Kamis, 28 Maret 2019

Komodifikasi Teater Tradisi



Oleh Anjrah Lelono Broto *)

     Perbincangan tentang kooptasi kesenian oleh pelbagai kepentingan eksternal adalah lagu lama yang tidak lagi memikat sejalan dengan kedirian seni itu sendiri. Ketika seni dikooptasi oleh kepentingan eksternal –di antaranya politik- kita tidak perlu melawan lupa dengan catatan sejarah lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang, polemik Lekra vs Manikebu, dan atau maraknya pelarangan pertunjukkan teater di masa Orde Baru. Tetapi ketika seni dikooptasi kepentingan ekonomi, mayoritas dari publik pasti akan memencongkan mulut dan bergumam tentang keafdhalan penghargaan terhadap karya seni, termasuk mengapresiasinya dengan ritus jual-beli.
     Bisri Effendy menyebut bahwa kooptasi kesenian oleh kepentingan ekonomi adalah problematika klasik yang secara spesifik dapat ditemukan pada kebijakan pemerintah yang menempatkan sektor pariwisata sebagai meja perjamuan dengan kesenian tradisi sebagai menunya (Kompas, 21/11/2005). Artinya, pemerintah pun menjadi salah satu pihak yang melakukan kooptasi terhadap kesenian di tanah air, terutama kesenian tradisi.
     Selama ini telah berkembang upaya signifikan-berkelanjutan dari pemerintah untuk menjadikan kesenian tradisi (termasuk di antaranya seni pertunjukkan teater) sebagai komoditas pariwisata, terutama di daerah. Seni pertunjukkan teater tradisi telah dikomodifikasi sedemikian rupa oleh pemerintah menjadi lumbung pendulang Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing-masing pemda.
     Komodifikasi sendiri menurut perbendaharaan kata dalam istilah marxist adalah suatu bentuk transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil (Frans Magnis Suseno, 1999:82). Komodifikasi seni teater tradisi yang dilakukan pemerintah memang memberikan keuntungan materi, baik kepada pemerintah maupun pelaku seni teater tradisi itu sendiri. Tetapi, komodifikasi ini juga berdampak negatif pada terciptanya persepsi bahwa seni teater tradisi hanya merupakan salah satu komoditi pariwisata semata, baik bagi pengambil kebijakan di lingkungan birokrasi pemerintahan serta masyarakat luas –terutama generasi muda. Dampak negatif yang tidak kalah menyesakkan justru di lingkup pelaku seni pertunjukkan teater tradisi itu sendiri, proses kreatif pun berkembang menjadi pergulatan berlandas pada motif ekonomi, artifisial, dan komersial.
     Dapat dibayangkan bagaimana potret kelompok-kelompok seni pertunjukkan teater tradisi di daerah-daerah, serta kualitas produk kesenian yang dihasilkannya?
     Kelompok-kelompok kesenian seni pertunjukkan teater tradisi seperti Lenong, Longser, Ludruk, Ketoprak, Reog, Dulmuluk, Kondobuleng, Randai, Mamanda, dll pun berkembang menjadi perusahaan yang menempatkan motif ekonomi sebagai pusaran proses kreatif. Nama-nama kelompok mereka menjejali daftar panjang kelompok kesenian binaan dinas-dinas pariwisata dengan anggota yang itu-itu saja, dan bak kutu loncat para anggota kelompok tersebut berpindah-pindah dari satu kelompok ke kelompok lain yang memenangkan tender proyek kesenian. Sementara di hari-hari besar nasional maupun keagamaan, nama para anggota ini masuk dalam daftar penerima “tali asih”, yang boleh dikata merupakan eufemesme dari “santunan” bagi pelaku seni pertunjukkan teater tradisi.
     Adalah sebuah kelaziman di tanah air apabila dalam sebuah perhelatan festival seni pertunjukkan teater tradisi, aktor, aktris, pemusik, sutradara, maupun penulis lakonnya yang berpartisipasi terdaftar dalam beberapa kelompok peserta. Sementara birokrasi di dinas pariwisata dan kebudayaan yang menjadi tuan rumahnya pun justru membiarkannya karena apabila dilakukan “penertiban” maka besar kemungkinan perhelatan tersebut hanya akan diikuti peserta dalam hitungan jari. Akibatnya, perhelatan yang seyogyanya menjadi parameter perkembangan seni pertunjukkan teater tradisi di suatu wilayah dan periode tertentu ini menjelma menjadi wahana mengais “job manggung” semata bagi para senimannya, serta item menghabiskan anggaran negara bagi para birokrat pemerintahan.
     Ironisnya, realitas yang menyesakkan dada ini dikemas secara sistemik sehingga menjadi pedoman proses kreatif seniman-seniwati tradisi, khususnya seni pertunjukkan teater tradisi. Maka, jangan heran jika komodifikasi ini berimbas pada stagnasi perkembangan seni tradisi yang berujung pada kian jauhnya seni tradisi dari masyarakat di tanah air dari generasi ke generasi.
     Sejatinya, telah membanjir riset tentang dampak yang ditimbulkannya dalam perkembangan seni tradisi itu sendiri. Dari Robert Heffner hingga Peacock, dari Ninuk Kleden hingga Amrih Widodo. Belum lagi yang membanjiri skripsi, tesis, juga disertasi, yang menjadi penghuni perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi. Dalam penelitiannya tentang seni Tayub di Blora di tahun 1991, Amrih Widodo memperlihatkan suksesnya campur tangan pemerintah dalam merubah panggung seni pertunjukkan teater tradisi sebagai ritus hegemoni (Radhar Panca Dhahana, 2012:146).
     Ritus hegemoni inilah yang kemudian melazimkan penggunaan seni pertunjukkan teater tradisi sebagai corong politik, ideologi, bahkan anasir-anasir orpol maupun ormas. Seni pertunjukkan teater tradisi pun terjebak dalam komodifikasi yang bermuara pada hilangnya dinamika. Bahkan, hanya sebagai salah satu item kekayaan budaya yang kesinambungan hidupnya bergantung pada dengan besaran kucuran APBN/APBD.
     Satu pertanyaan yang menggelisahkan adalah; “Adakah di antara kita yang menganggap ini sebagai sebuah problematika serius?”

*****

Sumber: