Lebih Dalam
Dengan Diksi Perempuan
; Sebuah Epilog
Oleh Anjrah
Lelono Broto *)
Bagi
para penyair,
“pembatasan-pembatasan” yang seksis, khususnya yang ditimpakan pada penyair
perempuan oleh para kritikus sastra, tentunya tidak perlu memengaruhi proses
kreatif. Karena, jika seorang penyair terpaksa mengikuti pembatasan-pembatasan
itu, ia sudah tidak jujur lagi dalam berkarya.
(Ganjar “Hwia”
Harimansyah, Widyariset Vol. 14 No. 1, 2011)
Judul : Sehimpun Puisi Tarian Jiwa
Penulis : Niken Haidar
ISBN : 978-602-51337-2-5
Dimensi: 14cm x 20cm; xvi+108 halaman
Penerbit: Penerbit Temalitera
|
Diksi merupakan unsur leksikal dalam gaya
bahasa (Nurgiyantoro, 2010:290). Diksi
mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja
dipilih oleh pengarang. Mengingat karya sastra adalah dunia kata, komunikasi
dilakukan dan ditafsirkan lewat kata-kata. Pemilihan kata-kata tersebut
tentunya melewati pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk memperoleh efek
ketepatan dan efek keindahan. Efek itu sendiri secara sederhana dapat dipertimbangkan
dari segi bentuk dan makna untuk mendukung estetis karya sastra yang
bersangkutan, mampu mengkomunikasikan makna, pesan, dan mampu mengungkapkan gagasan
yang dimaksudkan oleh pengarang. Pemilihan kata dalam hal itu disebut dengan
diksi.
Mengingat bahwa karya sastra adalah dunia
dalam kata, komunikasi dilakukan dan ditafsirkan lewat kata-kata. Pemilihan
kata-kata tentunya melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk mendapatkan
efek yang dikehendaki (ibid). Menurut
Pradopo (2010:54), penyair memilih kata yang setepat-tepatnya untuk mencurahkan
perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami
batinnya dan mengekspresikannya dengan ekspresi yang dapat menjelmakan jiwanya
tersebut. Diksi digunakan oleh pengarang untuk menuangkan gagasannya kepada
orang lain agar tidak terjadi salah tafsir dan merasakan apa yang
pengarang rasakan. Kata-kata yang telah dipergunakan oleh pengarang dalam menciptakan
puisi disebut kata berjiwa (Mulyana 1956:4).
Kata-kata yang dipilih penyair dalam puisi-puisinya
pada buku “Tarian Jiwa” ini yang
mengajak menari jiwa-jiwa pembacanya dengan sapaan halus dan uluran tangan yang
berjiwa. Ajakan tersebut mengalir dengan gaya tulisan yang khas bermuara dari
seorang perempuan. Sebagai perempuan yang kemudian menulis puisi, sebagai
perempuan penyair, seorang Niken Haidar melalui buku ini menebalkan kembali
polemik lawas di kesusastraan mutakhir tanah air pada akhir 70-an tentang keberbedaan
diksi penyair perempuan dan penyair laki-laki.
Stilistika
Perempuan Berpuisi
Pada tahun 1975, Robin Lakoff (seorang
sosiolinguis terkemuka) menulis buku “Language
and Woman’s Place” yang kemudian menjadi buku pelarap (best seller) di kalangan ilmuwan bahasa. Di dalam buku tersebut,
Lakoff telah membuat kajian terhadap isu bahasa dan gender. Ia
menggambarkan bahwa bahasa laki-laki
lebih tegas, matang, dan suka berbicara terang-terangan. Namun sebaliknya, bahasa yang digunakan oleh perempuan
tidak matang, tidak tegas, tidak secara terang-terangan (menggunakan kata-kata
kiasan) dan berhati-hati ketika mengungkapkan sesuatu, serta kerap menggunakan kata-kata
yang lebih halus dan sopan. Di samping itu, menurut Lakoff, seorang perempuan
jika merasa kurang yakin terhadap suatu masalah, mereka akan mempersoalkan
kepada dirinya dan tidak mempunyai keyakinan terhadap diri mereka sendiri. Oleh
karena itu, banyak masalah-masalah yang menggelisahkan berakhir dengan tanda
tanya.
Harus diakui memang bahwa Bahasa Indonesia
sendiri memperlihatkan sejumlah diksi yang seksis. Para penyair Indonesia harus
berhadapan dengan bahasa Indonesia yang seperti
mengesankan
bahwa bangsa Indonesia mempunyai dikotomi dalam pilihan bahasa: ada bahasa milik
laki-laki dan ada bahasa milik perempuan. Pendapat seperti itu mungkin
mengherankan karena bahasa dan kesusastraan Indonesia tidak berjenis kelamin.
