Oleh Anjrah
Lelono Broto *)
Perbincangan tentang kooptasi kesenian
oleh pelbagai kepentingan eksternal adalah lagu lama yang tidak lagi memikat
sejalan dengan kedirian seni itu sendiri. Ketika seni dikooptasi oleh
kepentingan eksternal –di antaranya politik- kita tidak perlu melawan lupa
dengan catatan sejarah lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang, polemik Lekra vs
Manikebu, dan atau maraknya pelarangan pertunjukkan teater di masa Orde Baru.
Tetapi ketika seni dikooptasi kepentingan ekonomi, mayoritas dari publik pasti
akan memencongkan mulut dan bergumam tentang keafdhalan penghargaan terhadap karya seni, termasuk
mengapresiasinya dengan ritus jual-beli.
Bisri Effendy menyebut bahwa kooptasi
kesenian oleh kepentingan ekonomi adalah problematika klasik yang secara
spesifik dapat ditemukan pada kebijakan pemerintah yang menempatkan sektor
pariwisata sebagai meja perjamuan dengan kesenian tradisi sebagai menunya (Kompas, 21/11/2005). Artinya, pemerintah
pun menjadi salah satu pihak yang melakukan kooptasi terhadap kesenian di tanah
air, terutama kesenian tradisi.
Selama ini telah berkembang upaya
signifikan-berkelanjutan dari pemerintah untuk menjadikan kesenian tradisi
(termasuk di antaranya seni pertunjukkan teater) sebagai komoditas pariwisata,
terutama di daerah. Seni pertunjukkan teater tradisi telah dikomodifikasi
sedemikian rupa oleh pemerintah menjadi lumbung pendulang Pendapatan Asli
Daerah (PAD) masing-masing pemda.
Komodifikasi sendiri menurut perbendaharaan kata dalam istilah marxist
adalah suatu bentuk transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari
hal-hal yang sifatnya diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil (Frans Magnis
Suseno, 1999:82).
Komodifikasi seni teater tradisi yang dilakukan pemerintah memang memberikan
keuntungan materi, baik kepada pemerintah maupun pelaku seni teater tradisi itu
sendiri. Tetapi, komodifikasi ini juga berdampak negatif pada terciptanya
persepsi bahwa seni teater tradisi hanya merupakan salah satu komoditi
pariwisata semata, baik bagi pengambil kebijakan di lingkungan birokrasi
pemerintahan serta masyarakat luas –terutama generasi muda. Dampak negatif yang
tidak kalah menyesakkan justru di lingkup pelaku seni pertunjukkan teater
tradisi itu sendiri, proses kreatif pun berkembang menjadi pergulatan berlandas
pada motif ekonomi, artifisial, dan komersial.
Dapat dibayangkan bagaimana potret
kelompok-kelompok seni pertunjukkan teater tradisi di daerah-daerah, serta
kualitas produk kesenian yang dihasilkannya?
Kelompok-kelompok kesenian seni pertunjukkan
teater tradisi seperti Lenong, Longser, Ludruk, Ketoprak, Reog, Dulmuluk,
Kondobuleng, Randai, Mamanda, dll pun berkembang menjadi perusahaan yang
menempatkan motif ekonomi sebagai pusaran proses kreatif. Nama-nama kelompok
mereka menjejali daftar panjang kelompok kesenian binaan dinas-dinas pariwisata
dengan anggota yang itu-itu saja, dan bak kutu loncat para anggota kelompok
tersebut berpindah-pindah dari satu kelompok ke kelompok lain yang memenangkan
tender proyek kesenian. Sementara di hari-hari besar nasional maupun keagamaan,
nama para anggota ini masuk dalam daftar penerima “tali asih”, yang boleh
dikata merupakan eufemesme dari “santunan” bagi pelaku seni pertunjukkan teater
tradisi.
Adalah sebuah kelaziman di tanah air
apabila dalam sebuah perhelatan festival seni pertunjukkan teater tradisi,
aktor, aktris, pemusik, sutradara, maupun penulis lakonnya yang berpartisipasi
terdaftar dalam beberapa kelompok peserta. Sementara birokrasi di dinas
pariwisata dan kebudayaan yang menjadi tuan rumahnya pun justru membiarkannya
karena apabila dilakukan “penertiban” maka besar kemungkinan perhelatan
tersebut hanya akan diikuti peserta dalam hitungan jari. Akibatnya, perhelatan
yang seyogyanya menjadi parameter perkembangan seni pertunjukkan teater tradisi
di suatu wilayah dan periode tertentu ini menjelma menjadi wahana mengais “job
manggung” semata bagi para senimannya, serta item menghabiskan anggaran negara
bagi para birokrat pemerintahan.
Ironisnya, realitas yang menyesakkan dada
ini dikemas secara sistemik sehingga menjadi pedoman proses kreatif
seniman-seniwati tradisi, khususnya seni pertunjukkan teater tradisi. Maka,
jangan heran jika komodifikasi ini berimbas pada stagnasi perkembangan seni
tradisi yang berujung pada kian jauhnya seni tradisi dari masyarakat di tanah
air dari generasi ke generasi.
Sejatinya, telah membanjir riset tentang
dampak yang ditimbulkannya dalam perkembangan seni tradisi itu sendiri. Dari
Robert Heffner hingga Peacock, dari Ninuk Kleden hingga Amrih Widodo. Belum
lagi yang membanjiri skripsi, tesis, juga disertasi, yang menjadi penghuni
perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi. Dalam penelitiannya tentang seni
Tayub di Blora di tahun 1991, Amrih Widodo memperlihatkan suksesnya campur
tangan pemerintah dalam merubah panggung seni pertunjukkan teater tradisi
sebagai ritus hegemoni (Radhar Panca Dhahana, 2012:146).
Ritus hegemoni inilah yang kemudian
melazimkan penggunaan seni pertunjukkan teater tradisi sebagai corong politik,
ideologi, bahkan anasir-anasir orpol maupun ormas. Seni pertunjukkan teater
tradisi pun terjebak dalam komodifikasi yang bermuara pada hilangnya dinamika.
Bahkan, hanya sebagai salah satu item kekayaan budaya yang kesinambungan
hidupnya bergantung pada dengan besaran kucuran APBN/APBD.
Satu pertanyaan yang menggelisahkan
adalah; “Adakah di antara kita yang menganggap ini sebagai sebuah problematika
serius?”
*****
Sumber: