Karya: Ida Fitri
LELAKI itu meletakkan kepalanya di depan
bangunan bercat merah. Bangunan dengan tembok-tembok menyerupai Alkazar itu
berdiri megah di Kota Figueres. Sebelum beranjak dari sana, lelaki itu
menghadap kepalanya sejenak. Mungkin merasa ada yang belum sempurna, ia
mengambil kepalanya kembali, kemudian memelintir kumis yang bertengger di atas
bibir. Kumis yang menyerupai kumis ikan lele. Setelah merasa puas, kepala
dengan mata melotot itu ia letakkan lagi di depan bagian bangunan yang
seyogianya menjadi menara itu. Yang berbeda, atapnya tidak berbentuk segitiga
ataupun kubah, mungkin seseorang sudah menggantinya dengan telur-telur raksasa
berwarna putih.
Setelah semua dianggap selesai, ia
berbalik meninggalkan tempat itu. Lelaki itu mulai berjalan di jalanan Kota
Figueres dalam keadaan tanpa kepala. Tidak jelas ia sadar atau tidak, jika
berpasang-pasang mata menatap heran ke arahnya.
Gala mempercepat langkah, Beltran
kecil seperti memanggil-manggil dirinya untuk segera datang. Mungkin sebuah
kenaifan mengunci anak berumur dua tahun di dalam sebuah flat. Tapi ia tidak
punya pilihan lain, Paul sudah dua bulan tidak mengirimi tunjangan untuk anak
mereka. Gala harus keluar agar mereka tidak mati kelaparan. Mempercayai hidup
pada seorang penyair adalah kesalahan yang disesali seumur hidup.
Selain pintar merajut kata, Paul
pintar merajut asmara dengan beberapa perempuan. Berulang kali maaf sudah
diberikan, tetapi lelaki itu tak kunjung berubah jua. Di ujung kesabaran yang
bisa diberikan oleh seorang perempuan, Gala menggugat cerai sang suami. Paul
segera pulang ke Paris bersama istri barunya, sementara Gala yang berdarah
Rusia itu lebih memilih menetap di kota kecil atau mungkin lebih cocok disebut
Desa Figueres itu. Masa depan memang tak pernah bisa ditebak, saat ini Gala
hampir kehabisan uang di jalanan kota.
Gala meletakkan sebagian pikirannya
di flat bersama Beltran, bagian yang lain ikut bersama mantan suaminya ke
Paris. Yang menyebabkan ia sangat kesakitan karena hal itu, bagian yang lain
lagi ia letakkan di restoran ujung jalan, tadi ia mencoba melamar kerja untuk
menjadi pramusaji di sana. Bagian pikiran yang terletak di bagian otak belakang
berada di sebuah turnamen banteng, dengan seorang matador berbadan kekar siap
berlaga di bawah sana, Alehandro nama sang matador, kerap ia temui belakangan
ini. Alehandro yang menari bersama banteng sambil mengayunkan jubah merah.
Sementara sebagian kecil saja dari
pikirannya yang ia bawa bersama dirinya saat ini. Karena hal itu pula, ia tidak
memedulikan kehebohan yang sedang terjadi di jalanan kota kecil itu. Ia tidak
sempat melihat orang-orang yang termangu pada sesosok tubuh tanpa kepala.
Gala berhenti di depan sebuah
swalayan dan melangkah masuk, mereka hampir kehabisan roti dan susu. Kehadiran
Alehandro tidak bisa banyak membantu. Ada berjibun matador yang bersaing untuk
tampil. Lelaki itu harus menyewa motel untuk dirinya sendiri, juga harus makan
di sebuah restoran yang menjadi markas para matador. Tanpa bergaul, ia tidak
akan memiliki pekerjaan. Tangan Gala meraih sebotol susu yang tersusun di rak.
Beltran kecil masih butuh makanan bergizi. Kemarahan Gala pada Paul tidak
mengurangi cinta seorang ibu pada putranya.
Mengingat nama Paul, sebuah lubang
kembali terbuka di dada Gala. Paul yang selalu menghadiahinya dengan untaian
kata-kata manis ternyata tak lebih dari seorang lelaki pengejar birahi semata.
Perempuan yang menjadi istrinya sekarang bukanlah perempuan satu-satunya yang
pernah ditiduri Paul. Bertahun lalu, Paul mengemukakan alasan karena Gala tidak
kunjung hamil, tapi setelah kehadiran Beltran pun, Paul tetap seperti itu,
lelaki yang tidak cukup dengan satu cinta.
Yang lebih menyakitkan adalah
perselingkuhan Paul yang terakhir kali. Betapa tidak, perempuan yang kini
menjadi istri mantan suaminya itu merupakan sahabat karib Gala di klub
perempuan kota kecil Figueres. Mereka pernah berbelanja bersama dan menghabiskan
waktu di perkemahan musim panas. Tapi, yang terakhir ia lihat, perempuan itu
telanjang bersama sang suami.
Setelah memutuskan pisah rumah
selama enam puluh hari, Gala melayangkan gugatan cerai. Itulah akhir kisahnya
bersama sang penyair terkenal. Setelah kejadian itu, Figueres menjadi terlalu
kecil untuk mereka bertiga. Paul dan istri barunya memilih pulang ke Paris.
Sementara Gala tetap bertahan. Selain ia sudah tidak punya keluarga di Rusia,
perempuan itu telanjur menyukai orang-orang Latin yang berada di sana. Para
lelaki yang kerap berjalan sambil menenteng gitar, atau lelaki lain yang
mengadu keberuntungan di arena banteng.
Setelah membayar di kasir dengan
lembaran euro terakhir yang dimilikinya, Gala berjalan keluar. Di depan pintu
swalayan, ia mematung melihat sesosok tubuh tanpa kepala lewat begitu saja di
depannya. Tubuh itu berjalan ke arah flat Gala. Spontan bagian pikiran yang
bersamanya mencemaskan Beltran.
“Hai, tuan tanpa kepala! Apa yang
kau cari di kota kecil ini?” Di hadapan ketidakpercayaan orang-orang yang
menatap tubuh lelaki berjas tanpa kepala itu, Gala mencoba menyejajari langkah
lelaki itu.
Tubuh itu terus berjalan tanpa
memedulikan Gala yang mencoba mengimbangi langkahnya. “Hai Tuan! Apa kota ini
membuatmu tuli?”
Lelaki itu memperlambat langkah dan
memiringkan tubuh ke arah Gala. Tapi tetap tidak ada jawaban. Gala tidak tahu,
lelaki itu sudah memberikan mulutnya untuk siapa.
Seorang lelaki tua memandang sinis,
“Oh, perempuan Rusia, aku tak tahu kesialan apa yang menimpamu. Untuk apa kau
berbicara pada tubuh tanpa mulut?”
Gala memandang lelaki tua itu
sejenak, kemudian berlari kecil kembali mengejar tubuh tanpa kepala itu.
“Bisakah aku membantu menemukan kepalamu?” tanyanya tak ingin menyerah.
Tubuh lelaki berjas itu menghentikan
langkahnya dan menghadap pada Gala. Tidak bisa dipastikan ia bisa mengerti
keterkejutan yang tersirat dari wajah perempuan beranak satu itu. Lelaki itu
mengambil sesuatu di balik jasnya. Gala mundur beberapa langkah, ia sedikit
mengkhawatirkan gerakan tangan lelaki itu, bisa saja itu sebilah pisau atau
sebuah pistol. Mungkin saja kehadiran Gala sudah sangat mengganggu.
Sebuah benda terbuat dari kulit
berwarna cokelat kini berada di tangan lelaki paling tidak masuk akal di
Figueres itu. Kelegaan terpampang jelas di roman Gala. Lelaki itu mengeluarkan
kartu kredit dan selembar kertas. Kemudian mengangsur benda tersebut ke tangan
Gala. Lalu lelaki itu meninggalkan Gala yang masih terpaku melihat angka kosong
satu sembilan belas delapan sembilan pada kertas yang kini sudah berada di
genggamannya. Ia ingin mengejar lelaki itu untuk menanyakan beberapa hal, tapi
pikirannya yang bersama Beltran datang memberitakan kalau anaknya sedang
menangis ketakutan di dalam flat kecil mereka.
Gala memasukkan kartu kredit dan
kertas itu ke dalam tas tangannya, kemudian ia melangkah cepat ke arah flat
yang berada di sebelah kiri jalan. Tangga-tangga itu terasa sangat panjang
untuk dinaiki. Satu-satunya lift yang dimiliki bangunan itu sudah tidak
berfungsi lagi.
Sesampainya di lantai tiga, ia
langsung membuka pintu bernomor tiga ratus tiga. Sungguh aneh nomor tersebut,
semua orang juga tahu, bangunan itu tidak memiliki ratusan kamar. Mungkin itu
tipuan lain yang direncanakan oleh pemiliknya untuk menjebak calon penyewa.
Tangisan Beltran langsung menyambut
Gala, ia berjalan cepat menyongsong sang putra. Beltran terduduk dengan mainan
yang berantakan di dekat sofa satu-satunya yang dimiliki ruang itu. Ia letakkan
belanjaan dan tas tangan begitu saja di samping anaknya yang menangis. Lalu
digendongnya anak kecil itu sambil menyanyikan lagu Oiy moroz, moroz,
tentang permintaan tulus seorang suami yang ingin pulang pada istrinya. Gala
mengutuk pikiran yang berada bersama mantan suaminya yang memilihkan lagu itu
untuk meninabobokan Beltran.
Seperti tersihir, Beltran kecil
langsung terdiam, lalu mulai terkekeh-kekeh menyimak syair lagu. Dan anak itu
mulai menepuk-nepuk pipi Gala. Belum habis syair dilantunkan…
“Katakan padaku, apa yang telah kau
lakukan bersama laki-laki itu?” suara Alehandro terdengar dari arah belakang
Gala. Ia memang telah memberikan duplikat kunci flat pada lelaki matador itu.
Seperti angin yang berembus, gosip pun menyebar cepat di sudut-sudut Figueres.
Gala berbalik memandang lelaki yang terlihat emosi di ujung ruangan.
“Kau gagal lagi membunuh
banteng-banteng itu?”
“Jawab dulu pertanyaanku, Perempuan
lacur!”
Bentakan Alehandro membuat Gala
mempererat pelukan pada Beltran,
“Lelaki mana yang kau maksud?”
“Lelaki tanpa kepala yang
berjalan-jalan di kota.”
Mata Gala tak sengaja melirik tas
tangan yang masih tergeletak di lantai flat. Hatinya menjadi sedikit kecut.
Lelaki di depannya mampu membunuh seekor banteng. Seperti mampu menangkap
isyarat mata Gala, Alehandro bergerak menuju tas tangan yang tergeletak di
lantai. Ia mengeluarkan isinya dengan sembarangan dan melempar sembarangan.
Sebuah kartu kredit menarik perhatiannya. Setelah dilihat sejenak kartu
berwarna keemasan itu, wajah Alehandro memerah, tatapannya ingin menelan Gala
bulat-bulat.
Alehandro mengambil Beltran dengan
paksa, kemudian meletakkannya di atas lantai. Anak kecil itu mulai menangis
lagi. Dengan kasar, lelaki matador itu menyeret Gala ke tempat tidur. Saat itu
jam dinding menunjuk angka satu namun berbunyi dua belas kali. Lelaki itu
melempar Gala ke atas tempat tidur, sementara Beltran menangis semakin kencang.
Jarum jam dinding tiba-tiba berputar
kencang seperti ingin membunuh angka-angka yang berada di sana. Dari pusaran
itu keluarlah sepasang tangan, kemudian sepasang kaki bergerak-gerak ingin
membebaskan diri. Tak lama, sebuah badan keluar dari pusaran jam dinding itu.
Ternyata itu badan tanpa kepala yang tadi memberikan kartu kredit pada Gala. Ia
meletakkan angka tiga yang sempat terjatuh pada tempatnya semula.
Lelaki itu mengambil sebuah guci
yang berada di dekat sofa dan memukul kepala Alehandro yang masih terfokus pada
Gala. Tak siap mendapat serangan, sang matador jatuh menghantam lantai. Gala
ketakutan menjauh dari tubuh kekasihnya.
Tak puas sampai di situ, lelaki
tanpa kepala mengambil sebilah pisau dan mulai mengerat lengan Alehandro dan
ditempelkan ke dinding. Gala berlari mengambil Beltran yang masih menangis dan
memeluk anaknya itu.
Alehandro terbangun dan meminta
tangannya dikembalikan. Tidak peduli pada protes Alehandro, lelaki tanpa kepala
malah mengerat mulut orang itu dan meletakkan di dinding, tepat di atas tapak
tangan yang telah dilekatkan terlebih dahulu. Mulut itu terus protes mesti
sudah melekat pada dinding.
Bosan pada Alehandro, lelaki itu
menuju Gala yang menangis sambil memeluk Beltran. “Jangan menangis, Sayang.
Yuk, temanin aku mengambil kepalaku kembali. Setelah itu kita ke Paris,” ujar
sebuah suara yang datang dari dalam tubuh lelaki itu, seraya mengulurkan tangan
pada Gala.
Bagian dari pikiran Gala yang ikut
bersama Paul ke Paris mencegahnya untuk menerima ajakan tubuh tanpa kepala.
“Oh, aku akan mengajakmu ke Amerika
saja.”
Seketika dinding dan perabotan flat
kecil itu berubah merah jambu. Mereka pergi, diiringi mulut Alehandro yang
terus memohon untuk dilepaskan dari dinding.
----------------------------------------------