Namun, dalam praktiknya tersimpan banyak persoalan genderistik. Diksi-diksi untuk
adjektiva lembut, setia, seksi, atau racun dunia sangat lekat dengan
perempuan. Sementara adjektiva gagah,
jantan, agresif, rasional, kasar, atau pengkhianat
sangat lekat dengan laki-laki. Diksi-diksi untuk verba mencium, meraba,
membelai, atau memeluk dianggap tidak layak untuk perempuan, melainkan dicium,
diraba, dibelai, atau dipeluk. Realitas inilah yang pada akhirnya ikut mereproduksi berlakunya variasi
bahasa yang dianggap feminin dan maskulin
dalam dunia puisi Indonesia.
Puisi-puisi seorang Niken Haidar dalam
buku antologi puisi ini sebagian
besar memperlihatkan representasi
dari pendapat itu. Diksi-diksi yang
dipergunakan seorang Niken Haidar sebagian besar memperlihatkan ruang persepsi yang
terbatas. Istilah ruang persepsi ini diambil dari istilah Michael C. Haley yang
dikutip Abdul Wahab (1991:42) untuk memperlihatkan persepsi manusia yang
memengaruhi daya cipta bahasa pada kalangan penyair atau sastrawan dimulai dari
lingkungan yang terdekat sampai ke lingkungan yang terjauh dan berlangsung
secara hierarkis. Ruang persepsi itu ialah being,
cosmos, energy, substance, terrestrial, object, living, animate, dan human (manusia). Terbatasnya ruang persepsi itu terungkap salah
satunya dalam tema-tema yang diangkat wanita dalam puisinya. Ada semacam subordinasi
terhadap tema-tema mikrokosmos yang diangkat perempuan, dalam hal ini tema-tema
seputar “dunia dalam rumah’’ atau terbatas pada “kehidupan rumah tangga”.
Rupanya, tema-tema domestik itu
berpengaruh besar dalam kelahiran diksi-diksinya. Diksi yang digunakan berkisar
sekitar bunga, ibu, anak, perpisahan, sepi, kamar, langit, malam, lamunan, dan
sejenisnya. Mari kita baca kembali judul-judul puisi seorang Niken Haidar dalam
buku ini; Gadis dan Sebungkus Nasi, Bila
Lentik Jemari, Mentari dalam Dekapan, Sapu Lidi, Perempuan Merangkul Badai, Putri,
dll. Diksi yang dipergunakannya dalam penulisan judul-judul tersebut tidak
mengingkari keperempuanannya dalam berpuisi. Sekat dikotomis bahasa Indonesia
yang seksis ini diperkuat ketika seorang Niken Haidar bertutur tentang
laki-laki. Sajaknya yang berjudul Lelaki dalam
buku ini memperjelas stilistika penyair perempuan menggambarkan lawan jenisnya.
Diksi-diksi seperti hitam, tinju, dadu,
revolusi, maupun anjing, merepresentasikan
stilistika pendapat di atas.
Namun
seorang penyair tetaplah seorang penyair, di mana kepatuhan kepada stilistika
bahasa yang telanjur mengkodrat tak harus diterima begitu saja, di mana penyair
sebagai seniman memanggul tuntutan untuk senantiasa menghadirkan ke-avant garde-an dalam tiap tarikan
nafasnya dan dalam tiap kibasan sampur
proses kreatifnya. Selanjutnya, seorang Niken Haidar dalam penulisan puisinya
juga memperlebar ruang persepsinya sehingga tidak berkubang pada tema-tema
domestik yang berpengaruh pada diksi-diksi yang dipergunakannya. Dalam puisi Pak Tua, Cangkrukan, Gadis Bulu Pasar, Tarian
Jiwa, Trotoar Moker, Lela Ledung, Kutanyakan Padamu, Titik Nol, dan
beberapa lainnya, seorang Niken Haidar keluar dari kamar domestiknya sebagai
perempuan dengan menyentuh tema-tema sosial, budaya, ketuhanan, bahkan
kebangsaan. Radar kepekaannya dibuka lebar untuk menangkap fenomena apa saja di
sekitarnya hingga menasbihkan dirinya sebagai perempuan penyair yang menjadi
bagian dari masyarakat, berikut kompleksitas problematika yang menyertai.
Stilistika
Perempuan Berpuisi-Berbahasa Daerah
Ada dua puisi yang sedikit berbeda di buku
antologi puisi Tarian Jiwa karya
Niken Haidar ini, yaitu; Cangkrukan dan
Lela Ledung. Keberbedaan tersebut
hadir mengemuka dengan adanya diksi-diksi bahasa daerah (Jawa). Dalam puisi Cangkrukan, dari judul hingga diksi
terakhir puisi ini mempergunakan bahasa Jawa. Sedang dalam puisi Lela Ledung, diksi-diksi berbahasa Jawa
di dalamnya merupakan lirik folksong
(lelagon) yang dipetik dan
dipadu-padankan dengan diksi-diksi berbahasa Indonesia.
Niken Haidar, Penulis - Dok.pri |
Keberseluruhan penggunaan bahasa Jawa
dalam puisi Cangkrukan menunjukkan
bahwa puisi ini layak disebut sebagai geguritan
(puisi modern berbahasa Jawa). Dalam
ruang pandang saya pribadi, di Mojokerto saya baru menemukan (alm) ST
Iesmaniesita dan Ira Suyitno yang piawai dalam menulis geguritan. Dalam buku Wawasan
Sastra Jawa Modern karya Poer Adhi Prawoto, perempuan kelahiran Terusan
Mojokerto tersebut telah melahirkan 82 cerkak,
514 geguritan, dan beberapa esai
tentang kesusatraaan Jawa. Karya monumental Bu Is (panggilan akrab ST
Iesmaniesita) adalah Mawar-Mawar Ketiga (antologi
geguritan, 1996), Kidung Wengi Ing Gunung Gamping (antologi cerkak, 1958), dll. Sedangkan Ira Suyitno, yang notabene adalah
istri dari penyair gaek Suyitno Ethex, lebih dikenal dengan bukunya Dari Kharismamu, Daktemu Asmamu (antologi
geguritan, 2015). Dan, nampaknya
barisan perempuan penyair Mojokerto yang piawai menulis dengan mempergunakan
bahasa daerah harus ditambah lagi dengan sebuah nama; Niken Haidar.
Menurut
Sudjiman (1993:25), kata-kata dari bahasa daerah sering digunakan dalam
karya sastra yang berlatar tempat daerah yang bersangkutan atau tokohnya
berasal dari daerah tertentu. Pemilihan kata dari kosakata bahasa daerah yang
dipergunakan untuk menamai tokoh dapat mempertegas tokoh yang berasal dari
daerah tertentu atau mempertegas latar tempat. Dalam puisi Cangkrukan maupun puisi Lela
Ledung, bukan latar tempat dan penokohan di dalam cerita yang diperkuat
dengan kehadiran diksi-diksi berbahasa Jawa, melainkan kedirian penyair
sendiri. Dua puisi ini menjadi petanda eksistensi seorang Niken Haidar yang
memiliki latar tempat dan kedirian yang nJawani.
Sejatinya, saya juga berhasrat menulis
tentang tema-tema dunia tari yang dihadirkan dalam beberapa puisi di buku ini.
Namun, dengan takzim dan susah payah, hasrat tersebut saya redam. Biarlah, hal
itu menjadi objek apresiator lain yang juga membaca-mengkritisi buku antologi
puisi Tarian Jiwa ini.
Sebagai penutup, saya haturkan selamat
kepada seorang Niken Haidar, perempuan penyair Mojokerto yang tiada mengingkari
keperempuannya, ke-Jawa-annya, serta latar kecintaannya pada dunia tari, namun
mencoba senantiasa mengembangkan ruang persepsinya dalam puisi-puisinya. Semoga
tak ada gading yang tak retak, hingga tak ada sampur yang berhenti bergerak.
--- oo0oo ---
Mojokerto,
Januari 2017
Daftar Pustaka
Lakoff,
R. 1975. Language and Woman’s Place.
New York: Harper and Row, Publishern Inc.
Mulyana,
Slamet. 1956. Peristiwa Bahasa dan Sastra.
Jakarta: Granaco N.V
Nurgiyantoro,
Burhan. 2010 (Cet. ke-8). Teori
Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Pradopo,
Rahmat Djoko. 2010 (Cet. ke-11). Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Sudjiman,
Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika.
Jakarta: Grafiti.
Wahab,
A. 1991. Isu-Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya:
Airlangga University Press.
__________________________________________________
Info penting:
Buku ini bisa diorder dengan kontak Penerbit Temalitera; M. Asrori (HP/WA 085231586507)