Oleh Anjrah Lelono Broto *)
Chairil Anwar - Sumber: https://orig00.deviantart.net |
Melewati sebuah riset yang (konon)
panjang, para petinggi jagad kepenyairan tanah air menobatkan figur Chairil
Anwar sebagai pribadi penyair yang mewarnai corak perkembangan puisi Indonesia
dari masa ke masa. Puisi yang baik memang bukan semata puisi yang tak lekang
oleh zaman, tapi juga mampu memindahkan jarum kompas apresiasi-kreasi puisi
berzaman-zaman.
Jikalau kita sudi berbaik hati menengok sejarah, Chairil Anwar tidak
hanya nama tokoh penyair Angkatan 45-nya HB Jassin, namun juga sebuah ikon
proses kreatif perpuisian yang menghidupkan bahasa dan sastra kita. Karya-karyanya
menjadi pondasi penulisan puisi sampai hari ini. Kita dengan mudah dapat
menemukan tapak tangan-rasanya masterpiece
puisi-puisi Indonesia di era 60-an sampai sekarang.
Selama ini, banyak dari kita
ditenggelamkan oleh mitos pendobrakan gaya puisi lama oleh Chairil Anwar. “Si
Binatang Jalang” itu membunuh gaya-gaya penulisan jagoan-jagoan Pujanga Baru
yang masih memuja-muja Raja Ali Haji, Hamzah Fansuri, Nurruddin Ar Raniri,
ataupun Syamsudin Asy Samatrani. Kita semua sejatinya tahu bahwa mitos itu
hanyalah rekayasa karib Chairil Anwar; HB Jassin. Pembangunan mitos demikian memang
ada baiknya, mengingat publik kita adalah publik penyuka figur. Namun,
pembangunan mitos ini dapat pula justru membuat kita malas mengapresiasi karya-karyanya
secara berimbang.
Padahal, sejatinya “Si Binatang Jalang”
ini sebelumnya tekun mengerjakan studi terhadap sastra dunia, mengadopsi-mengadaptasi,
serta merumuskannya dalam bahasanya. Seorang penyair pada dasarnya adalah
perajin dan pemikir; sebagai perajin Chairil Anwar senantiasa bermain-main dengan
berbagai resep para pendahulunya (baca; mengadopsi); dan sebagai pemikir ia mengadaptasinya
sesuai dengan literatur dan sistem kebahasaan pribadinya. “Si Binatang Jalang”
ini justru memperluas tradisi yang telah mapan. Tengok saja, puisi-puisi
terbaiknya justru yang dituangkan dalam format kuatrin berima; “Senja Di
Pelabuhan Kecil”, “Derai-Derai Cemara”, dan “Yang Terampas dan Putus”,
membuktikannya.
Tentang kemanjuran tapak-rasanya yang
dapat ditangkap dalam masterpiece
penyair-penyair sesudahnya, kita akan menemukan benang merah dengan apa yang
diyakini oleh Jorge Luis Borges, sastrawan kenamaan dari negerinya Lionel
Messi. Ketika penyair menghadapi tradisi yang ada di belakangnya; dan jika
tradisi itu terlalu besar dan membebani, maka ia memilih sejumlah pendahulu
belaka. Ia bukan hanya memilih, melainkan menciptakan para pendahulunya,
dan dengan itu karyanya mengubah cara kita memandang masa lalu dan masa depan. Kuatrin
berima-nya “Si Binatang Jalang” yang terpengaruh Amir Hamzah, dan penyair-penyair Pujangga Baru
lainnya ternyata juga dapat kita jumpai dalam karya-karya Sapardi Djoko Damono
dan Goenawan Mohamad. Sapardi sendiri mengakui bahwa puisi-puisi Chairil Anwar
yang disukainya adalah yang kembali kepada bentuk klasik; dan Goenawan lebih mengadopsi
kuatrin-kuatrin berimanya Chairil Anwar yang mengandung disharmoni.
Tapak-rasa Chairil Anwar juga dapat dengan
gamblang kita jumpai pada karya-karya Sitor Situmorang, WS Rendra, bahkan
presiden penyair yang tak kunjung dikudeta; Sutardji Chalzium Bachri. Pantun-pantun baru Sitor Situmorang merupakan
pilihan jalan yang dilaluinya, jika Chairil Anwar jatuh cinta dengan kuatrin dan
sonet, maka Sitor jatuh cinta pada pantun. WS Rendra yang hobby menulis puisi naratif pun sejatinya hanyalah bentuk adaptasi
bebas puisi-puisi Chairil Anwar dan para epigonnya. Puisi-puisi WS Rendra juga banyak
diilhami frase-frase mengambang ala “Si Binatang Jalang”. Sutardji mengatakan
puisinya kembali kepada mantra, tetapi Chairil Anwar sudah jauh lebih dulu
menulis mantra modern seperti “Cerita Buat Dien Tamaela”.
Melalui pembacaan ulang karya-karya “Si
Binatang Jalang” kita tidak hanya melepaskan diri dari kemalasan untuk
mengapresiasi karya-karyanya secara berimbang, dimana kita dengan patuh menelan
mentah-mentah kepiawaiannya yang dimitoskan sebegitu rupa oleh HB Jassin, serta
menerima tanpa bantahan ditetapkannya hari lahirnya sebagai Hari Puisi
Indonesia. Ternyata pemuja cinta eros seperti “Si Binatang Jalang” ini adalah
pribadi penyair yang tekun mengurai studi tentang sastra dunia dari masa ke
masa, dan tidak hanya narsis dengan licentia
poetica yang terberi padanya sebagai penyair.
Sejumput fatihah pada “Si Binatang Jalang” dan
Selamat Hari Puisi Indonesia.
*****