Oleh: Erwin Setia
Beberapa novel terbit menjadikan ikan sebagai hal
sentral. Barangkali yang paling terkenal adalah The Old Man and The Sea karya peraih Nobel Sastra tahun 1954,
Ernest Hemingway. Sebuah novel tentang seorang nelayan tua dan ikan-ikan
buruannya yang menakrifkan secara telak arti kerja keras dan kesia-siaan. Arti
kehidupan.
Lalu, ada dua novel karangan penulis perempuan
Indonesia. Semusim, dan Semusim Lagi karya Andina Dwifatma dan Semua
Ikan di Langit karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Selain menyajikan
tokoh ikan, kedua novel tersebut memiliki kesamaan lain: menjuarai Sayembara
Novel Dewan Kesenian Jakarta, masing-masing tahun 2012 dan 2016. Lagi-lagi, dua
novel tersebut menggunakan ikan sebagai simbol atau metafora yang menjadi poros
sepanjang jalan cerita.
Judul : Arapaima
Penulis : Ruhaeni Intan
Tebal : vi + 94 halaman
Penerbit : Buku Mojok, 2019
ISBN: 978-602-1318-88-1
|
Maret 2019 sebuah novela hadir dengan menyajikan ikan
sebagai judul dan tentu saja media penceritaan. Arapaima. “Arapaima adalah
ikan predator dari Amerika Selatan yang berat tubuhnya bisa mencapai 200
kilogram dengan panjang dua hingga empat meter. Monster itu hidup di perairan
air tawar sejak zaman prasejarah dan banyak diburu. Arapaima termasuk spesies
ikan yang dilarang masuk ke Indonesia karena ia ikan yang rakus. Ia dapat
melompat dari air dan memangsa apa pun yang bahkan tidak berasal dari dalam
air. Ia bisa makan burung, belalang, katak, atau apa saja yang melintas di
hadapannya saat ia lapar. Belum ada yang menyebut arapaima pernah menyerang
manusia, tetapi itu pun tidak ada yang benar-benar tahu.” (hlm. 2).
Demikian Ruhaeni Intan, penulis kelahiran 30 April 1995 mengawali
novelanya. Sekilas tampak seperti isi buku biologi pada bab hewan-hewan air.
Tentu bukan. Ia adalah novela tentang kehidupan seorang perempuan berusia 20-an
yang bekerja di toko ikan hias. Ia tinggal di lantai empat sebuah rumah susun.
Di antara toko dan rusun tersebutlah kisah “aku” bergulir.
Toko dan rusun jelas sekali mewakili rutinitas hidup manusia muda
kebanyakan. Sibuk dengan pekerjaan, pulang ke rumah dengan peluh dan
beban-beban pekerjaan di hari esok, dan seterusnya. Begitu pulalah yang dialami
tokoh utama dalam buku ini.
Namun, “aku” bukanlah sejenis pekerja yang ngotot dan berusaha
semaksimal mungkin untuk perusahaan agar kariernya cepat meningkat dan dibayar
lebih mahal. Alih-alih, ia melakukan banyak hal yang tak disukai bos manapun:
mencuri, membolos, dan punya sejenis kebencian terhadap tempat kerja.
Begini katanya soal tempat kerja: “Kami kembali ke
sebuah tempat di mana setiap orang tidak diperbolehkan menunjukkan dirinya yang
sebenarnya. Sebuah tempat di mana bagiku, setiap orang terlahir kembali sebagai
sosok yang membawa keuntungan atau yang mendatangkan kerugian. Hanya itu.” (hlm.
41)
Sepintas, tokoh “aku” mengingatkan pada Meursault dalam
The Stranger-nya Albert Camus. Perihal orang yang terkesan tak peduli
dengan apa pun soal hidup dan selalu ingin menikmati kebebasan. Ia masuk kerja
karena ia ingin dan ia membolos karena ia ingin. Semua berdasarkan keinginan
sendiri tanpa hasrat khusus untuk menyenangkan siapa-siapa.
Dalam novela dengan alur dan narasi yang lancar serta
gaya penceritaan yang tak membosankan ini, memang ada tokoh-tokoh lain. Sebut
saja Leni rekan kerja “aku”, Rahma tetangga rusun, dan Kak Pri suami Rahma.
Tokoh-tokoh itu memiliki bagian cerita sekaligus kemalangan masing-masing.
Masalah pekerjaan, rumah tangga, dan kehidupan yang kerap berjalan tidak sesuai
dengan harapan.
“Aku” memiliki keterkaitan dengan mereka, tapi tidak
sampai membuat ia menjalin ikatan istimewa dengan mereka semisal persahabatan
atau semacamnya. Semuanya bisa dengan mudah lepas dan berlalu. Begitulah cara
ia menjalani hidup di dunia. Dunia yang menurutnya bagaikan sebuah mal. “Bayangkan
bahwa gedung megah ini adalah dunia tempat kita sekarang menjalani hidup.
Tempat yang paling bawah, lahan parkir, adalah tempat kita tinggal dan
menjalani kehidupan selama ini. Panas, pengap, sangat sedikit udara, dan
mencekik. Semua itu karena kehidupan yang ada di atasnya. Kita menanggung
penderitaan dari kehidupan menyenangkan yang berada di atas kita.” (hlm.
47)
Selain ketakacuhan tokohnya, poin menarik dari novela ini
adalah bagaimana ia menjabarkan serba-serbi kehidupan dari sudut pandang
perempuan yang kompleks dengan ringkas dan tangkas. Kebanyakan tokoh dalam
novela ini adalah perempuan. Hanya ada tiga tokoh lelaki yang mencolok—Kak Pri,
pemilik toko, dan pemilik rusun—dan semuanya tergambarkan dengan muka penuh
borok masing-masing.
Perempuan-perempuan di dalam Arapaima adalah
perempuan-perempuan yang terluka. Dengan bentuk dan takaran luka yang berbeda-beda.
Peggambaran Putri—anak perempuan Rahma dan Kak Pri—sebagai bocah yang hanya
bisa berbahasa isyarat karena tak bisa berbicara dan mendengar juga bukan tanpa
makna. Ia semacam metafora atas suara yang dibungkam dan ‘kebebasan’ yang
dikekang.
Arapaima memang bukan sejenis Perempuan di Titik
Nol-nya Nawal El Saadawi atau Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur-nya Muhidin M.
Dahlan yang terang-terangan mengungkapkan “pemberontakan” perempuan secara
pemikiran maupun tindakan. Namun, pada beberapa titik novela ini membawakan
gagasan tentang perempuan yang tak seharusnya hanya diam dan pasrah, melainkan
harus bergerak dan melawan. Walaupun hidup tidak akan berubah banyak.
Penderitaan dan kesusahan tetap ada—ketika kau melawan ataupun pasrah.
Ilustrasi - Copyright: www.berdikaribook.red |
Pada akhirnya, setelah semua yang telah ia lakukan dan
alami dalam hidup, seperti Abu Bakar yang dalam Alquran disebutkan ingin
menjadi debu, “aku” berpikir untuk menjadi ikan saja. Ikan arapaima. “Tidak
ada bedanya menjadi ikan arapaima atau menjadi manusia. Keduanya sama-sama
terkutuk dan menyedihkan di hadapan manusia lain yang mengendalikan segala
sesuatunya.” (hlm. 92)
Menjadi seekor ikan di pusaran zaman yang keras dan
kencang seperti sekarang? Rasanya bukan pilihan yang buruk. (*)
__________
Biodata
Peresensi
Erwin Setia lahir tahun
1998. Penikmat puisi dan prosa. Kini menempuh pendidikan di Prodi Sejarah dan
Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan-tulisannya pernah
dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Media Indonesia,
Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Solopos, Haluan, Koran
Merapi, Padang Ekspres, dan Detik.com. Cerpennya terhimpun
dalam Dosa di Hutan Terlarang (2018). Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14 atau melalui surel: erwinsetia2018@gmail.com.