Minggu, 03 Maret 2019

KETIKA “YANG PINGGIR” MENJADI PUSAT



Sekedar Komentar pada Kumcer Tentang Kami Para Penghuni Sorterα

Oleh:
Mashuriβ

Aku berada di antara laut biru yang dalam dan setan
Billy Bragg

1/
Mashuri 
Dalam sebuah risalah, Antonio Gramsci pernah menggurat sebuah taklimat, bahwa dalam proses dialektika, ‘the margin’ selalu saja berusaha merangsek ‘the center’. Gerak sejarah, yang berdasar pada ‘counter’ pinggiran dan pusat itu menjadi sumbu dinamis sebuah tatanan yang berpangkal dari materialisme historis. Dalam kumpulan cerpen Tentang Kami Para Penghuni Sorter, saya melihat gagasan ‘pinggir’ yang memusat itu  menjadi ruh yang membenangmerahi 9 cerpen yang terkumpul dalam buku tersebut. Tentu saja, gagasan itu bukan Gramscian dalam arti ideologis, tetapi berparalel dalam ruang yang berbeda, karena dalam kumpulan cerpen itu, ‘yang pinggiran’ telah menjadi pusat, yakni pusat cerita/ penceritaan.
Dalam sembilan cerpen yang ditulis kawan-kawan Mojokerto, saya melihat sosok-sosok kecil, remeh, yang terpinggirkan dari arus besar dan dianggap nyinyir oleh mayoritas, menjadi pusat cerita dengan konflik, eksistensi dan persoalan masing-masing. Cerpen-cerpen tersebut berbicara dengan tentang manusia dan tidak disapih oleh akar kemanusiaan paling hakiki, yaitu nasib, mungkin takdir. Pergulatan yang terjadi adalah bagaimana si manusia yang tak dipedulikan, nyeleneh dan nyentrik itu bergulat dengan masalahnya, memberi makna pada kehadirannya di dunia. Caranya begitu beragam. Di antaranya ada yang meruyak wilayah religiusitas, dengan bersandar pada kekuatan transcendental; di sisi lain, ada yang berpatok pada imanensi dan kekuatan diri manusia; ada pula yang berada antara wilayah itu, atau mengabaikannya, tetapi lebih menitikberatkan pada proses yang belum sampai. Pada titik ini, sebagaimana nukilan ungkapan Billy Bragg di awal tulisan ini, di antara paradoks tokoh-tokohnya, ada mendasarkan diri pada ‘laut biru yang dalam’; ada pula yang berpangkal pada ‘setan’; ada pula yang berada di wilayah ‘antara’; ada juga yang berada di wilayah lainnya.
Tulisan singkat ini bukanlah sebuah analisis mendalam dengan sederet label-label kesastraan, tak lebih sekedar komentar, untuk ikut mencicipi pergulatan manusia yang telah dilakukan cerpen-cerpen itu. Sebagai pembaca, pada saat tertentu, saya ditaburi ketakjuban karena menemukan hal-hal yang baru dan memukau; pada saat tertentu, saya juga protes karena saya mendapati ruang rumpang yang mengganggu pembacaan saya; pada saat tertentu, saya juga tak bisa berkata-kata karena terjebak di ruang antara…

2/
Beberapa cerpen merujuk pada hal ihwal yang berbau religius. Ada religiusitas yang terang-terangan, terdapat semacam ‘religiusitas’ yang telah melampaui aspek formal dan menjadi keyakinan itu sendiri. Religiusitas ini tampak begitu beragam dan marak, yang dalam beberapa cerpen, saya curigai sebagai ikhtiar dari pelarian, meski di cerpen yang lain, saya menemukan sebuah orisinalitas dari sebuah pergumulan religius lewat laku hidup.
Aspek tersebut dapat dilihat pada cerpen Atina Nabila “Catatan Seorang Tuna Netra”. Cerpen itu berkisah tentang tokoh ‘aku’, seorang tunanetra yang malang, ‘seorang lelaki tak berdaya’, yang sedang mencari titik eksistensial dalam alur hidupnya. Tokoh adalah sosok remeh yang sedang berproses untuk menghargai hidup, yang terbuang oleh keluarganya. Ia bersandar pada sisi manusiawi, yang pada titik tertentu terlihat tegar, di sisi lainnya rapuh. Pada momen tertentu, ia merasa tak berdaya, tetapi pada momen lainnya, ia akan berucap: “Aku memang buta tapi aku bukan manusia lemah”. Dalam kontradiksi itulah, tokoh yang mengingatkan saya pada para penghapal Quran yang buta itu, menyandarkan dirinya pada kekuatan di luar diri, yaitu Tuhan. Alhasil, nasib pun berpihak padanya. Ia bahagia dengan dirinya.
Namun, terasa ada yang mengganjal dari cerpen ini. Dominasi pesan seakan meruntuhkan bangunan teksnya. Tiga paragraf terakhir adalah inti dari cerpen ini tetapi sekaligis titik lemahnya. Selain itu, mengangkat orang buta, dengan sudut pandang aku-an, adalah mentranser segala kebutaan dalam perspektif yang subyektif. Bagaimana pembaca bisa merasakan ‘kegelapan’-nya. Tetapi dalam cerpen ini, sangat terasa bagaimana tokoh ‘aku’ berkisah tentang dirinya dan memandang sebagai ‘orang yang melihat’. Jika ia bertumpu pada ‘aku’ yang buta, tentu pembaca akan mendapatkan begitu banyak kabar dan warna dari ‘dunia kegelapan’ sana, yang siapa tahu bisa mencipta ‘terang’ di sini, di mata pembaca.
Cerpen lainnya, “Doa Isteri Tukang Semir” karya Jack Efendi juga religius, dengan menjadikan orang kecil sebagai pusat, yaitu tukang semir dan isterinya. Dengan latar Jakarta, tentu sosok tukang semir kelihatan semakin tak berdaya dan remeh. Tetapi dalam ketakberdayaan itulah, si tukang semir menunjukkan keberdayaannya. Ia memiliki ruang domestik yang kokoh yaitu ihwal keyakinan, meskipun rapuh dalam satu sisi: soal nasib, sebagaimana ia berujar: “Aku kembali melihat gelas yang berisi kopi hitam pekat. Sepekat nasib keluargaku”. Dalam keterbatasannya, ia bisa menjadi kokoh karena bersandar pada ketakterbatasan, yang dalam hal ini adalah Tuhan dan doa (isterinya). Aspek religiusitas, sebagaimana yang tersurat pada judulnya, berjalin kelindan dengan ikhtiar manusia dalam menentukan nasibnya sendiri. Cerpen pun ditutup dengan ungkapan, “Terima kasih Tuhan untuk tetap memberikan jatah rejekiku dan juga pelajaran untuk hari ini.”
Nyaris seperti cerpen Atina, cerpen tersebut mengandung kerumpangan terutama dari sisi perspektif tokoh, yaitu tokoh ‘aku’, si tukang semir. Tokoh ‘aku’ bukan ‘aku’ orang kecil atau si tukang semir. ‘Aku’ di situ terlalu menggebu mewakili pandangan dan ‘ideologi’ penulisnya. Gambaran tukang semir yang manusiawi seakan pudar dalam beberapa momen. Saya mendapati tukang semir yang idealis, bahkan terlalu cerdas. Opininya pada media massa dan kemiskinan demikian mumpuni, juga soal korupsi dan kriminalitas. Bahkan, pada titik tertentu, ia berkata, “Tiba-tiba aku tepis pikiran idealisku tadi.” Memang nada satir dan ironi muncul di beberapa bagian cerpen, tetapi kemunculannya terkesan bukan karena tuntutan cerita, bukan karena ‘kehendak’ wong cilik si tukang semir. Sebenarnya, dialog internal cerpen ini berpotensi untuk kaya dengan gaya dan menohok dengan humor-humor pahitnya. Jika dialog internal itu dikemas lebih psikologis/ komedik sekalian, yang merupakan problem si tukang semir dengan realitas yang membelenggunya, juga realitas di luar dirinya, saya yakin cerpen ini lebih memikat dan berdaya.
Cerpen Rais Muhammad  yang berjudul ‘Purnama di Tepi Sungai Brantas’ juga berkisah tentang ‘orang tepian’ yang religius. Ia bernama Pur/ Purnama, dan dianggap gadis gila, sebuah penyetereotipan orang kecil yang dimarginalkan masyarakatnya sendiri. Di sini terdapat perpaduan unik antara paradoks eksistensi diri dan kekuatan di luar diri, baik itu dari manusia sekitar, orang tua, dan tentu saja Tuhan. Pur, yang tercederai hidupnya oleh perilaku orang lain, menyikapi nasib dengan nyeleneh. Kenyelenehan ini ternyata sebuah ikhtiar, agar kegetiran hidup itu mendapatkan ruangnya yang tepat, tersimpan di sisi dada yang terkoordinat. Sebuah keterbatasan yang dikaitkan dengan keluasan. Alih-alih peduli pada anggapan gila orang-orang, ia pun terus menghikmati kesendirinya. Ujung-ujungnya adalah kelapangan diri yang berpadu dengan kelapangan Tuhan. Dalam kesendirian dan kehilangan itu, ia merasa memiliki segalanya. Pur berkata: “Hidupku, diriku, sejak itu milik Allah. Hidupku adalah doa-doa untuk kebahagiaan mereka (orang tua, red.)”.
Secara teknik, cerpen ini mengadopsi cerita berbingkai. Tokoh ‘aku’ yang bercerita bersua dengan dia yang bercerita. Namun ada hal-hal yang mengganggu pembacaan, apalagi cerpen itu berlatar tempat/waktu yang bisa saja dilacak pada akar kultural dan geografisnya. Terdapat beberapa penyederhanaan, semisal menghadapkan secara vis-a vis tentang kesenian tradisional yang ‘menyimpang’ dari nilai moralitas dengan keberadaan lembaga keagamaan formal. Penokohan Pur, yang dianggap gila, pun terasa kurang mendalam. Sebenarnya penokohan ini bisa menjadi kelebihan, jika penokohannya tergarap: di balik kenyelenehan yang tampak ternyata tersimpan hal-hal tak terduga dan berharga. Tetapi, begitu saya masuk ke karakter Pur, ternyata ia tidak senyeleneh yang diriuhkan. Ia masih ‘waras’. Tabir Pur terlalu tipis untuk ditembus, rahasianya pun terlalu mudah untuk dibuka dan diterka.
Dari tiga cerpen tersebut, yang memiliki modus yang nyaris sama: orang kecil, terpinggirkan, nyeleneh, yang bertaut erat dengan religiusitas,  bisa saja muncul beberapa pertanyaan: adakah modus menyongsong Tuhan adalah modus terbaik ketika si tokoh berhadapan dengan realitas hidupnya yang pahit? Bisakah itu dianggap sebagai pelarian? Ataukah itu adalah senyawa ideal bagi orang-orang kecil agar ia ‘bahagia’ dengan kekurangannya dan nasibnya yang kurang bahagia? Kiranya pembaca bisa menambah daftar pertanyaan-pertanyaan itu lebih panjang dan lebih bernas.
Di sisi yang berbeda, saya menangkap‘religiusitas’ orang kecil yang cukup menantang dan penuh penghayatan tanpa embel-embel ‘Tuhan’ bisa dilihat pada cerpen lainnya. Dalam hal ini, saya tidak berbicara soal baik-buruk, mana yang lebih pas dan mana yang ‘culas’, saya hanya sekedar memaparkannya sesuai dengan perayaan pembacaan saya.
Salah satunya adalah cerpen “Rebiin”, karya Achmad Fatoni. Seniti, yang dalam konfliknya dengan suaminya, Rebiin, ‘menerima’ perlakuan suaminya yang tak adil dengan menggerutu sekaligus pasrah. Pada titik tertentu, wanita itu mencoba untuk membuat keputusan yang berani dan nekat. Seniti seperti meyakini keberdayaannya dari ketidakberdayaan suaminya (‘Tuhan’-nya) untuk membelanya. Saya teringat pada semboyan mahasiswa pecinta alam: “Tuhan bersama orang-orang berani”. Memang, cerpen ini hanya menyediakan sebuah sketsa dan pembaca diminta untuk melengkapi garis-garis yang ada. Tetapi di sisi lain, ada kesan cerpen itu belum tuntas.
‘Religiusitas’ orang kecil/wong cilik juga bisa dilihat pada cerpen “Penghuni Sorter” karya Hardjono WS. Sekilas bisa dikatakan, cerpen “Penghuni Sorter” adalah cerpen yang bercerita tentang orang kecil dengan teknik cerita berbingkai. Pusatnya adalah Mak Mah, yang mampu menyeret begitu banyak cerita lainnya. Cerpen ini menuju taraf ‘poliponik” (begitu banyak suara dari sebuah cerita). Bahkan, pada kadar tertentu bisa dikatakan sebagai cerita tanpa ‘cerita’. Masing-masing unsurnya saling menopang dan berjalan begitu saja, lewat dialog tokoh-tokohnya, dan narasi dari pencerita/narator. ‘Religiusitas’ orang kecil sebagaimana yang telah disinggung, mengalir secara integral dalam alurnya dan penokohan/ perwatakan, termasuk di dalamnya adalah pandangan/laku hidup tokoh Mak Pah pada alur hidup dan nasib. Dalam cerpen, saya juga menemukan adonan antara ironi, satir, dan humor pahit. Nilai-nilai lokalitas berpadu universalitas. Yang tetap berkelit-kelindan dengan yang berubah. Orang-orang kecil datang dan pergi untuk menjadi orang besar. Sentilan sisi kemanusiaannya juga besar. Cerpen ini prototripe ‘sastra yang terlibat/memihak’ tanpa mengorbankan nilai sastranya.

3/
Cerpen “Payung” karya Mochamad Asrori cukup ciamik. Teks-teksnya menyusun dirinya menjadi sebuah dunia, tanpa perlu bersandar pada sebuah dunia lain. Kelebihan cerpen ini adalah pada detail, fokus, dan perspektif anak kecil dalam memandang benda-benda dan dunia. Ihwal perspektif anak kecil menjadi catatan tersendiri: sebuah dunia yang tak bisa dipahami dengan mudah oleh orang dewasa, meski orang dewasa pernah melewatinya. Cara pandang ini begitu manis, ditunjang dengan narasi yang liris. Asrori mengeksplore hal-hal yang remeh, seperti payung usang, anak kecil, foto, kenangan, juga keinginan keseharian anak kecil yang ternyata berpaut dengan sesuatu yang lebih besar: soal kebahagiaan, eksistensi diri, hidup-mati, juga soal sepi.
Namun, ada beberapa celah, meski sebenarnya bisa dikatakan bukan celah yang parah. Misalnya, dalam pengaluran sebelum akhir cerpen, dii situ terdapat sebuah kebiasaan yang tidak dikerucutkan menjadi satu momen, tetapi penceritaannya berdasar satu momen. Tentu akan berbeda, jika diawali dengan ‘suatu hari, suatu ketika, atau ketika terjadi hujan suatu sore”. Pun, ada beberapa editing yang tidak sempurna, dengan masuknya kata ganti “-ku” atau “aku”, yang seharunya adalah “nya” dan “dia”. Godaan terbesar bagi cerpen yang mengganakan sudut pandang anak juga ada, yaitu merasuknya pandangan orang dewasa, sebagaimana dalam sebuah cuplikan. “Payung bertangkai lebar dan pegangannya dari kayu ini mungkin payung pembawa kebahagiaan,” batinnya. Saya kira anak kecil bukan tabu untuk berbicara kebahagiaan, tetapi itu terlampau dewasa untuk dijadikan suara batin. Meski demikian, saya meyakini, jika si penulis konsisten dengan gaya dan capaian cerpen ini, ia potensial untuk berkembang dan bernafas ‘panjang’. Cerpen-cerpen dengan teknik ini memang masih langka di Indonesia, mungkin baru ditemukan pada beberapa cerpen Dewi Ria Utari dan Ugoran Prasad.
Dalam cerpen “Tentang Kami” Jr Dasamuka mencoba bereskperimen tentang dialog internal. Ia memang bukan berkisah tentang orang kecil —dari segi ekonomi dan status sosial, tetapi gambaran orang aneh dan pinggiran masih cukup kental: dua anak yatim-piatu yang beranjak dewasa, yang di rumahnya terdapat tempat sampah penuh plastik mie sedap, dapur penuh jelaga dan rungsep. Memang deskripsi yang kontradiktif sebagaimana: “pakaianku tidak pernah rapi, tapi aku selalu berdasi, celana pensil, dan jas hitam”. Sebuah profil yang eksentrik, sebagaimana pengakuan si tokoh: “dari kecil, aku sealu menjadi hitam dari segala putih saudaraku”. Sebagaimana cerpen Rais Muhammad, Dasamuka juga membalik anggapan diri, dan anggapan di luar dirinya, meski si tokoh utama terus berpikir tentang aksi pembunuhan. Saya kira pembaca mungkin akan terkecoh siapa yang mati dan dimutilasi, jika pembaca berpatok pada pikiran membunuh. Penulis menggunakan perspektif atau sudut pandang pasca-maut untuk menggambarkan bahwa ternyata yang ‘putih’ bertindak hitam. Saya teringat pada sebuah novel Dostoevsky, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “Kejahatan dan Hukuman”, yang diterbitkan Obor, soal dialog interior pada diri tokoh soal rencana pembunuhan dan realisasinya.
Saya melihat ada titik rengkah dalam cerpen “Tentang Kami”, terutama tentang pembalikan karakter dari putih ke hitam. Jika dihitung dari sisi kejutan, memang terdapat kejutan. Tetapi kejutan itu, seperti ‘jatuh dari langit’ dan tidak dipersiapkan dalam rajutan alur atau tersusun dari teks-teks sebelumnya. Kita hanya disediakan satu perangkat: si putih bertandang ke kekasih si hitam dan si hitam terbakar cemburu. Penggunaan teknik sudut pandang pasca-maut pun terasa dipaksakan, apalagi sudut pandangnya masih ‘aku-an’ dengan gaya seperti semula. Namun, sebagai sebuah cerpen yang mencoba menyelami sisi gelap manusia sebagai ‘homo homini lupus’ maka cerpen ini memiliki potensi untuk berkembang.

4/
Terdapat dua cerpen yang berbicara tentang ‘kalangan marginal’ lainnya dari sebuah ‘kelas’ yang sebenarnya ‘berkelas’, yaitu “Yang Dibunuh Cerita-cerita” karya Dadang Ari Murtono dan “Negeri Dongeng” karya Nasrulloh Habibi. Kedua penulis itu memiliki pandangan dunia yang nyaris sama: bahwa pengarang/penyair menempati ‘kelas’ yang tak layak untuk beruntung dan termasuk kelas marginal. Tentu saja, pandangan ini adalah pandangan khas Indonesia banget, dan begitu romantik. Kita tahu, pada masa-masa kerajaan di Tanah Air,  pengarang atau pujangga begitu dihormati. Begitu pun di negeri-negeri yang melek literer, pengarang adalah begitu dihargai dan dianggap sebagai agen intelektual yang nyaris seperti ‘nabi’.
Dalam cerpen “Yang Dibunuh Cerita-cerita” adalah gambaran pengarang ambang, yang memiliki jiwa modern atau soliter di sebuah masyarakat yang acuh tak acuh. Cerpen ini sama menariknya dengan cerpen “Payung”, pun sama potensialnya. Rajutan teksnya begitu kaya dan narasinya cukup detail. Begitu usai membacanya, saya teringat pada sebuah cerpen yang agak panjang dari penulis Eropa (saya lupa judul dan penulisnya) dan  sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, terbitan ‘akubaca’. Cerpen itu berkisah tentang tokoh-tokoh cerita yang datang menuntut pengarangnya karena tokoh-tokoh itu tidak puas terhadap si penulis. Saya kira gaya serupa sebagaimana yang diadopsi Seno Gumira Adjidarma dalam novel “Kitab Omong Kosong”, ketika Walmiki didatangi tokoh-tokoh rekaanya.  Tetapi dalam cerpen “Yang Dibunuh Cerita-cerita” saya melihat kekhasannya sendiri sebagai sebuah ‘dunia’ yang diciptakan Dadang, terutama tentang sisi tragis dari seorang pengarang. Dalam cerpen itu, saya menangkap ‘ruang rumpang’ dari pengarang baik secara sosial maupun dalam dunia imajinasinya. Pengarang digambarkan mengendap dalam ingatan kawan-kawan dan tetangganya sebagai ‘orang sinting, berambut gondrong, gaya hidup nyentrik’ dan stereotipe kepengarangan lain yang bohemian. Cerita tentang ihwal inilah yang menjalin benang merah dengan cerpen-cerpen lainnya, tentang ‘yang marjinal’. Secara tekstual, bangunan cerpen ini bisa berdiri sendiri, dengan rajutan teks-teksnya yang menantang untuk dibaca sebagai ‘teks plural’. Gagasan metafiksi menggelayuti hampir di sekujur cerpen, yang tentu saja, sangat menarik digali dari segi relasi-relasi fiksi dalam fiksi yang terangkai.
Cerpen “Negeri Dongeng” juga menyoal tentang seorang penyair, yang berasal dari negeri dongeng, negeri khayalan –tergambar dalam film. Tokoh “aku” seakan tidak rela melihat seorang penyair ‘gembel’ bernama Rasyid, mendapatkan seorang kekasih sekelas artis, meski itu ‘hanya’ dalam film. Logika cerita berbingkai memang terlihat dalam cerpen ini. Tetapi yang ‘berlubang’ tentu saja bukan dalam hal hubungan penyair dengan dunianya –ini hanyalah perihal yang mempertautkan tema dalam buku ini, tetapi lebih pada relasi antara dunia si aku, dengan dunia dongeng tempat Rasyid berada, yang terajut dalam cerpen itu. Sebuah relasi yang mengambang…

