--- Sebuah Epilog Buku "MERAWAT JIWA YANG HILANG" Karya Agus Salim, dkk)
Terbitan tersebut tidak hanya melahirkan penulis-penulis terkenal, tetapi juga memunculkan pembaruan gagasan dan bentuk dalam puisi Indonesia. Pembaruan gagasan terlihat pada tema utama, yakni tema perjuangan kebangsaan. Karena itu, munculnya terbitan media massa tidak hanya menguntungkan dunia sastra semata, tetapi juga mendorong lahirnya masalah kebangsaan dan cita-cita bangsa.
(Sapardi Djoko
Damono dan Melani Budianta, 2009,
“Meneer Parlente: Antologi Puisi Periode
Awal”)
Perjalanan sejarah bangsa ini tidak bisa
diceraikan begitu saja dengan perjalanan perkembangan puisi Indonesia. Karena
lahirnya rasa penghayatan terhadap adanya sebuah bangsa bernama Indonesia
hingga patut untuk diperjuangkan dan dipertahankan kemerdekaannya, tidak bisa
diberaikan dari lahirnya puisi demi puisi bertema nasionalisme sejak kisaran 1800-an
akhir hingga kini.
Media massa-media massa yang memuat
rubrikasi puisi di masa itu hingga kini merupakan prasasti (yang tak bermutasi
menjadi saksi bisu) akan kelahiran puisi-puisi bertema nasionalisme sementara
konsepsi Indonesia dari masih hanya sekedar imajinasi hingga kini menjadi
pengikat beraneka suku, ras, juga agama yang ada di tanah ini.
Semacam media massa seperti Bianglala (1870), Bintang Djohar (1873), Sahabat
Baik (1891), Bintang Hindia
(1903—1927), Putri Hindia (1909), Soeloeh Peladjar (1908—1913), Soeling Hindia (1910), Persekoetoean (1910), Penghiboer (1914), Jong Sumatra (1919—1921), Al-Itqan
(1922), Pandji Poestaka (1923), Bintang Islam (1924), Berani (1925), Asjraq (1925), Zaman Baroe
(1926), Warna Warta (1927), Kamadjoean (1927), Panorama (1927), Daroel
Oeloem (1928), Tjahaja Timoer (1928),
Soeloeh Ra’jat (1928), Sri Poestaka (1929), Bintang Pagi (1929), Persatoean (1929), Rasa (1929), Poedjangga Baroe
(1933—1939), dll menjadi kanal lahirnya puisi-puisi pertama karya anak
bangsa ini yang menyuarakan nasionalisme dengan bahasa dan paradigm yang
(masih) beragam (Suyatno, 2000:202).
Puisi pun menjadi salah satu dokumen
sejarah tentang peristiwa yang menjadi salah satu pondasi lahirnya konsepsi
nasionalisme bangsa kita. Salah satunya adalah puisi Harapan Kromo karya Ar Kamaloeddin Saropie dalam Soeloeh Ra’jat Indonesia No. 43 Tahun
II, 24 Oktober 1928, yang ditulisnya dalam pusaran peristiwa Sumpah Pemuda
dalam Kongres Pemuda II di tahun 1928. Cermati nukilannya berikut ini; // Nyata pun terang kini kaum Sana / Sudah
kehabisan daya dan guna / Tak segan-segan menyebar fitnah/ Pergerakan kita diharapkan
musna // Dengan mesum dilahirkan harapan / Pada pemerintah ada dimajukan / Agar
Sutomo lekas dienyahkan //
Melalui puisinya ini, Ar Kamaloeddin
Saropie mengimbau agar putra-putri Indonesia segera berjuang merebut
kemerdekaan ini. Ia juga mengingatkan agar masyarakat waspada terhadap
kapitalis yang semakin hebat kekuatannya untuk menghancurkan negara ini. Untuk
mencapai kemerdekaaan itu, bangsa Indonesia harus membesarkan rasa
nasionalismenya, tanpa rasa itu akan nihil hasilnya di kemudian hari. Rakyat
banyak tanpa ada kekuatan bersama, tak mungkin akan mengusir kapitalis. Kalau
rakyat masih lapar dan selalu miskin, tak mungkin cita-cita kemerdekaan akan
terealisasi karena perjuangan tidak hanya semangat, tetapi harus ada sarana
pendukungnya, teruta-
ma
biaya dan persatuan.
***
90 tahun kemudian, di tahun ini,
puisi-puisi bertema nasionalisme itu tidak terpisah-pisah oleh media massa A
dan media massa B, dan di kurun waktu yang berbeda pula. Puisi-puisi bertema
nasionalisme kali ini diterbit-cetakkan dalam satu buku. Tidak lahir dari satu
penyair, puisi-puisi bertema nasionalisme dalam buku berjudul “MerawaT Jiwa Yang Hilang” ini dituliskan
oleh belasan penyair lintas geografis, lintas generasi, serta lintas latar
belakang pendidikan dan profesi.
Nyaris persis dengan para penyair yang
“berani” menuliskan puisi bertema nasionalisme puluhan tahun lalu, para penyair
yang karyanya duduk sebuku di sini
juga mem”berani”kan diri mengalahkan ego masing-masing diri untuk bersama
menterjemahkan nasionalismenya dalam momentum peringatan kemerdekaan negara
kita yang ke-73.
Bedanya, jika di masa-masa 1800-an dulu,
nasionalisme yang dikisah-tuturkan para penyair di masa itu masih dalam proses
pencarian konsepsi. Maka di tahun ketika kemerdekaan negara ini telah mencapai
angka tujuh puluh tiga, nasionalisme tersebut mencoba diredefinisikan oleh
masing-masing penyair dengan tetap memperhatikan perjalanan sejarah bangsa,
membangun konektifitas dengan realitas terkini, dengan tetap menempatkan aku
(penyair) sebagai bagian dari pemilik rasa nasionalisme itu sendiri.
Suatu misal, seorang Agus Salim dengan
puisi-puisinya seperti Pesan Kami Pada
Kalian, Wajah Pertiwi Ini, dll menempatkan (aku) penyair sebagai bagian
dari bangsa Indonesia yang memanggul rasa memiliki untuk merawat kemerdekaan
ini dari generasi ke generasi. Begitu pun Alifah NH, dan Annis M Tarom, serta
beberapa penyair lainnya.
Sedikit keberbedaan dihadirkan D. Atika
Pramono dalam puisinya berjudul 1095
La(Rung). Meski sekilasa saya membacanya sebagai puisi yang tersesat di
antara belantara puisi bertema nasionalisme, namun imbauan yang menjadi suara
utama puisi ini boleh diartikan hampir senafas dengan merawat kemerdekaan yang
disuarakan beberapa penyair lainnya.
Tanpa menafikan keberadaan para penyair
lainnya karena tak saya sebut namanya semua, kesediaan untuk menggunakan diksi
seperti merah putih, bambu runcing, maupun
beberapa lainnya saya apresiasi sebagai sebuah penghargaan para penyair
terhadap perjalanan sejarah bangsa ini. Sementara, memasukkan diksi-diksi
seperti cyber, TV, Koruptor, dll
merupakan langkah nyata membangun konektifitas dengan realita terkini sehingga
peredefinisian nasionalisme tidak berjalan sebagai memoir belaka. Namun hidup
dan bernafas sebagaimana perjalanan anak-anak bangsa ini sendiri.
***
Sebagaimana laku para penyair sejak masa
lalu hingga masa penyair di buku ini, nasionalisme sendiri pun berkali
mengalami perubahan makna. Pada awalnya, kata nasionalisme pertama kali
digunakan oleh para mahasiswa Jerman di abad XV untuk mahasiswa yang datang dari
daerah yang sama atau berbahasa sama, sehingga mereka tetap menunjukkan cinta mereka
terhadap bangsa atau suku asal mereka meskipun mereka berada di tempat yang baru.
Nasionalisme pada mulanya terkait dengan rasa cinta sekelompok orang pada bangsa,
bahasa, dan daerah asal usul semula (Ritter, 1986:295).
Hingga berkembang menjadi paham yang
berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara
kebangsaan. Paham tersebut mulai muncul ketika suatu bangsa memiliki cita-cita
yang sama untuk membangun suatu negara (Kohn, 1985:11). Inilah, kesudi-sediaan
para founding fathers negeri ini di
masa lalu yang diabadikan dalam baris-baris puisi dan menjadi dokumentasi
sejarah betapa kemerdekaan bukanlah sesuatu yang turun begitu saja dari langit,
apalagi diberikan dengan tangan di atas oleh kolonialisme Belanda dan
imperialisme Jepang kepada kita.
Tentang ini pulalah yang dipuisikan dalam
buku ini.
--- oo0oo ---
Trowulan-Mojokerto,
Agustus 2018
Oleh Anjrah Lelono Broto, Owner Lingkar Studi Sastra Setrawulan
Daftar Pustaka:
Damono,
Sapardi Djoko, dan Melani Budianta. 2009. Meneer
Parlente: Antologi Puisi Periode Awal. Jakarta: Pusat Bahasa.
Kohn,
Hans. 1985. Nasionalisme, Arti, dan
Sejarahnya. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Ritter,
Herry. 1986. Dictionarry of Concepts in
History. New York: Greenwood Press.
Suyono,
Suyatno. 2000. Antologi Puisi Indonesia
Periode Awal. Jakarta: Pusat Bahasa.