Oleh Edi Purwanto, Staff
Redaksi JelajahBudaya dot com
dan email: edhenk_malang at yahoo.co.id
SERAT CENTHINI - sumber gambar: www.jualbukuonline.blogspot.com |
Sastra Jawa sebagai khasanah
pemikiran yang berkembang, rupanya memiliki akar kekuatan dan khasanah yang
luas atas sejarah perkembangan Jawa. Keberadaan serat-serat Jawa kuno merupakan
representasi dari Jawa pada zaman itu. Sekaligus sebagai alat legitimasi untuk
pengukuhan identitas Jawa. Betapa tidak, hampir seluruh kejadian di Jawa pada
saat itu senantiasa diceritakan lewat karya sastra. Manifestasi cerita-cerita
itu berupa tembang, mantra, suluk dan lain sebagainya. Seperti kebanyakan
munculnya karya sastra yang lain, sastra Jawa timbul berawal dari adanya
ketimpangan. Akan tetapi tidak sedikit sastra Jawa yang muncul untuk memperkuat
sistem pemerintahan yang berkuasa pada saat itu.
Sastra dan Kekuasaan
Y.B. Mangunwijaya berpendapat
bahwa sastra bukanlah persoalan bahasa saja. Sastra selalu ada hubunganya
dengan religius. Sastra adalah intellectual
exercise, sebuah dunia pemikiran yang menyimpan nilai-nilai kebenaran. Akan
tetapi perlu kita sadari bersama bahwa sastra juga sebagai arena untuk
merepresentasikan kondisi sosial yang ada pada saat itu. Sastra juga tidak
lepas dari kondisi politik. Dengan memposisikan sastra seperti ini kita akan
mampu menganalisa tentang kuasa yang ada di balik sastra. Hal ini dikarenakan
setiap kerajaan yang berkuasa di Jawa senantiasa menuliskannya. Apapun yang
terjadi di istana kerajaan senantiasa dituliskannya. Namun jangan heran jika
tulisan yang dibuat istana ini bias kekuasaan.
Kekuasaan seperti yang di
ungkapkan oleh Michael Foucault dalam Power
of Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, (1972-1977). Buku ini
menjelaskan bahwa, kekuasaan itu tidak melulu pada posisi subyek penguasa.
Kekuasaaan itu menyebar melewati diskursif. Untuk mengendalikan kekuasaan, manusia
harus bisa menguasai pengetahuan. Karena pengetahuan itu tidak lain adalah cara
untuk menguasai orang lain. Foucault memaknai kekuasaan tidak seperti Antonio
Gramsci. Gramsci memahami bahwa kekuasaan itu ada pada subyek penguasa. Kalau
memang begitu pemahaman Gramsci, maka kekuasaan tidak dikendalikan oleh
pengetahuan sebagaimana di ungkapkan oleh Foucault. Akan tetapi kekuasaan itu
dikondisikan dan dikendalikan melaui hegemoni. Rupanya di Jawa kekuasaan
berjalan dengan menggunakan dua frame ini, yaitu hegemoni dan diskursif.
Pada pemerintahan Sultan
Agung misalnya, setelah ia berhasil mematahkan kesultanan pesisiran yang
mendapatkan dukungan dari pesantren, maka dia mulai menyadari untuk menetapkan
strategi budaya untuk menghubungkan dua kebudayaan yaitu Islam dan Jawa.
Strategi untuk membaurkan Islam dengan budaya Jawa dimulainya dengan mengganti
tahun Saka berdasarkan perjalanan matahari, menjadi perhitungan Jawa
berdasarkan bulan. Setelah itu disesaikan dengan perhitungan Hijriyah. Mingguan
Hijriyah yang terdiri dari tujuh hari diintegrasikan dengan mingguan Jawa yang
terdiri dari 5 hari. Senin Wage Selasa Kliwon, Rabo Paing dan seterusnya.
Demikian bulan bulan Jawa disesuaikan dengan bulan-bulan Hijriyah. Misalnya
Mulud, Rejeb, Ruwah, Poso dan seterusnya.
Strategi yang dilakukan oleh
Sultan Agung ini rupanya memberikan angin segar kepada sastrawan kejawen untuk
menekuni pokok-pokok ajaran Islam. Hal ini sengaja dilakukan oleh para
sastrawan guna mengembangkan khasanah sastra Jawa. Dari persinggungan para
sastrawan kejawen dengan Islam, munculah beberapa sastra yang lebih berbau
percampuran antara Islam dan Jawa. Di antara kitab itu adalah Suluk Quthub,
Suluk Sukma Lelana, Suluk She Amongraga, dan lain-lain. Selain itu, pada
saat-saat itu muncul beberapa cerita yang berbentuk babad. Seperti Babad Demak,
Babad Tanah Jawa, Babad Tapel Adam, dan lain-lainnya. Tulisan-tulisan itu
berbentuk prosa (gancar) ataupun puisi (macapat).
Kalau kita melihat yang
dilakukan oleh Sultan Agung, memelihara sastra hanyalah sebuah siasat untuk
mempertahankan posisinya sebagai raja. Strategi pengembangan sastra yang
diberlakukan pada saat itu tidak lepas dari hegemoni Sultan Agung kepada para
sastrawan Jawa. Rupanya para sastrawan Jawa tidak bisa melepaskan hegemoni yang
dilakukan oleh Sultan Agung. Maka dari itu, untuk mempertahankan kekuasaan dan
kehormatan raja, para pujangga mengubah sastra Jawa kuno dengan dibumbui oleh
beberapa pemikiran sufi. Hal ini dilakukan agar karyanya bisa diterima oleh
masyarakat pesantren ataupun masyarakat kejawen. Selain itu yang lebih penting
adalah menyelamatkan posisi raja dari citra buruk di hadapan masyarakatnya.
Serat Centhini merupakan salah satu hasil gubahan yang dilakukan oleh pujanggga
sastra Jawa.
Serat Centhini
Serat Centhini adalah puncak
karya sastra tulis Jawa klasik karya Raja Keraton Surakarta Hadiningrat, Paku
Buwono V tatkala menjadi putra mahkota pada 1814. Sedangkan Centhini, yang
berperawakan ramping, adalah seorang gadis pembantu rumah tangga suami-istri,
Jayengresmi alias Amongraga dan Tembanglaras. Serat Centhini ditulis
menggunakan tembang macapat. Secara garis besar, serat ini menceritakan
pengembaraan Jayengresmi menyusuri pulau Jawa dari Blambangan ke Banten hingga
kembali menuju Mataram. Jayengresmi adalah salah seorang putra Sunan Giri III.
(Denys Lombard, 2005: 155)
Serat Centhini nama resminya
adalah Suluk Tembangraras. Serat ini digubah pada sekitar 1815 oleh tiga orang
pujangga istana Kraton Surakarta, yaitu Yasadipura 11, Ranggasutrasna, dan R.
Ng. Sastradipura (Haji Ahmad Ilhar) atas perintah K.G.P.A.A. Amengkunegara II
atau Sinuhun Paku Buwana V. Isinya beragam, mulai dari bab agama Islam, ilmu
lahir batin, gending, tari, hari buruk dan baik, tembang, sampai masakan Jawa.
Bahkan soal keris, kerawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian,
primbon atau horoskop, soal makanan dan minuman, adat istiadat, kuda,
kesaktian, hingga ke soal hubungan intim suami-istri yang paling rahasia pun
terangkum di sana.(Ulil Absor, 2000)
Dalam catatan analisa Denys
Lombard pada tahun (1996), Serat Centhini terdiri dari 722 pupuh panjangnya,
dan terdiri dari 12 bagian besar. Setiap pupuh terdiri dari baris-baris yang
jumlahnya tidak tetap, yaitu antara 20-70 buah. Semuanya disusun menurut
tembang tertentu. Tergantung tembang tertentu, bait bisa terdiri dari 4 sampai
9 larik. Setiap larik mengandung sejumlah kaki mantra dan rima tertentu. Bisa
kita hitung jika setiap pupuh rata-rata ada 40 bait dan setiap bait terdiri
dari 7 larik, maka diperoleh 200.000 lebih. ( Lombard , 2005: 150) Sebagaimana
tercermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis dengan ambisi sebagai
database pengetahuan Jawa.
Serat Centhini adalah
cerminan dari negosiasi antara Islam dan Jawa. Dimana Islam tidak dianggap lagi
sebagai budaya yang agung keberadaannya. Dalam surat Centhini, Islam dibaca
sebagai sebuah kebudayaan yang sudah bercampur baur dengan kebudayaan Jawa.
Islam tidak lagi tampil sebagai “teks besarâ€
yang “membentuk†kembali kebudayaan setempat sesuai dengan kanon
ortodokasi yang standar.
Islam justru difahami dengan mengkontekstualisas ikan dengan budaya setempat.
Hal ini nampak sekali dalam serat Centhini. Seolah antara Islam dan Jawa adalah
satu kesatuan yang yang bisa terpisahkan lagi. Serat Centhini bisa kita anggap
sebagai cerminan dari suatu periode di mana hubungan antara Islam dan keJawaan
masih berlangsung dalam watak yang saling mengakomodasikan, dan tidak terjadi
kontestasi antara keduanya.
Berbeda dengan sebelumnya,
kebanyakan orang menganggap bahwa Islam dan Jawa berupakan 2 entitas yang
berbeda dan tidak bisa dipadukan. Kiranya serat Centhini ini memberikan
gambaran betapa pertemuan antara keduanya sangat mungkin terjadi. Sehingga
terjadi pertukaran kebudayaan. Dimana budaya Jawa mengisi kekurangan tradisi
Islam, demikian juga sebaliknya. Sastra Jawa kiranya mengalami pengislaman
secara alamiah sehingga keduanya bisa hidup berdampingan dalam pengembangan
sastra di Indonesia .
Peminggiran Sastra
Keberhasilan serat Centhini
dalam mendiskripsikan dan mengkawinkan dua kebudayaan, bukan tanpa masalah.
Keberadaan Centhini lebih lanjut dianggap sebagai canon pertemuan antara Islam
dan Jawa. Kondisi seperti ini bukan tidak ada pertentangan dari para sastrawan
Jawa. Serat Darmogandhul misalnya, serat ini ditulis oleh orang tidak di kenal.
Penulis serat itu menamai dirinya sebagai Ki Kalam Wadi. Darmogandhul merupakan
sastra Jawa yang bercerita lain tentang keberadaan Islam dan Jawa. Bisa
dikatakan bahwa Darmogandhul merupakan serat yang di tulis untuk melakukan
perlawanan atas masuknya Islam dan Jawa.
Dalam serat Darmogandhul
paling tidak kita bias melihat secara garis besar sebagai berikut. Pertama,
Islam masuk di Jawa Bukan dengan cara yang baik-baik. Kedatangan Islam di Jawa
juga menghabisi seluruh tinggalan-tinggalan kebudayaan Jawa. Kedua, kebudayaan
Jawa kalau tidak bisa dihilangkan dilabeli dengan Islam. Ketiga, Islam hendak
mengganti kebudayaan Jawa dengan kebudayaan bangsa Arab. Selain Darmondhul ada
beberapa serat yang sengaja dituliskan untuk menelanjangi masuknya Islam di Idonesia.
Diantaranya adalah Gatholocho, Serat Cebolek, dan lain sebagainya.
Setelah Majapahit runtuh,
serat-serat ini sempat membuat beberapa wali dan dan para punggawa Islam gerah.
Meraka berusaha menutupi citra masuknya Islam dengan cara membuat mitos-mitos.
Salah satu mitosnya adalah Islam dating dengan cara damai, lewat perdagangan,
perningkahan dan lain sebagainya. Ini adalah mitos-mitos yang sengaja dibuat
oleh para wali. Mitos ini sengaja direproduksi terus menerus sambil mencari
fakta-fakta yang mendukung mitos itu.
Serat-serat ini ditulis jauh
sebelum Centhini dituliskan. Diskursif isi serat ini rupanya semakin tergilas
oleh adanya serat-serat yang berbau Islam. Nah, Posisi Centhini ini bisa
dianggap sebagai kemengangan Islam untuk menyingkirkan sastra-sastra perecok
itu. Kiranya serat seperti Centhini ini adalah impian dari para pemuka Islam.
Pengislaman karya sastra
Jawa, saya kira tidak hanya sebagai pertemuan dan negosiasi antara Jawa dan
Islam. Sebagaimana di tulis Ulil Absor dalam Bentara Budaya tahun 2000.
Pengislaman Sastra Jawa juga merupakan strategi ulama’ Jawa untuk
menyingkirkan sastra-sastra Jawa perecok. Dengan semakin menjamurnya sastra
Jawa yang kental dengan tasawuf seperti serat Wedatama, serat Wirid Jati dan
lain sebagainya, maka serat Darmogandhul meminggir Gatholoco semakin minggir
dari pentas sastra Jawa. Inilah yang saya katakana sebagai politik kebudayaan.
Kebudayaan tinggi senantiasa
meminggirkan kebudayaan pinggiran. Sebagai budaya yang dipinggirkan, maka
keberadaannya senantiasa dimampatkan. Selain itu dalam ruang publik kebudayaan
pinggiran tidak memiliki ruang. Stigma yang muncul dari budaya tinggi terhadap
budaya pinggiran adalah kerdil, jorok, sesat dan banyak lagi yang lainnya.
Sebagai bangsa yang berbudaya, sampai kapan pemahaman kita terbelah dalam
oposisi biner ini?
------
Sumber : www.geocities.ws