Oleh
Anjrah Lelono Broto *)
Serupa bayangan di cermin yang
menghadirkan gambaran sebenarnya, begitu pula perayaan Hari Bahasa Ibu (Mother Language Day) Internasional yang
jatuh pada tanggal 21 Februari. Perayaan
Hari Bahasa Ibu yang cenderung ‘sepi-sepi saja’ tak berbeda jauh dengan
gambaran posisi dan peran Bahasa Ibu sendiri yang kian jauh dari ruang
kecermatan kita semua. Padahal, sebagai bagian dari kebudayaan nasional, Bahasa
Ibu memiliki posisi dan peran penting dalam pembentukan karakter masyarakat
sesuai dengan kebudayaan kita dari generasi ke generasi.
Di Indonesia, Bahasa Ibu cenderung identik
dengan bahasa daerah. Pemaknaan tersebut tidak seratus benar, namun juga tidak
seratus persen salah, mengingat bahasa daerah sendiri menempati posisi sebagai
Bahasa Ibu (bahasa yang pertama kali dikenal dan dipelajari mayoritas publik di
suatu wilayah, pen). Walaupun harus
diakui bahwa di sebagian wilayah Indonesia, terutama di kota-kota besar, bahasa
Indonesia menjadi bahasa yang pertama kali dikenal dan dipelajari sehingga
memenuhi kelayakan disebut sebagai Bahasa Ibu. Artinya, bahasa daerah dan
bahasa Indonesia merupakan Bahasa Ibu di tanah air.
Lalu, bagaimana posisi dan peran bahasa
daerah dan bahasa Indonesia sendiri hari ini? Benarkah telah mencapai
kesenjakalaan (sandyakala)
sebagaimana judul di atas? Adakah upaya nyata untuk mengurai dan mengatasinya?
Bukan pepesan kosong jika hari ini banyak
dari masyarakat kita yang merasa enggan belajar dan menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar. Selain dianggap membosankan, sesuatu yang
remeh, menggunakan bahasa Indonesia dipandang sebagai sesuatu yang justru tidak
menunjang penampilan pribadi (https://kantorbahasamaluku.kemdikbud.go.id/2018/07/eksistensi-bahasa-indonesia-di-dalam-dan-luar-negeri-realita-dan-harapan/). Realitas
seperti ini tidaklah perlu dipungkiri, mengingat banyak dari kita yang acap
kali menggunakan Bahasa Indonesia tidak secara tepat. Bahkan, kesalahkaprahan
penggunan bahasa Indonesia merupakan pemandangan yang lazim hari ini. Tengok
saja, kesalahpenulisan preposisi “di” yang mewabah dari media cetak hingga
baliho/spanduk di lingkungan instansi pemerintahan.
Realitas lebih menyesakkan dada justru
dihadapi Bahasa Daerah. Sekian ratus rumpun bahasa daerah di Indonesia terus
mengalami penurunan jumlah pengguna, intensitas penggunaan, hingga keraiban
bahasa daerah itu sendiri. Sebagai masyarakat pemilik dan pengguna Bahasa Jawa
sebagai bahasa Ibu, saya sendiri pun tidak dapat memungkiri bahwa penguasaan
Bahasa Jawa yang baik dan benar adalah pemandangan langka. Bahasa Ibu ini jauh
dari penguasaan, kendati oleh kalangan masyarakat (etnis) Jawa sendiri. Di
tengah masyarakat Jawa tak terkecuali Jawa Tengah penggunaan Bahasa Jawa yang
baik dan benar saat ini- semakin terdistorsi (https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/12/10/p0qvtk282-gerakan-sinau-ikhtiar-selamatkan-penggunaan-bahasa-jawa). Kemudian,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mencatat adanya 668 Bahasa
Daerah di Indonesia. namun 11 bahasa yang dikategorikan punah, empat bahasa
kritis, 22 bahasa terancam punah, dua bahasa mengalami kemunduran, 16 bahasa
dalam kondisi rentan (stabil, tetapi terancam punah), dan 19 bahasa berstatus
aman (https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/zNALW9eK-unesco-setiap-dua-minggu-satu-bahasa-hilang).
Di mata penulis, catatan di atas diperkuat
oleh kenyataan bahwa pengajaran Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia di
lingkungan pendidikan anak usia dini hingga pendidikan tinggi masih bersifat
teoritif, bukan pembiasaan. Belajar Bahasa Jawa masih di sekolah-sekolah kita
masih dijejali dengan hafalan nama-nama anak binatang, nama-nama bunga pada
tanaman, dan lain sebagainya, bukan bagaimana membiasakan penggunaan Bahasa
Daerah yang baik dan benar.
Sementara, saya sendiri pernah mendapati
fenomena sebuah pertunjukkan seni di lingkungan lembaga pendidikan, dengan guru
dan siswa sebagai kreator dan pelakunya, dengan pendidikan budi pekerti sebagai
tujuannya. Ironisnya, selama 45 menit pertunjukkan, semua pelakon dalam
pertunjukkan seni tersebut mempergunakan bahasa Inggris, bahasa Jerman, dan
bahasa Jepang. Tak ada sepotong pun kosakata Bahasa Indonesia, apalagi Bahasa
Daerah terlontar dari atas panggung. Sesuatu yang sangat menggelisahkan hati
saya usai menyaksikan adalah budi pekerti sesuai budaya mana yang diajarkan
kepada peserta didik di sekolah tersebut?
Padahal, belajar bahasa sama halnya
belajar budi pekerti. Semisal, dalam pembelajaran Bahasa Jawa, pengetahuan dan
pembiasaan menggunakan struktur ngoko,
krama madya, dan krama inggil akan
membimbing siswa untuk memilah dan memilih kosakata yang tepat digunakan pada
lawan bicara tertentu, serta dalam konteks penggunaan tertentu.
Momentum peringatan Hari Bahasa Ibu
Internasional 21 Februari kemarin boleh saja tidak dirayakan secara gemilang
dengan upacara, karnaval, ataupun seremonial lainnya sebagaimana kelaziman
kita. Akan tetapi, akan menjadi sangat bijak apabila momentum tersebut menjadi
pemantik kesadaran bersama untuk menguatkan kembali posisi dan peran Bahasa Ibu
dalam lingkungan pendidikan, institusi pemerintahan, bahkan dalam lingkungan
keluarga masing-masing.
Sesuatu yang berharga di sebuah masa,
besar kemungkinan akan menyusut bahkan hilang. Tetapi, sesuatu yang telah
menjadi “Ibu” tak selayaknya bukan jika kita remehkan, kita nomor sekiankan,
dan atau kita gantikan. Di bayang sandyakalaning
Bahasa Ibu, mari menyayanginya seperti seorang ibu menyayangi kita.
Sumber: