Rabu, 31 Januari 2018

Workshop Menulis Cerpen 2018



Kabar bahagia....



Setelah sukses dengan gelaran Workshop Menulis Cerpen 2017, TERMINAL SASTRA  kembali membuka kesempatan untuk pendaftaran peserta Workshop Menulis Cerpen 2018.



Materi meliputi  
(1) Membangun dan mempertajam ide, 
(2) Membangun tokoh, perwatakan, latar, alur, dan konflik, 
(3) Mematangkan paragraf pembuka dan paragraf penutup cerpen, 
(4) Mematangkan gaya penulisan, 
(5) Editing,dan
(6) Kiat Menembus media massa.



Workshop akan diampu oleh Dadang Ari Murtono, Anjrah Lelono Broto, dan Tim Produksi Terminal Sastra.



Pelaksanaan tatap muka dan tempat akan dikonfirmasi setelah kuota 40 peserta terpenuhi.



Biaya pendaftaran workshop sebesar Rp. 300 ribu



Fasilitas: 
(a) makalah
(b) sertifikat pelatihan 32 jam, dan 
(c) penerbitan buku antologi cerpen peserta.



Narahubung dan pendaftaran silakan colek Mochammad Asrori - 085231586507.


ANYAMAN RITUS -- Epilog Buku LEBARAN Karya Kalim Sugiyanti



Oleh Anjrah Lelono Broto *)


“...Any text  is constructed as a mosaic of quatations: any text is  the absorption and tranformation of another. The nation of intertextuallity replaces that of intersubjectivity..”
(Julia Kristeva dalam Graham, 2011:32)

Cover buku LEBARAN
     Intertekstualitas dapat dipahami sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain (Ratna, 2012: 172). Teks itu sendiri secara etimologi (textus, bahasa Latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi dan, transformasi. Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur  budaya termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumnya (Nurgiyantoro, 1988: 50).
     Teori intertekstual memandang bahwa sebuah teks yang ditulis meniscayakan mendasarkan diri pada teks-teks lain yang telah ditulis orang sebelumnya. Tidak ada sebuah teks pun yang benar-benar mandiri, dalam arti penciptaannya dengan konsekuensi  pembacaannya juga, dilakukan tanpa sama sekali berhubungan dengan teks lain yang dijadikan semacam contoh, teladan, kerangka atau acuan. (Teeuw, 1984: 145).
     Sehimpun puisi dalam buku Lebaran, secara gamblang, menyalakan cahaya kesadaran diri akan adanya teks-teks lain yang menjadi pijakan kelahirannya. Jikalau A. Teeuw menyebut bahwa ada teks-teks yang telah ditulis orang sebelumnya mampu menjadi sandaran lahirnya karya-karya sastra baru maka beberapa puisi dalam buku ini tidak hanya berangkat dari teks yang ditulis oleh orang, melainkan berangkat dari teks kitab suci (Al Qur’an, pen) yang difirmankan Tuhan. Sedangkan, beberapa puisi yang lain bersandar pada teks-teks yang tidak berupa tulisan, melainkan seperangkat kebiasaan yang telah membudaya, bahkan menjelma menjadi sistem adat di dalam masyarakat kita. Tetapi, ada pula beberapa puisi di dalam buku Lebaran ini yang bersandar pada teks-teks berupa entitas pribadi yang tidak dapat kita jumpai di tempat, waktu, dan budaya yang berbeda. Artinya, intertekstualitas dalam buku ini diklasifikasikan menjadi; (a) puisi yang bersandar pada teks Al Qur’an; (b) puisi yang bersandar pada teks ritus budaya; dan (c) puisi yang bersandar pada teks referensi pribadi penyair. Tiga klasifikan intertekstualitas inilah yang berbaris bershaf-shaf dengan dalam perjamaahan puisi Lebaran dan diimami oleh Kalim Sugiyanti.

~ 1
      // Diwajibkan atas kamu berpuasa / Seperti yang telah diwajibkan / Kepada orang-orang yang terdahulu // Bait pertama puisi Puasa dalam buku ini secara nyata menampakkan diri sebagai hipogram dari teks lain yaitu QS. Al Baqarah ayat 183-187. Perlu sedikit diingat bahwa hipogram merupakan karya sastra yang menjadi latar kelahiran karya berikutnya. Sedangkan karya berikutnya dinamakan karya transformasi. Hipogram dan transformasi ini akan terus berjalan selama proses sastra itu hidup. Hipogram merupakan ‘induk’ yang akan menetaskan karya-karya baru (Rifarterre dalam Endraswara, 2011:132). Nukilan QS. Al Baqarah ayat 193-187 merupakan induk lahirnya karya baru berupa puisi yang ditulis-raut oleh Kalim Sugiyanti dalam buku ini.
     Bait-bait berikutnya dalam puisi Puasa menghadirkan uraian penjelasan tentang hikmah dan tata cara ibadah puasa. Uraian untuk menahan lapar dan haus ternyata diperluas dalam puisi Puasa ini menjadi menahan hawa nafsu secara keseluruhan hingga batas waktu tertentu. Sebagaimana yang tersurat dalam QS. Al Baqarah ayat 183-187, Kalim Sugiyanti memberikan paparan melalui diksi-diksi puisinya bahwa menahan hawa nafsu terdiri dari; / Menahan amarah / Menahan bicara yang tidak berguna / Menahan pendengaran yang kotor / Menahan dari pandangan yang liar / Menahan dari berbuat maksiat / Menahan dari prasangka yang buruk / Menahan, menahan, menahan /.
     Dalam puisi Adzan Maghrib, Malam Seribu Bulan, dan Nuzulul Quran karya Kalim Sugiyanti dalam buku ini juga termaktub hipogram yang berasal dari Al Qur’an. Tentang adzan magrib sebagai tanda waktu berbuka -ritus mengakhiri ibadah puasa dengan makan dan minum-, tentang malam yang lebih baik dari malam seribu bulan di mana pintu ampunan-Nya dibuka lebar-lebar bagi umat Islam yang mau menjalankan ibadah malam, dan tentang malam di mana surat pertama dalam Al Quran diturunkan ke bumi menjadi modal lahirnya tiga puisi karya Kalim Sugiyanti ini.
     Sebagai sedikit pembanding, seorang Taufiq Ismail juga melakukan praktik-praktik hipogram seperti ini. Salah satunya adalah dalam puisi yang juga bertema tentang Puasa Ramadhan melalui puisinya yang dilagukan oleh Bimbo; Ada Anak Bertanya Pada Bapaknya. Bait kedua dalam puisi tersebut; Lapar mengajarmu rendah hati selalu / Tadarus artinya memahami kitab suci / Tarawih mendekatkan diri pada Ilahi //. Kalimat “Lapar  mengajarmu rendah hati selalu” memiliki hipogram dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud sebagai berikut: “Sesungguhnya Nabi SAW. bersabda : “Puasa adalah tameng, apabila salah seorang di antara kalian berpuasa maka janganlah ia berkata kotor, dan melakukan perbuatan bodoh. Apabila terdapat seseorang memusuhinya atau mencelanya maka hendaknya ia mengatakan; aku sedang berpuasa.” (Habiburrahman El Shirazy, AT-TABSYIR, Volume 2, Nomor 1 Januari-Juni 2014).

~ 2
     Ritus adalah kata sifat dari ‘rites’ dan juga ada yang merupakan kata benda. Sebagai kata sifat, ritus adalah segala yang dihubungkan atau disangkutkan dengan upacara keagamaan, seperti ritual dance, ritual laws. Sedangkan sebagai kata benda adalah segala yang bersifat upacara keagamaan, seperti upacara Gereja Katolik (Hornby dalam Bustanuddin, 2005:1996). Semua agama mengenal ritus karena setiap agama memiliki ajaran tentang hal yang sakral. Salah satu tujuan pelaksanaan ritual adalah pemeliharaan dan pelestarian kesakralan. Di samping itu, ritus merupakan tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci dan memperkuat hubungan solidaritas kelompok yang menimbulkan rasa aman dan memperkuat keyakinan.
     Islam melalui salah satu ibadahnya yaitu puasa di bulan Ramadhan juga diiringi dengan ritus-ritus. Kalim Sugiyanti dalam buku ini menggunakan ritus-ritus tersebut sebagai sandaran kelahiran puisi-puisinya. Puisi Idhul Fitri, Zakat, Lebaran 1, Lebaran 2, serta beberapa puisi lainnya menggambarkan hal-hal yang dianjurkan untuk dilakukan sebagai bagian dari keafdhalan menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Anjuran untuk saling memaafkan usai melaksanakan shalat Id sebagaimana hikmah puasa bahwa sebulan berpuasa akan membuat umat Islam yang menjalankannya akan kembali suci, dosa-dosa yang telah dilakukannya setahun lalu telah diampuni-Nya, ditandai-ditandaskan dengan ritus saling bersilahturahmi serta saling memaafkan. Bait kedua dalam puisi Lebaran 1 misalnya, menyampaikan dengan gamblang tentang ritus saling memaafkan tersebut.
     Begitu pula dengan bait terakhir dalam puisi Zakat. Ibadah zakat fitrah yang menjadi rukun wajib diterimanya ibadah puasa di bulan Ramadhan menjelma ruh puisi tersebut. Pesan ibadah zakat untuk memberikan sebagian harta kita kepada kaum yang membutuhkan diuraikan dalam diksi-diksi di baris-bait puisi Zakat. Perhatikan bait ketiga dalam puisi Zakat ini; / Terbersit ajaran agama / Untuk membagikan sebagian yang kita punya / Zakat salah satunya /. Kalim Sugiyanti menjadikan ritus zakat sebagai sandaran utama puisinya.
     Sebagai bagian dari masyarakat muslim Indonesia, lebih spesifik lagi; Jawa, Kalim Sugiyanti juga memasukkan ritus-ritus muslim di tanah air dan etnik Jawa sebagai sandaran utama beberapa puisinya di buku ini. Adanya puisi Mudik, Reuni, Nyekar, Uang Baru, Kupatan, THR, serta beberapa puisi lain menempatkan ritus budaya mudik (pulang kampung, pen), kegiatan reuni keluarga maupun sekolah, tradisi ziarah leluhur, serta pembagian baru kepada anggota keluarga yang lebih muda, sebagai sandaran utama. Ritus-ritus ini tidak secara eksplisit termaktub dalam Al Quran namun fenomena ini telah menjadi ritus tahunan yang menyertai datangnya waktu menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

~ 3
     Nampaknya spesifikasi seorang Kalim Sugiyanti di atas harus ditambah lagi. Selain sebagai bagian dari muslim di Indonesia dan etnik Jawa, dirinya merupakan pribadi yang memiliki relasi kuat dengan kota kelahirannya; Magetan. Beberapa puisi dalam buku Lebaran ini menggunakan teks-teks referensi pribadi sang penyair yang menghadirkan relasi kokoh dirinya dengan Kota Magetan.
     Puisi Jenang Mbok Darmi, salah satunya. Puisi ini menggunakan teks berupa entitas jenang (sejenis nama penganan dalam bahasa Jawa, pen) yang ada di kota Magetan. Teks “Jenang Mbok Darmi” ini merupakan referensi pribadi seorang Kalim Sugiyanti yang tidak dimiliki publik yang tidak lahir di kota Magetan. Bait kedua puisi ini; / Sudah berganti generasi / Namun jenang campur mbok darmi / Memiliki cita rasa tersendiri / menunjukkan kekuatan referensial individu penyair dengan teks kuliner tersebut.
     Ketika mata pembaca buku ini sampai pada puisi Jalan Sawo, Gethuk Gedang, Sambel Pecel Mbak Siti, maupun Bubur Pecel, maka kekuatan referensial individu penyair tersebut juga tergambarkan dengan jelas. Ungkapan Julia Kristeva bahwa setiap teks lahir adalah hasil daripada kutipan, modifikasi, transformasi dan resapan daripada teks-teks lain juga dihadirkan puisi-puisi ini.
     Sebagai catatan pribadi, meski sedikit beraroma digresi, apa yang dilakukan Kalim Sugiyanti dengan teks-teks referensial individual pada beberapa puisinya dalam buku Lebaran ini seperti menjadi katalog fenomena budaya (khususnya kuliner) kota Magetan. Sebuah langkah pilihan yang disadari atau tidak sama saja dengan promosi wisata budaya Kota Tepo tersebut. Ragam puisi seperti inilah yang seyogyanya diapresiasi positif oleh stake holder yang terkait demi terdongkraknya Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota Magetan dari sektor pariwisata.

~4
     Di dalam kitab Wahyu al Qalam, Musthafa Shadiq al-Rafi’i, sastrawan pengibar panji sastra Islam ternama di Mesir, menulis perbedaan ilmuwan dan sastrawan. Ilmuwan menurut  al-Rafi’i menyampaikan pemikiran. Sedangkan sastrawan adalah menyampaikan pemikiran  disertai dengan keindahan gaya seninya (al-Rafi’i: 2000: 191). Ritus-ritus yang menyertai ditunaikannya ibadah puasa di bulan Ramadhan, bagi kita mungkin sudah tidak asing lagi. Berlaksa kajian, penelitian, diskusi, hingga reportase, telah bertebaran. Namun menjadikan ritus-ritus tersebut sebagai teks lain yang menjadi ruh utama karya sastra mungkin masih bisa dihitung dengan jari. Terlebih, jika hal ini dilakukan oleh satu orang penyair dalam satu buku. Banyak penyair dadakan telah melakukannya, namun masih bersifat keroyokan (antologi bersama, pen). Seorang Taufiq Ismail telah menulis satu-dua puisi dengan teks puasa di bulan Ramadhan, namun beliau tak mampu menulis berpuluhan dan memenuhi kriterium untuk diapresiasi dalam satu buku. Di buku ini, ritus-ritus tersebut dianyam dalam puluhan puisi yang teranyam indah untuk dibaca dan diapresiasi.
     Sadarilah, Kalim Sugiyanti telah melakukan itu dengan Lebaran.

---- oo0oo ----

Mojokerto, Desember 2017


*) pegiat literasi, pengurus LESBUMI Kabupaten Mojokerto, memandang waktu berbuka puasa adalah waktu yang paling indah selain membaca puisi


Sumber Pustaka
Allen, Graham. 2011. Intertextuality. London and New York: Routledge.
Al-Rafi’i, Mushthafa Shadiq. 2000. Wahyu al-Qalam. Kairo: Maktabah Mishr.
At-Tabsyir, Volume 2, Nomor 1, Januari – Juni 2014
Bustanudin, Agus. 2005. Agama dalam Kehidupan Manusia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra.Yogyakarta: CAPS.
Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kurtha, 2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teeuw, A., 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.


Selasa, 30 Januari 2018

Membaca Ulang "Si Binatang Jalang"



Oleh Anjrah Lelono Broto *)


 
Chairil Anwar - Sumber: https://orig00.deviantart.net
    
Di Pekanbaru, tahun 2012 lalu, Sutardji Chalzoum Bachri beserta 40 penyamun, eh penyair di tanah air memproklamirkan tanggal 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia. Meski lebih dilatarbelakangi oleh rasa iri hati pada Vietnam, para petinggi jagad kepenyairan tanah air menetapkan tanggal lahir Chairil Anwar “Sang Binatang Jalang” sebagai hari besar masyarakat pecinta puisi Indonesia.
     Melewati sebuah riset yang (konon) panjang, para petinggi jagad kepenyairan tanah air menobatkan figur Chairil Anwar sebagai pribadi penyair yang mewarnai corak perkembangan puisi Indonesia dari masa ke masa. Puisi yang baik memang bukan semata puisi yang tak lekang oleh zaman, tapi juga mampu memindahkan jarum kompas apresiasi-kreasi puisi berzaman-zaman.
     Jikalau kita sudi berbaik hati menengok sejarah, Chairil Anwar tidak hanya nama tokoh penyair Angkatan 45-nya HB Jassin, namun juga sebuah ikon proses kreatif perpuisian yang menghidupkan bahasa dan sastra kita. Karya-karyanya menjadi pondasi penulisan puisi sampai hari ini. Kita dengan mudah dapat menemukan tapak tangan-rasanya masterpiece puisi-puisi Indonesia di era 60-an sampai sekarang.
     Selama ini, banyak dari kita ditenggelamkan oleh mitos pendobrakan gaya puisi lama oleh Chairil Anwar. “Si Binatang Jalang” itu membunuh gaya-gaya penulisan jagoan-jagoan Pujanga Baru yang masih memuja-muja Raja Ali Haji, Hamzah Fansuri, Nurruddin Ar Raniri, ataupun Syamsudin Asy Samatrani. Kita semua sejatinya tahu bahwa mitos itu hanyalah rekayasa karib Chairil Anwar; HB Jassin. Pembangunan mitos demikian memang ada baiknya, mengingat publik kita adalah publik penyuka figur. Namun, pembangunan mitos ini dapat pula justru membuat kita malas mengapresiasi karya-karyanya secara berimbang.
     Padahal, sejatinya “Si Binatang Jalang” ini sebelumnya tekun mengerjakan studi terhadap sastra dunia, mengadopsi-mengadaptasi, serta merumuskannya dalam bahasanya. Seorang penyair pada dasarnya adalah perajin dan pemikir; sebagai perajin Chairil Anwar senantiasa bermain-main dengan berbagai resep para pendahulunya (baca; mengadopsi); dan sebagai pemikir ia mengadaptasinya sesuai dengan literatur dan sistem kebahasaan pribadinya. “Si Binatang Jalang” ini justru memperluas tradisi yang telah mapan. Tengok saja, puisi-puisi terbaiknya justru yang dituangkan dalam format kuatrin berima; “Senja Di Pelabuhan Kecil”, “Derai-Derai Cemara”, dan “Yang Terampas dan Putus”, membuktikannya.
     Tentang kemanjuran tapak-rasanya yang dapat ditangkap dalam masterpiece penyair-penyair sesudahnya, kita akan menemukan benang merah dengan apa yang diyakini oleh Jorge Luis Borges, sastrawan kenamaan dari negerinya Lionel Messi. Ketika penyair menghadapi tradisi yang ada di belakangnya; dan jika tradisi itu terlalu besar dan membebani, maka ia memilih sejumlah pendahulu belaka. Ia bukan hanya memilih, melainkan menciptakan para pendahulunya, dan dengan itu karyanya mengubah cara kita memandang masa lalu dan masa depan. Kuatrin berima-nya “Si Binatang Jalang” yang terpengaruh  Amir Hamzah, dan penyair-penyair Pujangga Baru lainnya ternyata juga dapat kita jumpai dalam karya-karya Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad. Sapardi sendiri mengakui bahwa puisi-puisi Chairil Anwar yang disukainya adalah yang kembali kepada bentuk klasik; dan Goenawan lebih mengadopsi kuatrin-kuatrin berimanya Chairil Anwar yang mengandung disharmoni.
     Tapak-rasa Chairil Anwar juga dapat dengan gamblang kita jumpai pada karya-karya Sitor Situmorang, WS Rendra, bahkan presiden penyair yang tak kunjung dikudeta; Sutardji Chalzium Bachri.  Pantun-pantun baru Sitor Situmorang merupakan pilihan jalan yang dilaluinya, jika Chairil Anwar jatuh cinta dengan kuatrin dan sonet, maka Sitor jatuh cinta pada pantun. WS Rendra yang hobby menulis puisi naratif pun sejatinya hanyalah bentuk adaptasi bebas puisi-puisi Chairil Anwar dan para epigonnya. Puisi-puisi WS Rendra juga banyak diilhami frase-frase mengambang ala “Si Binatang Jalang”. Sutardji mengatakan puisinya kembali kepada mantra, tetapi Chairil Anwar sudah jauh lebih dulu menulis mantra modern seperti “Cerita Buat Dien Tamaela”.
     Melalui pembacaan ulang karya-karya “Si Binatang Jalang” kita tidak hanya melepaskan diri dari kemalasan untuk mengapresiasi karya-karyanya secara berimbang, dimana kita dengan patuh menelan mentah-mentah kepiawaiannya yang dimitoskan sebegitu rupa oleh HB Jassin, serta menerima tanpa bantahan ditetapkannya hari lahirnya sebagai Hari Puisi Indonesia. Ternyata pemuja cinta eros seperti “Si Binatang Jalang” ini adalah pribadi penyair yang tekun mengurai studi tentang sastra dunia dari masa ke masa, dan tidak hanya narsis dengan licentia poetica yang terberi padanya sebagai penyair.
     Sejumput fatihah pada “Si Binatang Jalang” dan Selamat Hari Puisi Indonesia.

*****