Oleh Anjrah
Lelono Broto *)
“...Any
text is constructed as a mosaic of
quatations: any text is the absorption
and tranformation of another. The nation of intertextuallity replaces that of
intersubjectivity..”
(Julia Kristeva dalam Graham, 2011:32)
Cover buku LEBARAN |
Intertekstualitas dapat dipahami sebagai
jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain (Ratna, 2012: 172). Teks
itu sendiri secara etimologi (textus,
bahasa Latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan.
Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi
dan, transformasi. Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya
ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya termasuk semua konvensi dan tradisi di
masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis
sebelumnya (Nurgiyantoro, 1988: 50).
Teori intertekstual memandang bahwa sebuah
teks yang ditulis meniscayakan mendasarkan diri pada teks-teks lain yang telah
ditulis orang sebelumnya. Tidak ada sebuah teks pun yang benar-benar mandiri,
dalam arti penciptaannya dengan konsekuensi
pembacaannya juga, dilakukan tanpa sama sekali berhubungan dengan teks
lain yang dijadikan semacam contoh, teladan, kerangka atau acuan. (Teeuw, 1984:
145).
Sehimpun puisi dalam buku Lebaran, secara gamblang, menyalakan
cahaya kesadaran diri akan adanya teks-teks lain yang menjadi pijakan
kelahirannya. Jikalau A. Teeuw menyebut bahwa ada teks-teks yang telah ditulis
orang sebelumnya mampu menjadi sandaran lahirnya karya-karya sastra baru maka
beberapa puisi dalam buku ini tidak hanya berangkat dari teks yang ditulis oleh
orang, melainkan berangkat dari teks kitab suci (Al Qur’an, pen) yang
difirmankan Tuhan. Sedangkan, beberapa puisi yang lain bersandar pada teks-teks
yang tidak berupa tulisan, melainkan seperangkat kebiasaan yang telah
membudaya, bahkan menjelma menjadi sistem adat di dalam masyarakat kita.
Tetapi, ada pula beberapa puisi di dalam buku Lebaran ini yang bersandar pada teks-teks berupa entitas pribadi
yang tidak dapat kita jumpai di tempat, waktu, dan budaya yang berbeda. Artinya,
intertekstualitas dalam buku ini diklasifikasikan menjadi; (a) puisi yang
bersandar pada teks Al Qur’an; (b) puisi yang bersandar pada teks ritus budaya;
dan (c) puisi yang bersandar pada teks referensi pribadi penyair. Tiga
klasifikan intertekstualitas inilah yang berbaris bershaf-shaf dengan dalam
perjamaahan puisi Lebaran dan diimami
oleh Kalim Sugiyanti.
~ 1
// Diwajibkan atas kamu berpuasa / Seperti
yang telah diwajibkan / Kepada orang-orang yang terdahulu // Bait pertama
puisi Puasa dalam buku ini secara
nyata menampakkan diri sebagai hipogram dari teks lain yaitu QS. Al Baqarah
ayat 183-187. Perlu sedikit diingat bahwa hipogram merupakan karya sastra yang
menjadi latar kelahiran karya berikutnya. Sedangkan karya berikutnya dinamakan karya
transformasi. Hipogram dan transformasi ini akan terus berjalan selama proses
sastra itu hidup. Hipogram merupakan ‘induk’ yang akan menetaskan karya-karya
baru (Rifarterre dalam Endraswara, 2011:132). Nukilan QS. Al Baqarah ayat
193-187 merupakan induk lahirnya karya baru berupa puisi yang ditulis-raut oleh
Kalim Sugiyanti dalam buku ini.
Bait-bait berikutnya dalam puisi Puasa menghadirkan uraian penjelasan
tentang hikmah dan tata cara ibadah puasa. Uraian untuk menahan lapar dan haus
ternyata diperluas dalam puisi Puasa ini
menjadi menahan hawa nafsu secara keseluruhan hingga batas waktu tertentu.
Sebagaimana yang tersurat dalam QS. Al Baqarah ayat 183-187, Kalim Sugiyanti
memberikan paparan melalui diksi-diksi puisinya bahwa menahan hawa nafsu terdiri
dari; / Menahan amarah / Menahan bicara
yang tidak berguna / Menahan pendengaran yang kotor / Menahan dari pandangan
yang liar / Menahan dari berbuat maksiat / Menahan dari prasangka yang buruk / Menahan,
menahan, menahan /.
Dalam puisi Adzan Maghrib, Malam Seribu Bulan, dan Nuzulul Quran karya Kalim Sugiyanti dalam buku ini juga termaktub
hipogram yang berasal dari Al Qur’an. Tentang adzan magrib sebagai tanda waktu
berbuka -ritus mengakhiri ibadah puasa dengan makan dan minum-, tentang malam
yang lebih baik dari malam seribu bulan di mana pintu ampunan-Nya dibuka
lebar-lebar bagi umat Islam yang mau menjalankan ibadah malam, dan tentang
malam di mana surat pertama dalam Al Quran diturunkan ke bumi menjadi modal
lahirnya tiga puisi karya Kalim Sugiyanti ini.
Sebagai sedikit pembanding, seorang Taufiq
Ismail juga melakukan praktik-praktik hipogram seperti ini. Salah satunya
adalah dalam puisi yang juga bertema tentang Puasa Ramadhan melalui puisinya
yang dilagukan oleh Bimbo; Ada Anak
Bertanya Pada Bapaknya. Bait kedua dalam puisi tersebut; Lapar mengajarmu rendah hati selalu /
Tadarus artinya memahami kitab suci / Tarawih mendekatkan diri pada Ilahi //. Kalimat
“Lapar
mengajarmu rendah hati selalu” memiliki hipogram dari hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Abu Daud sebagai berikut: “Sesungguhnya Nabi SAW. bersabda : “Puasa adalah tameng, apabila salah
seorang di antara kalian berpuasa maka janganlah ia berkata kotor, dan
melakukan perbuatan bodoh. Apabila terdapat seseorang memusuhinya atau
mencelanya maka hendaknya ia mengatakan; aku sedang berpuasa.” (Habiburrahman El Shirazy, AT-TABSYIR, Volume
2, Nomor 1 Januari-Juni 2014).
~ 2
Ritus adalah kata sifat dari ‘rites’ dan juga ada yang merupakan kata
benda. Sebagai kata sifat, ritus adalah segala yang dihubungkan atau
disangkutkan dengan upacara keagamaan, seperti ritual dance, ritual laws. Sedangkan sebagai kata benda adalah
segala yang bersifat upacara keagamaan, seperti upacara Gereja Katolik (Hornby dalam
Bustanuddin, 2005:1996). Semua agama mengenal ritus karena setiap agama memiliki
ajaran tentang hal yang sakral. Salah satu tujuan pelaksanaan ritual adalah
pemeliharaan dan pelestarian kesakralan. Di samping itu, ritus merupakan
tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci dan memperkuat
hubungan solidaritas kelompok yang menimbulkan rasa aman dan memperkuat
keyakinan.
Islam melalui salah satu ibadahnya yaitu puasa di bulan Ramadhan juga
diiringi dengan ritus-ritus. Kalim Sugiyanti dalam buku ini menggunakan
ritus-ritus tersebut sebagai sandaran kelahiran puisi-puisinya. Puisi Idhul Fitri, Zakat, Lebaran 1, Lebaran 2, serta
beberapa puisi lainnya menggambarkan hal-hal yang dianjurkan untuk dilakukan
sebagai bagian dari keafdhalan menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Anjuran
untuk saling memaafkan usai melaksanakan shalat Id sebagaimana hikmah puasa
bahwa sebulan berpuasa akan membuat umat Islam yang menjalankannya akan kembali
suci, dosa-dosa yang telah dilakukannya setahun lalu telah diampuni-Nya,
ditandai-ditandaskan dengan ritus saling bersilahturahmi serta saling
memaafkan. Bait kedua dalam puisi Lebaran
1 misalnya, menyampaikan dengan gamblang tentang ritus saling memaafkan
tersebut.
Begitu pula dengan bait terakhir dalam
puisi Zakat. Ibadah zakat fitrah yang
menjadi rukun wajib diterimanya ibadah puasa di bulan Ramadhan menjelma ruh
puisi tersebut. Pesan ibadah zakat untuk memberikan sebagian harta kita kepada
kaum yang membutuhkan diuraikan dalam diksi-diksi di baris-bait puisi Zakat. Perhatikan bait ketiga dalam
puisi Zakat ini; / Terbersit ajaran agama / Untuk membagikan sebagian
yang kita punya / Zakat salah satunya /. Kalim Sugiyanti menjadikan ritus
zakat sebagai sandaran utama puisinya.
Sebagai bagian dari masyarakat muslim
Indonesia, lebih spesifik lagi; Jawa, Kalim Sugiyanti juga memasukkan
ritus-ritus muslim di tanah air dan etnik Jawa sebagai sandaran utama beberapa
puisinya di buku ini. Adanya puisi Mudik,
Reuni, Nyekar, Uang Baru, Kupatan, THR, serta beberapa puisi lain
menempatkan ritus budaya mudik (pulang kampung, pen), kegiatan reuni keluarga
maupun sekolah, tradisi ziarah leluhur, serta pembagian baru kepada anggota
keluarga yang lebih muda, sebagai sandaran utama. Ritus-ritus ini tidak secara
eksplisit termaktub dalam Al Quran namun fenomena ini telah menjadi ritus
tahunan yang menyertai datangnya waktu menunaikan ibadah puasa di bulan
Ramadhan.
~ 3
Nampaknya spesifikasi seorang Kalim
Sugiyanti di atas harus ditambah lagi. Selain sebagai bagian dari muslim di
Indonesia dan etnik Jawa, dirinya merupakan pribadi yang memiliki relasi kuat
dengan kota kelahirannya; Magetan. Beberapa puisi dalam buku Lebaran ini menggunakan teks-teks
referensi pribadi sang penyair yang menghadirkan relasi kokoh dirinya dengan
Kota Magetan.
Puisi Jenang
Mbok Darmi, salah satunya. Puisi ini menggunakan teks berupa entitas jenang
(sejenis nama penganan dalam bahasa Jawa, pen) yang ada di kota Magetan. Teks
“Jenang Mbok Darmi” ini merupakan referensi pribadi seorang Kalim Sugiyanti
yang tidak dimiliki publik yang tidak lahir di kota Magetan. Bait kedua puisi
ini; / Sudah berganti generasi / Namun
jenang campur mbok darmi / Memiliki cita rasa tersendiri / menunjukkan
kekuatan referensial individu penyair dengan teks kuliner tersebut.
Ketika mata pembaca buku ini sampai pada
puisi Jalan Sawo, Gethuk Gedang, Sambel
Pecel Mbak Siti, maupun Bubur Pecel, maka
kekuatan referensial individu penyair tersebut juga tergambarkan dengan jelas.
Ungkapan
Julia Kristeva bahwa setiap teks lahir adalah hasil daripada kutipan, modifikasi,
transformasi dan resapan daripada teks-teks lain juga dihadirkan puisi-puisi
ini.
Sebagai catatan pribadi, meski sedikit
beraroma digresi, apa yang dilakukan Kalim Sugiyanti dengan teks-teks
referensial individual pada beberapa puisinya dalam buku Lebaran ini seperti menjadi katalog fenomena budaya (khususnya
kuliner) kota Magetan. Sebuah langkah pilihan yang disadari atau tidak sama
saja dengan promosi wisata budaya Kota Tepo tersebut. Ragam puisi seperti
inilah yang seyogyanya diapresiasi positif oleh stake holder yang terkait demi
terdongkraknya Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota Magetan dari sektor
pariwisata.
~4
Di dalam kitab Wahyu al Qalam, Musthafa Shadiq al-Rafi’i, sastrawan pengibar panji
sastra Islam ternama di Mesir, menulis perbedaan ilmuwan dan sastrawan. Ilmuwan
menurut al-Rafi’i menyampaikan
pemikiran. Sedangkan sastrawan adalah menyampaikan pemikiran disertai dengan keindahan gaya seninya
(al-Rafi’i: 2000: 191). Ritus-ritus yang menyertai ditunaikannya ibadah puasa
di bulan Ramadhan, bagi kita mungkin sudah tidak asing lagi. Berlaksa kajian,
penelitian, diskusi, hingga reportase, telah bertebaran. Namun menjadikan
ritus-ritus tersebut sebagai teks lain yang menjadi ruh utama karya sastra
mungkin masih bisa dihitung dengan jari. Terlebih, jika hal ini dilakukan oleh
satu orang penyair dalam satu buku. Banyak penyair dadakan telah melakukannya,
namun masih bersifat keroyokan (antologi bersama, pen). Seorang Taufiq Ismail
telah menulis satu-dua puisi dengan teks puasa di bulan Ramadhan, namun beliau
tak mampu menulis berpuluhan dan memenuhi kriterium untuk diapresiasi dalam
satu buku. Di buku ini, ritus-ritus tersebut dianyam dalam puluhan puisi yang
teranyam indah untuk dibaca dan diapresiasi.
Sadarilah, Kalim Sugiyanti telah melakukan
itu dengan Lebaran.
---- oo0oo ----
Mojokerto,
Desember 2017
*) pegiat
literasi, pengurus LESBUMI Kabupaten Mojokerto, memandang waktu berbuka puasa
adalah waktu yang paling indah selain membaca puisi
Sumber Pustaka
Allen,
Graham. 2011. Intertextuality. London
and New York: Routledge.
Al-Rafi’i,
Mushthafa Shadiq. 2000. Wahyu al-Qalam.
Kairo: Maktabah Mishr.
At-Tabsyir,
Volume 2,
Nomor 1, Januari – Juni 2014
Bustanudin,
Agus. 2005. Agama dalam Kehidupan Manusia.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Endraswara,
Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian
Sastra.Yogyakarta: CAPS.
Nurgiyantoro,
Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ratna,
Nyoman Kurtha, 2012. Teori, Metode, dan
Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teeuw,
A., 1984. Sastra dan Ilmu Sastra.
Jakarta: Pustaka Jaya.