Oleh Korrie Layun Rampan
Pada zaman Orde Baru pernah terjadi boom ekonomi bagi
pengarang, penulis, dan sastrawan Indonesia dalam Proyek Inpres. Waktu itu, pengarang diberi kebebasan menulis dan
menerbitkannya. Maraklah penerbit di semua provinsi dan lahir para pengarang
muda. Kondisi itu memberi efek berganda bagi para pengarang
dan penerbit. Para pengarang produktif—dan bermutu—yang karyanya dipesan dapat
membeli kebutuhan hidup sehari-hari, rumah, mobil, dan sebagainya karena pemerintah
memesan karya mereka dalam jumlah puluhan ribu eksemplar sehingga setiap tahun
para pengarang mendapat penghasilan ekstra.
Setelah bergulirnya otonomi daerah, sejumlah kebijakan
diserahkan ke daerah. Banyak daerah menganggap persoalan perbukuan kurang
penting. Yang penting adalah pembangunan infrastruktur, seperti jalan, gedung,
dan jembatan. Buku nanti dulu, yang penting anak-anak usia sekolah bisa melek
aksara.
Berpindahnya kebijakan pusat seiring otonomi daerah
membuat daerah harus memulai sesuatu yang baru, termasuk kebijakan mengenai
perbukuan. Saya pernah mendapat surat penolakan bantuan pusat mengenai masalah
perbukuan dari salah satu departemen bahwa kebijakan perbukuan itu ada di
daerah sebab Proyek Inpres yang sentralistik sudah ditiadakan.
Masuk masa sukar
Korrie Layun Rampan, Sastrawan, tinggal di Kaltim |
Pengarang produktif yang hanya menggantungkan hidup
dari penulisan buku dan artikel di media mengalami masa sukar dengan
berhentinya Proyek Inpres. Tak ada lagi harapan mendapat honorarium memadai
yang tak terduga. Bahkan, ada penerbit besar menyurati saya, tidak akan
menerbitkan naskah apabila estimasi penjualan tidak sampai sepuluh ribu
eksemplar setahun.
Menulis untuk media massa hasilnya kurang menentu
karena banyak pengarang menyerbu media massa, di samping honornya kecil.
Bahkan, ada koran dan majalah yang tidak memberi honor, terutama di daerah.
Pengalaman penulis, meski ini pengalaman personal,
dapat kiranya jadi renungan bersama. Selama dua tahun mendapat honor dua juta
rupiah dari dua buku di penerbit di Yogyakarta dan dari penerbit di Jawa Barat,
selama dua tahun, belum mendapat sepeser pun honor dari empat buku. Bahkan,
saya berutang sepuluh juta rupiah untuk biaya teman-teman menulis buku mulok
untuk penerbit itu.
Hal yang lebih parah adalah Penerbit Negara Balai
Pustaka yang sejak tahun 2001 sampai 2015 ini tidak membayar royalti buku-buku
saya yang jumlahnya 13 judul. Kalau saja setiap bulan ada lima ratus ribu dari
setiap judul buku saya di Balai Pustaka itu, dapat dihitung berapa besar
pendapatan yang saya terima setiap bulan sampai hari ini.
Memang ada puluhan penerbit yang tetap membayar
royalti sesuai SPP kepada saya; bahkan dahulu Balai Pustaka pun demikian.
Sebelum saya pindah ke Kalimantan Timur, 2001, setiap bulan royalti buku-buku
saya selalu ajek dibayar oleh Bagian Keuangan Balai Pustaka.
Entah mengapa, setelah saya tidak di Jakarta, honor
itu macet. Beberapa kali saya menyurati Balai Pustaka, tetapi tidak pernah
direspons. Bahkan, surat saya yang dikirim via Ibu Riny dan Pak Oyon Sofyan di
PDS HB Jassin pun tidak dijawab.
Kalau dibandingkan dengan para pengarang di luar
negeri (Eropa dan Amerika), seharusnya saya hidup mewah. Saya telah menulis 357
buku. Pernah menjadi anggota DPRD meski ke luar sebelum selesai masa jabatan
dan memimpin media massa di pusat dan daerah.
Setelah berhenti dari segala pekerjaan itu,
sayasepenuhnya hidup dari menulis. Akan tetapi, karena honor buku-buku saya
mengalami banyak kendala, saya hidup sangat sederhana. Terakhir ini saya
terbantu karena sejak 2013 sampai kini Pemerintah Daerah Kutai Barat menyubsidi
saya untuk menulis buku-buku berwarna lokal yang memuat kearifan lokal. Sampai
tahun ini (2015), telah selesai enam judul, di antaranya Kamus 5 Bahasa (yang
tebal) dan tahun 2016 siap beberapa judul lagi. Akan tetapi, bagaimana para sastrawan
di daerah lain? Apakah pemprov dan pemkab menyubsidi mereka?
Persoalan nasional
Ini persoalan nasional para pengarang dan sastrawan
Indonesia. Saya yang menulis ratusan buku mengalami kendala seperti itu,
bagaimana nasib yang baru menulis dua-tiga buku? Saya tidak tahu kondisi
ekonomi Gerson Poyk, Nh Dini, dan Hamsad Rangkuti, tiga nama yang sepenuhnya
hidup dari mengarang.
Saya berharap kepada penerbit, tolong bantu para
pengarang dengan laporan penjualan buku setiap enam bulan sesuai SPP dan janganlah
menelantarkan pengarang sampai lima belas tahun seperti yang saya alami.
Bagaimana bisa membangun bangsa kalau pembayaran royalti saja diulur
bertahun-tahun.
Dari mana pengarang membeli buku-buku referensi kalau
pengarang diperbodoh atas hasil karyanya? Bukankah perbuatan semacam itu dosa
dalam demokrasi ekonomi Pancasila?
------
*) Sastrawan, tinggal di Sendawar, Kutai Barat, Kaltim
SUMBER:
Kompas, 11 November 2015,
halaman 6