Oleh Mashuri Alhamdulilah
Istiqomah lebih utama daripada
seribu karamah. Demikianlah sebuah adagium dalam dunia sufi yang termaktub
dalam kitab-kitab lawas untuk menunjukkan seberapa dahsyat, mantab, dan sulit
untuk berlaku inten dan konsisten. Saya mencatat, salah satu penulis yang
istiqomah di jalur seni dan penulisan di Jawa Timur hingga akhir hayat adalah
almarhum Hardjono W.S.. Alhamdulillah, kiprah, ketokohan dan karyanya diuri-uri
kawan-kawan sastra di acara Ronda Sastra, hari Minggu kemarin, 21-01-2018.
Poster agenda RONDA SASTRA Vol. 4 |
Hardjono W.S. lahir di Bondowoso, 11
Maret 1945 dari pasangan R.W. Sotrisno dan Rr. Roekminiwati dengan nama lengkap
R. Soehardjono. Ia wafat di Jatidukuh, Gondang, Mojokerto, pada 23 Januari
2013. Pada perkembangannya, ia mengubah namanya menjadi Hardjono W.S. Soal
kiprah, prestasi, dan pengubahan nama ini dapat dilihat di Wikipedia.
Hardjono WS termasuk sosok langka.
Ia tidak hanya penulis, tetapi dramawan dan seni rupawan. Ia termasuk generasi
AKSERA (Akademi Seni Rupa Surabaya) yang menghasilkan seniman-seniman
legendaris. Sebelum aktif menulis pada 1972, ia sudah aktif di seni rupa, dan
itu berlangsung hingga akhir hayatnya. Kiprahnya yang terbilang langka adalah
perhatiannya pada teater anak-anak, yang hingga kini hanya diikuti 1-2 dramawan
di Jawa Timur.
Saya mengenal almarhum tepat tahun
2000. Ketika itu diadakan peluncuran buku puisi "Memo Putih",
kumpulan sajak 14 penyair Jawa Timur di Gedung Cak Durasim, Surabaya. Pak
Hardjono membacakan beberapa puisinya yang termasuk dalam kumpulan antologi
tersebut. Ia juga membaca puisi yang terus berdengung di telinga saya. Saya
lupa judulnya, tetapi intinya, berupa kritik pada para penyair yang suka
bergelap-gelap dalam menulis puisi. Ehm. Kala itu, saya sedang menyuntuki puisi
gelap dan merasa spirit puisinya kontraproduktif dengan puisi gelap.
Namun, semakin ke sini, saya
menyadari bahwa puisinya adalah semacam pengingat pada generasi muda Surabaya
saat itu yang sedang gandrung kepati pada puisi gelap ---dengan segala
eksplorasinya. Artinya, almarhum lebih dulu mengerti sejarah sastra Indonesia
dan berusaha untuk mengingatkan kawan-kawan penyair untuk tidak asyik dengan
puisi yang bermadhab gelap semata karena itu pernah terjadi dalam sejarah
sastra Indonesia. Pada saat itu, kiblat kepenyairan kawan-kawan muda Surabaya
memang bukan penyair Indonesia, kecuali Kriapur, barangkali.
Henry Nurcahyo dalam kesaksiannya tentang Hardjono WS |
Selain itu, ada beberapa karya
almarhum yang telah saya baca. Salah satunya adalah novel "Surat-surat
Orang Pulau" terbit April 2009. Sekilas novel itu berbau politik, tetapi
ketika didalami ternyata nuansa politik hanya bungkus. Novel itu berbicara
tentang manusia, penderitaan dan harapan. Estetika novel tersebut mengingatkan
saya pada salah satu karya novelis Prancis, Andre Gide berjudul "Simponi
Pastoral". Bedanya, bila Pak Hardjono menggunakan model penceritaan lewat
surat-surat, Gide menggunakan penceritaan dan alur dengan buku harian.
Novel tersebut merupakan salah satu
kesaksian korban yang di-Buru-kan pada masa pasca-pembersihan PKI oleh Orde
Baru. Saya menjadikannya salah satu objek riset tapi hingga kini belum kelar
karena saya sedang berburu karya almarhum lainnya untuk melihat kecenderungan
estetika karya-karyanya secara menyeluruh.
Demikianlah, sekilas tentang
pertemuan saya dengan Pak Hardjono. Sepanjang hayat Pak Hardjono terus
konsisten berkarya dan menulis ---sebuah kondisi dan laku yang sangat-sangat
sulit. Semoga terang-benderang kuburnya, diampuni dosanya dan mendapat tempat
yang layak di sisi Sang Khalik!
On Siwalanpanji, 2018