Oleh Yuli Nugrahani
Dalam puisi
terdapat unsur-unsur yang membentuknya. Unsur dalam, adalah unsur yang melekat
dalam puisi. Pertama, Tema dan Pokok pikiran. Ada banyak tema beragam yang bisa
kita angkat untuk puisi. Yang pernah dikumpulkan oleh Komunitas Kampoeng Jerami
(komunitas penulis yang bermarkas di Sumenep dan juga punya aktifitas di grup
Facebook) secara rutin membuat agenda Putute, puisi tema tertentu. Yang sudah
pernah dibukukan adalah tema Hujan dan HAM. Hujan dan Hak Asasi Manusia adalah
tema-tema keseharian yang bisa didapat di sekeliling kita. Dari tema besar itu,
setiap penyair memilih pokok pikiran yang berbeda-beda sesuai sudut pandangnya.
Saya mengambil May day, hari untuk buruh sebagai satu pokok pikiran dari tema
HAM. Yang lain mengambil tentang Munir, Marsinah, perempuan, anak jalanan dan
sebagainya. Itulah bahan pertama dalam rencana membuat puisi.
Kedua, Rasa.
Inilah bagian dari yang tak bisa lepas dari penyair. Dia mempunyai rasa yang
muncul dari hati tentang tema yang sudah dipikirkan (atau dialami, atau
dirasakan, atau diperbincangkan, atau dibaca dsb). Gembira, sedih, marah,
bingung, galau, murung, kecewa dan sebagainya. Ada banyak ragam rasa.
Ketiga,
Nada. Rasa itulah yang kemudian menentukan nada dari puisi itu. Jika dia
gembira, maka optimis yang muncul. Jika sedih, dia akan menunjukkan
alasan-alasan kesedihan. Jika dia marah, nada proteslah yang akan muncul. Dan
sebagainya.
Keempat,
Tujuan/pesan. Ini muncul dengan pikiran bahwa puisi yang dibuat akan dibaca
oleh seseorang. Mungkin juga pembacanya adalah dirinya sendiri. Di situlah akan
muncul tujuan atau pesan dari puisi itu. Bisa ditangkap berbeda-beda, tapi
penulis selalu mengharapkan pesan itu tersampaikan pada pembacanya.
Sedang unsur
luar, yaitu alat untuk menampilkan puisi adalah diksi, kata yang tepat dan
selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh
efek tertentu (seperti yang diharapkan) sesuai imaji (hasil panca indera). Ada
banyak kata, tapi bagi penyair, selalu ada kata khusus yang dapat mewakili
pengalaman puitiknya yang istimewa.
Kedua, imaji
yaitu segala hal yang dapat dibayangkan secara imajinatif saat menemui kata
dalam puisi. Inilah pengalaman yang akan didapatkan oleh seseorang saat membaca
sebuah puisi. Menjadi permenungan, refleksi dan sentuhan. Bukan sebuah petunjuk
seperti tulisan prosa atau jurnalistik yang jelas dalam rincian kata, tapi
sentuhan lembut yang langsung menyergap dalam hati saat membacanya.
Ketiga,
majas atau gaya bahasa, adalah ungkapan-ungkapan khas yang muncul karena hendak
mengkonkretkan imajinasi. Tak seperti prosa yang bisa mengungkapkan langsung
imajinya, para penyair akan memakai hal yang berbeda untuk makna yang ingin
disampaikan. Ada banyak majas seperti metafora, personifikasi, hiperbola, dan
sebagainya. Karena majas inilah, imaji itu akan hidup. Hujan akan punya kaki.
Rambut bisa jadi pelangi. Atau sebuah pertemuan bisa menjelma lautan.
Dan
terakhir, ritme atau irama yaitu kesan bunyi yang teratur dan melodius karena
permainan kata dalam puisi. Permainan bunyi ini ditimbulkan karena huruf vokal
dan konsonan yang digunakan oleh penyair dan membuatnya indah saat kita baca
atau deklamasikan. Seperti sebuah musik, itulah puisi yang mengunakan irama
yang tepat.
Dengan
melihat seluruh unsur itu, saya tertarik melihat satu puisi yang saya baca saat
peluncuran buku Antologi Puisi Titik Temu terbitan Komunitas Kampoeng Jerami
tahun 2014 dalam Belungguk Sastra yang diadakan oleh Kedai Proses di Taman
Budaya Bengkulu, Jumat, 17 April 2015. Para sahabat saya paham saya selalu
kesulitan membaca puisi. Saya selalu bilang lebih suka membaca cerita pendek
(cerpen) karangan saya sendiri daripada membaca puisi.
Tapi untuk
peluncuran Titik Temu, tidak mungkin saya membaca cerpen, jadi saya mengambil
puisi secara acak dari buku ini. Saya mengenali seluruh puisi yang ada di
dalamnya karena saya menjadi editor untuk Titik Temu dan dalam beberapa minggu
menggeluti setiap puisi yang ada di dalamnya. Pilihan saya jatuh pada
puisi-puisi yang bercerita seperti karya Korrie Layun Rampan, atau beberapa
karya Fendi Kachonk, atau puisi saya sendiri.
Puisi-puisi
Korrie yang unik menggoda untuk dibaca, tapi tanpa persiapan yang lama, pasti
akan membuat grogi. Puisi yang saya buat, ah, tidak sanggup saya membacanya.
Terlalu dekat dengan dengan hati dan emosi. Saya pasti tak akan bisa membacanya
dengan kendali penuh tanpa persiapan yang serius. Nah, puisi Fendi, itulah
pilihan yang tepat. Mengapa? Silakan baca dulu puisi itu :
Ia tak lagi
datang ke ladang jagung, di belakang danau. Dulu tempatnya menyepih segala
sedih jadi benih bijian yang ia tanam. Hembusan angin serta kicau burung sangat
akrab kala senja menitipkan pesan malam untuk segera merapikan mimpi yang belum
pulang ke peraduan.
Anaknya,
mata yang setengah sadar berbinar dari balik pohon kedondong, di mana hujan
mencecap kerinduan ranting yang kini juga seperti malaikat kecil. Tumbuh menjadi
sulbi pada kisah sepanjang jalan menuju hari yang begitu cepat tanpa menyisakan
cerita kecuali kenangan.
“Segeralah
tidur sebelum sirene itu kau dengar, nak! Akan ada gambar purnama dalam mimpi,
sedang televisi akan mengajakmu lupa pada masa dan tanggal dari orang tua yang
memberimu nama.“
Ia kalungkan
tangan ke leher, mengeja atap kamar, kecupan kecil di kening masih membekas,
dalam kekalutan detik jam yang memburu dadanya. Lubang-lubang yang serupa
tebing saat malam melalui tepian kisah di ujung batas. Antara rindu dan pergi.
Antara cinta dan kepiluan.
Tibalah,
pada wajah di dinding yang tersenyum. Hidung yang tak mancung juga tak
sebaliknya, senyum yang begitu mahal dan krah baju yang dibiarkan tak rapi. Ia
mengalunkan hujan, suling lembah memantul dari tebing jiwanya. Sedang jagung di
lumbung makin tipis, setahun dalam duka, sebulan penuh siksa, sehari
anak-anaknya ada di atas piring menari-nari.
“Ladang
jagung, kekasihku, anak-anak yang belum tahu menunjuk matahari juga masa
depannya, nanti mau jadi apa?”
Moncek,
201014.
Saya dapat
mengurai seluruh unsur-unsurnya menurut cara pandang saya. Tapi saya hanya
ingin mengungkapkan alasan puisi inilah yang saya baca di Taman Budaya Bengkulu
itu. Yaitu, bahwa puisi Perempuan di Ladang Jagung ini mempunyai irama yang
indah, yang melekat selalu indah tak peduli siapapun yang membacanya. Bunyi
yang digunakan oleh Fendi bisa jadi tidak teratur, tapi setiap orang dapat
menangkap melodi dalam puisi ini tertata dalam kata-kata yang dituliskan oleh
Fendi.
Anaknya, mata
yang setengah sadar berbinar dari balik pohon kedondong, di mana hujan mencecap
kerinduan ranting yang kini juga seperti malaikat kecil. Tumbuh menjadi sulbi
pada kisah sepanjang jalan menuju hari yang begitu cepat tanpa menyisakan
cerita kecuali kenangan.
Vokal
bersaut-sautan dengan konsonan, membentuk kalimat-kalimat yang mengalir. Bukan
hanya saya, siapapun pasti dapat membacanya dalam aliran yang tepat bagi
ekspresi puisi ini. Puisi ini sudah menyediakan dirinya tanpa harus susah payah
digarap oleh pembacanya. Fendi membiarkan kalimat-kalimat itu bersambung begitu
saja, dan itulah aliran dalam puisi ini.
Melodi yang
menanjak dan kemudian menghendak menjadi klimaks muncul dalam bait ini :
Fendi Kachonk (Dok. www.matamaduranews.com) |
Tibalah,
pada wajah di dinding yang tersenyum. Hidung yang tak mancung juga tak
sebaliknya, senyum yang begitu mahal dan krah baju yang dibiarkan tak rapi. Ia
mengalunkan hujan, suling lembah memantul dari tebing jiwanya. Sedang jagung di
lumbung makin tipis, setahun dalam duka, sebulan penuh siksa, sehari anak-anaknya
ada di atas piring menari-nari
Seperti
bait-bait yang lain, lantunan kata, sekali lagi tidak memiliki bunyi teratur
walau muncul juga dalam beberapa kata seperti hidung, mancung, jagung, dan
lumbung, atau duka, siksa dan ada. Fendi mengalirkan melodi yang
mengalirkan emosi pembacanya. Secara otomatis, kalimat-kalimat itu menemukan
tekanannya dan alirannya akan sampai pada ekspresi pembaca.
Saya bilang,
itulah puisi yang memiliki iramanya karena penyusunan kata yang tepat
berdasarkan vokal maupun konsonan dalam kata itu. Secara utuh dalam
pembacaannya, saya merasakan dibantu secara penuh oleh puisi ini sendiri.
Dialah yang ingin dibaca. Dan seperti musik, dia mengiringi saya saat
membacanya. Jika puisi ini disiapkan pembacaannya dalam waktu yang lebih lama,
tentulah sang pembacanya akan merasuk lebih dalam lagi, karena setiap dia ulang
puisi ini lewat lisan yang lantang, musik itu pun semakin tertabuh berdentang
tanpa harus dinyanyikan.***
*Cerpenis
dan penyair Lampung, editor Antologi Puisi Titik Temu, Komunitas Kampoeng
Jerami 2014)
Tentang Penulis
Yuli Nugrahani, lahir di Kediri 9 Juli 1974, mempunyai nama lengkap
Ch. Dwi Yuli Nugrahani, putri kedua dari A. Samiran KA dan Titik Sudiati.
Sekolah tingkat dasar dilaluinya di SD Grogol 3 Kediri, lanjut di SMP
Don Bosco Kediri dan kemudian SMA Augustinus Kediri. Yuli merupakan alumni Fakultas
Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang, pernah menjadi wartawan di
Malang Post (1998 - 2000) dan pimred di Majalah Nuntius (2005 - 2014).
Selain itu juga pernah bekerja untuk Vincentian Center Ingonesia (VCI) sebagai
koordinator perburuhan (1998 - 2000). Sekarang tinggal di Hajimena, Natar,
Lampung Selatan, bersama suaminya Piet Hendro Wartoyo dan dua anak
laki-lakinya, Albert Ardyatma dan Bernard Sandyatma.
Dia mulai suka buku sejak masih kecil karena bapak dan ibunya guru,
selalu menyediakan bacaan di rumah secara sengaja atau tidak sengaja. Buku-buku
seperti Lima Sekawan, Tono Tini, dan bahkan novel-novel panjang sudah dibacanya
dari kecil. Mulai suka menulis ketika bisa menulis. Tulisan pertamanya yang
dikirim ke media adalah geguritan (puisi bahasa Jawa) yang pendek yang dimuat
di Majalah Panyebar Semangat saat dia kelas dua SMP. Bu Purnami, guru bahasa
Indoensianya saat itu menjadi pelecut semangatnya setelah bapak ibunya.
Seiring waktu, tulisannya tersebar di berbagai media seperti : Buletin
Terlibat, Buletin Lembur, Majalah Hidup, Ucanews, Majalah Nuntius, Femina,
koran Malang Post, Lampung Post, Fajar Sumatera, Teras Lampung, Suara Karya,
Sinar Harapan, Jurnal Perburuhan, Bulettin ACPP Hongkong, Majalah Mantra,
Buletin Insan, beberapa media online, blog pribadi dan sebagainya.
Selain media massa dan sosial, buku menjadi bagian selanjutnya dengan
menjadi editor dan penyusun buku.
Menjadi editor dan penyusun buku : Eritis Mihi Testes
(Tanjungkarang, 2002), Suster-suster Klaris Kapusines Sekincau
(Tanjungkarang, 2003), Samudera Peziarahan (Tanjungkarang, 2010), Goro-goro,
Kucing Gering Bagong Leong (Tanjungkarang, 2013), Antologi Puisi Hujan
Kampoeng Jerami (Sumenep, 2014), Antologi Puisi Titik Temu Komunitas
Kampoeng Jerami (Sumenep, 2014) yang ditulis oleh Acep Zamzam Noor dkk.,
Kumpulan Puisi dan Cerpen Akar Rumput (Sumenep 2016), Gurindam Jiwa
dalam 29 Pasal (Batam, 2017), 25 tahun Mekar Sai Menyongsong Era Emas
(Lampung, 2017), Membangun Budaya Hidup Damai (Jakarta, 2018) dan
sebagainya.
Setelah geguritan yang muncul di Panyebar Semangat pada tahun 1987-an, puisi-puisi dia tulis sebagai kesenangan. Puisi-puisi selain tersebar di beberapa media juga masuk dalam buku : Turonggo Yakso, Memperjuangkan sebuah Eksistensi (Trenggalek, 2014), Gemuruh Ingatan 8 Tahun Lumpur Lapindo (Sidoarjo, 2014), Hujan Kampoeng Jerami (Sumenep, 2014) Antologi Puisi Titik Temu (Sumenep, 2014) dan Negeri Para Penyair: Antologi Puisi Mutakhir Lampung (Dewan Kesenian Lampung, 2018). Buku puisi tunggal berjudul Pembatas Buku, diterbitkan oleh Indepth Publishing pada Mei 2014. Buku puisi kedua Sampai Aku Lupa, diterbitkan oleh Komunitas Kampoeng Jerami Sumenep pada Agustus 2017.
Setelah geguritan yang muncul di Panyebar Semangat pada tahun 1987-an, puisi-puisi dia tulis sebagai kesenangan. Puisi-puisi selain tersebar di beberapa media juga masuk dalam buku : Turonggo Yakso, Memperjuangkan sebuah Eksistensi (Trenggalek, 2014), Gemuruh Ingatan 8 Tahun Lumpur Lapindo (Sidoarjo, 2014), Hujan Kampoeng Jerami (Sumenep, 2014) Antologi Puisi Titik Temu (Sumenep, 2014) dan Negeri Para Penyair: Antologi Puisi Mutakhir Lampung (Dewan Kesenian Lampung, 2018). Buku puisi tunggal berjudul Pembatas Buku, diterbitkan oleh Indepth Publishing pada Mei 2014. Buku puisi kedua Sampai Aku Lupa, diterbitkan oleh Komunitas Kampoeng Jerami Sumenep pada Agustus 2017.
Setelah tulisan-tulisan berita, tulisan fiksi
berbentuk cerpenlah yang dipilih Yuli untuk menuangkan pikiran dan perasaannya.
Cerpen-cerpen selain tersebar di berbagai media juga masuk dalam buku :
Antologi Cerpen ‘Kawin Massal’ (Dewan Kesenian Lampung, 2011), Antologi
Puisi dan Cerpen Sastrawan Lampung ‘Hilang Silsilah’ (Dewan Kesenian
Lampung, 2013), dan Negeri yang Terapung : Antologi Cerpen Mutakhir
Lampung (Dewan Kesenian Lampung, 2018). Buku kumpulan cerpen tunggal
berkolaborasi dengan pelukis Dana E. Rahmat berjudul Daun-daun Hitam,
diterbitkan oleh Indepth Publishing dan Caritas Tanjungkarang pada pertengahan
2014, berisi 12 cerpen dengan mengusung tema-tema sosial dan kebhinekaan.
Kumpulan cerpen yang lain adalah Salah Satu Cabang Cemara
(Komunitas Kampoeng Jerami, 2016).
Buku cerita rakyat berjudul Sultan Domas Pemimpin
yang Sakti dan Baik hati diterbitkan oleh Kantor Bahasa Propinsi Lampung
bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2017 dan
diedarkan ke sekolah dan komunitas-komunitas. Disadur dan diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris oleh Agatha Nila Sukma, termaktub dalam buku Folktales
From Lampung diterbitkan oleh Pustaka Media Guru.
Sekarang ini bekerja untuk Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral
Migran Perantau (KKPPMP) Keuskupan Tanjungkarang (meliputi: Gerakan Aktif Tanpa
Kekerasan, anti human trafficking, ekopatoral dan gender) (2000 - ...). Tahun
2015 - 2018 menjadi salah satu badan pengurus Komisi Keadilan, Perdamaian, dan
Pastoral Migran-Perantau (KKPPMP) KWI (2010 - 2019), menjadi salah satu pembina
Jaringan Perempuan Padmarini Lampung (2015 - ...), pembina untuk Forum
Komunikasi Serikat Pekerja Lampung (FKSPL), menjadi Badan Pengurus untuk
Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan (SGPP) KWI (2018 - ...), menjadi
koordinator Devisi Diklat Forum PUSPA Provinsi Lampung (2018-2019), menjadi
Wakil Ketua II Forum Puspa Provinsi Lampung (2019 - ...), anggota dewan
pengawas Kopdit Mekar Sai (2019 - ...) dan aktif sebagai pengajar/fasilitator/narasumber/moderator
dalam berbagai pelatihan menulis atau kegiatan bertema sosial.
Beberapa negara yang pernah dikunjunginya adalah Malaysia, Singapura,
Thailand, Kamboja, Taiwan, Filipina, Srilanka, Italia, Swiss dan Jerman. (Revisi
Maret 2019).
Sumber: