Oleh: Rahman El Hakim
Salam
Budaya
Sastra
dalam bentuknya yang paling sederhana (mantra) sampai pada yang paling
rumit--kidung, tembang, novel, dll--merupakan sesuatu yang terus menerus
berkembang, diminati, dikaji, dibahas, didiskusikan oleh manusia.
Pada
tanggal 28 Agustus 2016 kemarin, penulis mendapatkan kehormatan di Kantor
Perpustakaan Daerah Kabupaten Mojokerto, membedah buku Antologi Puisi PENGAKUAN
dalam rangkaian rutin kegiatan Terminal Sastra di Kabupaten Mojokerto
(khususnya), dan Jawa Timur.
LINK: https://www.mncpublishing.com/book-detail.php?id=000060#pane1 |
Ada dua
buku yang dibedah pada acara tersebut, yaitu RINDU DAMAI DI SUDUT NEGERI karya
Rb. Abdul Gani dan PENGAKUAN karya penulis. Acara dimulai jam 08.30 wib dan
direncanakan jam 13.00 sudah bisa diakhiri. Walaupun pada kenyataannya acara
baru selesai jam 15.00 wib.
Ada
beberapa hal penting bagi penulis dalam acara ini. Selain sebagai sebuah
kritik, saran, masukan, tentu saja sebagai bahan renungan baru bagi penulis dan
juga para peserta.
Pak
Slamet Wahedi (pembedah buku RINDU DAMAI DI SUDUT NEGERI) menyampaikan hal yang
bernada bertanya: Apakah sajak benar-benar telah menjadi ledakan kemarahan,
kepedihan, dan segala macam bentuk ekspresi manusia yang tertata dengan
estetis? Atau hanya sekedar menjadi alat untuk meluapkan caci maki, sumpah
serapah, dan segala ketidak berdayaan manusia?
Pernyataan
ini sangat menarik ketika melihat fenomena begitu banyaknya sajak yang ditulis
di media-media sosial, yang ditulis oleh hampir semua manusia pada saat
sekarang ini. Sajak yang dianggap sebagai puncak dari Sastra sekarang ini
seolah-olah telah menjadi sesuatu yang sangat dekat, sangat akrab dengan
manusia, bahkan telah menjadi pilihan utama untuk mengunggapkan hal-hal yang
dirasakan manusia dalam kehidupannya sehari-hari.
Jika
pertanyaan ini diwajibkan dijawab, maka akan ada banyak jawaban yang beragam.
Akan ada jawaban yang mendukung dan ada yang menentangnya. Yang mendukung
kemungkinan terbesar akan mengatakan bahwa sajak bukan hanya milik para
penyair, sastrawan, dan sebagainya. Sajak boleh ditulis oleh siapa saja.
Yang menentang, kemungkinan akan memberikan sudut pandang yang berbeda. Mereka akan mengatakan bahwa tidak semua orang boleh menulis sajak, dan juga tidak semua tulisan bisa dimasukkan dalam ranah sajak.
Yang menentang, kemungkinan akan memberikan sudut pandang yang berbeda. Mereka akan mengatakan bahwa tidak semua orang boleh menulis sajak, dan juga tidak semua tulisan bisa dimasukkan dalam ranah sajak.
Kedua
pendapat ini tentu saja patut kita renungkan bersama. Bagaimana pada jaman
sekarang, ketika tekhnologi canggih--HP pintar, Android, Tablet, dan segala
macamnya--sudah bisa mengakses internet sampai ke rumah-rumah, bahkan ke dalam
kamar, maka batasan-batasan antara sastra dan bukan sastra hampir menjadi
samar. Setiap detik informasi begitu melimpahnya dan bisa diakses oleh siapa
saja. Setiap detik tulisan-tulisan yang dianggap sastra dan non sastra
diposting di media sosial. Hampir tidak ada penyaring atau badan penyaring yang
bisa memberikan patokan jelas tentang sebuah tulisan bisa dimasukkan dalam ranah
tulisan sastra atau tidak.
Di sisi
lain, di Indonesia, demam kebebasan yang berasal dari 'Reformasi' telah
melahirkan generasi-generasi yang (menurut pendapat pribadi penulis) telah
kehilangan ciri khas mereka sebagai manusia Indonesia. Generasi-generasi yang
terlalu cengeng, terlalu sentimental, terlalu melankolis, dan akhirnya mudah
putus asa dalam memandang kondisi dan menanggapi situasi di Indonesia.
Generasi-generasi yang bahkan bergerak ke arah generasi tukang caci, pendek
sumbu, pemarah, dan (semoga saja tidak terjadi) anarkis.
Generasi
muda sekarang terjebak oleh begitu mudahnya mendapatkan akses informasi dari
mana saja sehingga mereka lupa dengan kedirian mereka sendiri. Lupa dengan
sejarah panjang bangsanya, lupa dengan kekayaan budaya, lupa dengan kekayaan
nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh para leluhurnya, sehingga begitu
mudahnya untuk menjustifikasi orang, kkelompok, dan pihak yang tidak sepaham
dengan mereka dengan sebutan 'tidak nasionalis, kafir, syirik, bid'ah, dan
segala macamnya, yang tentu saja ini berbahaya bagi kelangsungan bangsa dan
negara Indonesia Raya.
Sajak
adalah karya seni yang ditulis dengan kejujuran, melalui pengamatan, analisis,
perenungan, dan pengendapan panjang di dalam batin penulisnya. Seorang penulis
(penyair) adalah orang yang mengawal, menjaga, mengkritisi, bahkan
mengutak-atik semua simbol bahasa yang dikenalnya, dikenal oleh lingkungan
masyarakat, dan bangsanya untuk kemudian terus menerus mencipta, melahirkan kekayaan
bahasa, sudut pandang, dan kemajuan bahasa itu sendiri.
Terminal
Sastra merupakan satu dari berbagai macam usaha yang dilakukan oleh
manusia-manusia yang menyadari dengan fenomena ini, menyadari tentang
pentingnya menjaga, merawat, dan terus memproses bahasa agar bahasa itu menjadi
dewasa dan tidak mandeg. Terminal Sastra merupakan sebuah pusaran kecil di
sudut negeri yang diharapkan akan memicu dan memacu daerah-daerah lainnya untuk
peduli kepada bahasa dan kesustraan Indonesia.
Mungkin
di tempat lain telah banyak pula diadakan acara semacam ini, tetapi satu hal
yang bisa penulis kedepankan adalah di dalam Terminal Sastra tidak ada satupun
yang lebih pintar, tidak ada satupun yang lebih pandai. Semuanya sama-sama
belajar.
....
Engkau
gurunya
Engkau
pula muridnya
Karena
engkau adalah manusia
...
Salam
Jember,
1 September 2016
02.20
wib
SUMBER: