Sekedar
Komentar pada Kumcer Tentang Kami Para Penghuni Sorterα
Oleh:
Mashuriβ
Aku berada
di antara laut biru yang dalam dan setan
Billy Bragg
1/
Mashuri |
Dalam sebuah
risalah, Antonio Gramsci pernah menggurat sebuah taklimat, bahwa dalam proses dialektika,
‘the margin’ selalu saja berusaha merangsek ‘the center’. Gerak sejarah, yang
berdasar pada ‘counter’ pinggiran dan pusat itu menjadi sumbu dinamis sebuah
tatanan yang berpangkal dari materialisme historis. Dalam kumpulan cerpen Tentang
Kami Para Penghuni Sorter, saya melihat gagasan ‘pinggir’ yang memusat
itu menjadi ruh yang membenangmerahi 9 cerpen yang terkumpul dalam buku
tersebut. Tentu saja, gagasan itu bukan Gramscian dalam arti ideologis, tetapi
berparalel dalam ruang yang berbeda, karena dalam kumpulan cerpen itu, ‘yang
pinggiran’ telah menjadi pusat, yakni pusat cerita/ penceritaan.
Dalam
sembilan cerpen yang ditulis kawan-kawan Mojokerto, saya melihat sosok-sosok
kecil, remeh, yang terpinggirkan dari arus besar dan dianggap nyinyir oleh
mayoritas, menjadi pusat cerita dengan konflik, eksistensi dan persoalan
masing-masing. Cerpen-cerpen tersebut berbicara dengan tentang manusia dan
tidak disapih oleh akar kemanusiaan paling hakiki, yaitu nasib, mungkin takdir.
Pergulatan yang terjadi adalah bagaimana si manusia yang tak dipedulikan,
nyeleneh dan nyentrik itu bergulat dengan masalahnya, memberi makna pada
kehadirannya di dunia. Caranya begitu beragam. Di antaranya ada yang meruyak
wilayah religiusitas, dengan bersandar pada kekuatan transcendental; di sisi
lain, ada yang berpatok pada imanensi dan kekuatan diri manusia; ada pula yang
berada antara wilayah itu, atau mengabaikannya, tetapi lebih menitikberatkan
pada proses yang belum sampai. Pada titik ini, sebagaimana nukilan ungkapan Billy
Bragg di awal tulisan ini, di antara paradoks tokoh-tokohnya, ada mendasarkan
diri pada ‘laut biru yang dalam’; ada pula yang berpangkal pada ‘setan’; ada
pula yang berada di wilayah ‘antara’; ada juga yang berada di wilayah lainnya.
Tulisan
singkat ini bukanlah sebuah analisis mendalam dengan sederet label-label
kesastraan, tak lebih sekedar komentar, untuk ikut mencicipi pergulatan manusia
yang telah dilakukan cerpen-cerpen itu. Sebagai pembaca, pada saat tertentu,
saya ditaburi ketakjuban karena menemukan hal-hal yang baru dan memukau; pada
saat tertentu, saya juga protes karena saya mendapati ruang rumpang yang
mengganggu pembacaan saya; pada saat tertentu, saya juga tak bisa berkata-kata
karena terjebak di ruang antara…
2/
Beberapa
cerpen merujuk pada hal ihwal yang berbau religius. Ada religiusitas yang
terang-terangan, terdapat semacam ‘religiusitas’ yang telah melampaui aspek
formal dan menjadi keyakinan itu sendiri. Religiusitas ini tampak begitu
beragam dan marak, yang dalam beberapa cerpen, saya curigai sebagai ikhtiar
dari pelarian, meski di cerpen yang lain, saya menemukan sebuah orisinalitas
dari sebuah pergumulan religius lewat laku hidup.
Aspek
tersebut dapat dilihat pada cerpen Atina Nabila “Catatan Seorang Tuna Netra”.
Cerpen itu berkisah tentang tokoh ‘aku’, seorang tunanetra yang malang,
‘seorang lelaki tak berdaya’, yang sedang mencari titik eksistensial dalam alur
hidupnya. Tokoh adalah sosok remeh yang sedang berproses untuk menghargai
hidup, yang terbuang oleh keluarganya. Ia bersandar pada sisi manusiawi, yang
pada titik tertentu terlihat tegar, di sisi lainnya rapuh. Pada momen tertentu,
ia merasa tak berdaya, tetapi pada momen lainnya, ia akan berucap: “Aku memang
buta tapi aku bukan manusia lemah”. Dalam kontradiksi itulah, tokoh yang
mengingatkan saya pada para penghapal Quran yang buta itu, menyandarkan dirinya
pada kekuatan di luar diri, yaitu Tuhan. Alhasil, nasib pun berpihak padanya.
Ia bahagia dengan dirinya.
Namun,
terasa ada yang mengganjal dari cerpen ini. Dominasi pesan seakan meruntuhkan
bangunan teksnya. Tiga paragraf terakhir adalah inti dari cerpen ini tetapi
sekaligis titik lemahnya. Selain itu, mengangkat orang buta, dengan sudut
pandang aku-an, adalah mentranser segala kebutaan dalam perspektif yang
subyektif. Bagaimana pembaca bisa merasakan ‘kegelapan’-nya. Tetapi dalam
cerpen ini, sangat terasa bagaimana tokoh ‘aku’ berkisah tentang dirinya dan
memandang sebagai ‘orang yang melihat’. Jika ia bertumpu pada ‘aku’ yang buta,
tentu pembaca akan mendapatkan begitu banyak kabar dan warna dari ‘dunia
kegelapan’ sana, yang siapa tahu bisa mencipta ‘terang’ di sini, di mata
pembaca.
Cerpen
lainnya, “Doa Isteri Tukang Semir” karya Jack Efendi juga religius, dengan
menjadikan orang kecil sebagai pusat, yaitu tukang semir dan isterinya. Dengan
latar Jakarta, tentu sosok tukang semir kelihatan semakin tak berdaya dan
remeh. Tetapi dalam ketakberdayaan itulah, si tukang semir menunjukkan
keberdayaannya. Ia memiliki ruang domestik yang kokoh yaitu ihwal keyakinan,
meskipun rapuh dalam satu sisi: soal nasib, sebagaimana ia berujar: “Aku
kembali melihat gelas yang berisi kopi hitam pekat. Sepekat nasib keluargaku”.
Dalam keterbatasannya, ia bisa menjadi kokoh karena bersandar pada
ketakterbatasan, yang dalam hal ini adalah Tuhan dan doa (isterinya). Aspek
religiusitas, sebagaimana yang tersurat pada judulnya, berjalin kelindan dengan
ikhtiar manusia dalam menentukan nasibnya sendiri. Cerpen pun ditutup dengan
ungkapan, “Terima kasih Tuhan untuk tetap memberikan jatah rejekiku dan juga
pelajaran untuk hari ini.”
Nyaris
seperti cerpen Atina, cerpen tersebut mengandung kerumpangan terutama dari sisi
perspektif tokoh, yaitu tokoh ‘aku’, si tukang semir. Tokoh ‘aku’ bukan ‘aku’
orang kecil atau si tukang semir. ‘Aku’ di situ terlalu menggebu mewakili
pandangan dan ‘ideologi’ penulisnya. Gambaran tukang semir yang manusiawi
seakan pudar dalam beberapa momen. Saya mendapati tukang semir yang idealis,
bahkan terlalu cerdas. Opininya pada media massa dan kemiskinan demikian
mumpuni, juga soal korupsi dan kriminalitas. Bahkan, pada titik tertentu, ia
berkata, “Tiba-tiba aku tepis pikiran idealisku tadi.” Memang nada satir dan
ironi muncul di beberapa bagian cerpen, tetapi kemunculannya terkesan bukan
karena tuntutan cerita, bukan karena ‘kehendak’ wong cilik si tukang semir.
Sebenarnya, dialog internal cerpen ini berpotensi untuk kaya dengan gaya dan
menohok dengan humor-humor pahitnya. Jika dialog internal itu dikemas lebih
psikologis/ komedik sekalian, yang merupakan problem si tukang semir dengan
realitas yang membelenggunya, juga realitas di luar dirinya, saya yakin cerpen
ini lebih memikat dan berdaya.
Cerpen Rais
Muhammad yang berjudul ‘Purnama di Tepi Sungai Brantas’ juga berkisah
tentang ‘orang tepian’ yang religius. Ia bernama Pur/ Purnama, dan dianggap
gadis gila, sebuah penyetereotipan orang kecil yang dimarginalkan masyarakatnya
sendiri. Di sini terdapat perpaduan unik antara paradoks eksistensi diri dan
kekuatan di luar diri, baik itu dari manusia sekitar, orang tua, dan tentu saja
Tuhan. Pur, yang tercederai hidupnya oleh perilaku orang lain, menyikapi nasib
dengan nyeleneh. Kenyelenehan ini ternyata sebuah ikhtiar, agar kegetiran hidup
itu mendapatkan ruangnya yang tepat, tersimpan di sisi dada yang terkoordinat.
Sebuah keterbatasan yang dikaitkan dengan keluasan. Alih-alih peduli pada
anggapan gila orang-orang, ia pun terus menghikmati kesendirinya.
Ujung-ujungnya adalah kelapangan diri yang berpadu dengan kelapangan Tuhan.
Dalam kesendirian dan kehilangan itu, ia merasa memiliki segalanya. Pur
berkata: “Hidupku, diriku, sejak itu milik Allah. Hidupku adalah doa-doa untuk
kebahagiaan mereka (orang tua, red.)”.
Secara
teknik, cerpen ini mengadopsi cerita berbingkai. Tokoh ‘aku’ yang bercerita
bersua dengan dia yang bercerita. Namun ada hal-hal yang mengganggu pembacaan,
apalagi cerpen itu berlatar tempat/waktu yang bisa saja dilacak pada akar
kultural dan geografisnya. Terdapat beberapa penyederhanaan, semisal
menghadapkan secara vis-a vis tentang kesenian tradisional yang ‘menyimpang’ dari
nilai moralitas dengan keberadaan lembaga keagamaan formal. Penokohan Pur, yang
dianggap gila, pun terasa kurang mendalam. Sebenarnya penokohan ini bisa
menjadi kelebihan, jika penokohannya tergarap: di balik kenyelenehan yang
tampak ternyata tersimpan hal-hal tak terduga dan berharga. Tetapi, begitu saya
masuk ke karakter Pur, ternyata ia tidak senyeleneh yang diriuhkan. Ia masih
‘waras’. Tabir Pur terlalu tipis untuk ditembus, rahasianya pun terlalu mudah
untuk dibuka dan diterka.
Dari tiga
cerpen tersebut, yang memiliki modus yang nyaris sama: orang kecil,
terpinggirkan, nyeleneh, yang bertaut erat dengan religiusitas, bisa saja
muncul beberapa pertanyaan: adakah modus menyongsong Tuhan adalah modus terbaik
ketika si tokoh berhadapan dengan realitas hidupnya yang pahit? Bisakah itu
dianggap sebagai pelarian? Ataukah itu adalah senyawa ideal bagi orang-orang
kecil agar ia ‘bahagia’ dengan kekurangannya dan nasibnya yang kurang bahagia?
Kiranya pembaca bisa menambah daftar pertanyaan-pertanyaan itu lebih panjang
dan lebih bernas.
Di sisi yang
berbeda, saya menangkap‘religiusitas’ orang kecil yang cukup menantang dan
penuh penghayatan tanpa embel-embel ‘Tuhan’ bisa dilihat pada cerpen lainnya.
Dalam hal ini, saya tidak berbicara soal baik-buruk, mana yang lebih pas dan
mana yang ‘culas’, saya hanya sekedar memaparkannya sesuai dengan perayaan
pembacaan saya.
Salah
satunya adalah cerpen “Rebiin”, karya Achmad Fatoni. Seniti, yang dalam
konfliknya dengan suaminya, Rebiin, ‘menerima’ perlakuan suaminya yang tak adil
dengan menggerutu sekaligus pasrah. Pada titik tertentu, wanita itu mencoba
untuk membuat keputusan yang berani dan nekat. Seniti seperti meyakini
keberdayaannya dari ketidakberdayaan suaminya (‘Tuhan’-nya) untuk membelanya.
Saya teringat pada semboyan mahasiswa pecinta alam: “Tuhan bersama orang-orang
berani”. Memang, cerpen ini hanya menyediakan sebuah sketsa dan pembaca diminta
untuk melengkapi garis-garis yang ada. Tetapi di sisi lain, ada kesan cerpen
itu belum tuntas.
‘Religiusitas’
orang kecil/wong cilik juga bisa dilihat pada cerpen “Penghuni Sorter” karya
Hardjono WS. Sekilas bisa dikatakan, cerpen “Penghuni Sorter” adalah cerpen
yang bercerita tentang orang kecil dengan teknik cerita berbingkai. Pusatnya
adalah Mak Mah, yang mampu menyeret begitu banyak cerita lainnya. Cerpen ini
menuju taraf ‘poliponik” (begitu banyak suara dari sebuah cerita). Bahkan, pada
kadar tertentu bisa dikatakan sebagai cerita tanpa ‘cerita’. Masing-masing
unsurnya saling menopang dan berjalan begitu saja, lewat dialog tokoh-tokohnya,
dan narasi dari pencerita/narator. ‘Religiusitas’ orang kecil sebagaimana yang
telah disinggung, mengalir secara integral dalam alurnya dan penokohan/
perwatakan, termasuk di dalamnya adalah pandangan/laku hidup tokoh Mak Pah pada
alur hidup dan nasib. Dalam cerpen, saya juga menemukan adonan antara ironi,
satir, dan humor pahit. Nilai-nilai lokalitas berpadu universalitas. Yang tetap
berkelit-kelindan dengan yang berubah. Orang-orang kecil datang dan pergi untuk
menjadi orang besar. Sentilan sisi kemanusiaannya juga besar. Cerpen ini
prototripe ‘sastra yang terlibat/memihak’ tanpa mengorbankan nilai sastranya.
3/
Cerpen
“Payung” karya Mochamad Asrori cukup ciamik. Teks-teksnya menyusun dirinya
menjadi sebuah dunia, tanpa perlu bersandar pada sebuah dunia lain. Kelebihan
cerpen ini adalah pada detail, fokus, dan perspektif anak kecil dalam memandang
benda-benda dan dunia. Ihwal perspektif anak kecil menjadi catatan tersendiri:
sebuah dunia yang tak bisa dipahami dengan mudah oleh orang dewasa, meski orang
dewasa pernah melewatinya. Cara pandang ini begitu manis, ditunjang dengan
narasi yang liris. Asrori mengeksplore hal-hal yang remeh, seperti payung
usang, anak kecil, foto, kenangan, juga keinginan keseharian anak kecil yang
ternyata berpaut dengan sesuatu yang lebih besar: soal kebahagiaan, eksistensi
diri, hidup-mati, juga soal sepi.
Namun, ada
beberapa celah, meski sebenarnya bisa dikatakan bukan celah yang parah.
Misalnya, dalam pengaluran sebelum akhir cerpen, dii situ terdapat sebuah
kebiasaan yang tidak dikerucutkan menjadi satu momen, tetapi penceritaannya
berdasar satu momen. Tentu akan berbeda, jika diawali dengan ‘suatu hari, suatu
ketika, atau ketika terjadi hujan suatu sore”. Pun, ada beberapa editing yang
tidak sempurna, dengan masuknya kata ganti “-ku” atau “aku”, yang seharunya
adalah “nya” dan “dia”. Godaan terbesar bagi cerpen yang mengganakan sudut
pandang anak juga ada, yaitu merasuknya pandangan orang dewasa, sebagaimana
dalam sebuah cuplikan. “Payung bertangkai lebar dan pegangannya dari kayu ini
mungkin payung pembawa kebahagiaan,” batinnya. Saya kira anak kecil bukan tabu
untuk berbicara kebahagiaan, tetapi itu terlampau dewasa untuk dijadikan suara
batin. Meski demikian, saya meyakini, jika si penulis konsisten dengan gaya dan
capaian cerpen ini, ia potensial untuk berkembang dan bernafas ‘panjang’.
Cerpen-cerpen dengan teknik ini memang masih langka di Indonesia, mungkin baru
ditemukan pada beberapa cerpen Dewi Ria Utari dan Ugoran Prasad.
Dalam cerpen
“Tentang Kami” Jr Dasamuka mencoba bereskperimen tentang dialog internal. Ia
memang bukan berkisah tentang orang kecil —dari segi ekonomi dan status sosial,
tetapi gambaran orang aneh dan pinggiran masih cukup kental: dua anak
yatim-piatu yang beranjak dewasa, yang di rumahnya terdapat tempat sampah penuh
plastik mie sedap, dapur penuh jelaga dan rungsep. Memang deskripsi yang
kontradiktif sebagaimana: “pakaianku tidak pernah rapi, tapi aku selalu
berdasi, celana pensil, dan jas hitam”. Sebuah profil yang eksentrik, sebagaimana
pengakuan si tokoh: “dari kecil, aku sealu menjadi hitam dari segala putih
saudaraku”. Sebagaimana cerpen Rais Muhammad, Dasamuka juga membalik anggapan
diri, dan anggapan di luar dirinya, meski si tokoh utama terus berpikir tentang
aksi pembunuhan. Saya kira pembaca mungkin akan terkecoh siapa yang mati dan
dimutilasi, jika pembaca berpatok pada pikiran membunuh. Penulis menggunakan
perspektif atau sudut pandang pasca-maut untuk menggambarkan bahwa ternyata
yang ‘putih’ bertindak hitam. Saya teringat pada sebuah novel Dostoevsky, yang
dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “Kejahatan dan Hukuman”, yang
diterbitkan Obor, soal dialog interior pada diri tokoh soal rencana pembunuhan
dan realisasinya.
Saya melihat
ada titik rengkah dalam cerpen “Tentang Kami”, terutama tentang pembalikan
karakter dari putih ke hitam. Jika dihitung dari sisi kejutan, memang terdapat
kejutan. Tetapi kejutan itu, seperti ‘jatuh dari langit’ dan tidak dipersiapkan
dalam rajutan alur atau tersusun dari teks-teks sebelumnya. Kita hanya
disediakan satu perangkat: si putih bertandang ke kekasih si hitam dan si hitam
terbakar cemburu. Penggunaan teknik sudut pandang pasca-maut pun terasa
dipaksakan, apalagi sudut pandangnya masih ‘aku-an’ dengan gaya seperti semula.
Namun, sebagai sebuah cerpen yang mencoba menyelami sisi gelap manusia sebagai
‘homo homini lupus’ maka cerpen ini memiliki potensi untuk berkembang.
4/
Terdapat dua
cerpen yang berbicara tentang ‘kalangan marginal’ lainnya dari sebuah ‘kelas’
yang sebenarnya ‘berkelas’, yaitu “Yang Dibunuh Cerita-cerita” karya Dadang Ari
Murtono dan “Negeri Dongeng” karya Nasrulloh Habibi. Kedua penulis itu memiliki
pandangan dunia yang nyaris sama: bahwa pengarang/penyair menempati ‘kelas’
yang tak layak untuk beruntung dan termasuk kelas marginal. Tentu saja,
pandangan ini adalah pandangan khas Indonesia banget, dan begitu romantik. Kita
tahu, pada masa-masa kerajaan di Tanah Air, pengarang atau pujangga
begitu dihormati. Begitu pun di negeri-negeri yang melek literer, pengarang
adalah begitu dihargai dan dianggap sebagai agen intelektual yang nyaris
seperti ‘nabi’.
Dalam cerpen
“Yang Dibunuh Cerita-cerita” adalah gambaran pengarang ambang, yang memiliki
jiwa modern atau soliter di sebuah masyarakat yang acuh tak acuh. Cerpen ini
sama menariknya dengan cerpen “Payung”, pun sama potensialnya. Rajutan teksnya
begitu kaya dan narasinya cukup detail. Begitu usai membacanya, saya teringat
pada sebuah cerpen yang agak panjang dari penulis Eropa (saya lupa judul dan
penulisnya) dan sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, terbitan
‘akubaca’. Cerpen itu berkisah tentang tokoh-tokoh cerita yang datang menuntut
pengarangnya karena tokoh-tokoh itu tidak puas terhadap si penulis. Saya kira
gaya serupa sebagaimana yang diadopsi Seno Gumira Adjidarma dalam novel “Kitab
Omong Kosong”, ketika Walmiki didatangi tokoh-tokoh rekaanya. Tetapi
dalam cerpen “Yang Dibunuh Cerita-cerita” saya melihat kekhasannya sendiri
sebagai sebuah ‘dunia’ yang diciptakan Dadang, terutama tentang sisi tragis
dari seorang pengarang. Dalam cerpen itu, saya menangkap ‘ruang rumpang’ dari
pengarang baik secara sosial maupun dalam dunia imajinasinya. Pengarang
digambarkan mengendap dalam ingatan kawan-kawan dan tetangganya sebagai ‘orang
sinting, berambut gondrong, gaya hidup nyentrik’ dan stereotipe kepengarangan
lain yang bohemian. Cerita tentang ihwal inilah yang menjalin benang merah
dengan cerpen-cerpen lainnya, tentang ‘yang marjinal’. Secara tekstual,
bangunan cerpen ini bisa berdiri sendiri, dengan rajutan teks-teksnya yang
menantang untuk dibaca sebagai ‘teks plural’. Gagasan metafiksi menggelayuti
hampir di sekujur cerpen, yang tentu saja, sangat menarik digali dari segi
relasi-relasi fiksi dalam fiksi yang terangkai.
Cerpen
“Negeri Dongeng” juga menyoal tentang seorang penyair, yang berasal dari negeri
dongeng, negeri khayalan –tergambar dalam film. Tokoh “aku” seakan tidak rela
melihat seorang penyair ‘gembel’ bernama Rasyid, mendapatkan seorang kekasih
sekelas artis, meski itu ‘hanya’ dalam film. Logika cerita berbingkai memang
terlihat dalam cerpen ini. Tetapi yang ‘berlubang’ tentu saja bukan dalam hal
hubungan penyair dengan dunianya –ini hanyalah perihal yang mempertautkan tema
dalam buku ini, tetapi lebih pada relasi antara dunia si aku, dengan dunia
dongeng tempat Rasyid berada, yang terajut dalam cerpen itu. Sebuah relasi yang
mengambang…
5/
Demikianlah
sekedar komentar pada buku cerpen “Tentang Kami Para Penghuni Sorter”.
Cerpen-cerpen itu memang mengunggah ‘yang terpinggirkan’ menjadi pusat cerita.
Masing-masing cerpen menawarkan pandangan yang beragam ihwal nasih, takdir, dan
sisi-sisi manusiawi yang terbahasakan, juga tak terbahasakan. Jika saya
menggugat karena adanya lubang-lubang dalam cerita, itu hampir sama ketika saya
takjub: keduanya tak lebih dari cara saya untuk menunjukkan hormat. Saya
ucapkan selamat atas terbitnya buku ini, semoga bermanfaat, penuh berkah dan
menjadi persemaian kreatif yang terus tumbuh dan bermarwah; dan bisa menakik
dari pergulatan-pergulatan ‘antara laut biru yang dalam dan setan’.
Wallahu
waliyyuttariq.
α Disampaikan dalam Bedah Kumcer Tentang Kami Para Penghuni
Sorter di Galeri, Balai Pemuda Surabaya, pada 11 Januari 2012, yang
diselenggarakan Jurusan Teater STKW, bekerja sama dengan DKS dan DK-Jatim.
β Santri sastra yang masih terus belajar secara serabutan, baik
itu puisi, novel, cerpen, esai, naskah drama, penelitian sastra, maupun
karya-karya jurnalistik.
Sumber: