Judul :
Kepada Kamu yang Ditunggu Salju
Penulis :
Yusri Fajar
Penerbit :
Penerbit Pelangi Sastra
Tebal :
104 hal.
Cetakan :
I/Maret 2017
ISBN :
978-602-60790-1-5
Perjalanan
adalah kran inspirasi yang tak kunjung mandek untuk karya sastra, baik lisan maupun
tulisan. Bahkan, karya sastra tertua yang pernah ditemukan, yaitu Epik
Gilgamesh dari Mesopotamia kuno pada abad ke-21 SM, didominasi kisah
perjalanan yang mengubah hidup Gilgamesh, tokoh raja setengah dewa. Kini, dua
abad sejak ditemukannya GPS (Global Positioning System), perjalanan
masih tetap mengucurkan inspirasi bagi penulis, apapun genre yang dia pilih.
Dewasa ini, banyak toko buku yang punya rak khusus untuk catatan perjalanan.
Sampai banyak yang mengkritisinya sebagai mengalami titik jenuh. Tapi,
bagaimana bila perjalanan itu dituliskan dalam puisi? Akankah dia memberikan
sesuatu yang berbeda? Buku puisi Kepada Engkau yang Ditunggu Salju mungkin
bisa memberi gambaran potensi puisi yang bertemakan perjalanan.
Semua puisi
yang terangkum dalam buku kumpulan puisi pertama Yusri Fajar ini ditulis ketika
penulisnya jauh dari rumah. Bahkan, nyaris semua puisi di sini ditulis ketika
Yusri berada di luar negeri. Beberapa puisi yang lain bertemakan perjalanan,
tapi dari kampung halaman di Banyuwangi ke Malang, yang kemudian menjadi
domisili Yusri. Dengan begitu, tidak berlebihan kalau saya menyebut buku ini
sebagai buku puisi perjalanan–meskipun tentu perjalanan di sini harus diartikan
secara luas.
Lazimnya
pengunjung di tempat baru, penyair juga menunjukkan ketakjuban kepada keasingan
dan kebaruan, yang kemudian dia tingkahi dengan perenungan tentang
kesejarahannya. Pada beberapa puisi, Yusri menyoroti sebuah obyek atau individu
dan menyoroti keterkaitan mereka dengan Indonesia.
Kita bisa
temukan itu pada puisi-puisi seperti, misalnya “Di Negeri Bekas Penjajah Aku
Menemukanmu” (hal. 7), yang bisa dijadikan contoh yang tepat. Dalam puisi ini,
aku lirik Yusri melihat-lihat jalanan, restoran, pernak-pernik, dan orang-orang
Belanda, dan di situ dia merasa menemukan “kamu,” yang bisa kita tafsirkan
sebagai “Indonesia.” Puisi ini memang dibuat jauh dari rumah, tapi dia tak
kunjung berhenti membicarakan Indonesia, yang jejaknya terlihat di mana-mana di
Belanda (“Pertemuan Dua Bangsa di Warung Kebab,” hal. 24).
Ketakjuban
akan hal-hal yang memiliki signifikansi sejarah atau berkaitan dengan
perpindahan bangsa-bangsa inilah yang memenuhi buku-buku Yusri. Tidak bisa kita
temukan puisi tentang indahnya danau di Swiss, romantisnya menara Eiffel di
Perancis, atau nikmatnya capuccino Italia di sana. Tapi, kita bisa temukan
puisi tentang warung kebab yang mempertemukan pendatang dari negeri berbeda
yang selalu digelayuti kerinduan kepada kampung halaman.
Bahkan,
kalau ada satu topik yang bisa dibilang mencakup sebagian besar puisi di buku
ini, topik tersebut adalah “diaspora.” Dalam kajian sosial, istilah diaspora
pada awalnya mengacu kepada orang-orang Yahudi yang terusir tanah leluhur
mereka untuk kemudian hidup terpencar di segala penjuru Timur Tengah, Afrika
Utara, dan Eropa untuk tumbuh dan berkembang. Namun, sebagaimana diteorika
Robin Cohen dalam Global Diasporas: An Introduction, seiring zaman,
istilah diaspora ini banyak digunakan untuk mengacu komunitas-komunitas yang
jauh dari negeri leluhur mereka, bahkan tanpa perlu elemen keterpaksaan.
Pandangan seperti inilah yang mendominasi gagasan kelompok Jaringan Diaspora
Indonesia.
Kembali ke
buku puisi Yusri Fajar, gagasan diaspora muncul paling efektif pada puisi yang
dipakai untuk judul buku Yusri ini “Kepada Kamu yang Ditunggu Salju” (hal. 4).
Puisi ini berbicara tentang “kamu” yang tumbuh jauh dari tanah moyangnya, yang
saat ini benihnya bisa tersemai, bertumbuh, tapi pada akhirnya terancam akan terkubur
salju dan kehilangan akarnya. Seperti itulah dilema diaspora yang akarnya
selalu berisiko menguap seiring zaman. Menariknya, dalam puisi ini, Yusri
menggunakan idiom-idiom pertumbuhan tanaman beserta seluruh anatominya. Puisi
ini seperti mengembalikan lagi istilah “diaspora” ke ranah aslinya, yaitu
biologi. Boleh lah kita bisa puisi ini tidak melupakan akar kata “diaspora” itu
sendiri.
Dengan
semua potensi yang lebih dari sekadar menggambarkan tentang perjalanan ini,
jangan-jangan puisi ini bisa memberi sumbangan di tengah “krisis” yang
menjangkiti genre tulisan perjalanan. Seperti dikritisi Graeme Wood dalam
artikelnya di majalah Foreign Policy, tulisan perjalanan adalah genre
yang mati, utamanya karena penulis terlalu tersedot kepada dirinya sendiri dan
kurang menukik dalam pengamatan atas tempat dan orang-orang yang dikunjunginya.
Atau, yang lebih parah, hanya menyoroti hasil pengamatan yang hanya
mengkonfirmasi apa yang sudah mereka dengar atau yakini, sebagaimana dikritisi
Edward Said. Dengan perenungan atas nasib diaspora dan obyek-obyek yang
memiliki latar kesejarahan sebagaimana saya bahas di atas, buku Kepada Kamu
yang Ditunggu Salju ini berpotensi menyumbangkan darah segar kepada genre
yang tulisan perjalanan yang kita layu itu menurut sekalangan kritikus.
------------
(Tulisan ini dimuat di kolom Resensi harian Jawa
Pos Radar Malang pada hari Minggu 23 Juli 2017. Semoga menikmati resensinya,
dan semoga ada “krenteg” hati membeli bukunya.)
Sumber:
https://timbalaning.wordpress.com/2017/07/24/kepada-kamu-yang-ditunggu-salju-buku-puisi-yang-menyumbangkan-darah-kepada-genre-tulisan-perjalanan