Senin, 11 Maret 2019

Puisi-puisi Wa Ode Wulan Ratna ( Jakarta): Jumat Putih



Rumah Mati

Dan akupun pulang menujumu
Rumah mati
Rumah tempat kata-kata menjadi sunyi
Dan abadi


Jumat Putih

Selamat pagi
Jumat putih
Aku tersesat dalam hutan sunyi
Bersama kaki kecil yang telanjang,
berlari-lari
Menangkap puisi yang tak beralas kaki

Jumat putih turun dari gereja, masuk ke masjid, hinggap ke pura
Bersemayam dalam dada tuhan dan manusia
Terbang di atas kepala dalam kristal matari
Disapu gerimis menjadi bola-bola pelangi

Selamat hari
Jumat suci
Aku bertapa dalam sukma sepi
Mari kita telanjang, sayang
berlari-lari kecil tanpa alas kaki
Seperti puisi

Sribajala dan Wabula

Ketika lakambaebunga mulai membaca peta yang dulu pernah kujelajah
Tibalah aku di kuilmu
Asal muasal gigi putihmu yang kemilau
Tempat mimpiku runtuh
Tempat kembali pulang ke kampung halaman
Gigimu adalah mercusuar
Silau yang memanggil-manggil seperti daun kelapa
Diriku yang tersesat di samudera jiwa
Terseret ombak dan tiba di permukaan hatimu yang putih
Belahan kelapa di tanganmu adalah pasangan belahan lain
yang kita pertemukan
Tahulah kita, cinta kita memudar
Sebab ibu telah menjadi sejarah, legenda,
dan dongeng negri tercinta

Adik bungsu yang seputih susu
Ibu kita telah menjadi buku
Bagi tetua bagi silsilah dan raja-raja
Bagi jelata
Yang terbaca di setiap usia
Lalu ke mana cinta kita akan kubawa
Terselip di saku dungkung cangia
Punggawa setia  yang menancapkan bendera aneka warna
Pada tubuh lakaembaebunga
Yang terlunta-lunta beratus-ratus kali berganti rupa
menaklukan samudera

Di koncu, benteng tertua berdiri
Aku menulis syair panjang tentang dirimu
Langit tak lagi menakar cintaku padamu
Maka kubiarkan ia membahana seperti kupu-kupu
Terbang dengan sasar ke jendelamu

Kuhadiahi tempat ini namamu
Kupahat besar-besar pada prasasti
Dengan aksara rahasia bahasa cia-cia
Agar semua orang berbagai generasi
Mengenangmu sebagai arca yang bertumbuh
di antara jurang dan bukit
Kali-kali jernih yang berbintang
Seperti gigimu yang gemilang

Jika laut surut berkilo-kilometer
Mereka akan mengenang kulit putihmu
Yang senyap mutiara
Yang di atasnya
Cintaku tergenang antara ada dan tiada
Kekal selamanya


Catatan:
*Sribajala adalah kakak dari Wabula yang merantau mengelilingi dunia dengan kapal Lakambaebunga. Wabula adalah putri bungsu Wakaaka, raja Buton pertama. Kini Wabula adalah nama tempat yang indah di Buton Selatan (dari cerita masyarakat setempat). Asal kata Wabula adalah Wabula-bula yang artinya putih, sebab diyakini Wabula berkulit putih seperti orang Tiongkok/Mongol.


Lelaki Bermata Satu

Di mana gerangan kau
Penyebab rontoknya bunga-bunga di mataku?
Yang berlari memunggungiku
Setelah usai mencuri hatiku

Lihatlah, di mana pun kau berada
Lihatlah sebelah dadaku
Di antara dua gunung kemilau itu
Ada lubang gulita milik hatiku
Kekasih jantung sahabat empedu
Hilang kau bawa lari

Ke mana gerangan kau
Penyebab layunya rekah kelopak bibirku?
Yang tiada meninggalkan bayangan
Setelah hatimu menjadi batu

Lihatlah, di manapun kau berada
Lihatlah akibat perbuatanmu
Kau tinggalkan sidik jarimu di dadaku
Lubang sebesar kepalan tanganmu
Yang tlah mengoyak
Dan mengeluarkan hatiku
Ke mana kau bawa lari?

Demikianlah kau berlari
lelaki bermata satu
Yang telah kulempari batu-batu
Hatimu lekat di batu
Hatimu adalah batu
Semakin keras kau berlari
Semakin kau membatu

Cinta
Selamanya harus berluka

Demikianlah kau
Kisah lelaki bermata satu
Sepanjang hidup melihat dunia hanya satu
Yang tak mau membuka sebelah mata
Kecuali untuk batu

Cinta
Selamanya harus ada duka

Padang Eva

Kau adalah bunga-bunga yang mekar di padang eva
Senyummu laksana akar harum mawar yang merambat lembut menusuk jantungku
Membiarkanku terjerat, menghapus seluruh jelaga dan tanya tentang:
di manakah pelabuhan terakhir air mata?
Di matamu itu, matahari tumbuh dengan subur
Sehingga sulit bagiku menebak dan terjebak
Padahal kuingin sekali

Ohh rerumpun ilalang
Bisikkanlah rahasia embun yang basahi dirimu kala fajar
Yang mengundang galau pada kelopak kastalia dan magnolia
Dan mengusir kabut-kabut yang tenggelam dalam cahaya

Katakanlah, di mana gerangan kan kutuangkan rindu-rindu biduri…
Cawan-cawan telah dipenuhi susu
Sedang kuingin bibir manismu mencecap rindu ini

Jikalau awan datang
Jikalau mimpi terbang
Oh tuhan, izinkanlah aku tumbuh
Sebagai perdu kelabu di sampingnya
Di padang eva itu

Ya, di padang itu!


Jejak Puisi
kekasih, yang muda belia dan merdu
kekasihku, yang senantiasa lugu dan pencemburu
aku datang padamu
dengan segenap rambu rambu dan lakon dramaku
maafkanlah aku
yang ragu dan malu
mencintaimu terburu buru
dan membuatmu bingung tak tahu
tapi jangan kau pergi tinggalku tanpa jejak
sebab tanpamu aku laksana puisi dalam belantara kata-kata
selalu labil dan mudah tersesat

Jalan-Jalan ke Salon
di salon aku ditelanjangi
tubuhku dibolak balik seperti boneka barbie
seluruh tubuh diberi minyak yang licin dan wangi
dipijat dengan krim pemutih dan dilulur dengan green tea
di salon aku seperti manekin
aku disuruh berdiri bugil
lalu tubuhku dicat putih pakai kuas dinding
aroma masker susu sapi pun terasa gurih
tapi aku gigil dan merinding
sebab masker susu sapi setengah kering
terkena AC dan udara dingin
usai mandi
rambutku lalu di creambath
ditarik-tarik dan dipijat kuat
lalu seperti roti rambutku diberi selai
campuran royal jeli dan stroberi
manis sekali seperti permen loli
setelah membayar
tubuhku bau sapi dan rambutku harum stroberi
sekarang aku tahu
beginilah nasib perempuan masa kini


----------------------------------------------------------------------


Wa Ode Wulan Ratna. Lahir di Jakarta 23 Agustus 1984. Menyelesaikan kuliah sastra di Universitas Negeri Jakarta. Menulis cerpen dan puisi sejak 2003. Buku kumpulan cerpen pertamanya pernah mendapatkan penghargaan Khatuliswa Literary Award pada tahun 2008 untuk kategori penulis muda berbakat. Saat ini menjadi pengajar untuk mata kuliah Sastra dan Creative Writing.









Sumber: