PERAWAN itu bernama Maria. Nama lengkapnya Gamaria atau Kamaria atau
lebih fasihnya: Qomaria. Kata itu berasal dari bahasa Arab dan berarti
rembulan. Setelah sebuah cerita yang kelak akan mengubah takdirnya, ia mengenal
dirinya sebagai Perawan Rembulan. Tapi Maria, ia benar-benar tak mirip
rembulan. Tubuhnya begitu kurus, kusam, dan tak bercahaya. Dari kejauhan ia
tampak seperti pohon pisang yang telah diambil buahnya. Layu. Menyisakan
kelaras kering yang compang-camping. Maria sedikit membungkuk dan agak tertatih
saat berjalan. Betapa tak seorang pun akan percaya bahwa Maria yang demikian
itu sejatinya masih sangat belia. Dan seharusnya ia sedang mekar-mekarnya.
Ilustrasi-cerpen-Koran-JAWA-POS-24-Maret-2019-karya-BUDIONO |
Begitulah Perawan Rembulan kita.
Perawan 18 tahun yang dianggap gila oleh ibunya sendiri. Yang dianggap terkena
penyakit imsomnia kronis oleh ayahnya sendiri. Dan dianggap sebagai gadis
paling aneh di jagat raya oleh adiknya sendiri yang baru berumur 12 tahun.
“Orang-orang tak akan memahamiku,
seperti tak memahami ke mana rembulan pergi pada waktu-waktu tententu,”
bisiknya kepada langit di atas loteng. Bisikan yang hanya bisa ia dengar
sendiri.
Maria selalu percaya bahwa di malam
hari, saat orang-orang terlelap, saat rembulan menghilang di ketinggian langit,
sesungguhnya rembulan tengah menemui matahari secara diam-diam. Di sebuah
tempat rahasia. Maria memercayai itu sama seperti memercayai keberadaan Tuhan.
Karena itu, Maria jarang sekali tidur di waktu malam. Maria ingin membuktikan,
ketika rembulan menghilang di malam hari, sebetulnya ia tidak menghilang. Ia
hanya berada di suatu tempat di mana ada matahari di sana.
Nyaris saban malam Maria duduk berlama-lama
di loteng rumahnya untuk memandangi rembulan. Maria mengintainya dari malam ke
malam. Pada malam-malam saat rembulan tinggal separuh atau berbentuk sabit,
jantung Maria mulai berdebar. Ia yakin sesungguhnya rembulan tengah
menyeberangi sebuah pintu bulat yang membuat separuh tubuhnya tak tampak karena
tertelan daun pintu bulat—yang juga tak tampak. Separuh dari tubuh rembulan
tengah berada di suatu tempat di mana ada matahari di sana. Di sebuah tempat
rahasia.
Maka ketika rembulan benar-benar
lenyap, dengan hati diliputi kekecewaan, Maria berdengung murung bahwa tubuh
rembulan sepenuhnya telah masuk ke dalam pintu bulat. Dan di seberang pintu
bulat yang tak tampak itu, matahari telah menyambutnya dengan sepasang tangan
yang siap memeluk. Seperti tuan rumah menyambut tamu kesayangan, menyambut
kekasih yang ditunggu. Hanya, baik rembulan ataupun matahari, keduanya senang
menyimpan rahasia hubungan masing-masing. Matahari dan rembulan tak mau jalinan
kasih mereka diketahui dunia.
“Aku berjanji, aku akan menjaga
rahasia ini. Orang-orang, dan bahkan malam itu sendiri, tak akan tahu bahwa
sejatinya kalian kerap bertemu diam-diam,” ujar Maria kepada udara yang diam.
Dan rembulan pun terus melaju ke balik pintu bulat. Mengabaikan Maria.
Demikianlah Maria. Ia bukan gadis
yang mudah menyerah. Ia telah berjanji kepada dirinya sendiri. Ia akan
membuktikan bahwa matahari dan rembulan memang sepasang kekasih yang tak bisa
dipisahkan. Dan ketika keduanya tak tampak di langit, tak diragukan lagi:
keduanya tengah memadu kasih di sebuah tempat rahasia yang tak boleh diketahui
siapa pun. Tempat rahasia itulah yang selama ini dicari-cari Maria. Diintainya
dari malam ke malam. Dari bulan ke bulan. Sampai tahun ke tahun. Maria ingin
sekali pergi ke tempat itu. Mengintip matahari dan rembulan bertemu. Tapi Maria
benar-benar tak tahu caranya.
“Andai saja aku dapat
melayang-layang di udara.” Dan hanya tatapan Maria yang sanggup melayang-layang
di udara, sampai ke tubuh rembulan yang hilang separuh, atau hilang sepenuhnya.
Selepas malam, jika rembulan tak
muncul sama sekali, Maria memandangi kerlip gemintang yang jumlahnya bagai
jumlah bulu kucing milik ibunya. Ya, jumlah bintang memang sebanyak itu. Maria
pernah mencoba menghitung bulu kucing milik ibunya. Namun ia menyerah meski ia
bukan gadis yang mudah menyerah. Menghitung bulu kucing lebih menjemukan
ketimbang menatap langit malam.
Maria tak bisa menghitung jumlah bulu
kucing sebagaimana tak bisa menghitung jumlah bintang-bintang. Keduanya sama.
Sama-sama banyak dan sama-sama tak bisa dihitung. Jadi, siapa pun yang tak
percaya bahwa jumlah gemintang dan bulu kucing milik ibunya itu sama, maka ia
harus membuktikan bahwa jumlah itu memang tidak sama. *** Dengan cara
menghitungnya satu per satu di hadapan Maria. Dengan memandangi bintang
gemintang itu, biasanya kekecewaan Maria—karena kepergian rembulan yang
diam-diam—akan sedikit terobati.
***
Perihal mengapa Maria begitu keras
kepala ingin memergoki matahari dan rembulan memadu kasih, tentu ada mulanya.
Sewaktu kecil, Maria pernah mendengar cerita dari seorang perjaka tua yang
sekarang sudah almarhum. Mas Sam namanya. Ia tinggal sebatang kara di rumah
peninggalan bapaknya. Konon Mas Sam pernah bekerja di kota, lalu pulang karena
dipecat bosnya yang bangkrut. Sehari-hari Mas Sam mengurus ladang singkong di
lahan mungil di tepi sungai yang juga peninggalan bapaknya. Dengan telaten Mas
Sam membuat gaplek dan tepung tiwul. Lalu membawanya ke pasar berkarung-karung.
Memanggulnya seorang diri. Menjualnya seorang diri.
Anak-anak suka sekali mengerubuti
Mas Sam. Sebab, lelaki itu suka sekali membagi-bagikan permen selain pandai
bercerita. Hingga satu hal menyedihkan kemudian terjadi. Suatu ketika, saat
usia Maria tepat menginjak 10 tahun kurang 15 hari, orang-orang kampung
menggerebek rumah Mas Sam. Mas Sam digebuki sampai wajahnya tak lagi berbentuk
wajah Mas Sam. Mbak Jum, tetangga Maria, bilang Mas Sam pantas mendapatkan itu.
Ia lelaki cabul yang berbahaya. Ibunya juga bilang, jangan lagi dekat-dekat
apalagi main ke rumah Mas Sam. Mas Sam itu cabul.
Ketika itu Maria tak mengerti apa
arti kata cabul. Apakah cabul itu sama dengan cabut. Mencabut. Entahlah. Yang
pasti, dua hari setelah digebuki orang sekampung, Mas Sam dikabarkan meninggal
dan mayatnya ditolak warga kampung. Hingga Mas Sam harus dimakamkan di
pemakaman umum kecamatan. Dan menurut ibu Maria, Mas Sam harus membayar
sejumlah uang. Sampai sekarang kalau teringat soal itu, Maria masih suka
bertanya-tanya: bagaimana mungkin Mas Sam yang sudah mati itu bisa membayar
tanah kuburannya sendiri?
Diam-diam Maria kecewa pada
orang-orang kampung yang begitu jahat terhadap Mas Sam. Termasuk keluarganya
sendiri. Menurut Maria, Mas Sam bukanlah lelaki jahat yang pantas digebuki
banyak orang. Mas Sam adalah lelaki yang baik dan wajahnya sedikit manis. Kalau
tersenyum, ada satu gigi taring yang mencuat dari gusi atas sebelah kanan. Yang
membuat senyum Mas Sam semakin manis. Suatu ketika Mas Sam memang pernah
menciumi leher Maria dan Maria merasa senang karena geli. Mas Sam memang suka
bercanda seperti itu. Selebihnya, Mas Sam hanya membagi-bagikan permen sambil
bercerita. Bercerita sambil membagi-bagikan permen.
Dari puluhan cerita yang pernah
diterakan Mas Sam, Maria paling suka cerita tentang Pangeran Matahari dan Putri
Rembulan. Maria masih ingat betul detail cerita itu. Kata Mas Sam, ketika ia
menciumi leher Maria, cerita itu adalah cerita tentang mereka berdua. Mas Sam
sebagai Pangeran Matahari dan Maria adalah Putri Rembulannya.
Sebagaimana cerita yang diyakini Mas
Sam, Maria pun meyakini cerita itu. Bahwa sebenarnya malam adalah siang yang
tertutup oleh jubah hitam seorang perempuan tua yang pemarah. Perempuan tua
yang tak menyukai cahaya. Perempuan tua itu jatuh cinta pada Pangeran Matahari
sudah sejak lama. Namun cintanya tak pernah terbalas karena ia perempuan yang
sudah tua dan tak memiliki cahaya. Pangeran Matahari tak menyukai perempuan
yang tak memiliki cahaya, apalagi sudah tua. Selain itu, sudah sejak lama
Pangeran Matahari melabuhkan cintanya pada seorang putri jelita yang memiliki
cahaya anggun nan sempurna, bernama Putri Rembulan.
Pangeran Matahari dan Putri Rembulan
adalah dua sejoli yang sangat serasi, sama-sama agung dan sama-sama memendarkan
cahaya. Melihat keserasian mereka, perempuan tua berjubah hitam itu dengki dan
murka. Ia tak mau Pangeran Matahari dan Putri Rembulan bersatu. Keduanya tidak
boleh hidup bahagia. Keduanya harus dipisahkan satu sama lain. Keduanya harus
menanggung rasa sedih dan merana sebagaimana perempuan tua menanggungnya. Maka,
dengan kekuatan gelapnya, perempuan tua itu membentangkan jubah raksasanya ke
penjuru langit untuk memisahkan Pangeran Matahari dan Putri Rembulan. Pangeran
Matahari terlempar ke langit terang di luar jubah. Dan Putri Rembulan terdampar
ke langit gelap yang dikurungi jubah hitam. Sejak itu Pangeran Matahari dan
Putri Rembulan tak bisa lagi bertemu. Mereka terpisah untuk selamanya. Gelap
dan terang yang tak mungkin dipersatukan. Seperti juga perempuan berjubah hitam
itu—yang tak bisa lagi beranjak dari takdirnya: menjadi malam. Pemisah antara
terang dan gelap. Antara matahari dan rembulan.
Namun cerita cinta itu belum
selesai. Mas Sam berjanji akan menyambung cerita itu pada hari Minggu.
Sayangnya, Sabtu petang segerombolan orang mendatangi rumah Mas Sam dan
menjadikannya bulan-bulanan hingga Senin sore Mas Sam dikabarkan sudah
meninggal. Kelanjutan cerita tentang Pangeran Matahari dan Putri Rembulan itu
pun terkatung-katung di benak anak-anak. Terutama di benak Maria yang merasa
cerita itu tentang dirinya. Kepala kecilnya selalu membayangkan Pangeran
Matahari dan Putri Rembulan pada akhirnya akan bertemu kembali. Bayangan itu
kemudian mekar menjadi cerita yang ia sambung seorang diri dari hari ke hari.
Dari tahun ke tahun.
Mula-mula Maria mengamati matahari
yang kerap kali membuat matanya sakit dan kepalanya berkunang-kunang. Setiap
hari matahari muncul dari ufuk timur, menyeberangi langit sampai ke barat. Ia
yakin sepanjang siang itu matahari berjalan dari timur ke barat hanya untuk
menyisiri langit, mencari di mana Putri Rembulan berada.
Hingga petang menjelang, matahari menghilang. Maria memikirkan itu: ke mana perginya matahari? Ia pun menemukan sebuah jawaban yang ia karang sendiri bahwa matahari sedang menyeberangi langit lain. Pada petang hari itu, untuk pertama kalinya Maria mengamati rembulan berbentuk pisang. Orang bilang bulan sabit. Bukankah rembulan itu seharusnya bulat, pikir Maria. Lalu ke mana separuh tubuh rembulan yang lain? Dari hari ke hari, kepala Maria dipenuhi pertanyaan itu. Seiring tubuh rembulan yang semakin tipis. Seperti alis segaris. Sejak malam itu, Maria mulai suka naik ke atas loteng pada malam hari.
Hingga petang menjelang, matahari menghilang. Maria memikirkan itu: ke mana perginya matahari? Ia pun menemukan sebuah jawaban yang ia karang sendiri bahwa matahari sedang menyeberangi langit lain. Pada petang hari itu, untuk pertama kalinya Maria mengamati rembulan berbentuk pisang. Orang bilang bulan sabit. Bukankah rembulan itu seharusnya bulat, pikir Maria. Lalu ke mana separuh tubuh rembulan yang lain? Dari hari ke hari, kepala Maria dipenuhi pertanyaan itu. Seiring tubuh rembulan yang semakin tipis. Seperti alis segaris. Sejak malam itu, Maria mulai suka naik ke atas loteng pada malam hari.
Akhirnya, pada malam ketika rembulan
menghilang dan tak tampak segaris pun, Maria meyakini bahwa rembulan pun tengah
melewati sebuah pintu dan menyeberangi langit lain. Dan di langit lain itulah
mereka akhirnya bertemu. Langit lain yang sampai saat ini kerap diintai Maria.
Langit lain yang sampai puluhan tahun kemudian masih diintai Maria. Maria yang
telah menjadi renta. Maria yang semakin jauh kemiripannya dari sosok rembulan.
Maria yang segenap dirinya telah menyerupai malam. Malam yang tua. (*)
Malang,
2016__________
Mashdar Zainal, lahir di Madiun pada 5 Juni 1984, suka membaca dan menulis puisi serta prosa, kini bermukim di Malang.