Kamis, 26 Maret 2020

Menjadi Seekor Ikan di Pusaran Zaman - Resensi Novel "ARAPAIMA" Karya Nurhaeni Intan (Buku Mojok, 2019)



Oleh: Erwin Setia

Beberapa novel terbit menjadikan ikan sebagai hal sentral. Barangkali yang paling terkenal adalah The Old Man and The Sea karya peraih Nobel Sastra tahun 1954, Ernest Hemingway. Sebuah novel tentang seorang nelayan tua dan ikan-ikan buruannya yang menakrifkan secara telak arti kerja keras dan kesia-siaan. Arti kehidupan.
Lalu, ada dua novel karangan penulis perempuan Indonesia. Semusim, dan Semusim Lagi karya Andina Dwifatma dan Semua Ikan di Langit karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Selain menyajikan tokoh ikan, kedua novel tersebut memiliki kesamaan lain: menjuarai Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta, masing-masing tahun 2012 dan 2016. Lagi-lagi, dua novel tersebut menggunakan ikan sebagai simbol atau metafora yang menjadi poros sepanjang jalan cerita.
Judul : Arapaima
Penulis : Ruhaeni Intan
Tebal : vi + 94 halaman
Penerbit : Buku Mojok, 2019
ISBN: 978-602-1318-88-1
Maret 2019 sebuah novela hadir dengan menyajikan ikan sebagai judul dan tentu saja media penceritaan. Arapaima. “Arapaima adalah ikan predator dari Amerika Selatan yang berat tubuhnya bisa mencapai 200 kilogram dengan panjang dua hingga empat meter. Monster itu hidup di perairan air tawar sejak zaman prasejarah dan banyak diburu. Arapaima termasuk spesies ikan yang dilarang masuk ke Indonesia karena ia ikan yang rakus. Ia dapat melompat dari air dan memangsa apa pun yang bahkan tidak berasal dari dalam air. Ia bisa makan burung, belalang, katak, atau apa saja yang melintas di hadapannya saat ia lapar. Belum ada yang menyebut arapaima pernah menyerang manusia, tetapi itu pun tidak ada yang benar-benar tahu.” (hlm. 2).
Demikian Ruhaeni Intan, penulis kelahiran 30 April 1995 mengawali novelanya. Sekilas tampak seperti isi buku biologi pada bab hewan-hewan air. Tentu bukan. Ia adalah novela tentang kehidupan seorang perempuan berusia 20-an yang bekerja di toko ikan hias. Ia tinggal di lantai empat sebuah rumah susun. Di antara toko dan rusun tersebutlah kisah “aku” bergulir.
Toko dan rusun jelas sekali mewakili rutinitas hidup manusia muda kebanyakan. Sibuk dengan pekerjaan, pulang ke rumah dengan peluh dan beban-beban pekerjaan di hari esok, dan seterusnya. Begitu pulalah yang dialami tokoh utama dalam buku ini.
Namun, “aku” bukanlah sejenis pekerja yang ngotot dan berusaha semaksimal mungkin untuk perusahaan agar kariernya cepat meningkat dan dibayar lebih mahal. Alih-alih, ia melakukan banyak hal yang tak disukai bos manapun: mencuri, membolos, dan punya sejenis kebencian terhadap tempat kerja.
Begini katanya soal tempat kerja: “Kami kembali ke sebuah tempat di mana setiap orang tidak diperbolehkan menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Sebuah tempat di mana bagiku, setiap orang terlahir kembali sebagai sosok yang membawa keuntungan atau yang mendatangkan kerugian. Hanya itu.” (hlm. 41)
Sepintas, tokoh “aku” mengingatkan pada Meursault dalam The Stranger-nya Albert Camus. Perihal orang yang terkesan tak peduli dengan apa pun soal hidup dan selalu ingin menikmati kebebasan. Ia masuk kerja karena ia ingin dan ia membolos karena ia ingin. Semua berdasarkan keinginan sendiri tanpa hasrat khusus untuk menyenangkan siapa-siapa.
Dalam novela dengan alur dan narasi yang lancar serta gaya penceritaan yang tak membosankan ini, memang ada tokoh-tokoh lain. Sebut saja Leni rekan kerja “aku”, Rahma tetangga rusun, dan Kak Pri suami Rahma. Tokoh-tokoh itu memiliki bagian cerita sekaligus kemalangan masing-masing. Masalah pekerjaan, rumah tangga, dan kehidupan yang kerap berjalan tidak sesuai dengan harapan.
“Aku” memiliki keterkaitan dengan mereka, tapi tidak sampai membuat ia menjalin ikatan istimewa dengan mereka semisal persahabatan atau semacamnya. Semuanya bisa dengan mudah lepas dan berlalu. Begitulah cara ia menjalani hidup di dunia. Dunia yang menurutnya bagaikan sebuah mal. “Bayangkan bahwa gedung megah ini adalah dunia tempat kita sekarang menjalani hidup. Tempat yang paling bawah, lahan parkir, adalah tempat kita tinggal dan menjalani kehidupan selama ini. Panas, pengap, sangat sedikit udara, dan mencekik. Semua itu karena kehidupan yang ada di atasnya. Kita menanggung penderitaan dari kehidupan menyenangkan yang berada di atas kita.” (hlm. 47)
Selain ketakacuhan tokohnya, poin menarik dari novela ini adalah bagaimana ia menjabarkan serba-serbi kehidupan dari sudut pandang perempuan yang kompleks dengan ringkas dan tangkas. Kebanyakan tokoh dalam novela ini adalah perempuan. Hanya ada tiga tokoh lelaki yang mencolok—Kak Pri, pemilik toko, dan pemilik rusun—dan semuanya tergambarkan dengan muka penuh borok masing-masing.
Perempuan-perempuan di dalam Arapaima adalah perempuan-perempuan yang terluka. Dengan bentuk dan takaran luka yang berbeda-beda. Peggambaran Putri—anak perempuan Rahma dan Kak Pri—sebagai bocah yang hanya bisa berbahasa isyarat karena tak bisa berbicara dan mendengar juga bukan tanpa makna. Ia semacam metafora atas suara yang dibungkam dan ‘kebebasan’ yang dikekang.
Arapaima memang bukan sejenis Perempuan di Titik Nol-nya Nawal El Saadawi atau Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur-nya Muhidin M. Dahlan yang terang-terangan mengungkapkan “pemberontakan” perempuan secara pemikiran maupun tindakan. Namun, pada beberapa titik novela ini membawakan gagasan tentang perempuan yang tak seharusnya hanya diam dan pasrah, melainkan harus bergerak dan melawan. Walaupun hidup tidak akan berubah banyak. Penderitaan dan kesusahan tetap ada—ketika kau melawan ataupun pasrah.
Ilustrasi - Copyright: www.berdikaribook.red
Pada akhirnya, setelah semua yang telah ia lakukan dan alami dalam hidup, seperti Abu Bakar yang dalam Alquran disebutkan ingin menjadi debu, “aku” berpikir untuk menjadi ikan saja. Ikan arapaima. “Tidak ada bedanya menjadi ikan arapaima atau menjadi manusia. Keduanya sama-sama terkutuk dan menyedihkan di hadapan manusia lain yang mengendalikan segala sesuatunya.” (hlm. 92)
Menjadi seekor ikan di pusaran zaman yang keras dan kencang seperti sekarang? Rasanya bukan pilihan yang buruk. (*)

__________
Biodata Peresensi
Erwin Setia lahir tahun 1998. Penikmat puisi dan prosa. Kini menempuh pendidikan di Prodi Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Solopos, Haluan, Koran Merapi, Padang Ekspres, dan Detik.com. Cerpennya terhimpun dalam Dosa di Hutan Terlarang (2018). Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14 atau melalui surel: erwinsetia2018@gmail.com.