Sabtu, 16 Maret 2019

Nasionalisme Dalam Puisi



---  Sebuah Epilog Buku "MERAWAT JIWA YANG HILANG" Karya Agus Salim, dkk)







     Terbitan tersebut tidak hanya melahirkan penulis-penulis terkenal, tetapi juga memunculkan pembaruan gagasan dan bentuk dalam puisi Indonesia. Pembaruan gagasan terlihat pada tema utama, yakni tema perjuangan kebangsaan. Karena itu, munculnya terbitan media massa tidak hanya menguntungkan dunia sastra semata, tetapi juga mendorong lahirnya masalah kebangsaan dan cita-cita bangsa.
(Sapardi Djoko Damono dan Melani Budianta, 2009,
Meneer Parlente: Antologi Puisi Periode Awal”)


     Perjalanan sejarah bangsa ini tidak bisa diceraikan begitu saja dengan perjalanan perkembangan puisi Indonesia. Karena lahirnya rasa penghayatan terhadap adanya sebuah bangsa bernama Indonesia hingga patut untuk diperjuangkan dan dipertahankan kemerdekaannya, tidak bisa diberaikan dari lahirnya puisi demi puisi bertema nasionalisme sejak kisaran 1800-an akhir hingga kini.
     Media massa-media massa yang memuat rubrikasi puisi di masa itu hingga kini merupakan prasasti (yang tak bermutasi menjadi saksi bisu) akan kelahiran puisi-puisi bertema nasionalisme sementara konsepsi Indonesia dari masih hanya sekedar imajinasi hingga kini menjadi pengikat beraneka suku, ras, juga agama yang ada di tanah ini.
     Semacam media massa seperti Bianglala (1870), Bintang Djohar (1873), Sahabat Baik (1891), Bintang Hindia (1903—1927), Putri Hindia (1909), Soeloeh Peladjar (1908—1913), Soeling Hindia (1910), Persekoetoean (1910), Penghiboer (1914), Jong Sumatra (1919—1921), Al-Itqan (1922), Pandji Poestaka (1923), Bintang Islam (1924), Berani (1925), Asjraq (1925), Zaman Baroe (1926), Warna Warta (1927), Kamadjoean (1927), Panorama (1927), Daroel Oeloem (1928), Tjahaja Timoer (1928), Soeloeh Ra’jat (1928), Sri Poestaka (1929), Bintang Pagi (1929), Persatoean (1929), Rasa (1929), Poedjangga Baroe (1933—1939), dll menjadi kanal lahirnya puisi-puisi pertama karya anak bangsa ini yang menyuarakan nasionalisme dengan bahasa dan paradigm yang (masih) beragam (Suyatno, 2000:202).
     Puisi pun menjadi salah satu dokumen sejarah tentang peristiwa yang menjadi salah satu pondasi lahirnya konsepsi nasionalisme bangsa kita. Salah satunya adalah puisi Harapan Kromo karya Ar Kamaloeddin Saropie dalam Soeloeh Ra’jat Indonesia No. 43 Tahun II, 24 Oktober 1928, yang ditulisnya dalam pusaran peristiwa Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda II di tahun 1928. Cermati nukilannya berikut ini; // Nyata pun terang kini kaum Sana / Sudah kehabisan daya dan guna / Tak segan-segan menyebar fitnah/ Pergerakan kita diharapkan musna // Dengan mesum dilahirkan harapan / Pada pemerintah ada dimajukan / Agar Sutomo lekas dienyahkan //
     Melalui puisinya ini, Ar Kamaloeddin Saropie mengimbau agar putra-putri Indonesia segera berjuang merebut kemerdekaan ini. Ia juga mengingatkan agar masyarakat waspada terhadap kapitalis yang semakin hebat kekuatannya untuk menghancurkan negara ini. Untuk mencapai kemerdekaaan itu, bangsa Indonesia harus membesarkan rasa nasionalismenya, tanpa rasa itu akan nihil hasilnya di kemudian hari. Rakyat banyak tanpa ada kekuatan bersama, tak mungkin akan mengusir kapitalis. Kalau rakyat masih lapar dan selalu miskin, tak mungkin cita-cita kemerdekaan akan terealisasi karena perjuangan tidak hanya semangat, tetapi harus ada sarana pendukungnya, teruta-
ma biaya dan persatuan.
***
     90 tahun kemudian, di tahun ini, puisi-puisi bertema nasionalisme itu tidak terpisah-pisah oleh media massa A dan media massa B, dan di kurun waktu yang berbeda pula. Puisi-puisi bertema nasionalisme kali ini diterbit-cetakkan dalam satu buku. Tidak lahir dari satu penyair, puisi-puisi bertema nasionalisme dalam buku berjudul “MerawaT Jiwa Yang Hilang” ini dituliskan oleh belasan penyair lintas geografis, lintas generasi, serta lintas latar belakang pendidikan dan profesi.
     Nyaris persis dengan para penyair yang “berani” menuliskan puisi bertema nasionalisme puluhan tahun lalu, para penyair yang karyanya duduk sebuku di sini juga mem”berani”kan diri mengalahkan ego masing-masing diri untuk bersama menterjemahkan nasionalismenya dalam momentum peringatan kemerdekaan negara kita yang ke-73.
    Bedanya, jika di masa-masa 1800-an dulu, nasionalisme yang dikisah-tuturkan para penyair di masa itu masih dalam proses pencarian konsepsi. Maka di tahun ketika kemerdekaan negara ini telah mencapai angka tujuh puluh tiga, nasionalisme tersebut mencoba diredefinisikan oleh masing-masing penyair dengan tetap memperhatikan perjalanan sejarah bangsa, membangun konektifitas dengan realitas terkini, dengan tetap menempatkan aku (penyair) sebagai bagian dari pemilik rasa nasionalisme itu sendiri.
     Suatu misal, seorang Agus Salim dengan puisi-puisinya seperti Pesan Kami Pada Kalian, Wajah Pertiwi Ini, dll menempatkan (aku) penyair sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memanggul rasa memiliki untuk merawat kemerdekaan ini dari generasi ke generasi. Begitu pun Alifah NH, dan Annis M Tarom, serta beberapa penyair lainnya.
     Sedikit keberbedaan dihadirkan D. Atika Pramono dalam puisinya berjudul 1095 La(Rung). Meski sekilasa saya membacanya sebagai puisi yang tersesat di antara belantara puisi bertema nasionalisme, namun imbauan yang menjadi suara utama puisi ini boleh diartikan hampir senafas dengan merawat kemerdekaan yang disuarakan beberapa penyair lainnya.
     Tanpa menafikan keberadaan para penyair lainnya karena tak saya sebut namanya semua, kesediaan untuk menggunakan diksi seperti merah putih, bambu runcing, maupun beberapa lainnya saya apresiasi sebagai sebuah penghargaan para penyair terhadap perjalanan sejarah bangsa ini. Sementara, memasukkan diksi-diksi seperti cyber, TV, Koruptor, dll merupakan langkah nyata membangun konektifitas dengan realita terkini sehingga peredefinisian nasionalisme tidak berjalan sebagai memoir belaka. Namun hidup dan bernafas sebagaimana perjalanan anak-anak bangsa ini sendiri.
***
     Sebagaimana laku para penyair sejak masa lalu hingga masa penyair di buku ini, nasionalisme sendiri pun berkali mengalami perubahan makna. Pada awalnya, kata nasionalisme pertama kali digunakan oleh para mahasiswa Jerman di abad XV untuk mahasiswa yang datang dari daerah yang sama atau berbahasa sama, sehingga mereka tetap menunjukkan cinta mereka terhadap bangsa atau suku asal mereka meskipun mereka berada di tempat yang baru. Nasionalisme pada mulanya terkait dengan rasa cinta sekelompok orang pada bangsa, bahasa, dan daerah asal usul semula (Ritter, 1986:295).
     Hingga berkembang menjadi paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Paham tersebut mulai muncul ketika suatu bangsa memiliki cita-cita yang sama untuk membangun suatu negara (Kohn, 1985:11). Inilah, kesudi-sediaan para founding fathers negeri ini di masa lalu yang diabadikan dalam baris-baris puisi dan menjadi dokumentasi sejarah betapa kemerdekaan bukanlah sesuatu yang turun begitu saja dari langit, apalagi diberikan dengan tangan di atas oleh kolonialisme Belanda dan imperialisme Jepang kepada kita.
     Tentang ini pulalah yang dipuisikan dalam buku ini.
--- oo0oo ---
Trowulan-Mojokerto, Agustus 2018


Oleh Anjrah Lelono Broto, Owner Lingkar Studi Sastra Setrawulan


Daftar Pustaka:
Damono, Sapardi Djoko, dan Melani Budianta. 2009. Meneer Parlente: Antologi Puisi Periode Awal. Jakarta: Pusat Bahasa.
Kohn, Hans. 1985. Nasionalisme, Arti, dan Sejarahnya. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Ritter, Herry. 1986. Dictionarry of Concepts in History. New York: Greenwood Press.
Suyono, Suyatno. 2000. Antologi Puisi Indonesia Periode Awal. Jakarta: Pusat Bahasa.