Karya Faris
Al Faisal
Dimuat di
Harian Suara Merdeka, edisi 03 Desember
2017
/1/
SEJAK upacara ngarot
itu, kau tak pernah kembali lagi ke Indramayu. Tak pernah lagi kembali ke
Indramayu. Tak pernah.
Upacara
menyambut musim tanam padi yang mempertemukan jejaka-jejaka dan gadis-gadis
ngarot membuat luka pada ingatanmu. Kau dicaci tak hanya sekali, dimaki
berkali-kali bahkan akan selalu ingat sampai kau mati. Tiga kembang ñ bunga
kenanga, melati dan bunga bugenvil yang dirangkai menyerupai mahkota ñ yang
kaugunakan untuk memahkotai rambutmu tiba-tiba layu. Macam bunga yang dipetik
lebih dari seminggu. Ngarot yang mulanya berlinang senyum penuh madu, berubah
menjadi hitam kelabu. Orang-orang mulai membincangkan mitos dari cerita orang
tua mereka ñ tetua adat dan leluhurnya — tentang arti layu ketiga bunga itu.
“Kau sudah
tak perawan, Karyati!” tuduh jejaka-jejaka yang hadir. Gadis-gadis yang juga
mengenakan sanggul dari rangkaian mahkota bunga mencibir. Bibir mereka
ceriwis.
“Betul, kau
bukan gadis lagi!” imbuh Esih yang selalu merasa tersaingi Karyati. Kejadian
itu dia angkat untuk mencari perhatian jejaka-jejaka.
“Ya, Esih,
kau bicara benar. Karyati tidak suci lagi. Sudah ternoda.” Kau tak mengerti apa
yang terjadi. Namun kau memahami apa arti tidak perawan. Gadis yang tidak dapat
menjaga kehormatan akan membuat malu keluarga, bahkan warga sedesa, dijauhi dan
dianggap pembuat cemar. Lalu dengan keputusan yang tak sempat kaupikirkan
dengan matang, hari itu juga kau meninggalkan Indramayu. Kau berlari pergi
menerabas ilalang tajam yang bukan hanya membuat betis dan tapak kakimu
berdarah, melainkan juga matamu memerah. Hatimu bahkan menahan amuk amarah.
Entah kepada siapa kau marah? Sementara rangkaian mahkota bunga- bunga yang
layu itu kauremas- remas lantas kaucampakkan begitu saja di jalanan. Rambutmu
yang panjang kaubiarkan tergerai liar disapu angin sawah. Matahari di atas
kepala membuat tubuhmu berpeluh. Kelu meringkus ruang dadamu, menyesakkan.
Sakit sekali.
“Karyati!
Karyati!” seru ibumu yang berlari tergopohgopoh mengejarmu. Namun beberapa
orang menahan perempuan tua itu. Ibumu berontak, akan tetapi begitu banyak
orang mencegah membuat tenaganya lemas. Ia terkulai dengan terisak- isak.
Sementara ayahmu pun tak banyak berbuat sesuatu untuk mencegahmu. Keduanya
pulang ke rumah dengan wajah tertunduk malu.
Di antara
orang-orang yang menyaksikanmu, ada sepasang mata memandangimu. Mata lelaki
yang berkaca menyaksikanmu pergi. Lelaki yang berada di deretan barisan jejaka
ngarot. Ia menatapmu dari celah tubuh orang-orang yang berdesakan saat kau
berkelebat entah ke mana? Lalu memunguti bungabunga itu dengan perasaan sedih.
Kembang yang layu itu cepat sekali mengering. Padahal pagi tadi saat kau
memahkotai rambutmu, bunga-bunga itu begitu segar. Seperti baru disiram rinai
hujan semalam.
Lelaki itu
bahkan melihatmu, hari itu adalah hari tercantikmu. “Karyati, kau seperti
bidadari,” gumamnya. Namun tak satu pun percaya jika hari itu menjadi luka yang
membuatmu tak pernah lagi kembali ke Indramayu.
/2/
KETIKA itu umurmu
lima belas tahun. Seorang gadis yang beranjak menjadi bunga. Wajahmu jelita
dengan kulit kuning langsat nan lembut. Jejaka-jejaja desa terpesona tiap kali
kau keluar rumah, meski hanya ke warung atau ke pasar malam tiap pekan.
Gadis-gadis di desa pun sering memandangimu iri, penasaran atas rahasiamu yang
selalu tampil cantik. Padahal kau gadis seperti mereka umumnya. Bekerja saat
musim tanam padi di sawah sebagai tukang tandur dan menjadi buruh ngarit serta
gebod saat musim padi dipanen.
Ayah dan
ibumu yang hanya petani penggarap itu, saban hari bekerja di sawah milik
tuannya yang memiliki banyak tanah. Sehingga kau, sekalipun anak perempuan
satu-satunya, membantu keduanya. Mulanya hanya membantu memasak dan membawakan
makan dan minum untuk diantar ke gubuk di tengah sawah Larangan. Setelah usiamu
cukup untuk berpanas-panas dan berlumpur-lumpur, kau pun ikut bekerja menanam
dan memanen padi.
Ternyata
sekalipun masih berbedak lumpur di wajah dan beraroma sengat matahari, sedikit
pun tak mengurangi pesonamu. Itulah yang menjadi awal mula bencana. Tuanmu
memperdayamu pada suatu ketika.
“Datanglah
sore nanti, kau boleh mengambil upah di rumah,” ucap tuanmu dengan mata selalu
tertuju pada bagian dadamu yang mengkal dan pinggulmu yang padat dengan nafsu
memburu.
Kau masih
terlalu polos untuk memahami sifat-sifat tengik lelaki sekalipun setua itu.
Pulang dari sawah kau bergegas menuju rumah besar itu. Lagi-lagi hatimu terlalu
lugu untuk mengerti keadaan rumah yang tak satu pun orang berada di dalamnya,
kecuali tuanmu itu. Dua jam sebelum kau datang, lelaki tua itu sudah menyuruh
anak dan istrinya pergi menginap di rumah saudara di Parean Girang.
Pembantu-pembantu di rumah itu diberi tugas lain ke luar desa untuk waktu cukup
lama.
“Tuan, Tuan,
ini Karyati,” serumu dari pintu samping yang dibiarkan terbuka.
“Masuk saja,
Karyati! Tolong tutup kembali pintu itu!”
Tak perlu
satu jam, lelaki itu telah memperdayamu. Dengan bujuk rayu dan sedikit ancaman,
begitu leluasa tangan dan kaki tuanmu mengangkangimu sampai puas. Merenggut
kegadisanmu. Rumah besar itu pun meredam tiap kali kau berteriak. Kau terisak.
Ada sesuatu mengalir di selangkanganmu. Perih rasanya saat selaput darahmu
robek.
“Sudahlah,
ini upahmu,” ucap tuanmu sambil mengisap rokok dari cangklongnya. Asap
bergulung-gulung ditiup dengan sengaja ke wajahmu. Kau terisak sambil
terbatuk-batuk. “Ini anggap hadiah dariku. Terimalah!”
Kau pun
tampak bodoh karena menerima begitu saja yang membuat lelaki tua itu tersenyum
puas memandangmu.
“Kenapa Tuan
tega pada saya?”
“Ha-ha-ha…,
kau cantik. Itu alasannya. Sudah! Ayo berkemas pulang, ayah dan ibumu
menunggu.”
/3/
LELAKI yang
memandangimu itu kini ada di hadapanmu, di Patokbeusi. Tempat telembuk-telembuk
muda menjajakan kecantikan di simpangan pantura. Lampu-lampu remang yang
menyerupai kristal di tengah ruangan yang mirip kedai minum itu memendarkan
cahaya syahwat. Beberapa pengunjung sudah mabuk minuman dan perempuan. Mereka
masuk ke kamar-kamar yang hanya bersekat sebilah tripleks tipis.
“Sudah,
Kang, aku di sini bahagia. Tak perlu lagi kembali ke desa. Kau pun boleh
mencari kekasih lebih cantik.”
“Aku akan
balas perlakuannya,” ucap kekasihmu itu.
“Untuk apa?
Kau ingin membunuhnya? Mau jadi pembunuh?”
“Lelaki tua
itu telah menghancurkanmu, memisahkan cinta kita.”
“Tetapi ia
ayahmu bukan? Itulah alasanku mengapa tak melaporkannya pada polisi.”
“Kirik!
Kenapa sore itu aku mau saja disuruh mengantar Ibu ke Parean Girang?”
“Tak ada
yang harus disesali, Kang. Sekarang bagaimana bisa kau singgah di tempat
ini?”
“Aku dengar
dari sopir-sopir yang biasa membawa beras dari Larangan ke Jakarta. Mereka
seperti melihatmu di simpangan pantura ini.”
“Ah,
lelaki-lelaki hidung belang! Bukan hanya melihat, mereka bahkan sering mampir
di sini.”
“Dobol! Jadi
mereka juga pernah tidur denganmu?”
“Jangan
cemburu, Kang. Itu tugas semua perempuan di sini.”
Lelaki yang
pernah menjadi kekasihmu itu begitu terpukul. Dadanya serasa disesaki perasaan
kesal begitu bergumpal-gumpal.
“Gadis yang
bukan perawan karena diperkosa mau kerja apa, Kang? Tak bunuh diri saja sudah
bagus. Sekarang aku menjadi telembuk untuk memuaskan hasrat lelaki yang datang
kemari.”
“Apa
kaupikir aku ke sini sama seperti mereka?”
“Kau tak
ingin tidur denganku, Kang? Bercinta dengan kekasihmu ini?”
Jari-jemarimu
begitu lihai bermain di atas baju kekasihmu. Beberapa kancingnya mulai berpisah
dari lubang. Sementara kamar yang kalian gunakan untuk berbincang, beberapa
kali diketuk pengunjung yang sudah menunggu lama.
“Malam ini
ada tamu khusus, Kang,” ucapmu dari dalam kamar.
“Besok malam
bisa kan, Yu?” tanya pengunjung langgananmu.
“Iya, iya….”
Kekasihmu itu mengancingkan kembali baju yang hampir lepas. Wajahnya mendingin.
Namun hatinya mendidih mendengarmu mengambil janji dengan lelaki-lelaki itu.
“Kenapa,
Kang? Kakang marah?”
“Entahlah?”
“Aku harus
bagaimana, Kang? Tak mungkin aku kembali desa. Peristiwa itu masih meninggalkan
luka yang belum hilang.”
“Aku akan
membawamu pergi dari tempat ini.”
“Apa katamu,
Kang?”
“Kau tak
boleh melayani lelaki-lelaki itu lagi. Aku akan menikahimu.”
“Kakang akan
dimintai uang pengganti oleh pengelola simpangan pantura ini.”
“Akan
kubayar, asal kau mau pergi dari sini.”
/4/
TIGA kembang
itu berada di telapak tanganmu. Kekasihmu, suamimu kini, memberikannya padamu.
Ia telah begitu lama menyimpannya. Di depannya kaupakai kembali untuk
memahkotai rambutmu. Kendati telah layu dan sudah mengering, di mata lelakimu
itu kau gadis yang tetap dicintainya. Gadis bermahkota tiga kembang layu.
“Apa aku
masih layak disebut gadis ngarot, Kang?”
“Bagiku kau
tetaplah gadis ngarot-ku.” Keduanya tersenyum. Senyum untuk mengawali
kehidupan baru. (44)
Indramayu,
2017
Ngarot:
upacara adat saat musim tanam padi di Desa Lelea, Kecamatan Lelea, dan Desa
Jambak, Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Tandur:
penanam padi yang mendapatkan upah.
Ngarit:
menyabit padi.
Gebod:
merontokkan biji padi dari tangkai dengan undakan papan.
Telembuk:
sebutan pekerja seks komersial di pantura.
Kirik dab
dobol: umpatan keji.
Faris Al
Faisal lahir dan tinggal di Indramayu. Karya fiksinya novelet
Bunga Narsis (2017), kumpulan puisi Bunga Kata (2017), dan kumpulan cerpen
Bunga Rampai Senja di Taman Tjimanoek (2017).