Dipetik dari Serpihan Catatan Ayuhanafiq
Kekalahan Hindia Belanda atas serangan
Jepang menyebabkan kekosongan keluasaan. Orang Belanda yang menduduki jabatan
pemerintahan sipil dan militer lari dari tugasnya. Situsi itu dimanfaatkan oleh
penduduk untuk membalas perilaku para pejabat lama yang sempat menindas kala
Belanda berkuasa.
Kekejaman Jepang - Intisari Online |
Awal
Mei 1942, Lurah Maskub, kepala Desa Sawo Onder Diatrik Jetis Mojokerto
mengumpulkan para perangkat bawahannya. Dalam pertemuan itu dibahas rencana
menghabisi seorang pegawai onderan/kecamatan Jetis yang bertugas menarik pajak.
Pejabat itu dianggap menindas karena perilaku kasarnya saat menjalankan tugas.
Penarikan pajak di Desa Sawo memang agak seret karena masyarkatnya miskin.
Petugas itu pernah mengancam Lurah Maskub yang melindungi warganya.
Pada suatu hari, petugas pajak itu diminta
datang ke desa Sawo untuk menerima setoran pajak. Tetapi bukan uang pajak yang
didapatkan, justru nyawanya hilang di tangan Lurah Maskub dan perangkatnya.
Peristiwa pembunuhan itu sampai ke telinga tentara Jepang yang baru saja masuk
ke Mojokerto.
Dengan alasan menegakkan hukum, Jepang
kemudian mencari Lurah Maskub. Perangkat desa Sawo yang terlibat kemudian
ditangkap. Sedangkan Lurah Maskub berhasil melarikan diri dan bersembunyi. Dia
tidak mengira bila tindakannya diusut oleh penguasa baru. Semula Maskub memgira
bila pembunuhan antek Belanda akan dibiarkan tentara Jepang.
Pencarian terhadap Maskub tidak membuahkan
hasil. Jepang tidak kekurangan akal. Salah satu saudara Lurah Maskub yang
bekerja di PG Gempolkrep dipanggil. Padanya disampaikan ancaman, bila Maskub
tidak segera menyerahkan diri maka kelaurganya yang akan menanggung akibat
perbuatannya tersebut.
Sang pegawai pabrik gula itu kemudian
menemui Maskub di tempat persembunyiannya. Disampaikanlah ancaman tersebut
seraya meminta agar menyerahkan diri agar keluarganya selamat dari hukuman
Jepang. Tidak lama setelah pertemuan tersebut Lurah Maskub menyerahkan diri dan
dimasukkan tahanan di Rumah Tahanan Purwotengah.
Setelah terjadi peristiwa penjarahan
massal pada hari Jum'at legi, 8 Mei 1942, Jepang mengeluarkan perintah agar
barang jarahan diserahkan. Perintah bernomor 01 tertanggal 9 Mei 1942 itu juga
menyebutkan akan menangkap penjarah yang mengabaikan ultimatum. Beberapa orang
diketahui ditangkap karena tidak membawa barang hasil jarahannya. Karena
tindakan itu Lurah Maskub memilih menyerah agar keluarganya tidak menanggung
sengsara.
Tanggal 16 Mei 1942, penduduk Mojokerto
diperintahkan datang ke alun-alun. Pada saat itu di sebelah timur alun-alun di
depan kantor Landraad atau pengadilan telah berdiri beberapa orang hukuman,
diantaranya terdapat lurah Maskub dan 4 orang perangkat Desa Sawo. Kebanyakan
para terhukum itu didakwa bersalah karena melakukan penjarahn rumah dan toko
yang ditinggal lari pemilikknya.
Penduduk dihadirkan melihat eksekusi.
Sebelum hukuman dilakukan, salah seorang komandan tentara Jepang berpidato
dihadapan massa. Dikatakan bila pemerintah militer Jepang akan menegakkan hukum
dan menjatuhkan hukuman pada orang yang bersalah tidak mematuhi perintah. Para
terhukum yang akan dieksekusi adalah contoh bagaimana Jepang menjalankan
kekuasaannya.
Pada hari Senin itu kekejaman
dipertontonkan. Terdakwa itu dihukum tanpa ada proses pengadilan. Setalah
pidato selesai, peluru meluncur dari senapan prajurit yang sudah disiapkan.
Timah panas yang merenggut nyawa Lurah Maskub dan bawahannya diiringi jerit
kengerian penonton hukuman tembak mati.
Jenazah Maskub dan 4 Perangkat Desa Sawo
kemudian dibawa pulang oleh keluarganya. Mereka dikebumikan di makam desanya.
Meninggalnya korban eksekusi itu dijadikan contoh untuk menakuti penduduk agar
tidak berpikiran melawan.
---
oo0oo ---
Gedeg, 6 Pebruari 2018
Tentang Penulis
Ayuhanafiq
(Johan Nafiq) merupakan sejarawan yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai
Ketua KPUD Kabupaten Mojokerto (sejak 2010 – kini). Eks aktifis PMII Komisariat
Universitas Islam Mojokerto (UNIM) ini juga intens menulis catatan sejarah
Mojokerto, terutama di masa penjajahan Belanda dan Jepang, di masa revolusi kemerdekaan,
hingga masa awal berdirinya NKRI. Penulis buku Garis Depan
Pertempuran Laskar Hizbullah 1945-1950 (terbit 2013) ini bisa disambangi di Desa Gedeg, Kec.
Kemlagi, Kab. Mojokerto, dan disapa di https://web.facebook.com/ayyuhan.
Sumber: