Oleh Rahmat Kemat Hidayatullah (Dosen di UIN Jakarta)
Sepanjang sejarah umat manusia, orang telah
disibukkan oleh pertanyaan-pert anyaan eksistensial seperti: Mengapa saya
ada di dunia ini? Apa tujuan hidup saya? Apa yang saya perjuangkan? Apa makna
kehidupan? Pertanyaan-pert anyaan universal ini berhubungan dengan
keprihatinan inti manusia dan telah mengilhami berbagai mitos, agama, seni, dan
filsafat dalam budaya yang berbeda di seluruh dunia melintasi ruang dan waktu.
Saat ini, di era ledakan ilmu pengetahuan, teknologi digital dan budaya
populer, di mana motto “lebih baik, lebih cepat, lebih unggul” (better, faster, higher) telah menjadi
nilai-nilai sakral, problem-problem eksistensial muncul secara lebih kuat.
Isu-isu eksistensial semacam ini telah dieksplorasi
secara serius oleh para filsuf eksistensialis, yang dibangun di atas garis
pemikiran filosofis René Descartes, Immanuel Kant, Friedrich Hegel dan
berkembang dalam tulisan-tulisan Søren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche,
Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Gabriel Marcel, Albert Camus, Karl Jaspers,
Miguel de Unamuno, Ortega y Gasset, Martin Buber, Paul Tillich, dan lainnya.
Meskipun para filsuf ini mendekati pertanyaan eksistensial dari perspektif yang
sangat beragam dan kadang-kadang menarik kesimpulan yang sangat berbeda, semua
pemikir ini membahas pertanyaan tentang apa arti menjadi manusia, bagaimana
manusia berhubungan dengan dunia fisik dan metafisik yang mengelilinginya ,
dan bagaimana manusia menemukan makna dari realitas kehidupan dan kematian yang
bersifat niscaya. Yang paling penting, mereka mempertimbangka n implikasi
dari bagaimana “orang-orang biasa” (ordinary
people) bergelut dengan pertanyaan-pert anyaan eksistensial dalam
kehidupan sehari-hari (everyday life).
Dengan demikian, masalah eksistensial tidak dianggap sebagai bahan renungan
para filsuf dan pemikir belaka, tetapi sebagai problem mendesak yang memiliki
dampak besar pada kehidupan semua manusia.
Jauh di ujung timur Pulau Jawa sana, seorang penyair
eksentrik bersarung santri menggemakan isu eksistensial serupa melalui wacana
dan praktik simbolik yang digali dari kearifan lokal; “kuburan”. Ya kuburan,
simbol kefanaan dan kematian—salah satu sumber kecemasan eksistensial utama
sepanjang sejarah umat manusia. Sebagaimana dicatat Paul Tillich, “kecemasan
akan takdir dan kematian adalah [kecemasan manusia] yang paling mendasar,
universal, dan tak terhindarkan. Setiap upaya untuk membantahnya akan sia-sia”
(Tillich, 1952: 42).
Lewat Kuburan
Imperium (2019) dan Nisan Annemarie
(2020), sang penyair, Binhad Nurrohmat, mengajak kita untuk berziarah ke lorong
waktu antara masa silam dan masa depan, antara titik kelahiran dan titik
kematian. Sebagaimana ditulis Martin Heidegger, “Begitu seorang manusia lahir,
ia sudah terlalu tua untuk mati” (Heidegger, 1996: 228). Manusia adalah “Ada-menuju-kem atian” (Sein-zum-Tode) . Ironisnya, manusia
seringkali lupa pada “masa depan kematiannya” akibat tenggelam dalam mode
kehidupan sehari-hari. Binhad menggemakan kembai gagasan ini dalam larik-larik
puisinya:
Tiada tempat
bagi keabadian di bumi
Mimpi tiba dan pergi sebelum terjaga
Mimpi tiba dan pergi sebelum terjaga
Apakah masa
silam dan masa depan
di dalam mimpi? Mimpi adalah sejarah
yang tidur di luar masa apa pun
di dalam mimpi? Mimpi adalah sejarah
yang tidur di luar masa apa pun
Masa depan
semua orang adalah bayang
yang belum terengkuh di kejauhan
yang belum terengkuh di kejauhan
Manusia
selalu menunggu
dan lupa di sepanjang usia
yang berguguran dan pucat
dan lupa di sepanjang usia
yang berguguran dan pucat
di sebujur
hayat
-- “Masa
Depan Semua Orang”, Kuburan Imperium (2019).
Namun, berbeda dari Heidegger yang ‘meragukan’ konsep
“keabadian ruhani”, Binhad justru bertolak dari khazanah spiritual kaum santri
yang merindukan keabadian ruhani:
Sungai kecil
meliuk dari selatan ke utara
Silsilah di barat dan di timur bersenyawa
Sebatang kali menjamah batas antar sepi
Seperti jembatan menautkan dua teritori
Silsilah di barat dan di timur bersenyawa
Sebatang kali menjamah batas antar sepi
Seperti jembatan menautkan dua teritori
Di semua
penjuru arah doa-doa tertabur
Munajat keramat para leluhur tak luntur
Masa depan menunggu langkah cahaya
Di sudut takdir bertapa berkat alif ba’ ta’
Munajat keramat para leluhur tak luntur
Masa depan menunggu langkah cahaya
Di sudut takdir bertapa berkat alif ba’ ta’
-- “Wasiat
Rejoso”, Kuburan Imperium (2019).
"Nisan Annemarie", Penulis: Binhad Nurohmat Penerbit: DIVA Press Yogyakarta Cetakan: April 2020 Halaman: 197 + xxii |
Nisan
Annemarie (2020), kumpulan puisi
terbaru Binhad, menggemakan kembali gagasan tentang keabadian ruhani melalui
suara tradisi. Menahbiskan Nisan Annemarie sebagai judul utama dari kumpulan
puisinya tentu bukan tanpa alasan. Siapa yang tak mengenal Annemarie Schimmel?
Di kalangan para pengkaji sufisme, ia bukan sosok asing. Lahir di tanah
kelahiran Martin Heidegger, Jerman, Annemarie Schimmel mendedikasikan seumur
hayatnya untuk mereguk khazanah spiritual Islam yang memukau. Di nisan
kuburannya terpatri ucapan Ali ibn Abi Thalib yang terkenal: “al-nas niyam, fa
idza matu intabahu” (semua manusia tertidur, saat mati mereka terbangun).
Kepada sosok inilah Binhad melantunkan “Fatihah Puitik” dalam puisinya:
Berbisik
riwayat selepas menepi hayat
dan ingatan tak lari dari batas biografi
Hidup menyibak pintunya lamat-lamat
semenjak maut melengkapi kisah diri
dan ingatan tak lari dari batas biografi
Hidup menyibak pintunya lamat-lamat
semenjak maut melengkapi kisah diri
Manusia di
dunia sejenak tidur belaka
dan tersibak mata sejak tiba kematian
Takdir membuat masa depan tak ada
setelah semua diguratkan di belakang
dan tersibak mata sejak tiba kematian
Takdir membuat masa depan tak ada
setelah semua diguratkan di belakang
Perjalanan
di dunia seumpama mimpi
menempuh serentang ruang dan masa
Seperti Annemarie Schimmel mengerti
di relung pusara bermula segala cerita
menempuh serentang ruang dan masa
Seperti Annemarie Schimmel mengerti
di relung pusara bermula segala cerita
Udara tak
kentara menjangkau pundak
sesamar waktu merayap tanpa terlihat
Sebujur fana manusia sebatas tampak
sebelum jala-jala kekal hadir menjerat
sesamar waktu merayap tanpa terlihat
Sebujur fana manusia sebatas tampak
sebelum jala-jala kekal hadir menjerat
Lewat
kalimat kasat mendiang berucap
pada nisan dari masa lalu yang terpahat
Langit bertitah kepada yang kelak lindap
sedari hayat di dunia hanya lelap sesaat
pada nisan dari masa lalu yang terpahat
Langit bertitah kepada yang kelak lindap
sedari hayat di dunia hanya lelap sesaat
-- “Nisan
Annemarie”, Nisan Annemarie (2020).
Tema keabadian ruhani dapat dilihat secara lebih
gamblang dalam puisi Binhad yang lain, ketika ia menyebut kematian sebagai
“kehidupan pertama”:
Tak
selamanya tubuh menghuni dunia
Daging dan tulang bernyawa tak abadi
Kemenangan dan kekalahan cuma fana
Berlumur cairan lupa dan hasrat khayali
Daging dan tulang bernyawa tak abadi
Kemenangan dan kekalahan cuma fana
Berlumur cairan lupa dan hasrat khayali
Semua
harapan diri tak henti menyala
Sebelum menjamah langkah terakhir
Mimpi-mimpi menatap suka dan duka
Di sekujur hayat tanpa henti mengalir
Sebelum menjamah langkah terakhir
Mimpi-mimpi menatap suka dan duka
Di sekujur hayat tanpa henti mengalir
Hidup adalah
awal kematian pertama
tanpa pernah ada lagi maut yang lain
Kematian adalah kehidupan pertama
setelah dunia tak lagi berpaling
tanpa pernah ada lagi maut yang lain
Kematian adalah kehidupan pertama
setelah dunia tak lagi berpaling
-- “Terbujur
Kaku Sebelum Berlalu”, Nisan Annemarie (2020).
Antropologi
Puitik
Binhad bukan seorang antropolog, ia adalah penyair
sarungan dan pujangga kuburan. Tapi membaca puisi-puisi Binhad, jejak
persentuhan dengan “yang imanen” tergores begitu tebal—dalam bahasa antropologi
disebut “thick description”.
Puisi-puisi Binhad bertabur jajak-jejak persentuhan itu; nama kota, tokoh,
situs, petilasan, artefak, peristiwa dan praktik kultural orang-orang
biasa—semuanya dibingkai dalam frame masa silam dan masa depan, kehidupan dan
kematian. Puisi-puisi Binhad bahkan dapat disebut sebagai “antropologi puitik”
yang menafsir ulang partitur abstrak para filsuf dan antropolog seputar agama
dan kecemasan eksistensial, khususnya kecemasan akan kematian (anxiety of death).
Menurut Bronislaw Malinowski, “dari semua sumber
agama, krisis kehidupan tertinggi dan terakhir—kemati an—adalah yang paling
penting” (Malinowski, 1948: 29). Malinowski mengakui bahwa teori-teori tentang
asal muasal agama yang menyatakan bahwa kebanyakan inspirasi keagamaan berasal
dari masalah kematian merupakan pandangan ortodoks yang sepenuhnya benar. Dalam
semua tahap kebudayaan, manusia senantiasa dihantui oleh ide tentang kemusnahan
(the idea of annihilation) yang mengancam eksistensi dan hasrat untuk hidup (desire for life) dan mempertahankan diri
(self-preservat ion).
Dalam arena permainan kekuatan emosional yang
menimbulkan dilema inilah agama hadir sebagai “juru selamat”; memberikan
keyakinan positif, pandangan yang menghibur, kepercayaan budaya yang berharga
akan keabadian, dalam roh yang bebas dari tubuh, dan dalam kelanjutan kehidupan
setelah kematian. Dengan demikian, keyakinan pada keabadian (belief in immortality) merupakan hasil
dari wahyu emosional (emotional
revelation) yang mendalam, yang distandarisasi oleh agama, bukan doktrin
filosofi primitif. Keyakinan pada ruh (belief
in spirits) adalah hasil dari keyakinan akan keabadian. Keyakinan manusia
akan kehidupan yang berkelanjutan adalah salah satu karunia agung agama (Malinowski, 1948:33). Binhad
menggaungkan gagasan semacam ini dalam puisinya yang bernada retoris:
Manusia
lahir dari manusia sebelumnya
Dari sorga bermuasal manusia pertama
Dari sorga bermuasal manusia pertama
Yang mati
sekujurnya terkubur di dunia
Di mana ruh rebah sejak raga di pusara?
Di mana ruh rebah sejak raga di pusara?
-- “Risalah
Muasal”, Nisan Annemarie (2020).
Bagi Binhad yang hidup dalam subkultur santri dan
budaya Jawa (Jombang), tak sulit meniti jejak perjalanan ruh ke rumah
primordialnya. Bahkan “yang mati” sesungguhnya tidak pernah pergi, ia
senantiasa hadir dalam memori dan suasana hati “yang hidup”, sehingga selalu
terdapat ruang liminal yang memungkinkan kita berdialog dan bercengkerama
dengan mereka. Binhad secara epik mengilustrasika n situasi ini dalam
puisinya:
Suara
perempuan tua
semerdu tembang di pegunungan
tempat terkubur wangsa pemuja arca
Kalam Tuhan terucap di sekujur lidah renta
menyapa kabut, angsana dan patung dewa
semerdu tembang di pegunungan
tempat terkubur wangsa pemuja arca
Kalam Tuhan terucap di sekujur lidah renta
menyapa kabut, angsana dan patung dewa
Bahasa Arab
berlogat Jawa
menyebut Nabi Muhammad
serta nama aulia dan para malaikat
serupa gema dari jazirah bergurun pasir
hinggap di tanah Wanasaba berhawa dingin
menyebut Nabi Muhammad
serta nama aulia dan para malaikat
serupa gema dari jazirah bergurun pasir
hinggap di tanah Wanasaba berhawa dingin
-- “Kisah
Tawasul Ibn Mutmainah”, Nisan Annemarie (2020).
Sebagaimana Malinowski, Ernest Becker berpendapat bahwa
ironi terbesar dari kondisi manusia adalah kebutuhan mendalam untuk bebas dari
kecemasan akan kematian dan kehancuran (Becker,
1973: 66). Dalam menghadapi ironi tersebut, manusia membangun simbol-simbol
budaya yang tidak menua atau membusuk untuk meredakan ketakutan akan tujuan
akhirnya dan memberikan janji durasi yang tidak terbatas (Becker, 1975: 3). “Segala sesuatu yang dilakukan manusia di dunia
simbolisnya,” jelas Becker, “adalah upaya untuk menyangkal dan mengatasi nasib
anehnya” (Becker, 1973: 27). Becker
menyebut obat penangkal kecemasan eksistensial ini dengan istilah “pandangan
dunia” (worldview), semacam ideologi
kolektif afirmatif di mana seseorang dapat memerankan drama kehidupan yang
diterimanya sebagai makhluk (Becker, 1973:
198). Menurut Becker, pandangan dunia “lebih dari sekedar pandangan tentang
kehidupan; ia adalah formula keabadian” (Becker,
1973: 255).
Dalam kesempatan lain, Becker menyebut pandangan
dunia dengan istilah “ilusi” (illusion),
“ilusi budaya” (cultural illusion)
atau “ilusi bersama” (shared illusions).
Istilah “ilusi” di sini tidak merujuk pada gagasan Sigmund Freud tentang
“neurosis kenanak-kanakan ” (infantile
neurosis) yang berasal dari Oedipus
complex dan dapat mengakibatkan psikopatologi pada kepribadian seseorang (Becker,
1975: 96-98, 198-199). Sebaliknya, Becker memaknai ilusi sebagai “permainan
kreatif pada level tertinggi” (creative
play at its highest level). Ilusi budaya adalah ideologi pembenaran diri
(ideology of self-justificat ion) yang diperlukan, dimensi heroik yang
merupakan kehidupan itu sendiri bagi hewan simbolik (symbolic animal). Seseorang yang kehilangan “ilusi budaya heroik” (heroic cultural illusion) akan mengalami
“dekulturasi” (deculturation) ,
yang berarti kematian itu sendiri. Oleh karena itu, Becker menegaskan bahwa
“hidup hanya mungkin dengan ilusi” (life
is possible only with illusions) (Becker,
1973: 189).
Menurut Becker, dari pelbagai jenis pandangan dunia
atau ilusi budaya yang dibangun oleh manusia, “agama merupakan ‘ilusi terbaik’
untuk hidup” (the best illusion under which to live), karena agama memberikan
makna secara langsung bagi manusia dan terkait dengan kondisi dasar dan
kebutuhannya (Becker, 1973: 202).
Becker menegaskan bahwa fungsi utama agama adalah memecahkan masalah kematian
yang tidak dapat dipecahkan oleh setiap individu yang hidup (living
individuals). Selain itu, agama berfungsi memberi harapan bagi manusia, karena
agama mampu menyingkap dimensi tak dikenal (unknown) dan tak diketahui
(unknowable), misteri penciptaan (mystery
of creation) yang bahkan tak bisa didekati oleh akal manusia (human mind), kemungkinan multidimensiona litas
ruang eksistensi (spheres of existence),
surga dan kemungkinan perwujudan jasmani di akhirat. Dengan cara demikian,
agama mengurangi absurditas kehidupan duniawi dan melampaui keterbatasan dan
frustrasi yang dialami makhluk hidup. Dalam istilah agama, “melihat Tuhan”
berarti mati, karena makhluk hidup terlalu kecil dan terbatas untuk dapat
menanggung makna penciptaan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, dalam pandangan
Becker, agama merupakan konstruk terbaik untuk memperbaiki kecemasan
eksistensial karena ia dapat “memecahkan masalah kematian” (Becker, 1975: 203).
Refleksi filosofis-antro pologis yang
dikumandangkan Becker menemukan pijakan empirisnya dalam Terror Management Theory (TMT) yang dikembangkan oleh para
pengusung psikologi eksistensial. Dalam perspektif TMT, agama berfungsi untuk
mengelola potensi teror yang ditimbulkan oleh kesadaran manusia yang unik akan
kematian dengan memberikan rasa keamanan psikologis dan harapan akan keabadian.
Meskipun keyakinan sekuler juga dapat berfungsi sebagai manajemen teror,
keyakinan agama sangat cocok untuk mengurangi kecemasan akan kematian karena ia
bersifat serba mencakup, bergantung pada konsep-konsep yang tidak mudah
dipatahkan, dan menjanjikan keabadian literal (Vail et.al., 2010: 84).
TMT didasarkan pada premis bahwa manusia, seperti
semua hewan lain, memiliki naluri untuk bertahan hidup (instinct for survival). Namun, tidak seperti hewan lainnya, manusia
memiliki kemampuan kognitif yang canggih, termasuk kapasitas untuk berpikir
temporal dan refleksi diri (temporal and
self-reflective thought), yang memberi mereka kesadaran akan kematian.
Konflik antara naluri untuk bertahan hidup dan kesadaran akan kematian ini
menciptakan potensi teror yang melumpuhkan.
Teror ini dikelola dengan menanamkan diri ke dalam
“pandangan dunia budaya” (cultural
worldview), yang memberikan penjelasan tentang eksistensi, seperangkat
nilai yang menentukan perilaku baik dan buruk, dan janji keselamatan dan
transendensi kematian bagi mereka yang mematuhi standar pandangan dunia
tersebut (Simon et.al., 1997: 1132).
Pandangan dunia budaya merupakan “seperangkat
keyakinan tentang sifat realitas yang dimiliki bersama oleh kelompok-kelomp ok
individu yang memberikan makna, keteraturan, ketetapan, stabilitas, dan janji
keabadian literal (literal immortality)
dan/atau keabadian simbolik (symbolic
immortality) bagi mereka yang hidup sesuai dengan standar nilai yang
ditetapkan oleh pandangan dunia tersebut” (Harmon-Jones
et.al., 1997: 24).
Keabadian simbolik diperoleh dengan cara
mempersepsikan diri sebagai bagian dari budaya yang bertahan lama melampaui
usia hidup seseorang, atau dengan menciptakan bukti nyata bagi eksistensi
seseorang dalam bentuk sains atau karya seni agung, bangunan atau monumen yang
mengesankan, menimbun properti atau kekayaan besar, dan memiliki anak dan
keturunan.
Keabadian literal diperoleh melalui berbagai harapan
keselamatan akhirat yang dijanjikan oleh hampir semua agama, baik berupa surga
bagi pemeluk agama-agama monoteistik seperti Yahudi, Kristen dan Islam, atau
eksistensi halus yang dijanjikan bagi umat Hindu dan Buddha dalam bentuk
Nirvana (Solomon et.al., 2004: 18-19;
Greenberg et.al., 1995: 418-419).
Motivasi yang mendasari pengejaran keabadian literal
dan keabadian simbolik ini pada dasarnya sama, yakni menyangkal bahwa kematian
meniscayakan “pemusnahan diri absolut” (absolute
self-annihilati on) (Vail et.al.,
2010: 85).
Puisi-puisi Binhad dalam Nisan Annemarie (2020)—juga Kuburan
Imperium (2019) dan Kwatrin Ringin
Contong (2014)—banyak mengelaborasi bentuk-bentuk ekspresi budaya yang
dimaksudkan untuk mengejar keabadian simbolik dan keabadian literal ini.
Binhad tidak hanya menarasikan bagaimana kaum
religius berupaya mengejar keabadian literal melalui bentuk-bentuk ekspresi
ritual dan peribadatan yang berpusat pada satu tujuan; Tuhan (Lihat: “Yasin dan Tahlil di Bawah Beringin”, “Pulang
Dari Kuburan Abdurrahman”, “Pagar Jeruji Kuburan Kyai Asyari”, “Ziarah Trah
Shoichah”, “Selasa di Pekuburan Ma’la”, “Kaki Ibn ‘Arabi”).
Binhad juga memperlihatkan bagaimana kaum sekuler
berupaya mengejar keabadian simbolik melalui bentuk-bentuk ekspresi seni dan
ideologi yang mampu melampaui usia kehidupan mereka yang terbatas (Lihat: “Yang Terukir di Pusara Baudelaire”, “Pusara
Komunis Pertama”, “Wiski di Kuburan Hemingway”, “Pusara Semesta: Hawking”,
“Kuburan Pembunuh Tuhan”, “Esksistensiali sme di Montparnasse”, “Kuburan
Mesin Walter Benjamin”).
Sebagaimana dicatat dengan sangat baik oleh Martin
Suryajaya dalam pengantar bertajuk “Kuburan Sastra Indonesia”, sekujur buku
Nisan Annemarie pada dasarnya menandai gerak ulak-alik antara tradisi dan
modernitas. Binhad seolah hendak “memperlihatkan bagaimana puisi modern
Eropa pun lahir dari obsesi tentang maut dan neraka,” bahkan “sensibilitas
barat modern pun diorganisasikan di sekitar batu nisan.”
Last but not least, puisi-puisi Binhad dapat
dijadikan sebagai sumber inspirasi untuk menghayati kecemasan eksistensial
secara lebih otentik. Melalui puisi-puisi Binhad, yang saya sebut dengan
istilah “antropologi puitik”, kita dapat menggali kearifan tradisional yang
didasarkan pada prinsip “unum noris omnes”,
yang berarti “jika kau mengenal seseorang, maka kau mengenal seluruhnya” (if you know one, you know all). Prinsip
ini mengekspresikan gagasan yang sama dengan prinsip “kenalilah dirimu” (know yourself) dalam ajaran Socrates dan
prinsip “siapa mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya” (man ‘arafa nafsah ‘arafa rabbah) dalam ajaran Islam. Sebagai
penutup, izinkan saya mengutip sekali lagi puisi Binhad:
Barangkali
maut sebujur isyarat nyata
bahwa hidup semata belum sempurna
Langkah dan kata berakhir di balik tanah
adalah lubuk makna bagi yang musnah
bahwa hidup semata belum sempurna
Langkah dan kata berakhir di balik tanah
adalah lubuk makna bagi yang musnah
Ruang dan
waktu yang telah ditinggalkan
akankah tak terdaur di masa kemudian
Laksana sampah menggunung di dunia
lebur bersama masa dan kembali tiada?
akankah tak terdaur di masa kemudian
Laksana sampah menggunung di dunia
lebur bersama masa dan kembali tiada?
Kuburan
adalah firman terbujur membisu
dan angin membawa berita dari penjuru
Peristiwa tak sirna dari ingatan semesta
dan di bawah tanah bersemayam cerita
dan angin membawa berita dari penjuru
Peristiwa tak sirna dari ingatan semesta
dan di bawah tanah bersemayam cerita
Kehidupan
hanyalah benih masa silam
yang berkeliaran memburu masa depan
Kematian menunggu segala yang hidup
dan peristiwa menjadi pintu tak tertutup
yang berkeliaran memburu masa depan
Kematian menunggu segala yang hidup
dan peristiwa menjadi pintu tak tertutup
-- “Firman
Kuburan”, Nisan Annemarie (2020).
* Yang berminat pesan Nisan Annemarie (2020) dan Kuburan
Imperium (2019), langsung aja kontak penyair Binhad Nurrohmat.. Puisi tanpa
promosi bagai taman tak berbunga, hai begitulah kata para pujangga... 😁☕
Referensi:
Becker, Ernest, Escape from Evil (New York: The Free
Press, 1975).
Becker, Ernest, The Denial of Death (New York: The
Free Press, 1973).
Greenberg, Jeff, Linda Simon, Eddie Harmon-Jones,
Sheldon Solomon, Tom Pyszczynski, And Deborah Lyon, “Testing Alternative
Explanations For Mortality Salience Effects: Terror Management, Value
Accessibility, or Worrisome Thoughts?,” European Journal of Social Psychology,
Vol. 25 (1995).
Harmon-Jones, Eddie, Linda Simon, Jeff Greenberg,
Sheldon Solomon, Tom Pyszczynski, and Holly McGregor, “Terror Management Theory
and Self-Esteem: Evidence That Increased Self-Esteem Reduces Mortality Salience
Effects,” Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 72, No. 1 (1997).
Heidegger, Martin, Being and Time, trans. Joan
Stambaugh (Albany: State University of New York Press, 1996).
Malinowski, Bronislaw, Magic, Science and Religion
and Other Essays (Glencoe, Illinois: The Free Press, 1948).
Simon, Linda, Jeff Greenberg, Eddie Harmon-Jones, Tom
Pyszczynski, Sheldon Solomon, Jamie Arndt, and Teresa Abend, “Terror Management
and Cognitive-Exper iential Self-Theory: Evidence That Terror Management
Occurs in the Experiential System,” Journal of Personality and Social
Psychology, Vol. 72, No. 5 (1997).
Solomon, Sheldon, Jeff Greenberg, and Tom
Pyszczynski, “The Cultural Animal: Twenty Years of Terror Management Theory and
Research,” in Jeff Greenberg, Sander L. Koole, and Tom Pyszczynski, Handbook of
Experimental Existential Psychology (New York & London: The Guilford Press,
2004).
Tillich, Paul, The Courage to Be (New Haven: Yale
University Press, 1952).
Vail, Kenneth E., Zachary K. Rothschild, Dave R.
Weise, Sheldon Solomon, Tom Pyszczynski, and Jeff Greenberg, “A Terror
Management Analysis of the Psychological Functions of Religion”, Personality
and Social Psychology Review, Vol. 14, No. 1 (2010).
SUMBER: