Selasa, 12 Maret 2019

GADIS BERMAHKOTA TIGA KEMBANG YANG LAYU



Karya Faris Al Faisal
Dimuat di Harian Suara Merdeka, edisi  03 Desember 2017


/1/
SEJAK upacara ngarot itu, kau tak pernah kembali lagi ke Indramayu. Tak pernah lagi kembali ke Indramayu. Tak pernah. 
Upacara menyambut musim tanam padi yang mempertemukan jejaka-jejaka dan gadis-gadis ngarot membuat luka pada ingatanmu. Kau dicaci tak hanya sekali, dimaki berkali-kali bahkan akan selalu ingat sampai kau mati. Tiga kembang ñ bunga kenanga, melati dan bunga bugenvil yang dirangkai menyerupai mahkota ñ yang kaugunakan untuk memahkotai rambutmu tiba-tiba layu. Macam bunga yang dipetik lebih dari seminggu. Ngarot yang mulanya berlinang senyum penuh madu, berubah menjadi hitam kelabu. Orang-orang mulai membincangkan mitos dari cerita orang tua mereka ñ tetua adat dan leluhurnya — tentang arti layu ketiga bunga itu.
“Kau sudah tak perawan, Karyati!” tuduh jejaka-jejaka yang hadir. Gadis-gadis yang juga mengenakan sanggul dari rangkaian mahkota bunga mencibir. Bibir mereka ceriwis. 
“Betul, kau bukan gadis lagi!” imbuh Esih yang selalu merasa tersaingi Karyati. Kejadian itu dia angkat untuk mencari perhatian jejaka-jejaka. 
“Ya, Esih, kau bicara benar. Karyati tidak suci lagi. Sudah ternoda.” Kau tak mengerti apa yang terjadi. Namun kau memahami apa arti tidak perawan. Gadis yang tidak dapat menjaga kehormatan akan membuat malu keluarga, bahkan warga sedesa, dijauhi dan dianggap pembuat cemar. Lalu dengan keputusan yang tak sempat kaupikirkan dengan matang, hari itu juga kau meninggalkan Indramayu. Kau berlari pergi menerabas ilalang tajam yang bukan hanya membuat betis dan tapak kakimu berdarah, melainkan juga matamu memerah. Hatimu bahkan menahan amuk amarah. Entah kepada siapa kau marah? Sementara rangkaian mahkota bunga- bunga yang layu itu kauremas- remas lantas kaucampakkan begitu saja di jalanan. Rambutmu yang panjang kaubiarkan tergerai liar disapu angin sawah. Matahari di atas kepala membuat tubuhmu berpeluh. Kelu meringkus ruang dadamu, menyesakkan. Sakit sekali. 
“Karyati! Karyati!” seru ibumu yang berlari tergopohgopoh mengejarmu. Namun beberapa orang menahan perempuan tua itu. Ibumu berontak, akan tetapi begitu banyak orang mencegah membuat tenaganya lemas. Ia terkulai dengan terisak- isak. Sementara ayahmu pun tak banyak berbuat sesuatu untuk mencegahmu. Keduanya pulang ke rumah dengan wajah tertunduk malu. 
Di antara orang-orang yang menyaksikanmu, ada sepasang mata memandangimu. Mata lelaki yang berkaca menyaksikanmu pergi. Lelaki yang berada di deretan barisan jejaka ngarot. Ia menatapmu dari celah tubuh orang-orang yang berdesakan saat kau berkelebat entah ke mana? Lalu memunguti bungabunga itu dengan perasaan sedih. Kembang yang layu itu cepat sekali mengering. Padahal pagi tadi saat kau memahkotai rambutmu, bunga-bunga itu begitu segar. Seperti baru disiram rinai hujan semalam. 
Lelaki itu bahkan melihatmu, hari itu adalah hari tercantikmu. “Karyati, kau seperti bidadari,” gumamnya. Namun tak satu pun percaya jika hari itu menjadi luka yang membuatmu tak pernah lagi kembali ke Indramayu.
/2/
KETIKA itu umurmu lima belas tahun. Seorang gadis yang beranjak menjadi bunga. Wajahmu jelita dengan kulit kuning langsat nan lembut. Jejaka-jejaja desa terpesona tiap kali kau keluar rumah, meski hanya ke warung atau ke pasar malam tiap pekan. Gadis-gadis di desa pun sering memandangimu iri, penasaran atas rahasiamu yang selalu tampil cantik. Padahal kau gadis seperti mereka umumnya. Bekerja saat musim tanam padi di sawah sebagai tukang tandur dan menjadi buruh ngarit serta gebod saat musim padi dipanen. 
Ayah dan ibumu yang hanya petani penggarap itu, saban hari bekerja di sawah milik tuannya yang memiliki banyak tanah. Sehingga kau, sekalipun anak perempuan satu-satunya, membantu keduanya. Mulanya hanya membantu memasak dan membawakan makan dan minum untuk diantar ke gubuk di tengah sawah Larangan. Setelah usiamu cukup untuk berpanas-panas dan berlumpur-lumpur, kau pun ikut bekerja menanam dan memanen padi. 
Ternyata sekalipun masih berbedak lumpur di wajah dan beraroma sengat matahari, sedikit pun tak mengurangi pesonamu. Itulah yang menjadi awal mula bencana. Tuanmu memperdayamu pada suatu ketika. 
“Datanglah sore nanti, kau boleh mengambil upah di rumah,” ucap tuanmu dengan mata selalu tertuju pada bagian dadamu yang mengkal dan pinggulmu yang padat dengan nafsu memburu. 
Kau masih terlalu polos untuk memahami sifat-sifat tengik lelaki sekalipun setua itu. Pulang dari sawah kau bergegas menuju rumah besar itu. Lagi-lagi hatimu terlalu lugu untuk mengerti keadaan rumah yang tak satu pun orang berada di dalamnya, kecuali tuanmu itu. Dua jam sebelum kau datang, lelaki tua itu sudah menyuruh anak dan istrinya pergi menginap di rumah saudara di Parean Girang. Pembantu-pembantu di rumah itu diberi tugas lain ke luar desa untuk waktu cukup lama. 
“Tuan, Tuan, ini Karyati,” serumu dari pintu samping yang dibiarkan terbuka. 
“Masuk saja, Karyati! Tolong tutup kembali pintu itu!” 
Tak perlu satu jam, lelaki itu telah memperdayamu. Dengan bujuk rayu dan sedikit ancaman, begitu leluasa tangan dan kaki tuanmu mengangkangimu sampai puas. Merenggut kegadisanmu. Rumah besar itu pun meredam tiap kali kau berteriak. Kau terisak. Ada sesuatu mengalir di selangkanganmu. Perih rasanya saat selaput darahmu robek. 
“Sudahlah, ini upahmu,” ucap tuanmu sambil mengisap rokok dari cangklongnya. Asap bergulung-gulung ditiup dengan sengaja ke wajahmu. Kau terisak sambil terbatuk-batuk. “Ini anggap hadiah dariku. Terimalah!” 
Kau pun tampak bodoh karena menerima begitu saja yang membuat lelaki tua itu tersenyum puas memandangmu. 
“Kenapa Tuan tega pada saya?” 
“Ha-ha-ha…, kau cantik. Itu alasannya. Sudah! Ayo berkemas pulang, ayah dan ibumu menunggu.”
/3/
LELAKI yang memandangimu itu kini ada di hadapanmu, di Patokbeusi. Tempat telembuk-telembuk muda menjajakan kecantikan di simpangan pantura. Lampu-lampu remang yang menyerupai kristal di tengah ruangan yang mirip kedai minum itu memendarkan cahaya syahwat. Beberapa pengunjung sudah mabuk minuman dan perempuan. Mereka masuk ke kamar-kamar yang hanya bersekat sebilah tripleks tipis. 
“Sudah, Kang, aku di sini bahagia. Tak perlu lagi kembali ke desa. Kau pun boleh mencari kekasih lebih cantik.” 
“Aku akan balas perlakuannya,” ucap kekasihmu itu. 
“Untuk apa? Kau ingin membunuhnya? Mau jadi pembunuh?” 
“Lelaki tua itu telah menghancurkanmu, memisahkan cinta kita.”
“Tetapi ia ayahmu bukan? Itulah alasanku mengapa tak melaporkannya pada polisi.” 
Kirik! Kenapa sore itu aku mau saja disuruh mengantar Ibu ke Parean Girang?” 
“Tak ada yang harus disesali, Kang. Sekarang bagaimana bisa kau singgah di tempat ini?” 
“Aku dengar dari sopir-sopir yang biasa membawa beras dari Larangan ke Jakarta. Mereka seperti melihatmu di simpangan pantura ini.” 
“Ah, lelaki-lelaki hidung belang! Bukan hanya melihat, mereka bahkan sering mampir di sini.” 
“Dobol! Jadi mereka juga pernah tidur denganmu?”
“Jangan cemburu, Kang. Itu tugas semua perempuan di sini.” 
Lelaki yang pernah menjadi kekasihmu itu begitu terpukul. Dadanya serasa disesaki perasaan kesal begitu bergumpal-gumpal. 
“Gadis yang bukan perawan karena diperkosa mau kerja apa, Kang? Tak bunuh diri saja sudah bagus. Sekarang aku menjadi telembuk untuk memuaskan hasrat lelaki yang datang kemari.” 
“Apa kaupikir aku ke sini sama seperti mereka?” 
“Kau tak ingin tidur denganku, Kang? Bercinta dengan kekasihmu ini?”
Jari-jemarimu begitu lihai bermain di atas baju kekasihmu. Beberapa kancingnya mulai berpisah dari lubang. Sementara kamar yang kalian gunakan untuk berbincang, beberapa kali diketuk pengunjung yang sudah menunggu lama. 
“Malam ini ada tamu khusus, Kang,” ucapmu dari dalam kamar. 
“Besok malam bisa kan, Yu?” tanya pengunjung langgananmu. 
“Iya, iya….” Kekasihmu itu mengancingkan kembali baju yang hampir lepas. Wajahnya mendingin. Namun hatinya mendidih mendengarmu mengambil janji dengan lelaki-lelaki itu.
“Kenapa, Kang? Kakang marah?” 
“Entahlah?” 
“Aku harus bagaimana, Kang? Tak mungkin aku kembali desa. Peristiwa itu masih meninggalkan luka yang belum hilang.” 
“Aku akan membawamu pergi dari tempat ini.” 
“Apa katamu, Kang?” 
“Kau tak boleh melayani lelaki-lelaki itu lagi. Aku akan menikahimu.” 
“Kakang akan dimintai uang pengganti oleh pengelola simpangan pantura ini.” 
“Akan kubayar, asal kau mau pergi dari sini.”
/4/
TIGA kembang itu berada di telapak tanganmu. Kekasihmu, suamimu kini, memberikannya padamu. Ia telah begitu lama menyimpannya. Di depannya kaupakai kembali untuk memahkotai rambutmu. Kendati telah layu dan sudah mengering, di mata lelakimu itu kau gadis yang tetap dicintainya. Gadis bermahkota tiga kembang layu. 
“Apa aku masih layak disebut gadis ngarot, Kang?” 
“Bagiku kau tetaplah gadis ngarot-ku.” Keduanya tersenyum. Senyum untuk mengawali kehidupan baru. (44) 
Indramayu, 2017 


Ngarot: upacara adat saat musim tanam padi di Desa Lelea, Kecamatan Lelea, dan Desa Jambak, Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. 
Tandur: penanam padi yang mendapatkan upah. 
Ngarit: menyabit padi. 
Gebod: merontokkan biji padi dari tangkai dengan undakan papan. 
Telembuk: sebutan pekerja seks komersial di pantura. 
Kirik dab dobol: umpatan keji.


Faris Al Faisal lahir  dan tinggal di Indramayu. Karya fiksinya novelet Bunga Narsis (2017), kumpulan puisi Bunga Kata (2017), dan kumpulan cerpen Bunga Rampai Senja di Taman Tjimanoek (2017).