Jumat, 01 Maret 2019

Sandyakalaning Bahasa Ibu



Oleh Anjrah Lelono Broto *)


     Serupa bayangan di cermin yang menghadirkan gambaran sebenarnya, begitu pula perayaan Hari Bahasa Ibu (Mother Language Day) Internasional yang jatuh pada tanggal 21 Februari.  Perayaan Hari Bahasa Ibu yang cenderung ‘sepi-sepi saja’ tak berbeda jauh dengan gambaran posisi dan peran Bahasa Ibu sendiri yang kian jauh dari ruang kecermatan kita semua. Padahal, sebagai bagian dari kebudayaan nasional, Bahasa Ibu memiliki posisi dan peran penting dalam pembentukan karakter masyarakat sesuai dengan kebudayaan kita dari generasi ke generasi.
     Di Indonesia, Bahasa Ibu cenderung identik dengan bahasa daerah. Pemaknaan tersebut tidak seratus benar, namun juga tidak seratus persen salah, mengingat bahasa daerah sendiri menempati posisi sebagai Bahasa Ibu (bahasa yang pertama kali dikenal dan dipelajari mayoritas publik di suatu wilayah, pen).  Walaupun harus diakui bahwa di sebagian wilayah Indonesia, terutama di kota-kota besar, bahasa Indonesia menjadi bahasa yang pertama kali dikenal dan dipelajari sehingga memenuhi kelayakan disebut sebagai Bahasa Ibu. Artinya, bahasa daerah dan bahasa Indonesia merupakan Bahasa Ibu di tanah air.
     Lalu, bagaimana posisi dan peran bahasa daerah dan bahasa Indonesia sendiri hari ini? Benarkah telah mencapai kesenjakalaan (sandyakala) sebagaimana judul di atas? Adakah upaya nyata untuk mengurai dan mengatasinya?
     Bukan pepesan kosong jika hari ini banyak dari masyarakat kita yang merasa enggan belajar dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Selain dianggap membosankan, sesuatu yang remeh, menggunakan bahasa Indonesia dipandang sebagai sesuatu yang justru tidak menunjang penampilan pribadi (https://kantorbahasamaluku.kemdikbud.go.id/2018/07/eksistensi-bahasa-indonesia-di-dalam-dan-luar-negeri-realita-dan-harapan/). Realitas seperti ini tidaklah perlu dipungkiri, mengingat banyak dari kita yang acap kali menggunakan Bahasa Indonesia tidak secara tepat. Bahkan, kesalahkaprahan penggunan bahasa Indonesia merupakan pemandangan yang lazim hari ini. Tengok saja, kesalahpenulisan preposisi “di” yang mewabah dari media cetak hingga baliho/spanduk di lingkungan instansi pemerintahan.
     Realitas lebih menyesakkan dada justru dihadapi Bahasa Daerah. Sekian ratus rumpun bahasa daerah di Indonesia terus mengalami penurunan jumlah pengguna, intensitas penggunaan, hingga keraiban bahasa daerah itu sendiri. Sebagai masyarakat pemilik dan pengguna Bahasa Jawa sebagai bahasa Ibu, saya sendiri pun tidak dapat memungkiri bahwa penguasaan Bahasa Jawa yang baik dan benar adalah pemandangan langka. Bahasa Ibu ini jauh dari penguasaan, kendati oleh kalangan masyarakat (etnis) Jawa sendiri. Di tengah masyarakat Jawa tak terkecuali Jawa Tengah penggunaan Bahasa Jawa yang baik dan benar saat ini- semakin terdistorsi (https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/12/10/p0qvtk282-gerakan-sinau-ikhtiar-selamatkan-penggunaan-bahasa-jawa). Kemudian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mencatat adanya 668 Bahasa Daerah di Indonesia. namun 11 bahasa yang dikategorikan punah, empat bahasa kritis, 22 bahasa terancam punah, dua bahasa mengalami kemunduran, 16 bahasa dalam kondisi rentan (stabil, tetapi terancam punah), dan 19 bahasa berstatus aman (https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/zNALW9eK-unesco-setiap-dua-minggu-satu-bahasa-hilang).
     Di mata penulis, catatan di atas diperkuat oleh kenyataan bahwa pengajaran Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia di lingkungan pendidikan anak usia dini hingga pendidikan tinggi masih bersifat teoritif, bukan pembiasaan. Belajar Bahasa Jawa masih di sekolah-sekolah kita masih dijejali dengan hafalan nama-nama anak binatang, nama-nama bunga pada tanaman, dan lain sebagainya, bukan bagaimana membiasakan penggunaan Bahasa Daerah yang baik dan benar.
     Sementara, saya sendiri pernah mendapati fenomena sebuah pertunjukkan seni di lingkungan lembaga pendidikan, dengan guru dan siswa sebagai kreator dan pelakunya, dengan pendidikan budi pekerti sebagai tujuannya. Ironisnya, selama 45 menit pertunjukkan, semua pelakon dalam pertunjukkan seni tersebut mempergunakan bahasa Inggris, bahasa Jerman, dan bahasa Jepang. Tak ada sepotong pun kosakata Bahasa Indonesia, apalagi Bahasa Daerah terlontar dari atas panggung. Sesuatu yang sangat menggelisahkan hati saya usai menyaksikan adalah budi pekerti sesuai budaya mana yang diajarkan kepada peserta didik di sekolah tersebut?
     Padahal, belajar bahasa sama halnya belajar budi pekerti. Semisal, dalam pembelajaran Bahasa Jawa, pengetahuan dan pembiasaan menggunakan struktur ngoko, krama madya, dan krama inggil akan membimbing siswa untuk memilah dan memilih kosakata yang tepat digunakan pada lawan bicara tertentu, serta dalam konteks penggunaan tertentu.
     Momentum peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional 21 Februari kemarin boleh saja tidak dirayakan secara gemilang dengan upacara, karnaval, ataupun seremonial lainnya sebagaimana kelaziman kita. Akan tetapi, akan menjadi sangat bijak apabila momentum tersebut menjadi pemantik kesadaran bersama untuk menguatkan kembali posisi dan peran Bahasa Ibu dalam lingkungan pendidikan, institusi pemerintahan, bahkan dalam lingkungan keluarga masing-masing.
     Sesuatu yang berharga di sebuah masa, besar kemungkinan akan menyusut bahkan hilang. Tetapi, sesuatu yang telah menjadi “Ibu” tak selayaknya bukan jika kita remehkan, kita nomor sekiankan, dan atau kita gantikan. Di bayang sandyakalaning Bahasa Ibu, mari menyayanginya seperti seorang ibu menyayangi kita.


Sumber: