Cover KORBAN BERITA PAGI |
Adapun ekspresi aneh dari beberapa teman laki-laki di bangku paling ujung pun
seolah semakin mendramatisir suasana. Silih berganti pertanyaan kita didengar
tapi tanpa sudi lagi mereka jelaskan sebabnya
.
Oh... ada
lagi diriku yang tengah gagal fokus mengerjakan tugas yang diberikan,
menjadi bertambah heran manakala teman sebangkuku menghentakkan tangannya persis di samping kaca
matanya yang tergeletak.
Lirih suara ini mencoba berbisik untuk menanyakan
apa yang sedang terjadi, namun sayangnya teman sebangkuku sama tak menjawab. 5
menit kubiarkan dia yang membisu untuk menenangkan dirinya terlebih dulu. Biar
sepasang mata ini kembali ke halaman 24 untuk menyelesaikan soal-soal pilihan
ganda yang cukup banyak.
^^^^^
“Siapa yang mengadukan tadi?” bentak Pampam.
“Aku, aku yang bilang ke ibu Indri. Kenapa?!”
balas Faiza dengan nada yang tak kalah tinggi mengejutkan jantungku yang
merasakan betul getar emosinya.
“Bisa-bisanya jadi anak suka mengadu,”
imbuh Ozy.
“Kalian pikir,
kelakuan kalian ini benar gitu? Dan aku harus berbodoh diri melihat semua
kehebatan kalian yang semakin lama semakin nyata.”
Faiza seolah mengucapkan kekecewaannya bukan hanya
di bibir, sebab air mata yang membanjiri permukaan bola matanya itu membuatku
terbawa sakitnya.
Tak lama setelah Faiza diam, sorakan penuh ledek
mengisyaratkan bahwa mereka benar-benar kesal terhadap Faiza alias teman
sebangkuku.
“Entah LKS milik siapa, jelasnya LKS satu mereka
nilaikan berulang-ulang.” Kata Faiza.
“Seakan mereka meremehkan ibu Yussa dan lagian sudah
ke sekian kalinya Anto itu mengejek aku terus-terusan.
“Ah... aku tidak peduli, mau tidak punya temanlah
atau apalah yang pasti mereka sudah keterlaluan terutama dia yang bernama Anto,”
ucap Faiza.
Dan diriku hanya bisa mendengarkan semua hal yang
mungkin menyesakkan dadanya.
Sesekali kutepuk punggungnya, berharap Faiza lekas meredam amarahnya.
^^^
5 menitan di kantin, tak
kutemui Faiza menyusulku. Karena
sudah telanjur pesan, biar diriku cepat-cepat mencari tempat di sisi
teman-teman kelasXI-MIA1 untuk segera menikmati soto
ayam yang dari aromanya saja menggoda lidah.
“Ayo, makan dulu ya!” ajakku sambil menuang sedikit
sambal.
“Hari ini kamu tidak diberi makan sama ibumu pasti
ya?” tanya Alia.
“Hahaha...” kutertawa.
Aku membaca ada niatan Alia untuk menyinggungku yang
biasanya susah diajak ke kantin.
Ya, beginilah untungnya kalau ikut ke kantin
bareng-bareng rasanya antara kita sekelas dapat menjalin hubungan jauh lebih
erat. Meski harus jadi korban hinaan,
tapi semata itu hanyalah salam pembuka untuk mengawali percakapan. Namun
dukanya, saat tragedi gosip-menggosip mulai mengasah bakat terpendam yang ada
malah Faiza jadi bintangnya.
Oke,
mungkin itu wajar, lantaran sebagian
besar dari kita mungkin masih bingung dengan apa yang terjadi di kelas tadinya.
Jangankan mereka yang duduknya berjauhan, diriku yang berdekatan saja tak habis
pikir atas tindak Faiza.
“Gini ceritanya yang aku tahu, tadi itu Anto lihat
Faiza lagi baca buku belajar bahasa Korea lalu tahukan apa kebiasaan Anto? Dia
ejek Faiza yang katanya tidak pentinglah, menghayallah, mau jualan celana di
Korealah dan apalah sampai akhirnya Faiza terpancing. Kebetulan diwaktu Faiza
akan membalas Anto dengan aksinya, mata Faiza melihat kalau Ando dan
kawan-kawan itu belum mengerjakan LKS bahkan berbuat curang tadi, ” panjang Defi menceritakan ulang
kronologi yang Ia saksikan.
Seusai mereka di sekelilingku itu mengerti
masalahnya, mereka pada mengambil kesimpulanmasing-masing. Ada yang bilang
memang dasar Faiza berlebihan, ada yang bilang terlalu idealis, ada yang bilang
kurang kerjaan, ada yang bilang kurang solid, ada yang bilang lain-lain sudah
telingaku enggan mendengar suara mereka yang beraneka rasa.Semenjak itu
sepanjang jalan menuju kelas, ada himbauan untuk jujur seolah menjadi bahasa
gaul yang mendadak jadi bahan candaan.
^^^
Lain hari, lain sudah ceritanya. Dan ceritanya bukan sembarang cerita,
meski tokohnya masih sama.
“Ya Allah, andai aku pandai menulis mungkin cerita
ini tidak akan terhenti hanya disini.”
“Iya, diasah dulu saja. Siapa tahu nanti jadi best
seller dan aku dapat traktiran lagi dari kamu bukan?”Begitu kuingat keluh
kesahku yang saat itu juga ditanggapi oleh Bagas dengan gaya humornya.
“Minggir, jangan resek kamu!” kataku sambil
mendorong meja.
“Mau kemana?” dan aku
membiarkan tanya Bagas itu membeku di dalam kelas, sementara kakiku bergegas
menuju depan ruang BK untuk menunggu Faiza yang sedang disidang.
Ya, baru saja Faiza terlibat pertikaian dengan
beberapa anak di kelas. Entah siapa yang memulai tragedi itu aku pun tak
menyaksikan kondisi yang sebenarnya. Selain hanya mendengar suarateman-teman yang
mengatakan kalau Faiza-lah yang membuat Dino bercucuran darah.
Oh... Bila minggu lalu, Faiza sempat menceritakan
kemenangannya di Pekan Olahraga tingkat Kabupaten di bidang taekwondo yang
memang jadi talentanya itu turut membuatku bangga, tapi bukan berarti Faiza boleh memamerkan talentanya itu
dengan cara demikian. Apalagi selama ini aku mengenal Faiza sebagai anak yang
paling benci dengan anak yang suka mengandalkan fisik bukan otaknya.
“Terus apa motif Faiza??”Aku menarik napas dalam-dalam.
^^^
Meski mulanya aku percaya dengan Faiza yang mengaku
atas kecelakaan tersebut bukan semata karena dia membenci Dino, melainkan
Dinolah yang telah melecehkan Faiza dengan kata-kata jorok yang menyangkut sisi
kewanitaan pada tubuhnya.
“Ada kala aku diam mengalah, tapi ada kalanya aku
harus bisa membela diriku sendiri.” Faiza bertutur.
Bila Faiza diibaratkan barang, dia adalah barang
tambang yang langka dan mungkin juga susah diperbaharui. Harusnya
aku bangga memiliki teman seperti Faiza, namun sayangnya aku tak bisa
membedakan mana yang baik dan mana yang pura-pura baik.
Perilaku teman-teman kita saat itu semakin hari
semakin menunjukkan
ketidaksukaannya pada Faiza atau juga kepadaku. Mungkin karena hanya aku yang
masih betah ada di sebelah Faiza, jadi
aku dianggap oleh mereka sama tidak asyiknya. Sehingga aku pun jadi
merasa dijauhi teman-teman yang lain.
Sempat aku mengajak Faiza untuk bersikap wajar, selayaknya
mereka pada umumnya.Tetapi yang ada Faiza justru mengatakan aku tidak kuat
iman. Tapi entah siapa yang benar dalam hal
itu aku tak tahu. Pada akhirnya aku pun terseret arus
untuk meninggalkan persahabatan dengan Faiza.
Sejak itu aku mulai berani menyontek sebagaimana peluang itu ada. Aku
sering merasa hebat karena tiap kali ulangan tulis, nilai Fisikaku juga selalu
di atas KKM. Terlebih saat tiba kenaikan kelas peringkatku pun jauh lebih
tinggi dari Faiza.Itu artinya aku tidak salah dalam memilih teman.
Dari kelas X sampai tahun terakhir, aku ternyata
masih sekelas dengan Faiza. Sikap Faiza yang tak pernah ada jera, pada akhirnya
membuat dia mendapat nun terendah pasca
pengumuman kelulusan itu tiba dan menandakan bahwa perpisahan akan terjadi
akhirnya.
“Selamat tinggal seragam putih abu-abu, selamat
merindukan kegilaan bersama yang telah terjalin selama satu hingga tiga tahun
terakhir.”
Curahan kami yang saling berpelukan satu sama lain,
namun tetap terkecuali Faiza yang saat itu kulihat sedang kesepian dipangku
hijaunya rumput taman.
^^^
Tapi semua cerita yang kuingat ini ternyata tak
semanis yang kubayangkan. Dulu aku boleh berlenggak diri dan merasa yakin bahwa
apa yang kuperoleh di SMA akan membawa aku pada nasib yang mujur. Sebagaimana
Polwan adalah cita-citaku.
“Tetapi apa hasilnya?” jangankan
untuk berseragam polisi, sekadar tes
fisik saja aku sudah tidak memenuhi kriteria. Hingga terpaksa aku pun
memutuskan untuk kuliah. Tetapi sedihnya bertambah ketika kabar penerimaan
mahasiswa baru itu diumumkan, namaku ternyata tak ada dalam daftar.
Jadilah aku kini duduk di bangku perguruan tinggi swasta.
Dan rasa kecewa yang dalam kian menguras gairah belajarku,, sehingga membuatku
ketinggalan dari jadwal yang
semestinya.
Lima tahun sudah aku disana, tapi gelar S1 itu masih
jadi beban tanggungan. Dan hanya
mengandalkan ijazah SMA, aku
mencoba meletakkan surat lamaran
ke beberapa industri pangan. Tapi
sampai kini tak kunjung ada panggilan. Membuat aku depresi
luar biasa dan menjadikan media sosial sebagai
pelarian.Setiap hari aku tak terlewatkan untuk mengunggah status dengan
rangkaian kata penuh sesal.
Sesekali sesaknya dada mendadak kambuh menyiksa,
ketika Faiza memperbarui foto profilnya.
Faiza yang dulu hanya sebentar jadi sahabatku, kini
dia kulihat bersahabat dengan para tokoh-tokoh yang terhormat di negeri
Indonesiaku. Faiza yang dulu selalu remidi di setiap
mata perlajaran yang bersifat hitungan itu kini telah berkali-kali
terbang ke luar negeri untuk menjalankan tugasnya. Faiza
yang dulu tidak disukai anak-anak seangkatan MIA, kini ratusan jempol menghiasi
akun facebook-nya.
Ternyata inikah jalan hidup yang dimaksudkan Faiza,
saat aku masih bersahabat baik dengannya.Saat Faiza membisikkan bahwa kejujuran itu tidak mungkin
membawa petaka, sekalipun terkadang pahit rasanya. Karena
alam akan bersaksi atas kuasa-Nya. Kuasa Allah Yang Maha Melihat lagi Maha Adil
pula.□
PROFIL PENULIS
Pungky Wardhani, lahir
di Mojokerto, 31 Oktober 1993. Pendidikannya dimulai tahun 1998 di TK Tunas
Harapan, lalu lanjut ke SDN Wates Umpak II tahun 2000 hingga tahun 2006. Sejak
tahun 2006, Pungky menyandang difabel netra, namun kekurangan itu tak
menyurutkan semangatnya untuk terus belajar dan berkarya. Pada tahun 2010 ia
masuk jenjang sekolah menengah pertama di Pendidikan Khusus Negeri Seduri
hingga tahun 2013. Tak berhenti sampai disitu, Pungky kemudian melanjutkan ke
SMA Negeri 1 Puri Mojokerto tahun 2013 s.d. 2016. Saat di bangku SMA, Pungky
pernah memperoleh penghargaan sebagai pemenang harapan dalam lomba Baca Puisi
Tingkat SMA seKabupaten Mojokerto yang diadakan Kantor Perpustakaan, Arsip, dan
Dokumentasi Kabupaten Mojokerto. Anak kedua dari tiga bersaudara ini tinggal di
Dsn. Wringin Lawang Ds. Jatipasar RT 03 RW 02 Kec. Trowulan Kab. Mojokerto
(61362). Buku Kumpulan Cerita Korban Berita Pagi adalah manifestasi hobi
menulisnya yang begitu kental ia tekuni. Pungky memiliki motto "Ucapan dan
perbuatan adalah aplikasi dari sebuah doa". dengan motto hidup itulah ia terus
belajar dan berkarya. Saat ini ia sedang menempuh bangku perkuliahan di
Universitas Brawijaya.
Sumber: