DOR…dor…
Suara itu memaksa May membuka mata. Ia tergagap bangun, dengan spontan
meraba sesuatu di bawah bantal. Oh masih ada, desahnya lega. Benda itu tetap di
tempat, tidak panas, tidak berasap. Enam peluru masih utuh dalam lubang
masing-masing.
Tok… tok…
Suara yang datang dalam tidurnya menyerupai letusan revolver, rupanya
hanya suara ketukan pintu. May menyibakkan rambut panjangnya yang kusut,
sembari berusaha berpikir jernih. Siapa yang datang sepagi ini? Rumah ini tak
dapat dilalui mobil. Jalan setapak hanya dapat dilewati sepeda motor, itu pun
harus ekstra hati-hati saat musim hujan.
Tok… tok…
May gagal menemukan titik terang di kepalanya. Tak ada janji. Tak ada
catatan. Agak muskil orang kesasar meminta kopi pagi ke rumah ini. Untuk
berjaga-jaga, ia menyematkan revolver tua itu ke perutnya, menyelip di antara
celana tidur. Revoler yang dibelinya dari lelaki berasap di belakang bar tengah
kota, seminggu sejak ibunya berpulang. Alasan membeli revolver itu absurd. May
merasakan ada bahaya mengintip di sekeliling. Kadang berupa pertanyaan: di mana
kau simpan warisan-warisan itu. Kadang ketakutan berupa tamu tak diundang
mewakili beberapa developer. Mereka sering tiba-tiba muncul dan menanyakan
kapan rumah ini mau dijual? Mau harga berapa? Akan dibangun vila-vila dengan
fasilitas lapangan golf, lapangan tembak serta pacuan kuda di kawasan ini.
May terhuyung berjalan menuju pintu dengan baju tidur melambai-lambai. Ia
mengintip, lalu membuka pintu sedikit.
“Hei!!” Wajah seorang perempuan menyembul di antara daun pintu.
“Kau? Kita tidak sedang membuat janji kan?” jawab May ketus, sebentuk
penolakan halus. Tamu itu perempuan dempal dengan bibir menghitam oleh asap
rokok, melirik revolver yang terbuka, mengundang perhatian di selipan celana
tidur nyonya rumah.
“Kamu menelponku semalam, dalam keadaan mabuk,” suara tamu yang bernama
Ina pelan, namun cukup tegas ditangkap May.
“Kalau kau tak mau menerimaku, aku akan pulang,” kata Ina dengan wajah
datar. May melonggar, dibukanya pintu agak lebar. Begitu perempuan bernama Ina
memasuki ruang tamu, ia memastikan lebih dulu bahwa tak ada penguntit atau
pengintai. Begitu dirasa aman, ia mengunci pintu, lalu menyilakan Ina duduk di
kursi tamu usang, kursi rotan yang beberapa bagian telah masai dimakan usia.
“Kopi? Teh?” May menatap sekilas pada Ina.
“Kopi hitam jika tidak keberatan.”
May melayang ke dapur di balik ruang tamu. Ina mengelilingi ruang tamu
dengan sepasang matanya yang selalu waspada. Ruang tamu ini nol daya tarik. Tak
ada pernak pernik, bunga atau sentuhan perempuan. Hanya empat buah kursi rotan
dan meja tamu tanpa taplak. Bufet jati tua berisi buku-buku lama yang sudah
berdebu. Jam dinding tua, serta radio transistor besar jaman entah. Ia
berkunjung ke sini terakhir kali sembilan tahun lalu, saat May masih gadis.
May muncul dengan dua cangkir kopi dalam mug. Ia meletakkan kopi hitam
di hadapan Ina, dan di depannya sendiri kopi susu. Aroma arabika yang digoreng
menyisakan bau gosong di hidung Ina. Tapi pagi sedingin ini layak dicairkan
oleh secangkir kopi, apapun rasanya
“To the point,” May membuka percakapan dengan revolver yang masih
di perutnya. Ina menatap May dengan wajah tanpa isi.
“Kau semalam menelpon, katamu butuh tenaga taktis. Karena aku sedang
menganggur, bolehlah.” Suara Ina tegas patah-patah, efisien. May menghirup kopi
susunya, sedikit lebih lama. Ia menatap pekat pada wajah Ina yang tidak
mengandung unsur-unsur kecantikan. Sedikit kerutan, tanpa make up, rambut
ala Demi Moore. Cara bicaranya mengesankan ia telah terbiasa menghadapi orang
lain, apa pun pekerjaannya. Gerak-geriknya tangkas meski badannya tidak
langsing. Kesan yang ditangkap May, Ina telah bekerja keras selama ini. Ia
mendekatkan wajahnya ke depan Ina, lalu membuka bibir dengan suara rendah.
“Aku ingin kau merampok kantor pegadaian,” Ina terhenyak. Batal
menghirup kopi kedua kalinya, tetapi ia bersikeras tampil datar.
“Pegadaian yang mana?” Ina bertanya seperti ular mendesis.
“Kota Angin di bawah sana,” jawab May datar namun yakin.
“Ada tujuan khusus?”
“Berlian ibuku ada di sana,” Ina terdiam. Memikirkan ruam mendadak di
kepalanya. “Delapan tahun lalu aku menggadaikan berlian itu. Warisan almarhumah
ibu. Tapi hingga kini aku tak mampu menebusnya. Maka yang kulakukan hanya
membayar bunga setiap bulan.”
“Sepanjang delapan tahun?” tanya Ina dengan mata melebar.
May mengangguk. “Selama delapan tahun aku bekerja membanting tulang
hanya untuk membayar hutang, sama sekali tak ada untuk menabung atau
bersenang-senang.”
“Pertanyaanku mungkin agak mendasar, mengapa kau menggadaikan berlian
warisan?”
“Tidak bisa kujawab.”
“Kalau begitu maaf, aku tidak bersedia melakukan pekerjaan ini.”
May menyedot kopi susunya. “Maaf, ini terlalu pribadi…”
Ina menatap May lurus-lurus, mendesah.
“Baiklah, aku permisi.” Ina berdiri, sekali lagi meneguk kopi hitamnya,
lalu merapikan jaket kumalnya, membuat May sedikit keder.
“Sebenarnya apa urusanmu bertanya ini-itu, pekerjaanmu adalah eksekusi
sesuatu, bayaran, lalu pergi.”
“Barangkali orang lain, ya. Aku tidak. Alasan bagiku sangat penting,
itulah yang mendasari keputusanku mengambil pekerjaan.”
“Duduklah. Kopimu belum habis.” Kalimat yang landai seperti dua sahabat
lama semestinya. Ina tersenyum tipis, kembali duduk. Kadangkala yang dibutuhkan
manusia hanya teman bicara, gumam Ina dalam hati.
“Kau sudah tahu dari wujud rumahku. Semua ini melambangkan aku.”
“Kau kesepian, sedikit mabuk, kehilangan cahaya, tak punya selera.”
“Ya. Tepat.” Mereka sama-sama mereguk kopi. Lalu saling pandang.
“Berlian itu kugadaikan untuk biaya pesta pernikahan.”
“Aku sudah menduga. Walaupun tidak mewah, pestamu cukup besar.”
“Harga yang harus kutebus untuk sebuah status; Istri.”
May tersenyum sinis.
“Seharusnya pihak keluarga mempelai pria turut berbagi biaya
pernikahan,” renung Ina di antara ruam kopi.
“Sekarang pernikahan ialah bisnis, tergantung siapa yang memiliki
kepentingan paling besar.”
“Dengan kata lain, suamimu tidak punya kepentingan?”
“Seharusnya ada, jauh lebih besar malah.”
“Lantas?”
“Pernikahan ini adalah untuk Ayahku. Judul yang tepat adalah, Menantu
Untuk Ayah. Bukan Suami Untuk May.”
“Aku menikah hanya butuh beberapa ratus ribu di KUA.”
“Apakah kamu lupa? Aku bungsu, dan satu-satunya anak perempuan dari tiga
bersaudara. Usiaku saat itu nyaris empat puluh.”
“Banyak jomblo akut zaman sekarang, mereka tidak gila sepertimu.”
“Pesta itu untuk ayahku yang merana sejak ibu berpulang. Lagi pula kupikir,
perkawinan akan mengubah ekonomi keluarga.”
Ina tertawa keras. Tawa itu menggema ke seluruh bangunan tua ini.
“Perkawinan adalah dua beban yang disatukan secara legal melalui lembaga
resmi pemerintah dan agama. Perkawinan sama sekali bukan taman firdaus tempat
kau mencari istana.”
Retorika singkat itu membungkam May sekali lagi.
“Untung kau belum punya anak.”
“Anak? Mana mungkin?”
“Maksudmu?” telisik Ina lebih dalam. May menghembuskan napas.
“Dia tak pernah meniduriku.”
Bibir Ina membentuk huruf O. Sengit matanya tak mampu mencerna kalimat
itu.
“Tak pernah bercinta? Haha! Absurd sekali kalian.”
“Ya, silakan tertawa. Inilah kami.”
“Menikah dengan modal menggadaikan berlian, tapi tak pernah bersetubuh?”
Ina mengerutkan kening. Ditatapnya wajah yang selalu tampil ceria dalam
acara-acara arisan, reuni, atau kumpul-kumpul lainnya. Wajah ceria yang
biasanya tak menampilkan masalah sama sekali. Tapi kali ini….
“Sudah kubilang, ini adalah mantu untuk ayah,” desaunya lirih.
“Lelaki macam apa yang tak pernah meniduri istrinya?”
“Lelaki yang tidak doyan perempuan.”
“Oh. My God.”
Ina benar-benar berjuang agar bola matanya tidak melompat keluar dari
kelopaknya. “Kamu tidak sedang membual kan?”
“Aku lelah.”
“Kenapa kalian tidak bercerai?”
“Ingat, dia menantu untuk ayah.”
Ina menatap dalam-dalam wajah May yang tampak putus asa. Berkabut.
“Kalau kau memang tak punya uang untuk menebusnya, ikhlaskan saja. Biarkan
pegadaian menjual asetmu. Kau bebas.”
“Masalahnya, sudah tiga kali aku didatangi ibu dalam mimpiku, menanyakan
perhiasan itu.”
“Jadi apa sebenarnya masalah di sini? Membayar hutang, menceraikan
suami, atau lari dari mimpi?”
“Pertama, ceraikan suamimu. Kau bebas masalah dan sakit hati.”
“Bagaimana dengan ayahku? Apa aku harus merusak masa tuanya dengan
berita perceraianku.”
“Ok, nomor dua, jual rumah ini, tebus berlian itu, bayar hutang lainnya,
kau beli rumah susun di pinggir kota.”
“Hei, tulisan di depan itu jelas. Ini rumah bersejarah! Kalau aku
menjual atau mengubah bentuk bangunan cagar budaya, harus seizin pemerintah
kota. Ada undang-undangnya.”
“Solusi ketiga, pinjam uang pada orang, tebus berlian itu, lalu jual
perhiasannya untuk membayar hutang yang tadi, beres semuanya.”
“Tidak. Itu bukan solusi, arwah ibu akan datang lagi.”
Ina menatap May gusar. Ia tak melihat celah barang secuil pun untuk
solusi. Sisa kopi hitam diteguknya, lalu kehampaan menjaga jarak keduanya
hingga berpuluh-puluh menit selanjutnya.
Ina melihat jam tua di dinding. Dengan hati-hati berkata, “Maaf. Aku
tidak punya solusi keempat atau kelima dan seterusnya. Permisi.”
Ina bangkit, mengancingkan jaket, meninggalkan May yang tampak kosong.
Ia menutup pintu dan menoleh sekali lagi pada nyonya rumah. Sebenarnya dia
cantik, hanya kurang piknik.
Dor…
Terdengar suara revolver meletus.
2017
.........................................
Wina Bojonegoro, lahir pada tanggal 10
Agustus. Pemilik Cerpenis, novelis, dan pegiat literasi ini karya-karyanya
sering menyambangi media-media nasional, terutama Jawa Pos. Eks pegawai PT
Telkom ini telah melahirkan 12 judul buku (tunggal dan keroyokan). Beberapa karya
tunggalnya adalah Episode Surat
Kejantanan (Kumcer, 2005), Korsakov (Kumcer,
2011), The Soul: Moonlight Sonata (Novel,
2011), The Soul; Fantasia (Novel,
2013), Mozaik Kota Kenangan (Kumcer,
2016), dll. Salah satu pendiri Komunitas Susastra Nusantara (KSN) ini mendapat Anugerah Sabda Budaya Brawijaya FIB
Univ. Brawijaya di tahun 2018. Pemilik Padma Tour Organizer ini sekarang
bermukim di Pasuruan.