5/
Demikianlah sekedar komentar pada buku cerpen “Tentang Kami Para Penghuni Sorter”. Cerpen-cerpen itu memang mengunggah ‘yang terpinggirkan’ menjadi pusat cerita. Masing-masing cerpen menawarkan pandangan yang beragam ihwal nasih, takdir, dan sisi-sisi manusiawi yang terbahasakan, juga tak terbahasakan. Jika saya menggugat karena adanya lubang-lubang dalam cerita, itu hampir sama ketika saya takjub: keduanya tak lebih dari cara saya untuk menunjukkan hormat. Saya ucapkan selamat atas terbitnya buku ini, semoga bermanfaat, penuh berkah dan menjadi persemaian kreatif yang terus tumbuh dan bermarwah; dan bisa menakik dari pergulatan-pergulatan ‘antara laut biru yang dalam dan setan’.
Wallahu waliyyuttariq.


α Disampaikan dalam Bedah Kumcer Tentang Kami Para Penghuni Sorter di Galeri, Balai Pemuda Surabaya, pada 11 Januari 2012, yang diselenggarakan Jurusan Teater STKW, bekerja sama dengan DKS dan DK-Jatim.
β Santri sastra yang masih terus belajar secara serabutan, baik itu puisi, novel, cerpen, esai, naskah drama, penelitian sastra, maupun karya-karya jurnalistik.


Sumber: