Senin, 12 Februari 2018

Lebih Dalam Dengan Diksi Perempuan ; Epilog Buku "TARIAN JIWA" Karya Niken Haidar



Lebih Dalam Dengan Diksi Perempuan
; Sebuah Epilog
Oleh Anjrah Lelono Broto *)


     Bagi  para  penyair, “pembatasan-pembatasan” yang seksis, khususnya yang ditimpakan pada penyair perempuan oleh para kritikus sastra, tentunya tidak perlu memengaruhi proses kreatif. Karena, jika seorang penyair terpaksa mengikuti pembatasan-pembatasan itu, ia sudah tidak jujur lagi dalam berkarya.
(Ganjar “Hwia” Harimansyah, Widyariset Vol. 14 No. 1, 2011)

Judul      : Sehimpun Puisi Tarian Jiwa
Penulis  : Niken Haidar
ISBN      : 978-602-51337-2-5
Dimensi: 14cm x 20cm; xvi+108 halaman
Penerbit: Penerbit Temalitera
     Diksi merupakan unsur leksikal dalam gaya bahasa (Nurgiyantoro, 2010:290). Diksi  mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang. Mengingat karya sastra adalah dunia kata, komunikasi dilakukan dan ditafsirkan lewat kata-kata. Pemilihan kata-kata tersebut tentunya melewati pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk memperoleh efek ketepatan dan efek keindahan. Efek itu sendiri secara sederhana dapat dipertimbangkan dari segi bentuk dan makna untuk mendukung estetis karya sastra yang bersangkutan, mampu mengkomunikasikan makna, pesan, dan mampu mengungkapkan gagasan yang dimaksudkan oleh pengarang. Pemilihan kata dalam hal itu disebut dengan diksi.
    Mengingat bahwa karya sastra adalah dunia dalam kata, komunikasi dilakukan dan ditafsirkan lewat kata-kata. Pemilihan kata-kata tentunya melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk mendapatkan efek yang dikehendaki (ibid). Menurut Pradopo (2010:54), penyair memilih kata yang setepat-tepatnya untuk mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami batinnya dan mengekspresikannya dengan ekspresi yang dapat menjelmakan jiwanya tersebut. Diksi digunakan oleh pengarang untuk menuangkan gagasannya kepada orang  lain agar tidak  terjadi salah tafsir dan merasakan apa yang pengarang rasakan. Kata-kata yang telah dipergunakan oleh pengarang dalam menciptakan puisi disebut kata berjiwa (Mulyana 1956:4).
     Kata-kata yang dipilih penyair dalam puisi-puisinya pada buku “Tarian Jiwa” ini yang mengajak menari jiwa-jiwa pembacanya dengan sapaan halus dan uluran tangan yang berjiwa. Ajakan tersebut mengalir dengan gaya tulisan yang khas bermuara dari seorang perempuan. Sebagai perempuan yang kemudian menulis puisi, sebagai perempuan penyair, seorang Niken Haidar melalui buku ini menebalkan kembali polemik lawas di kesusastraan mutakhir tanah air pada akhir 70-an tentang keberbedaan diksi penyair perempuan dan penyair laki-laki.

Stilistika Perempuan Berpuisi
     Pada tahun 1975, Robin Lakoff (seorang sosiolinguis terkemuka) menulis buku “Language and Woman’s Place” yang kemudian menjadi buku pelarap (best seller) di kalangan ilmuwan bahasa. Di dalam buku tersebut, Lakoff telah membuat kajian terhadap isu bahasa dan gender. Ia menggambarkan  bahwa bahasa laki-laki lebih tegas, matang, dan suka berbicara terang-terangan. Namun  sebaliknya, bahasa yang digunakan oleh perempuan tidak matang, tidak tegas, tidak secara terang-terangan (menggunakan kata-kata kiasan) dan berhati-hati ketika mengungkapkan sesuatu, serta kerap menggunakan kata-kata yang lebih halus dan sopan. Di samping itu, menurut Lakoff, seorang perempuan jika merasa kurang yakin terhadap suatu masalah, mereka akan mempersoalkan kepada dirinya dan tidak mempunyai keyakinan terhadap diri mereka sendiri. Oleh karena itu, banyak masalah-masalah yang menggelisahkan berakhir dengan tanda tanya.
     Harus diakui memang bahwa Bahasa Indonesia sendiri memperlihatkan sejumlah diksi yang seksis. Para penyair Indonesia harus berhadapan dengan bahasa Indonesia yang seperti
mengesankan bahwa bangsa Indonesia mempunyai dikotomi dalam pilihan bahasa: ada bahasa milik laki-laki dan ada bahasa milik perempuan. Pendapat seperti itu mungkin mengherankan karena bahasa dan kesusastraan Indonesia tidak berjenis kelamin. Namun, dalam praktiknya tersimpan banyak persoalan genderistik. Diksi-diksi untuk adjektiva lembut, setia, seksi, atau racun dunia sangat lekat dengan perempuan. Sementara adjektiva gagah, jantan, agresif, rasional, kasar, atau pengkhianat sangat lekat dengan laki-laki. Diksi-diksi untuk verba mencium, meraba, membelai, atau memeluk dianggap tidak layak untuk perempuan, melainkan dicium, diraba, dibelai, atau dipeluk. Realitas inilah yang pada  akhirnya ikut mereproduksi berlakunya variasi bahasa yang dianggap feminin dan maskulin  dalam dunia puisi Indonesia.
     Puisi-puisi seorang Niken Haidar dalam buku antologi puisi ini sebagian  besar  memperlihatkan representasi dari pendapat itu. Diksi-diksi  yang dipergunakan seorang Niken Haidar sebagian besar memperlihatkan ruang persepsi yang terbatas. Istilah ruang persepsi ini diambil dari istilah Michael C. Haley yang dikutip Abdul Wahab (1991:42) untuk memperlihatkan persepsi manusia yang memengaruhi daya cipta bahasa pada kalangan penyair atau sastrawan dimulai dari lingkungan yang terdekat sampai ke lingkungan yang terjauh dan berlangsung secara hierarkis. Ruang persepsi itu ialah being, cosmos, energy, substance, terrestrial, object, living, animate, dan human (manusia). Terbatasnya ruang persepsi itu terungkap salah satunya dalam tema-tema yang diangkat wanita dalam puisinya. Ada semacam subordinasi terhadap tema-tema mikrokosmos yang diangkat perempuan, dalam hal ini tema-tema seputar “dunia dalam rumah’’ atau terbatas pada “kehidupan rumah tangga”.
     Rupanya, tema-tema domestik itu berpengaruh besar dalam kelahiran diksi-diksinya. Diksi yang digunakan berkisar sekitar bunga, ibu, anak, perpisahan, sepi, kamar, langit, malam, lamunan, dan sejenisnya. Mari kita baca kembali judul-judul puisi seorang Niken Haidar dalam buku ini; Gadis dan Sebungkus Nasi, Bila Lentik Jemari, Mentari dalam Dekapan, Sapu Lidi, Perempuan Merangkul Badai, Putri, dll. Diksi yang dipergunakannya dalam penulisan judul-judul tersebut tidak mengingkari keperempuanannya dalam berpuisi. Sekat dikotomis bahasa Indonesia yang seksis ini diperkuat ketika seorang Niken Haidar bertutur tentang laki-laki. Sajaknya yang berjudul Lelaki dalam buku ini memperjelas stilistika penyair perempuan menggambarkan lawan jenisnya. Diksi-diksi seperti hitam, tinju, dadu, revolusi, maupun anjing, merepresentasikan stilistika pendapat di atas.
     Namun seorang penyair tetaplah seorang penyair, di mana kepatuhan kepada stilistika bahasa yang telanjur mengkodrat tak harus diterima begitu saja, di mana penyair sebagai seniman memanggul tuntutan untuk senantiasa menghadirkan ke-avant garde-an dalam tiap tarikan nafasnya dan dalam tiap kibasan sampur proses kreatifnya. Selanjutnya, seorang Niken Haidar dalam penulisan puisinya juga memperlebar ruang persepsinya sehingga tidak berkubang pada tema-tema domestik yang berpengaruh pada diksi-diksi yang dipergunakannya. Dalam puisi Pak Tua, Cangkrukan, Gadis Bulu Pasar, Tarian Jiwa, Trotoar Moker, Lela Ledung, Kutanyakan Padamu, Titik Nol, dan beberapa lainnya, seorang Niken Haidar keluar dari kamar domestiknya sebagai perempuan dengan menyentuh tema-tema sosial, budaya, ketuhanan, bahkan kebangsaan. Radar kepekaannya dibuka lebar untuk menangkap fenomena apa saja di sekitarnya hingga menasbihkan dirinya sebagai perempuan penyair yang menjadi bagian dari masyarakat, berikut kompleksitas problematika yang menyertai.

Stilistika Perempuan Berpuisi-Berbahasa Daerah
     Ada dua puisi yang sedikit berbeda di buku antologi puisi Tarian Jiwa karya Niken Haidar ini, yaitu; Cangkrukan dan Lela Ledung. Keberbedaan tersebut hadir mengemuka dengan adanya diksi-diksi bahasa daerah (Jawa). Dalam puisi Cangkrukan, dari judul hingga diksi terakhir puisi ini mempergunakan bahasa Jawa. Sedang dalam puisi Lela Ledung, diksi-diksi berbahasa Jawa di dalamnya merupakan lirik folksong (lelagon) yang dipetik dan dipadu-padankan dengan diksi-diksi berbahasa Indonesia.
Niken Haidar, Penulis - Dok.pri
     Keberseluruhan penggunaan bahasa Jawa dalam puisi Cangkrukan menunjukkan bahwa puisi ini layak disebut sebagai geguritan (puisi modern berbahasa Jawa). Dalam ruang pandang saya pribadi, di Mojokerto saya baru menemukan (alm) ST Iesmaniesita dan Ira Suyitno yang piawai dalam menulis geguritan. Dalam buku Wawasan Sastra Jawa Modern karya Poer Adhi Prawoto, perempuan kelahiran Terusan Mojokerto tersebut telah melahirkan 82 cerkak, 514 geguritan, dan beberapa esai tentang kesusatraaan Jawa. Karya monumental Bu Is (panggilan akrab ST Iesmaniesita) adalah Mawar-Mawar Ketiga (antologi geguritan, 1996), Kidung Wengi Ing Gunung Gamping (antologi cerkak, 1958), dll. Sedangkan Ira Suyitno, yang notabene adalah istri dari penyair gaek Suyitno Ethex, lebih dikenal dengan bukunya Dari Kharismamu, Daktemu Asmamu (antologi geguritan, 2015). Dan, nampaknya barisan perempuan penyair Mojokerto yang piawai menulis dengan mempergunakan bahasa daerah harus ditambah lagi dengan sebuah nama; Niken Haidar.
     Menurut  Sudjiman (1993:25), kata-kata dari bahasa daerah sering digunakan dalam karya sastra yang berlatar tempat daerah yang bersangkutan atau tokohnya berasal dari daerah tertentu. Pemilihan kata dari kosakata bahasa daerah yang dipergunakan untuk menamai tokoh dapat mempertegas tokoh yang berasal dari daerah tertentu atau mempertegas latar tempat. Dalam puisi Cangkrukan maupun puisi Lela Ledung, bukan latar tempat dan penokohan di dalam cerita yang diperkuat dengan kehadiran diksi-diksi berbahasa Jawa, melainkan kedirian penyair sendiri. Dua puisi ini menjadi petanda eksistensi seorang Niken Haidar yang memiliki latar tempat dan kedirian yang nJawani.
     Sejatinya, saya juga berhasrat menulis tentang tema-tema dunia tari yang dihadirkan dalam beberapa puisi di buku ini. Namun, dengan takzim dan susah payah, hasrat tersebut saya redam. Biarlah, hal itu menjadi objek apresiator lain yang juga membaca-mengkritisi buku antologi puisi Tarian Jiwa ini.
     Sebagai penutup, saya haturkan selamat kepada seorang Niken Haidar, perempuan penyair Mojokerto yang tiada mengingkari keperempuannya, ke-Jawa-annya, serta latar kecintaannya pada dunia tari, namun mencoba senantiasa mengembangkan ruang persepsinya dalam puisi-puisinya. Semoga tak ada gading yang tak retak, hingga tak ada sampur yang berhenti bergerak.

--- oo0oo ---

Mojokerto, Januari 2017



Daftar Pustaka
Lakoff, R. 1975. Language and Woman’s Place. New York: Harper and Row, Publishern Inc.
Mulyana, Slamet. 1956. Peristiwa Bahasa dan Sastra. Jakarta: Granaco N.V
Nurgiyantoro, Burhan. 2010 (Cet. ke-8). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Pradopo, Rahmat  Djoko. 2010 (Cet. ke-11). Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Grafiti.
Wahab, A. 1991. Isu-Isu Linguistik  Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Airlangga University Press.


__________________________________________________
Info penting:
Buku ini bisa diorder dengan kontak Penerbit Temalitera; M. Asrori (HP/WA 085231586507)