Puisi-puisi Marhalim Zaini (Koran Tempo, 24-25
Februari 2018)
Agama Kopi
lima waktu
sehari semalam
biji-biji kopi
jatuh dari langit.
dipungutnya satu-satu
rasa pahit dari doa
yang gugur
dari pohon iman.
pohon yang dulu
menggugurkan adam.
2017
Agama Kabut
berdirilah di lereng ini,
tegak seperti pohon hutan berambut kabut
menghadap lembah yang tengadah
dan kaki-kakimu yang mengakar
ke urat-urat tanah bukit yang sejuk,
apa yang akan kau kenang
selain anak sungai yang memanjang?
kita bukan air terjun, yang berani menghempaskan waktu
ke batu-batu,
memecah batu-batu saban waktu
kita hanya buih yang sansai,
selalu lenyap sebelum sampai
ke tepi, ke tepi-tepi iman, tempat para perantau
pulang
menghitung satu-satu napas yang lepas
dari ujung uban,
seperti lepas tetes hujan
dari langit tuhan
sudah kuucapkan dulu, bahwa di kelok sembilan itu
tak kan ada lagi cinta yang gugur dari agamamu
di jalan-jalan subuh yang lengang
dipagut dingin gunung singgalang
aku pernah mendaki, katamu,
tapi bukan ke puncak keheningan.
aku pernah mendaki, kataku,
tapi jatuh sebelum sampai di ketinggian.
maka berdirilah di lereng ini, sekali lagi,
sebelum magrib berkabut, dan lembah kian curam.
sebelum kaki-kakimu, kaki-kakiku,
tak berurat tak berakar,
dan tanah-tanah bukit bergerak
berderak seperti gempa di jantung kita.
lalu apa yang akan kau kenang,
selain batu-batu diam
di padangpanjang,
di anak sungai yang memanjang?
Pekanbaru, 2018
Agama Puisi
kata-kata bersaksi, hanya kepada puisi
ia sembunyikan sunyi.
puisi bersaksi, hanya kepada bunyi
ia sembunyikan sepi.
bunyi bersaksi, hanya kepada kata-kata
ia sembunyikan api.
2017
Agama Burung
sejak ia terjatuh dari sarang,
yang ia tahu hidup itu adalah terbang.
ia hanya percaya kepada sayap,
kepada keluasan langit yang membuka jalan
menuju kebebasan memilih tuhan.
tapi sayap adalah kaki yang rapuh,
kelak ke ranting jua ia bersimpuh.
kalau pohon-pohon pun rubuh,
kelak ke tanah jua hancurnya tubuh.
maka ia tak menyembah langit,
tak minta ampun pada tanah,
bahkan kepada terbang,
pun tak.
2017
Agama Putih
tak ada warna lain, selain putih, katamu.
kamu lalu pergi, menanggalkan bayanganmu
yang hitam, dari tubuhmu yang malam.
aku sudah lama menunggu bayanganmu
mandi, mencuci bola matanya yang merah,
tapi air tanah menolak menjadi air
jika tugasnya hanya membuat tanah
menjadi tong sampah.
maka bayanganmu pun pergi, menanggalkan
bola matanya yang tertutup. aku melihat
air putih mengalir dari bayangan hitam
tubuhku, dari bola mataku yang padam.
2017.
Agama Suara
tak ada suara yang bisa disembunyikan di sini,
dindingdinding
hanya pembatas ruang dari sejarah tubuh kita yang tak
suci.
sejarah yang saling tembus urat darahnya, saling baur
warnanya,
saling peluk kutukan-kutukannya.
maka aku adalah suara yang gaduh. tak mungkin dapat
kautemukan
aku, sebagai sunyi yang utuh. bahkan ketika waktu pun
telah tiada,
yang abadi adalah suara.
tapi kita diciptakan dari suara yang satu,
kun!
suara yang satu…
2017
Marhalim Zaini, lahir di
Bengkalis, 15 Januari 1976. Buku puisinya yang ketiga, Jangan Kutuk Aku Jadi
Melayu, dianugerahi dua penghargaan: Anugerah Hari Puisi Indonesia 2013 dan
Penghargaan Sastra Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan 2013.
Sumber: