Sabtu, 04 April 2020

Perempuan-Perempuan Kahlil Gibran



oleh M. Syamsul Ma’arif *)


Kahlil Gibran
     Bagi penyair laki-laki, perempuan adalah satu dari sekian sumber inspirasi karya-karyanya. Seolah telaga yang senantiasa mengalirkan kebeningan air untuk telapak tangan, raut wajah, hingga keberlapangan hati, perempuan adalah satu dari sekian pemantik kelahiran karya puisi.
     Sebut saja Kahlil Gibran, penyair besar kelahiran kota Bsharri Lebanon pada tanggal 06 Januari 1883 ini dikenal acapkali menjadikan perempuan sebagai pemantik kelahiran karya-karya puisinya; termasuk puisi-puisi masterpiece-nya yang terangkum dalam buku “Sayap-Sayap Patah”, juga “Sang Nabi”. 
     Jika pernah membaca puisi-puisi Kahlil Gibran dalam “Sayap-Sayap Patah” pasti mengenal sebuah nama perempuan yaitu, Selma Karamy. Nama Selma Karamy ada di dalam beberapa judul puisi pada buku ini. Sosok Selma Karamy merupakan sebuah tokoh rekaan Kahlil Gibran yang diilhami sosok perempuan di dunia nyata yang bernama Hala Dakhir. Perempuan ini merupakan first love-nya seorang Kahlil Gibran. Putri tokoh terkemuka di kota Bsaharri bernama Tannous Asad Hanna Dakhir ini dikenalnya pada sebuah liburan musim panas. Mereka berdua jatuh cinta dan sering bertemu di hutan dekat biara Mar Sarkis. Sayang, jalinan percintaan mereka berakhir tragis karena adanya penentangan dari pihak keluarga Hala Dakhir. Bak kisah Siti Nurbaya, Hala Dakhir pun dijodohkan keluarganya dengan keponakan seorang uskup, dan pemeluk agama Kristen Maronit ini pun membawa luka hatinya meninggalkan kota kelahirannya.
May Ziadah - Wikipedia
     Selain Hala Dakhir, ada tiga sosok perempuan lainnya dalam perjalanan hidup seorang Kahlil Gibran yang memberikan pengaruh besar dalam kelahiran karya-karya puisinya. Mereka adalah May Ziadah, Josephine Preston Peabody, dan Mary Elizabeth Heskell. May Ziadah adalah seorang sahabat pena Kahlil Gibran dari Palestina, seorang penyair sekaligus kritikus yang cerdas yang mampu mengimbangi gagasan-gagasan hingga keluh-kesah seorang Kahlil Gibran. Dalam surat-suratnya kepada May, Gibran menggunakan kata “rindu” untuk mencerminkan kerinduan spiritual, suatu cinta yang tidak memerlukan kata-kata untuk mengungkapkan dirinya sendiri, karena merupakan himne suci yang terdengar lewat kesunyian malam. (Bushiri dan Joe Jenkins, 2000:295). Ironisnya, hingga ajal menjemput Kahlil Gibran, mereka berdua tidak pernah bertatap muka secara langsung.
     Sedang dua lainnya adalah perempuan-perempuan yang dikenal Kahlil Gibran ketika melawat ke Amerika Serikat. Josephine Preston Peabody juga seorang penyair dari keluarga berdarah biru kerajaan Inggris. Dari Josephine-lah Kahlil Gibran pertama kali sedikit terbuka wawasannya tentang cara pandang perempuan, terlebih perempuan dengan latar belakang budaya dan usia yang jauh berbeda. Hubungan komunikasi mereka terjalin baik ketika Kahlil Gibran berusia 15 tahun, sedangkan Josephine Preston Peabody berusia 24 tahun. Josephine menulis sebuah puisi pendek yang berjudul “Hits Boyhoos” yang kemudian diubah Gibran menjadi “Sang Nabi”. (Young,1927:107).
     Mary Elizabeth Heskell adalah kepala sekolah di Miss Haskell’s School for Girls di Malborough Street, Boston Amerika. (Bushiri dan Joe Jenkins,2000 : 139). Pada Desember 1910, keduanya berkenalan pertama kali lalu menjalin komunikasi serius. Sebagai guru, Mary cermat membantu Gibran menyempurnakan bahasa Inggris lisannya. Hubungan mereka makin erat, dan cinta mereka satu sama lain makin besar tercermin dalam jurnal Mary. Karena mengenal semangat yang sama dalam diri Mary, Gibran mengatakan kepada Mary “Andainya bisa menikahinya”, tapi Mary menolaknya. (Gibran 1915:23).
     Lalu, selain Kahlil Gibran, siapa penyair laki-laki lainnya yang beberapa karya-karya puisinya juga lahir karena kehadiran perempuan di dalam kehidupan mereka?
     Ada Alexander Pushkin (1799-1837), penyair besar berkebangsaan Rusia tersebut juga pernah menulis puisi berjudul “Aku Di Sini, Inesilla”. Dalam puisi tersebut, Pushkin mengisahkan kerinduannya pada perempuan bernama Inesilla, pada sebuah malam ketika hujan turun di kota Sevilla Spanyol. Selain Pushkin, juga ada nama penyair-penyair laki-laki dunia lainnya seperti Pablo Neruda, W.H. Auden, Edgar Allan Poe, Nizzar Qabbani, dll.
     Mungkin, di tulisan lain, saya juga akan menulis perempuan-perempuan dalam karya puisi Chairil Anwar, WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Taufiq Ismail, Aan Mansyur, Norman Pasaribu, Alex R Nainggolan, Dadang Ari Murtono, dan masih banyak lagi penyair laki-laki nusantara lainnya.
     Tapi, apakah hanya penyair laki-laki yang menulis karya puisi tentang perempuan? Tentu saja tidak, sebab jika laki-laki terlalu egois untuk menulis tentang laki-laki, tidak dengan perempuan. Terlalu panjang jika tulisan ini kemudian dilanjutkan dengan nama-nama penyair perempuan nusantara yang menulis puisi tentang perempuan. Terlalu panjang jika tulisan ini kemudian dilanjutkan denga karya-karya puisi tentang perempuan yang ditulis penyair perempuan. Sebab, perempuan adalah ciptaan-Nya yang istimewa.
     #PerempuanIstimewa yang menjadi sumber inspirasi merupakan tema agenda Undangan Karya “Antologi Puisi Bersama 2020 PEREMPUAN ISTIMEWA” yang tengah diperhelatkan sebuah komunitas non sanggar bernama Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LISSTRA). Pemilihan tema ini berlandas pada keistimewaan yang dimiliki oleh perempuan, yang tidak hanya mampu membuat Adam melakukan apa yang telah dilarang Tuhan (memakan buah Khuldi), tapi juga memberi warna pada corak peradaban manusia dari masa ke masa di seluruh dunia.
    
.
*) Mahasiswa, anggota Komunitas Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LISSTRA), sedang merampungkan buku kumpulan puisi pertamanya “Belum Sepenuh”.