Oleh Imas
Indra
Judul:
Cantik Itu Luka
Penulis: Eka
Kurniawan
Desain
sampul: Iksaka Banu
Penerbit:
PT. Gramedia Pustaka Utama
ISBN:
978-602-03-1258-3
Cetakan:
Ketujuh (Juli 2015)
Jumlah
halaman: 479
Di akhir
masa kolonial, seorang perempuan dipaksa menjadi pelacur. Kehidupan itu terus
dijalaninya hingga ia memiliki tiga anak gadis yang kesemuanya cantik. Ketika
ia mengandung anaknya yang keempat, ia berharap anak itu akan lahir buruk rupa.
Itulah yang terjadi, meskipun secara ironik ia memberikan nama Si Cantik.
Kasar,
gelap, melankolis dan penuh adegan seksual. Kira-kira begitulah pikiran yang
seketika muncul setelah membaca blurb Cantik Itu Luka karya Eka
Kurniawan. Namun, ekspektasi itu hancur seketika membaca kalimat pertama
pembuka cerita:
Sore hari di
akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu
tahun kematian. (Halaman 1).
Seketika
saya tahu, apa yang saya baca bukan cerita biasa. Bukan cerita yang mudah
ditebak.
Kisah ini
diawali dengan adegan Dewi Ayu – pelacur tersohor di Halimunda -- yang bangkit
dari kubur. Kejadian yang sontak membuat siapa saja yang mengetahuinya dibuat
penasaran dan ngeri. Dewi Ayu yang dibuat kagum dengan kemunculannya sendiri di
tengah kuburan bergegas menuju rumahnya. Ketergesaan Dewi Ayu disebabkan ia
teringat bahwasanya 20 tahun lalu ia baru saja melahirkan anak perempuan, Si
Cantik, walaupun ia sendiri belum menengok secantik apa paras bayinya.
Sesampainya
di rumah, Dewi Ayu menemukan seorang perempuan buruk rupa yang tidak lain
anaknya sendiri, duduk di teras rumahnya. Kaget bercampur bangga itulah yang
dirasakannya. Kaget karena tak menyangka anaknya bisa seburuk rupa itu – kulit
hitam legam dan hidung seperti colokan listrik. Bangga, karena apa yang
inginkan – punya anak buruk rupa -- tercapai. Singkat cerita, setelah melalui
beberapa hari di rumahnya sendiri, Dewi Ayu menemukan anak keempatnya hamil
tiga bulan. Dengan penuh amarah ia mempertanyakan kehamilan anaknya. Wajah
buruk rupa yang ia kira akan menghentikan kutukan di keluarganya ternyata tidak
berhasil. Dari sini lah, kisah Dewi Ayu dituturkan…
Cantik Itu
Luka diceritakan dengan alur maju-mundur dan sudut pandang orang ketiga. Gaya
bercerita yang seolah ingin menonjolkan kepiawaian Eka Kurniawan dalam
berkisah. Gaya bercerita yang hingga saat ini sulit saya temukan di
tulisan-tulisan orang lain. Cepat, lugas, jelas dan halus.
Hal pertama
yang ia ingat adalah bayinya, yang tentu saja bukan lagi seorang bayi. Dua
puluh satu tahun lalu, ia mati dua belas hari setelah melahirkan seorang bayi
perempuan buruk rupa, begitu buruk rupanya sehingga dukun bayi yang membantunya
merasa tak yakin itu seorang bayi dan berpikir itu seonggok tai, sebab lubang
keluar bayi dan tai hanya terpisah dua sentimeter saja. Tapi si bayi
menggeliat, tersenyum, dan akhirnya si dukun bayi percaya ia
memang bayi, bukan tai dan berkata pada si ibu yang tergeletak di atas tempat
tidur tak berdaya dan tak berharap melihat bayinya, bahwa bayi itu sudah
lahir, sehat dan tampak ramah. (Halaman 2).
Eka Kurniawan - sumber foto img.beritasatu.com/ |
Dalam buku
setebal lebih dari 400 halaman ini, Eka Kurniawan berkisah tentang Dewi Ayu.
Namun demikian, tidak melulu dari sudut pandang perempuan itu. Dalam buku ini
diceritakan kehidupan orang-orang terdekat Dewi Ayu, tiga anaknya: Alamanda,
Adinda dan Maya Dewi. Begitu juga dengan tiga menantu dan orang-orang yang
berurusan dengan keluarganya. Kesemuanya diceritakan dengan detil. Eka berhasil
memberikan jawaban bagaimana watak tokoh dipengaruhi oleh pengalaman
pribadinya. ). Eka tidak pelit untuk memberikan porsi ceritanya, bahkan ke
tokoh sampingan. Contohnya adalah bagaimana Eka menceritakan tokoh Edi Idiot
(salah satu preman yang berurusan dengan kekasih Dewi Ayu). Tokoh Edi Idiot
diceritakan dengan cukup detil: dari mana ia berasal, latar masa kecilnya,
hingga bagaimana muasal ia menjadi preman di Halimunda. Penggambaran yang
membuat pembaca merasa benar-benar mengenal tokoh.
Hal lain
yang membuat saya salut adalah cara penggambaran ini tidak terjebak pada
tokoh-tokoh sentral. Semua tokoh yang terlibat dalam cerita ini diceritakan dan
memiliki porsi dalam menyusun kisah. Dengan penggambaran tersebut, pembaca
diajak untuk menyimak setiap petualangan, konflik dan dilema yang dihadapi
setiap tokoh. Saya curiga, semua penggambaran ini dimaksudkan Eka untuk
‘menertawakan’ kemalangan tokoh. Dan jika ditarik ke kehidupan nyata, Eka
berusaha mengajak pembaca untuk menertawakan kemalangannya sendiri. Menertawakan
bukan sebagai suatu hal yang ‘sakit’ atau ‘gila’. Tetapi sebagai suatu cara
untuk merespon hal yang ‘memang begitu adanya’ – satir.
Buku ini
cocok untuk mereka yang ingin menikmati kisah-kisah pasca-kolonial dengan cara
yang tidak biasa. Buku ini juga cocok untuk pembaca yang mendambakan cerita
yang tidak mudah ditebak. Jika kamu sedang mencari pengalaman membaca yang
berbeda, boleh jadi buku ini akan memuaskan pencarianmu.
------
SUMBER:
https://www.kompasiana.com/imasndra/resensi-cantik-itu-luka-eka-kurniawan_57c50acd2323bd554271a186