oleh Anwar Saragih
“Saya tidak menulis
untuk kekuatan politik di Indonesia. Saya tidak masuk dalam geng sastrawan
manapun, tidak digerakkan siapapun. Saya independen”
Kalimat itu berulang kali saya dengar langsung, dari
novelis dan esais Okky Madasari pada pelbagai kesempatan. Padahal dengan segala
popularitas dan kemampuannya, Okky bisa saja dengan mudah bergabung dengan satu
kekuatan politik di Indonesia.
Mempromosikan satu politisi atau
partai politik tertentu lewat tulisan-tulisannya. Tapi Okky tidak melakukannya.
Justru belakangan ia mengikuti sebuah program beasiswa. Memilih melanjutkan sekolah dan kini
menjadi mahasiswa doktoral (S3) di National University of Singapore (NUS)
Singapura.
Perkenalan saya dengan karya-karya
Okky Madasari jauh sebelum saya mengenal pribadinya. Lewat novel “Pasung
Jiwa” saya mulai memahami isi kepalanya, yang ia tuangkan secara berani
lewat aliran sastra realis.
Okky berhasil menggambarkan kehidupan masyarakat dengan
segala persoalannya.
Ia menelusuri kisah hidup
orang-orang yang terjebak dalam diri mereka sendiri dan, atau mereka yang
mengalami diskriminasi agama, gender dan kemiskinan.
Okky adalah sedikit dari sastra
wangi (penulis sastra perempuan) yang berani berdiri tegak, diantara
ketegangan dan konflik yang hari-hari ini sering mentautkan isu agama di
Indonesia.
Keberpihakan Okky pada kelompok
masyarakat marjinal menjadi sesuatu yang melekat dalam diri dan karya-karyanya
dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir.
Selama itu pula, Ia telah
menjembatani banyak sikap dan pemikiran banyak orang yang tidak mampu
tersampaikan karena keterbatasan aksebilitas. Ia mewakili banyak suara-suara
yang hilang.
Okky memulainya dalam novel “Entrok”
yang diterbitkannya tahun 2010. Di novel pertamanya itu, narasi tidak
populer tentang masyarakat penghayat kepercayaan Jawa ia tuliskan secara
berani. Okky mendeskripsikan bagaimana persoalan yang dialami tokoh perempuan
bernama Marni ditengah partrialki yang kerap menempatkan posisi
perempuan dibawah laki-laki dalam kelas sosial masyarakat.
Di novel tersebut pula, Okky
mendobrak struktur sosial tentang bagaimana posisi perempuan yang dianggap
lemah dan kerap tersisihkan dalam kepentingan sosial masyarakat.
Kemudian, di novel
keduanya tahun 2011 berjudul “86”, Okky berkisah tentang betapa kacaunya
hukum di Indonesia. Berbekal pengalamannya sebagai seorang wartawan salah satu
media, Okky mengabstraksikan uang dan istilah “86” dalam penyelesaian
banyak kasus hukum di Indonesia melalui dari kasak-kusuk banyak
terdakwa, pengacara, hakim, dan panitera di pengadilan tinggi.
Kemudian, di novel
keduanya tahun 2011 berjudul “86”, Okky berkisah tentang betapa kacaunya
hukum di Indonesia. Berbekal pengalamannya sebagai seorang wartawan salah satu
media, Okky mengabstraksikan uang dan istilah “86” dalam penyelesaian
banyak kasus hukum di Indonesia melalui dari kasak-kusuk banyak
terdakwa, pengacara, hakim, dan panitera di pengadilan tinggi.
Pun lewat Maryam,
di tahun yang sama, nama Okky Madasari ditasbihkan sebagai pemenang Sastra
Khatulistiwa, yang juga pernah dimenangkan oleh sastrawan-sastrawan populer
Indonesia seperti ; Goenawan Mohamad (2001), Hamsad Rangkuti (2003), Sapardi
Djoko Damono (2004), hingga Seno Gumira Ajidarma (2005).
Pada novelnya yang
keempat tahun 2013 berjudul “Pasung Jiwa” Okky kembali menggugah hati
pembaca lewat sosok yang berjuang untuk memperoleh kebebasan sejati. Okky
menekankan bahwa di dunia ini tidak ada jiwa-jiwa yang bermasalah dan yang
bermasalah adalah hal-hal diluar jiwa seperti aturan, tatanan masyarakat dan
konstruksi keadilan.
Tak lupa, Okky juga menyelipkan
kisah Marsinah seorang buruh yang berjuang melawan ketidakadilan namun harus
membayar mahal perjuangannya dengan nyawanya sendiri. Novel ini secara jelas
berkisah tentang bagaimana kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan di Indonesia.
Selanjutnya, di tahun 2016, Okky
menerbitkan novel berjudul “Kerumunan Terakhir”. Pada novel ini, Okky
melakukan penyegaran pada pembacanya karena membahas masyarakat digital, media
sosial serta kritik terhadap UU ITE. Pun ia memaparkan keberadaan teknologi
dalam satu anomali, satu sisi tentang kebaikan dan sisi yang lain dampak buruk
yang ditimbulkan oleh era internetisasi.
Setahun sesudahnya,
di tahun 2017, Okky Madasari mengeluarkan buku kumpulan tulisan pergulatan
batinnya berjudul “Yang Bertahan dan Binasa Perlahaan”. Buku tersebut
terdiri dari beberapa tulisan tentang bagaimana pertarungan hidup, politik,
diskriminasi agama hingga fenomena buzzer politik di era internet. Meski buku
tersebut terdiri dari banyak tulisan, Okky tetap konsisten menyampaikan gagasan
dan pemikirannya tentang kemanusiaan.
Setelah tujuh tahun
menulis 5 novel dan 1 buku kumpulan esai. Di tahun 2018 dan 2019, Okky Madasari
menerbitkan Trilogi Novel Anak yaitu Mata dan Rahasia Pulau Gapi (2018),
Mata di Tanah Melus (2018) serta Mata dan Manusia Laut (2019).
Pada bacaan saya, alasan Okky
Madasari menulis cerita anak adalah upayanya dalam memutus panjangnya mata
rantai keringnya literasi tentang anak-anak.
Okky menulis ketiga novel ini dalam
bentuk cerita imajinatif dan menyesuaikan konten yang disesuaikan dengan
kapasitas pengetahuan yang mampu dicerna oleh otak anak-anak.
Keberanian Okky menulis novel anak
inipun layak diapresiasi karena ia secara gamblang mengambil posisi berbeda
dengan novel anak yang jamak kita temukan di toko-toko. Ia menulis cerita anak
berbasis kearifan lokal, berbanding terbalik dengan rentetan cerita di
toko-toko buku yang bercerita tentang kisah-kisah Nabi dalam satu cerita.
Ia menyampaikan kebaruan ilmu untuk
anak-anak, yang disampaikan lewat sejarah, sosiologi, geografi dan antropologi.
Satu pesan utama yang kita
perhatikan di novel-novel tersebut bercerita tentang Indonesia Timur, pun hal
ini merupakan komitmennya terhadap literasi di Indonesia.
Terakhir, pada bulan Desember 2019
yang lalu, Okky Madasari menerbitkan buku kesepuluhnya yang berjudul :
“Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan”.
Buku ini sekaligus menegaskan bahwa
Alumni Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (S1) ini bukan hanya
sekadar penulis fiksi, tapi juga menegaskan dirinya sebagai salah satu ilmuan
sastra.
Alasannya buku tersebut merupakan
karya ilmiahnya saat menyelesaikan studi Magister di Jurusan Sosiologi
Universitas Indonesia. Melalui argumen, teori dan metode penelitian yang kuat
Okky berhasil membongkar ontologi karya bergenre Islami, motivasi, dan percintaan.
Pun ia menjawab, kenapa karya-karya
tersebut mampu mendominasi khazanah literasi Indonesia hari ini karena kerap
menjadi best seller buku di Indonesia.
Perjalanan satu dekade berkarya
bukan hal yang mudah dijalani. Didalamnya ada konsistensi dan presisi dalam
menulis.
Pengukuran terhadap akurasi dan
nilai yang bisa diterima menjadi tantangan tersendiri, tidak hanya itu segala
kejenuhan dalam menulis harus cepat-cepat dipecahkan agar gagasan yang
disampaikan tidak berujung pada kebosanan.
Melalui idealismenya, Okky berhasil
menerbitkan 10 buku dan ratusan esai dengan gagasan pemikiran yang tidak banyak
orang bisa jalani karena sikap tidak populernya.
Okky adalah sedikit nama sastra
wangi yang tidak mudah terjerumus dalam godaan politik karena idealismenya.
Tiga kali pula saya bertemu
dengannya. Pertama, pada sebuah acara ASEAN Literary Festival
yang digelar di Kota Tua Jakarta pada Agustus 2017. Kedua, pada sebuah
angkringan di kawasan Blok M Jakarta Juni 2019.
Dan Ketiga, kala Okky menjadi saksi ahli untuk
gugatan Pers Suara Mahasiswa yang menggugat Rektor USU pada Oktober 2019 lalu.
Sebagai seorang pembaca dan penulis,
Ia banyak mempengaruhi banyak orang untuk berkarya di dunia literasi. Karyanya
sungguh menghidupkan.
Pun kini, karena terinspirasi
karyanya, ia telah banyak melahirkan penulis-penulis baru yang mulai berkiprah
di Indonesia. Selamat atas satu dekade berkaryanya, Mbak Okky.
Sumber: