Ayu Utami |
Ayu Utami tempuh jalan tak biasa. Belasan
tahun lalu saat orang takut bicara seks dan politik, ia justru menulis tema
itu. Menerabas tabu, bicarakan masalah yang ia yakini sebagai sumber
ketidakadilan atas perempuan.
Senjakala
orde baru ditandai oleh pemberontakan dari ruang domestik. Beberapa pekan
sebelum jalanan Jakarta dipenuhi lautan manusia yang akhirnya memaksa presiden
Soeharto berhenti, novel berjudul Saman lahir.
Saman bagi banyak perempuan perkotaan adalah mantra yang membebaskan mereka
dari kutukan "Dharma Wanita". Membawa energi keberanian baru bagi
perempuan untuk keluar dari rumah dan merayakan tubuh. Seperti pohon
pengetahuan yang membuat Hawa terusir dari surga.
Sang
pengarang yakni Ayu Utami, adalah orang yang menebus dosa itu. Di pundaknya,
tertulis daftar “kesalahan“: mengajarkan perempuan bahwa pernikahan bukanlah
sebuah kewajiban, bahwa selingkuh tidak selamanya buruk, dan perempuan harus
berdaulat atas tubuh mereka sendiri.
Ayu
menerbitkan buku “Pengakuan eks Parasit Lajang”. Di luar pencapaian estetik,
terutama lewat Saman, yang disebut kritikus telah memperluas cakrawala
kesusasteraan Indonesia, perempuan berusia 44 tahun itu di mata pendukungnya
berperan penting memperluas aspek paling sensitif dalam isu kebebasan
perempuan, yakni persoalan seksualitas.
“Seks itu
pangkal ketidakadilan yang menimpa perempuan,” kata Ayu Utami kepada Deutsche
Welle. “Ada banyak cara membongkar ketidakadilan gender, tapi saya memilih
tema seksual, karena itu penting dan tidak banyak orang yang mau
menempuhnya."
Deutsche Welle: Kenapa seks?
Ayu Utami: Karena seks itu
pangkal ketidakadilan yang menimpa perempuan. Pandangan bahwa perempuan itu
makhluk lemah, kurang mampu, emosional, harus dilindungi, sehingga tidak mampu
memutuskan sendiri dan karenanya harus dipimpin. Itu semua berawal dari
pemahaman yang salah mengenai sekualitas. Semua usaha untuk meringkus perempuan
itu berlindung di balik alasan untuk melindungi atau memuliakan perempuan. Dan
itu selalu dikaitkan dengan seksualitas perempuan: alat kelaminnya, tubuhnya,
payudaranya, keperawanannya, itu semua dianggap kehormatan perempuan, bahkan
kehormatan masyarakat. Dibuat sedemikian rupa sehingga perempuan terpenjara
oleh ide-ide tentang kemuliaan.
DW: Apakah seks memang problem paling mendasar yang menciptakan
ketidakadilan gender?
Ayu Utami: Ketidakfahaman
atau penyederhanaan berlebihan masyarakat patriarki dalam soal seksualitas
itulah yang menciptakan ketidakadilan gender. Tulisan saya mengajak orang untuk
melihat bahwa seksualitas tidak bisa disederhanakan begitu saja, karena itu
novel-novel saya menampilkan karakter-karakter yang punya preferensi seksual
berbeda-beda. Bukan hanya orientasi seks tapi cara mereka menikmati seks, juga
berbeda. Jadi kita jangan menyederhanakan manusia: bahwa manusia hanya
menikmati seks dengan satu cara saja. Lewat seks, kita akan belajar bahwa
setiap individu manusia itu berbeda. Kedua, banyak mitos mengenai seksualitas
yang dibangun dengan menegakkan dominasi laki-laki.
Sebagaimana terjadi pada banyak tempat lain di dunia,
lebih dari sepuluh tahun terakhir gelombang pasang konservatisme juga menerpa
Indonesia. The Wall Street Journal mencatat paling tidak ada 350
pemerintahan lokal yang memberlakukan Peraturan Daerah atau Perda Syariat
Islam. Sebagian besar mengatur soal tubuh perempuan: mulai dari cara berpakaian
hingga posisi duduk di sepeda motor. Sebagai penulis dan aktivis, Ayu Utami
terlibat pergulatan panas dengan masyarakat yang semakin konservatif.
DW: Penyair Taufik Ismail menuduh anda mengobarkan seks bebas. Apa tanggapan
anda?
Ayu Utami: Saya sih
menjawabnya dengan lucu saja, seks bebas itu lawannya seks terikat. Jadi seks
bebas itu lawannya Sado Masokisme yang pakai diikat-ikat itu lho… Jadi
buat saya seks itu memang harus merdeka. Bebas mungkin kata yang buruk, tapi
menurut saya seks itu harus diputuskan secara merdeka. Mau pakai Sado
Masokis boleh, tapi harus dibuat lewat keputusan yang merdeka, tidak boleh
diatur oleh negara. Jadi orang akan memilih apakah dia ingin bermain menjadi
budak-budakan… ya nggak apa-apa… itu keputusan bebas. Itu harus diatur oleh
dirinya sendiri, bukan kehendak Negara atau kekuatan lain di luar itu.
DW: Apakah anda mendukung seks bebas?
Cover buku SAMAN dan LARUNG karya Ayu Utami |
Ayu Utami: Orang Indonesia
selalu menentang seks bebas, tapi apa yang mereka maksud tidak jelas. Ketika
orang bicara seks bebas yang mereka maksud adalah seks remaja yang belum
menikah. Padahal suami dan istri juga melakukan perselingkuhan, tapi itu
biasanya tidak dibicarakan. Ini menurut saya berasal dari ketidakmampuan orang
untuk mengakui bahwa perselingkuhan terjadi di mana-mana, dan hubungan seks di
luar pernikahan itu terjadi dimana-mana dan tidak semuanya buruk. Orang tidak
mau mengakui bahwa tidak semuanya buruk. Saya berani mengakuinya, tapi jarang
orang mengakui apalagi kalau diwawancara di televisi. Jadi ada ketakutan untuk
mengakui bahwa hubungan seks di luar pernikahan itu ada yang jelek, tapi ada
juga yang tidak jelek. Ketidakberanian untuk mengakui inilah yang melahirkan
sikap formalis yang ingin selalu menghukum semua hubungan seks di luar
pernikahan.
DW: Apa bentuk ketidakterusterangan orang Indonesia dalam soal seks?
Ayu Utami: Misalnya masih
ada rumah sakit yang menanyakan: masih nona atau sudah nyonya? Padahal
maksudnya sudah berhubungan seks atau belum. Orang enggan menggunakan istilah
hubungan seks, tapi mereka menanyakan apakah sudah melakukan hubungan suami
istri? Hehehe…padahal kalau belum menikah dan melakukan seks kan artinya bukan
melakukan hubungan suami istri dong hehehe... Dokter kelamin juga tidak berani
bertanya: suaminya suka menyeleweng atau enggak? Mereka biasanya bertanya:
suami sering keluar kota bu? Jadi kacau deh…Kalau suaminya Pilot atau Pelaut
gimana dong hahaha... Bahkan di tempat resmi seperti itu, orang tidak berani
bicara terus terang. Ayu Utami lahir dalam tradisi keluarga Katolik yang saleh.
Ia mengaku bahwa Injil sangat mempengaruhi pembentukan dirinya, selain buku
filsafat Pengantar Linguistik Umum karya Ferdinand de Saussure dan Psikoanalisis
karangan Sigmund Freud. Alkitab, kata Ayu, telah membentuk imajinya semasa
kecil dan memperkenalkan pemahaman dasar bahwa kasih itu lebih besar dari
hukum, bahkan lebih penting dari Iman dan harapan. “Itu penting bagiku, karena
artinya lebih baik orang berbuat baik daripada beriman,“ kata Ayu.
DW: Apakah anda masih percaya Tuhan?
Ayu Utami: Ya, saya
percaya pada sesuatu yang tidak kita ketahui. Artinya, saya percaya bahwa ada
sesuatu di luar batas pengetahuan kita. Orang boleh menyebutnya Tuhan. Tapi
buat saya, sesuatu itu tidak harus disembah. Seharusnya, kesadaran mengenai
sesuatu itu membuat kita rendah hati bahwa selalu ada yang tidak kita ketahui,
bahwa pengetahuan kita selalu hanya sebagian. Maka kita tidak bisa merasa benar
sendiri.
DW: Bagaimana anda mendamaikan pandangan Katolik yang konservatif dalam
urusan seks dengan pandangan dunia anda yang "bebas"?
Ayu Utami: Dalam soal
seks dan kebebasan, nilai ideal saya sesungguhnya Katolik konservatif; yaitu
bahwa perkawinan itu monogami dan tak bercerai. Saya juga akan mengatakan bahwa
aborsi adalah hal yang buruk. Tapi itu adalah yang ideal. Sementara manusia
adalah proses. Manusia belajar melalui proses. Dalam proses ia harus terus
diampuni dan diberi kesempatan, bukan dihukum. Buat saya agama itu menjaga
nilai-nilai ideal yang sebaiknya tidak dikompromikan. Tapi hidup manusia juga
ada di wilayah non agama. Wilayah itu harus diatur dengan hukum-hukum sekular.
Hanya dengan memisahkan wilayah sekular dari agama, kita bisa memiliki kedua-duanya
dalam bentuk yang terbaik. Dengan memisahkan wilayah, agama boleh mengibarkan
nilai-nilai ideal yang tidak dikompromikan sekaligus tanpa kekuatan untuk
menghukum manusia. Dari dulu kalau ditanya tentang perbuatan saya yang
melanggar aturan agama, saya selalu jawab: saya mendahulukan nurani dari aturan
apapun. Jika suara hati saya mengatakan sesuatu tidak adil, maka jika perlu
saya melawan agama.
Ayu Utami adalah mantan wartawan majalah Forum
Keadilan , pendiri Aliansi Jurnalis Independen AJI, aktif di Komunitas Utan
Kayu dan Salihara. Menulis “Saman” 1998, “Larung” 2001, “Si Parasit Lajang”
2003, “Bilangan Fu” 2008, “Manjali dan Cakrabirawa“ 2010, "Cerita Cinta
Enrico" 2012, "Soegija: 100% Indonesia“ 2012, ”Lalita“ 2012,
“Pengakuan eks Parasit Lajang" 2013.
SUMBER: