Sabtu, 11 April 2020

Irama dalam Puisi “Perempuan di Ladang Jagung” karya Fendi Kachonk



Oleh Yuli Nugrahani  

Dalam puisi terdapat unsur-unsur yang membentuknya. Unsur dalam, adalah unsur yang melekat dalam puisi. Pertama, Tema dan Pokok pikiran. Ada banyak tema beragam yang bisa kita angkat untuk puisi. Yang pernah dikumpulkan oleh Komunitas Kampoeng Jerami (komunitas penulis yang bermarkas di Sumenep dan juga punya aktifitas di grup Facebook) secara rutin membuat agenda Putute, puisi tema tertentu. Yang sudah pernah dibukukan adalah tema Hujan dan HAM. Hujan dan Hak Asasi Manusia adalah tema-tema keseharian yang bisa didapat di sekeliling kita. Dari tema besar itu, setiap penyair memilih pokok pikiran yang berbeda-beda sesuai sudut pandangnya. Saya mengambil May day, hari untuk buruh sebagai satu pokok pikiran dari tema HAM. Yang lain mengambil tentang Munir, Marsinah, perempuan, anak jalanan dan sebagainya. Itulah bahan pertama dalam rencana membuat puisi.
Kedua, Rasa. Inilah bagian dari yang tak bisa lepas dari penyair. Dia mempunyai rasa yang muncul dari hati tentang tema yang sudah dipikirkan (atau dialami, atau dirasakan, atau diperbincangkan, atau dibaca dsb). Gembira, sedih, marah, bingung, galau, murung, kecewa dan sebagainya. Ada banyak ragam rasa.
Ketiga, Nada. Rasa itulah yang kemudian menentukan nada dari puisi itu. Jika dia gembira, maka optimis yang muncul. Jika sedih, dia akan menunjukkan alasan-alasan kesedihan. Jika dia marah, nada proteslah yang akan muncul. Dan sebagainya.
Keempat, Tujuan/pesan. Ini muncul dengan pikiran bahwa puisi yang dibuat akan dibaca oleh seseorang. Mungkin juga pembacanya adalah dirinya sendiri. Di situlah akan muncul tujuan atau pesan dari puisi itu. Bisa ditangkap berbeda-beda, tapi penulis selalu mengharapkan pesan itu tersampaikan pada pembacanya.
Sedang unsur luar, yaitu alat untuk menampilkan puisi adalah diksi, kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan) sesuai imaji (hasil panca indera). Ada banyak kata, tapi bagi penyair, selalu ada kata khusus yang dapat mewakili pengalaman puitiknya yang istimewa.
Kedua, imaji yaitu segala hal yang dapat dibayangkan secara imajinatif saat menemui kata dalam puisi. Inilah pengalaman yang akan didapatkan oleh seseorang saat membaca sebuah puisi. Menjadi permenungan, refleksi dan sentuhan. Bukan sebuah petunjuk seperti tulisan prosa atau jurnalistik yang jelas dalam rincian kata, tapi sentuhan lembut yang langsung menyergap dalam hati saat membacanya.
Ketiga, majas atau gaya bahasa, adalah ungkapan-ungkapan khas yang muncul karena hendak mengkonkretkan imajinasi. Tak seperti prosa yang bisa mengungkapkan langsung imajinya, para penyair akan memakai hal yang berbeda untuk makna yang ingin disampaikan. Ada banyak majas seperti metafora, personifikasi, hiperbola, dan sebagainya. Karena majas inilah, imaji itu akan hidup. Hujan akan punya kaki. Rambut bisa jadi pelangi. Atau sebuah pertemuan bisa menjelma lautan.
Dan terakhir, ritme atau irama yaitu kesan bunyi yang teratur dan melodius karena permainan kata dalam puisi. Permainan bunyi ini ditimbulkan karena huruf vokal dan konsonan yang digunakan oleh penyair dan membuatnya indah saat kita baca atau deklamasikan. Seperti sebuah musik, itulah puisi yang mengunakan irama yang tepat.
Dengan melihat seluruh unsur itu, saya tertarik melihat satu puisi yang saya baca saat peluncuran buku Antologi Puisi Titik Temu terbitan Komunitas Kampoeng Jerami tahun 2014 dalam Belungguk Sastra yang diadakan oleh Kedai Proses di Taman Budaya Bengkulu, Jumat, 17 April 2015. Para sahabat saya paham saya selalu kesulitan membaca puisi. Saya selalu bilang lebih suka membaca cerita pendek (cerpen) karangan saya sendiri daripada membaca puisi.
Tapi untuk peluncuran Titik Temu, tidak mungkin saya membaca cerpen, jadi saya mengambil puisi secara acak dari buku ini. Saya mengenali seluruh puisi yang ada di dalamnya karena saya menjadi editor untuk Titik Temu dan dalam beberapa minggu menggeluti setiap puisi yang ada di dalamnya. Pilihan saya jatuh pada puisi-puisi yang bercerita seperti karya Korrie Layun Rampan, atau beberapa karya Fendi Kachonk, atau puisi saya sendiri.
Puisi-puisi Korrie yang unik menggoda untuk dibaca, tapi tanpa persiapan yang lama, pasti akan membuat grogi. Puisi yang saya buat, ah, tidak sanggup saya membacanya. Terlalu dekat dengan dengan hati dan emosi. Saya pasti tak akan bisa membacanya dengan kendali penuh tanpa persiapan yang serius. Nah, puisi Fendi, itulah pilihan yang tepat. Mengapa? Silakan baca dulu puisi itu :


Ia tak lagi datang ke ladang jagung, di belakang danau. Dulu tempatnya menyepih segala sedih jadi benih bijian yang ia tanam. Hembusan angin serta kicau burung sangat akrab kala senja menitipkan pesan malam untuk segera merapikan mimpi yang belum pulang ke peraduan. 
Anaknya, mata yang setengah sadar berbinar dari balik pohon kedondong, di mana hujan mencecap kerinduan ranting yang kini juga seperti malaikat kecil. Tumbuh menjadi sulbi pada kisah sepanjang jalan menuju hari yang begitu cepat tanpa menyisakan cerita kecuali kenangan.
“Segeralah tidur sebelum sirene itu kau dengar, nak! Akan ada gambar purnama dalam mimpi, sedang televisi akan mengajakmu lupa pada masa dan tanggal dari orang tua yang memberimu nama.“
Ia kalungkan tangan ke leher, mengeja atap kamar, kecupan kecil di kening masih membekas, dalam kekalutan detik jam yang memburu dadanya. Lubang-lubang yang serupa tebing saat malam melalui tepian kisah di ujung batas. Antara rindu dan pergi. Antara cinta dan kepiluan.
Tibalah, pada wajah di dinding yang tersenyum. Hidung yang tak mancung juga tak sebaliknya, senyum yang begitu mahal dan krah baju yang dibiarkan tak rapi. Ia mengalunkan hujan, suling lembah memantul dari tebing jiwanya. Sedang jagung di lumbung makin tipis, setahun dalam duka, sebulan penuh siksa, sehari anak-anaknya ada di atas piring menari-nari.
“Ladang jagung, kekasihku, anak-anak yang belum tahu menunjuk matahari juga masa depannya, nanti mau jadi apa?”

Moncek, 201014.

Saya dapat mengurai seluruh unsur-unsurnya menurut cara pandang saya. Tapi saya hanya ingin mengungkapkan alasan puisi inilah yang saya baca di Taman Budaya Bengkulu itu. Yaitu, bahwa puisi Perempuan di Ladang Jagung ini mempunyai irama yang indah, yang melekat selalu indah tak peduli siapapun yang membacanya. Bunyi yang digunakan oleh Fendi bisa jadi tidak teratur, tapi setiap orang dapat menangkap melodi dalam puisi ini tertata dalam kata-kata yang dituliskan oleh Fendi.
Anaknya, mata yang setengah sadar berbinar dari balik pohon kedondong, di mana hujan mencecap kerinduan ranting yang kini juga seperti malaikat kecil. Tumbuh menjadi sulbi pada kisah sepanjang jalan menuju hari yang begitu cepat tanpa menyisakan cerita kecuali kenangan.
Vokal bersaut-sautan dengan konsonan, membentuk kalimat-kalimat yang mengalir. Bukan hanya saya, siapapun pasti dapat membacanya dalam aliran yang tepat bagi ekspresi puisi ini. Puisi ini sudah menyediakan dirinya tanpa harus susah payah digarap oleh pembacanya. Fendi membiarkan kalimat-kalimat itu bersambung begitu saja, dan itulah aliran dalam puisi ini.
Melodi yang menanjak dan kemudian menghendak menjadi klimaks muncul dalam bait ini :
Fendi Kachonk (Dok. www.matamaduranews.com)
Tibalah, pada wajah di dinding yang tersenyum. Hidung yang tak mancung juga tak sebaliknya, senyum yang begitu mahal dan krah baju yang dibiarkan tak rapi. Ia mengalunkan hujan, suling lembah memantul dari tebing jiwanya. Sedang jagung di lumbung makin tipis, setahun dalam duka, sebulan penuh siksa, sehari anak-anaknya ada di atas piring menari-nari
Seperti bait-bait yang lain, lantunan kata, sekali lagi tidak memiliki bunyi teratur walau muncul juga dalam beberapa kata seperti hidung, mancung, jagung, dan lumbung, atau  duka, siksa dan ada. Fendi mengalirkan melodi yang mengalirkan emosi pembacanya. Secara otomatis, kalimat-kalimat itu menemukan tekanannya dan alirannya akan sampai pada ekspresi pembaca.
Saya bilang, itulah puisi yang memiliki iramanya karena penyusunan kata yang tepat berdasarkan vokal maupun konsonan dalam kata itu. Secara utuh dalam pembacaannya, saya merasakan dibantu secara penuh oleh puisi ini sendiri. Dialah yang ingin dibaca. Dan seperti musik, dia mengiringi saya saat membacanya. Jika puisi ini disiapkan pembacaannya dalam waktu yang lebih lama, tentulah sang pembacanya akan merasuk lebih dalam lagi, karena setiap dia ulang puisi ini lewat lisan yang lantang, musik itu pun semakin tertabuh berdentang tanpa harus dinyanyikan.***

*Cerpenis dan penyair Lampung, editor Antologi Puisi Titik Temu, Komunitas Kampoeng Jerami 2014)





Tentang Penulis
Yuli Nugrahani, lahir di Kediri 9 Juli 1974, mempunyai nama lengkap Ch. Dwi Yuli Nugrahani, putri kedua dari A. Samiran KA dan Titik Sudiati. 
Sekolah tingkat dasar dilaluinya di SD Grogol 3 Kediri, lanjut di SMP Don Bosco Kediri dan kemudian SMA Augustinus Kediri. Yuli merupakan alumni Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang, pernah menjadi wartawan di Malang Post (1998 - 2000) dan pimred di Majalah Nuntius (2005 - 2014).  Selain itu juga pernah bekerja untuk Vincentian Center Ingonesia (VCI) sebagai koordinator perburuhan (1998 - 2000). Sekarang tinggal di Hajimena, Natar, Lampung Selatan, bersama suaminya Piet Hendro Wartoyo dan dua anak laki-lakinya, Albert Ardyatma dan Bernard Sandyatma. 
Dia mulai suka buku sejak masih kecil karena bapak dan ibunya guru, selalu menyediakan bacaan di rumah secara sengaja atau tidak sengaja. Buku-buku seperti Lima Sekawan, Tono Tini, dan bahkan novel-novel panjang sudah dibacanya dari kecil. Mulai suka menulis ketika bisa menulis. Tulisan pertamanya yang dikirim ke media adalah geguritan (puisi bahasa Jawa) yang pendek yang dimuat di Majalah Panyebar Semangat saat dia kelas dua SMP. Bu Purnami, guru bahasa Indoensianya saat itu menjadi pelecut semangatnya setelah bapak ibunya.
Seiring waktu, tulisannya tersebar di berbagai media seperti : Buletin Terlibat, Buletin Lembur, Majalah Hidup, Ucanews, Majalah Nuntius, Femina, koran Malang Post, Lampung Post, Fajar Sumatera, Teras Lampung, Suara Karya, Sinar Harapan, Jurnal Perburuhan, Bulettin ACPP Hongkong, Majalah Mantra, Buletin Insan, beberapa media online, blog pribadi dan sebagainya. 
Selain media massa dan sosial, buku menjadi bagian selanjutnya dengan menjadi editor dan penyusun buku.
Menjadi editor dan penyusun buku : Eritis Mihi Testes (Tanjungkarang, 2002), Suster-suster Klaris Kapusines Sekincau (Tanjungkarang, 2003), Samudera Peziarahan (Tanjungkarang, 2010), Goro-goro, Kucing Gering Bagong Leong (Tanjungkarang, 2013), Antologi Puisi Hujan Kampoeng Jerami (Sumenep, 2014), Antologi Puisi Titik Temu Komunitas Kampoeng Jerami (Sumenep, 2014) yang ditulis oleh Acep Zamzam Noor dkk., Kumpulan Puisi dan Cerpen Akar Rumput (Sumenep 2016), Gurindam Jiwa dalam 29 Pasal (Batam, 2017), 25 tahun Mekar Sai Menyongsong Era Emas (Lampung, 2017), Membangun Budaya Hidup Damai (Jakarta, 2018) dan sebagainya.
Setelah geguritan yang muncul di Panyebar Semangat pada tahun 1987-an, puisi-puisi dia tulis sebagai kesenangan. Puisi-puisi selain tersebar di beberapa media juga masuk dalam buku : Turonggo Yakso, Memperjuangkan sebuah Eksistensi (Trenggalek, 2014), Gemuruh Ingatan 8 Tahun Lumpur Lapindo (Sidoarjo, 2014), Hujan Kampoeng Jerami (Sumenep, 2014) Antologi Puisi Titik Temu (Sumenep, 2014) dan Negeri Para Penyair: Antologi Puisi Mutakhir Lampung (Dewan Kesenian Lampung, 2018). Buku puisi tunggal berjudul Pembatas Buku, diterbitkan oleh Indepth Publishing pada Mei 2014. Buku puisi kedua Sampai Aku Lupa, diterbitkan oleh Komunitas Kampoeng Jerami Sumenep pada Agustus 2017.
Setelah tulisan-tulisan berita, tulisan fiksi berbentuk cerpenlah yang dipilih Yuli untuk menuangkan pikiran dan perasaannya. Cerpen-cerpen selain tersebar di berbagai media juga masuk dalam buku : Antologi Cerpen ‘Kawin Massal’ (Dewan Kesenian Lampung, 2011), Antologi Puisi dan Cerpen Sastrawan Lampung ‘Hilang Silsilah’ (Dewan Kesenian Lampung, 2013), dan Negeri yang Terapung : Antologi Cerpen Mutakhir Lampung (Dewan Kesenian Lampung, 2018). Buku kumpulan cerpen tunggal berkolaborasi dengan pelukis Dana E. Rahmat berjudul Daun-daun Hitam, diterbitkan oleh Indepth Publishing dan Caritas Tanjungkarang pada pertengahan 2014, berisi 12 cerpen dengan mengusung tema-tema sosial dan kebhinekaan. Kumpulan cerpen yang lain adalah Salah Satu Cabang Cemara (Komunitas Kampoeng Jerami, 2016).
Buku cerita rakyat berjudul Sultan Domas Pemimpin yang Sakti dan Baik hati diterbitkan oleh Kantor Bahasa Propinsi Lampung bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2017 dan diedarkan ke sekolah dan komunitas-komunitas. Disadur dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Agatha Nila Sukma, termaktub dalam buku Folktales From Lampung diterbitkan oleh Pustaka Media Guru.
Sekarang ini bekerja untuk Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKPPMP) Keuskupan Tanjungkarang (meliputi: Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan, anti human trafficking, ekopatoral dan gender) (2000 - ...). Tahun 2015 - 2018 menjadi salah satu badan pengurus Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Migran-Perantau (KKPPMP) KWI (2010 - 2019), menjadi salah satu pembina Jaringan Perempuan Padmarini Lampung (2015 - ...), pembina untuk Forum Komunikasi Serikat Pekerja Lampung (FKSPL), menjadi Badan Pengurus untuk Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan (SGPP) KWI (2018 - ...), menjadi koordinator Devisi Diklat Forum PUSPA Provinsi Lampung (2018-2019), menjadi Wakil Ketua II Forum Puspa Provinsi Lampung (2019 - ...), anggota dewan pengawas Kopdit Mekar Sai (2019 - ...) dan aktif sebagai pengajar/fasilitator/narasumber/moderator dalam berbagai pelatihan menulis atau kegiatan bertema sosial. 
Beberapa negara yang pernah dikunjunginya adalah Malaysia, Singapura, Thailand, Kamboja, Taiwan, Filipina, Srilanka, Italia, Swiss dan Jerman. (Revisi Maret 2019).

Sumber: