-rasan atau menggunjing sana-sini.
“Masak apa Yu?”
“Cuma sayur asem sama goreng ikan asin.”
“Waduh, kamu
banyak uang ya, sekarang ikan asin kan mahal?”
“Oalah mbak, itu ikan asin sisa dikasih
embahnya Adit lebaran kemarin. Kalo beli sendiri ya mending beli ayam.
Masa klotok
satu harganya dua ribu?”
“Iya... Kalau
enggak kepingin banget ya eman to?”
“Ya. Tapi kalau seneng berapa pun dibeli.”
“Aku enggak
begitu suka kok Mbak, takut darah tinggi.”
“Masa klotok bisa sebabkan darah tinggi?”
“Kan banyak
garamnya, jadi asin.”
“Kalau aku darah
tinggi sebabnya bukan iwak klotok”
“Trus apa?”
“Kalau enggak
diberi uang belanja sama suami. Itu yang bikin pusing dan darah tinggi langsung
kumat.”
“Hahaha...”
“Omong-omong,
kemana ya Dik Kasun?”
“Gak tahulah.
Dari tadi sepi.”
“Mungkin di
dalam ngeloni si jabang bayinya.”
Begitulah
keakraban dan canda tawa mengalir begitu saja di masyarakar perdesaan yang
masih guyub rukun. Individualisme, seperti pada masyarakat perkotaan, tidak
terlihat pada kehidupan mereka sehari-hari.
***
Kala itu
kebanyakan rumah masih berlantai ubin bahkan berlantai tanah dan jarang sekali
yang berlantai keramik. Kasun memang terkenal sebagai tuan tanah di desa itu
meskipun tanah itu warisan dari keluarganya. Sawahnya luas sehingga hasil
panennya melimpah. Ia benar-benar petani yang profesional kalau diistilahkan
sekarang. Ditambah lagi orangnya yang sederhana. Oleh karena itu, warga akan
memilihnya sebagai kepala dusun.
Sayangnya, pria
sederhana itu tak kunjung mendapat jodoh hingga minggu-minggu terakhir pemilihan kepala dusun. Mungkin karena kuper alias
kurang pergaulan sehingga tak sempat punya pacar. Tapi kades dan para pendukung
tak kurang akal. Mereka bersepakat mencarikan jodoh buat calon kasun jagoan
mereka sebab dua lawannya sudah berkeluarga dan masalah ke-single-an calon ini
jadi serangan pihak rival. Bagaimana akan membantu menyelesaikan masalah keluarga
warganya jika ia sendiri belum berkeluarga? Itu
jurus pamungkas pihak lawan.
“Ayo kita
carikan istri buat jagoan kita.” kata
Lurah.
“Kayak jaman
dulu saja Rah. Masa istri dicarikan?”
“Ya, barangkali
jodoh.” Istri kan juga enggak mungkin datang sendiri to?”
“Iya sih... wong
jagoan kita cuma ke sawah, pulang, ke sawah lagi, begitu terus. Kapan bisa
dapat istri kalau begitu?”
“Tapi sampean
sendiri yang mengenalkan .”
“Ya
sama-samalah. Pahalanya mencarikan istri
dibagi tiga ya enggak apa-apalah.“
***
Ada tiga wanita
yang dikenalkan oleh Lurah dan Carik kepada pria lugu itu. Yang pertama: Aini, seorang santriwati, yang siap
menikah kapan pun. Ia jelas calon istri
yang salikhah. Berjilbab rapat. Ia tidak mau menatap lawan bicaranya yang
laki-laki. Fotonya telah diberikan pada pria lugu itu.
“Bagaimana Mas? Cocokkah dengan Aini?” tanya Lurah
setelah mengenalkan Aini.
“Eh, saya takut
menikah dengan dia Pak.”
Lurah menarik
nafas panjang karena gadis pilihannya ditolak pria lugu itu entah apa
ketidakcocokannya.
Yang kedua,
Shinta. Anak kuliahan yang berhenti karena tak punya biaya membayar uang
kuliah. Dia modern. Banyak tanya ini itu pada pria lugu itu. Dia berani
menjawil-jawil lengan pria lugu itu ketika berbicara.
“Bagaimana Mas? Cocokkah dengan Shinta?” tanya
Carik setelah mengenalkan Shinta.
Pria lugu itu cuma menggeleng. Lurah dan Carik
pusing. Kedua wanita yang dikenalkan tak ada yang berkenan di hati pria lugu
itu. Lalu tiba-tiba terlintas pikiran di benak Carik. Ia mendekat ke Lurah dan
membisikkan sesuatu.
“Jangan Rik.
Masa pemuda lugu gitu kamu kenalkan sama gadis nakal?”
“Lha, gimana
lagi Rah? Kita kenalkan yang berjibab, gadis pondokan, gak mau, gadis kuliahan
gak mau. Gimana?” Lurah angkat tangan. Ia tampak putus asa.
***
Mina berkenalan
dengan pria lugu itu melalui carik. Dia bukan wanita simpanan carik atau pun gendakan-nya. Tapi dia kabarnya memang
wanita nakal yang menjual cinta sesaat bagi siapa saja yang sanggup membelinya.
Dia terjun ke dunia hitam itu karena menanggung biaya pengobatan ibunya yang
sakit. Ia sempat merasakan bangku kuliah hanya satu semester ketika ibunya
masih sehat dan bekerja keras membiayai kuliah anak semata wayangnya.
Perkenalan itu begitu singkat. Semua heran mengapa pria lugu itu menjatuhkan
pilihannya pada wanita nakal itu.
“Aku memilih dia
karena aku ingin tiket masuk surga,” katanya di depan Carik dan Lurah.
Kedua pejabat desa itu terdiam tak bisa berkata-kata. Setiap orang
memang punya prinsip hidup masing-masing.
“Saya minta
bapak berdua menutup rapat-rapat siapa dia sebenarnya. Ini rahasia. Kalau
sampai banyak orang tahu dan menggunjingnya, saya tidak bersedia dicalonkan.”
“Tentu, kami
akan menutup rapat rahasia ini,” jawab Lurah.
“Iya, jangan
kuatir,” sambung Carik.
Pak lurah dan
carik mengangguk. Bagi mereka yang penting pria lugu itu segera menikah dan
siap berebut kursi kepala dusun yang kosong. Dan hanya pria ini yang cocok
dengan kriteria mereka. Kedua calon lainnya enggak “masuk” harapannya.
***
“Ada tato di
dada istri Kasun.”
“Masa?”
“Iya. Gambar
kupu-kupu.”
“Kok bisa tahu
sampean?”
“Kemarin waktu
menyusui bayinya kelihatan.”
“Oh...begitu.”
Sejak itu berita
dada istri kasun bertato menyebar seantero desa. Tua muda menggunjingkannya. Di
warung-warung kopi anak-anak muda membicarakan tato itu dengan berbisik-bisik.
Entah malu atau apa. Mungkin juga mereka sudah berfantasi yang macam-macam.
Mungkin juga takut jika suaminya mendengarnya. Anak-anak kecil tiba-tiba saja
jadi suka menggambar kupu-kupu, dan lebih heran lagi mereka jadi suka mencari
dan mengejar kupu-kupu di pekarangan rumah atau kebun mereka.
Bahkan, di
sebuah kelas tiga SD di dusun itu heboh karena desas-desus itu.
“Anak-anak
keluarkan buku gambar kalian.” kata guru kelas III.
“Ya, Bu.”
“Hari ini
pelajaran mengambar hewan. Silahkan menggambar hewan yang kalian sukai.”
“Boleh
menggambar anjing?” tanya Devina.
“Boleh.”
“Boleh
menggambar kucing?” tanya Izzah.
“Boleh.”
“Boleh
menggambar kupu-kupu?” tanya Farrel.
“Hahaha...”
seisi kelas tertawa terbahak-bahak. Guru kelas III heran kenapa anak-anak
menertawakan pertanyaan itu. Maklum, bu guru tersebut berasal dari luar desa,
jadi tidak dengar atau tidak tahu yang sedang menjadi trending topic di desa
tempat SD itu berada.
“Boleh, kenapa
tidak?”
Pelajaran
menggambar hari itu menyenangkan sekali bagi murid SD itu. Mereka pulang dengan
gembira sambil membayangkan kupu-kupu yang berwarna-warni. Anak-anak SD itu
mulai sibuk dengan pensil warna dan buku gambarnya.
“Bu warna
kupu-kupu yang bagus apa?” tanya Farel sambil menujukkan sket gambar kupu-kupunya.
“Wah, bagus
sekali gambarmu. Boleh dikasih warna kuning, hitam, atau hijau.
“Kalo anjing
dikasih warna apa, Bu?” tanya Devina.
“Pernah lihat
anjing?” Bu guru balik bertanya.
“Pernah.
Coklat,” jawab Devina.
“Boleh.”
***
Hari pemungutan
suara pilkasun tiba. Tiga calon kepala dusun duduk di kursi masing-masing di
balai desa tempat pemungutan suara. Di samping balai desa, panggung hiburan
disiapkan panitia. Sebelum pemilihan dimulai pentas dangdut dengan artis lokal
desa itu telah dimulai sejak pukul tujuh untuk menarik minat warga agar mau
datang menggunakan hak suaranya.
Pukul satu siang
perhitungan suara dimulai dan pasangan pengantin baru itu terpilih menjadi
kepala dusun. Carik tersenyum-senyum karena jagoannya menang dan mungkin juga
menang taruhan.
“Menang Rik?”
tanya Lurah.
“Sedikit,” jawabnya
sambil menyilang jari telunjuknya di bibirnya. Bagaimana pun sebagai aparat
desa ia tidak boleh memberi contoh yang tidak baik.
“Mbok jangan
tanya itu Rah,” kata Carik.
“Halaah. Judi
itu sudah jadi rahasia umum.”
Setahun kemudian
kasun itu mengundurkan diri dan berpindah tempat tinggal ke luar pulau. Ia ingin menghapus tato di dada istrinya sebab
tato kupu-kupu itu bukan hiasan tapi jejak
masa lalunya yang kelam. Ia
benar-benar ingin memulai hidup baru.
__________________________________________________
Tentang Penulis
Suwarsono lahir di
Mojokerto. Menyelesaikan S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di IKIP Malang (Sekarang Universitas Negeri
Malang) pada 1995 dan S2 pada jurusan yang sama di Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surabaya pada 2013. Selain sebagai guru di SMPN 1 Puri
Kab. Mojokerto, juga nyambi sebagai
dosen di FKIP UNIM Mojokerto sampai sekarang. Buku antologi cerita pendek ini
adalah karya kedua yang sudah diterbitkan. Kontak email:
msono313@gmail.com.