Selasa, 30 Januari 2018

Membaca Ulang "Si Binatang Jalang"



Oleh Anjrah Lelono Broto *)


 
Chairil Anwar - Sumber: https://orig00.deviantart.net
    
Di Pekanbaru, tahun 2012 lalu, Sutardji Chalzoum Bachri beserta 40 penyamun, eh penyair di tanah air memproklamirkan tanggal 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia. Meski lebih dilatarbelakangi oleh rasa iri hati pada Vietnam, para petinggi jagad kepenyairan tanah air menetapkan tanggal lahir Chairil Anwar “Sang Binatang Jalang” sebagai hari besar masyarakat pecinta puisi Indonesia.
     Melewati sebuah riset yang (konon) panjang, para petinggi jagad kepenyairan tanah air menobatkan figur Chairil Anwar sebagai pribadi penyair yang mewarnai corak perkembangan puisi Indonesia dari masa ke masa. Puisi yang baik memang bukan semata puisi yang tak lekang oleh zaman, tapi juga mampu memindahkan jarum kompas apresiasi-kreasi puisi berzaman-zaman.
     Jikalau kita sudi berbaik hati menengok sejarah, Chairil Anwar tidak hanya nama tokoh penyair Angkatan 45-nya HB Jassin, namun juga sebuah ikon proses kreatif perpuisian yang menghidupkan bahasa dan sastra kita. Karya-karyanya menjadi pondasi penulisan puisi sampai hari ini. Kita dengan mudah dapat menemukan tapak tangan-rasanya masterpiece puisi-puisi Indonesia di era 60-an sampai sekarang.
     Selama ini, banyak dari kita ditenggelamkan oleh mitos pendobrakan gaya puisi lama oleh Chairil Anwar. “Si Binatang Jalang” itu membunuh gaya-gaya penulisan jagoan-jagoan Pujanga Baru yang masih memuja-muja Raja Ali Haji, Hamzah Fansuri, Nurruddin Ar Raniri, ataupun Syamsudin Asy Samatrani. Kita semua sejatinya tahu bahwa mitos itu hanyalah rekayasa karib Chairil Anwar; HB Jassin. Pembangunan mitos demikian memang ada baiknya, mengingat publik kita adalah publik penyuka figur. Namun, pembangunan mitos ini dapat pula justru membuat kita malas mengapresiasi karya-karyanya secara berimbang.
     Padahal, sejatinya “Si Binatang Jalang” ini sebelumnya tekun mengerjakan studi terhadap sastra dunia, mengadopsi-mengadaptasi, serta merumuskannya dalam bahasanya. Seorang penyair pada dasarnya adalah perajin dan pemikir; sebagai perajin Chairil Anwar senantiasa bermain-main dengan berbagai resep para pendahulunya (baca; mengadopsi); dan sebagai pemikir ia mengadaptasinya sesuai dengan literatur dan sistem kebahasaan pribadinya. “Si Binatang Jalang” ini justru memperluas tradisi yang telah mapan. Tengok saja, puisi-puisi terbaiknya justru yang dituangkan dalam format kuatrin berima; “Senja Di Pelabuhan Kecil”, “Derai-Derai Cemara”, dan “Yang Terampas dan Putus”, membuktikannya.
     Tentang kemanjuran tapak-rasanya yang dapat ditangkap dalam masterpiece penyair-penyair sesudahnya, kita akan menemukan benang merah dengan apa yang diyakini oleh Jorge Luis Borges, sastrawan kenamaan dari negerinya Lionel Messi. Ketika penyair menghadapi tradisi yang ada di belakangnya; dan jika tradisi itu terlalu besar dan membebani, maka ia memilih sejumlah pendahulu belaka. Ia bukan hanya memilih, melainkan menciptakan para pendahulunya, dan dengan itu karyanya mengubah cara kita memandang masa lalu dan masa depan. Kuatrin berima-nya “Si Binatang Jalang” yang terpengaruh  Amir Hamzah, dan penyair-penyair Pujangga Baru lainnya ternyata juga dapat kita jumpai dalam karya-karya Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad. Sapardi sendiri mengakui bahwa puisi-puisi Chairil Anwar yang disukainya adalah yang kembali kepada bentuk klasik; dan Goenawan lebih mengadopsi kuatrin-kuatrin berimanya Chairil Anwar yang mengandung disharmoni.
     Tapak-rasa Chairil Anwar juga dapat dengan gamblang kita jumpai pada karya-karya Sitor Situmorang, WS Rendra, bahkan presiden penyair yang tak kunjung dikudeta; Sutardji Chalzium Bachri.  Pantun-pantun baru Sitor Situmorang merupakan pilihan jalan yang dilaluinya, jika Chairil Anwar jatuh cinta dengan kuatrin dan sonet, maka Sitor jatuh cinta pada pantun. WS Rendra yang hobby menulis puisi naratif pun sejatinya hanyalah bentuk adaptasi bebas puisi-puisi Chairil Anwar dan para epigonnya. Puisi-puisi WS Rendra juga banyak diilhami frase-frase mengambang ala “Si Binatang Jalang”. Sutardji mengatakan puisinya kembali kepada mantra, tetapi Chairil Anwar sudah jauh lebih dulu menulis mantra modern seperti “Cerita Buat Dien Tamaela”.
     Melalui pembacaan ulang karya-karya “Si Binatang Jalang” kita tidak hanya melepaskan diri dari kemalasan untuk mengapresiasi karya-karyanya secara berimbang, dimana kita dengan patuh menelan mentah-mentah kepiawaiannya yang dimitoskan sebegitu rupa oleh HB Jassin, serta menerima tanpa bantahan ditetapkannya hari lahirnya sebagai Hari Puisi Indonesia. Ternyata pemuja cinta eros seperti “Si Binatang Jalang” ini adalah pribadi penyair yang tekun mengurai studi tentang sastra dunia dari masa ke masa, dan tidak hanya narsis dengan licentia poetica yang terberi padanya sebagai penyair.
     Sejumput fatihah pada “Si Binatang Jalang” dan Selamat Hari Puisi Indonesia.

*****