oleh
M. Syamsul Ma’arif *)
Kahlil Gibran |
Bagi penyair laki-laki, perempuan adalah
satu dari sekian sumber inspirasi karya-karyanya. Seolah telaga yang senantiasa
mengalirkan kebeningan air untuk telapak tangan, raut wajah, hingga
keberlapangan hati, perempuan adalah satu dari sekian pemantik kelahiran karya
puisi.
Sebut saja Kahlil Gibran, penyair besar
kelahiran kota Bsharri Lebanon pada tanggal 06 Januari 1883 ini dikenal
acapkali menjadikan perempuan sebagai pemantik kelahiran karya-karya puisinya;
termasuk puisi-puisi masterpiece-nya
yang terangkum dalam buku “Sayap-Sayap Patah”, juga “Sang Nabi”.
Jika pernah membaca puisi-puisi Kahlil
Gibran dalam “Sayap-Sayap Patah” pasti mengenal sebuah nama perempuan yaitu,
Selma Karamy. Nama Selma Karamy ada di dalam beberapa judul puisi pada buku
ini. Sosok Selma Karamy merupakan sebuah tokoh rekaan Kahlil Gibran yang
diilhami sosok perempuan di dunia nyata yang bernama Hala Dakhir. Perempuan ini
merupakan first love-nya seorang
Kahlil Gibran. Putri tokoh terkemuka di kota Bsaharri bernama Tannous Asad Hanna Dakhir ini
dikenalnya pada
sebuah liburan musim panas. Mereka berdua jatuh cinta dan sering bertemu di hutan dekat biara Mar Sarkis. Sayang,
jalinan percintaan mereka berakhir tragis karena adanya penentangan dari pihak
keluarga Hala Dakhir. Bak kisah Siti Nurbaya, Hala Dakhir pun dijodohkan
keluarganya dengan keponakan seorang uskup, dan pemeluk agama Kristen Maronit
ini pun membawa luka hatinya meninggalkan kota kelahirannya.
May Ziadah - Wikipedia |
Selain Hala Dakhir, ada tiga sosok
perempuan lainnya dalam perjalanan hidup seorang Kahlil Gibran yang memberikan
pengaruh besar dalam kelahiran karya-karya puisinya. Mereka adalah May Ziadah,
Josephine Preston Peabody, dan Mary Elizabeth Heskell. May Ziadah adalah
seorang sahabat pena Kahlil Gibran dari Palestina, seorang penyair sekaligus
kritikus yang cerdas yang mampu mengimbangi gagasan-gagasan hingga keluh-kesah
seorang Kahlil Gibran. Dalam
surat-suratnya kepada May, Gibran menggunakan kata “rindu” untuk mencerminkan
kerinduan spiritual, suatu cinta yang tidak memerlukan kata-kata untuk
mengungkapkan dirinya sendiri, karena merupakan himne suci yang terdengar lewat
kesunyian malam. (Bushiri dan Joe Jenkins, 2000:295). Ironisnya, hingga ajal
menjemput Kahlil Gibran, mereka berdua tidak pernah bertatap muka secara
langsung.
Sedang dua lainnya adalah
perempuan-perempuan yang dikenal Kahlil Gibran ketika melawat ke Amerika
Serikat. Josephine
Preston Peabody juga seorang penyair dari keluarga berdarah biru kerajaan
Inggris. Dari Josephine-lah Kahlil Gibran pertama kali sedikit terbuka
wawasannya tentang cara pandang perempuan, terlebih perempuan dengan latar
belakang budaya dan usia yang jauh berbeda. Hubungan komunikasi mereka terjalin
baik ketika Kahlil Gibran berusia 15 tahun, sedangkan Josephine Preston Peabody
berusia 24 tahun. Josephine
menulis sebuah puisi pendek yang berjudul “Hits Boyhoos” yang kemudian diubah
Gibran menjadi “Sang Nabi”. (Young,1927:107).
Mary Elizabeth Heskell adalah kepala
sekolah di Miss Haskell’s School for Girls di Malborough Street, Boston
Amerika. (Bushiri dan Joe Jenkins,2000 : 139). Pada Desember 1910, keduanya
berkenalan pertama kali lalu menjalin komunikasi serius. Sebagai guru, Mary
cermat membantu Gibran menyempurnakan bahasa Inggris lisannya. Hubungan mereka
makin erat, dan cinta mereka satu sama lain makin besar tercermin dalam jurnal
Mary. Karena mengenal semangat yang sama dalam diri Mary, Gibran mengatakan
kepada Mary “Andainya bisa menikahinya”, tapi Mary menolaknya. (Gibran 1915:23).
Lalu, selain Kahlil Gibran, siapa penyair
laki-laki lainnya yang beberapa karya-karya puisinya juga lahir karena
kehadiran perempuan di dalam kehidupan mereka?
Ada Alexander Pushkin (1799-1837), penyair
besar berkebangsaan Rusia tersebut juga pernah menulis puisi berjudul “Aku Di Sini, Inesilla”. Dalam puisi tersebut, Pushkin
mengisahkan kerinduannya pada perempuan bernama Inesilla, pada sebuah malam
ketika hujan turun di kota Sevilla Spanyol. Selain Pushkin, juga ada nama
penyair-penyair laki-laki dunia lainnya seperti Pablo Neruda, W.H. Auden, Edgar
Allan Poe, Nizzar Qabbani, dll.
Mungkin, di tulisan lain, saya juga akan
menulis perempuan-perempuan dalam karya puisi Chairil Anwar, WS Rendra, Sapardi
Djoko Damono, Taufiq Ismail, Aan Mansyur, Norman Pasaribu, Alex R Nainggolan,
Dadang Ari Murtono, dan masih banyak lagi penyair laki-laki nusantara lainnya.
Tapi, apakah hanya penyair laki-laki yang
menulis karya puisi tentang perempuan? Tentu saja tidak, sebab jika laki-laki
terlalu egois untuk menulis tentang laki-laki, tidak dengan perempuan. Terlalu
panjang jika tulisan ini kemudian dilanjutkan dengan nama-nama penyair
perempuan nusantara yang menulis puisi tentang perempuan. Terlalu panjang jika
tulisan ini kemudian dilanjutkan denga karya-karya puisi tentang perempuan yang
ditulis penyair perempuan. Sebab, perempuan adalah ciptaan-Nya yang istimewa.
#PerempuanIstimewa yang menjadi sumber
inspirasi merupakan tema agenda Undangan Karya “Antologi Puisi Bersama 2020 PEREMPUAN ISTIMEWA” yang tengah
diperhelatkan sebuah komunitas non sanggar bernama Lingkar Studi Sastra
Setrawulan (LISSTRA). Pemilihan
tema ini berlandas pada keistimewaan yang dimiliki oleh perempuan, yang tidak
hanya mampu membuat Adam melakukan apa yang telah dilarang Tuhan (memakan buah
Khuldi), tapi juga memberi warna pada corak peradaban manusia dari masa ke masa
di seluruh dunia.
.
*) Mahasiswa,
anggota Komunitas Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LISSTRA), sedang
merampungkan buku kumpulan puisi pertamanya “Belum Sepenuh”.