Apa yang
akan mereka lakukan bila sungguh-sungguh ketemu? Mungkin mereka akan
jalan-jalan sepanjang sore. Membeli es krim di Taman Bungkul, atau menyesap
kopi di Kafe Cakcuk. Atau mungkin juga mereka akan memutuskan untuk
menghabiskan waktu di H20. Memilih sebuah meja dan duduk berseberangan, lalu
saling diam, saling memandang, tangan mereka bertaut di atas meja, dan penjaga
berkacamata akan berkali-kali melirik untuk memastikan mereka tidak melakukan
perbuatan mesum. Mereka memang tidak akan berbuat mesum. Tidak. Dari semua
kemungkinan yang bisa terjadi, berbuat mesum tidak termasuk di dalamnya. Salah
satu dari mereka mungkin akan beranjak ke rak terdekat setelah berpandangan
sepuluh detik, dan mulai merasa rikuh. Mengambil satu buku puisi secara acak,
membuka halaman juga secara acak, dan melisankan puisi apa pun yang terpacak di
dalamnya lirih-lirih. Setelah itu mereka tertawa tertahan.
“Puisi ini
lebih bagus dari puisi Suyitno,” demikian Bit barangkali akan berkata.
“Tapi, tidak
ada puisi yang lebih penting ketimbang puisi Suyitno,” Aliya menanggapi.
Dan mereka kembali
tertawa.
Ziarah Bit ilustrasi Radar Surabaya |
Dunia memang
penuh perdebatan, pertentangan, perbedaan, ketidaksetujuan dari satu pihak
kepada pihak lain atas satu hal. Agama, politik, penggusuran, drama korea, Tere
Liye, Kusala Sastra Khatulistiwa, Jerusalem, tingkat kepahitan kopi, cara
menyuguhkan bubur ayam, definisi soto, dan banyak lagi. Namun, semua tidak bisa
tidak, akan bersepakat bahwa puisi Suyitno, seseorang yang satu-satunya
cita-citanya adalah menjadi penyair. Namun jelas-jelas tak memiliki kemampuan
untuk itu, adalah puisi yang buruk. Buruk sekali, malah. Demi Tuhan, salah satu
berkah terbesar yang merungkupi Suyitno adalah ia hidup di zaman media sosial
telah melebarkan sayap dan menancapkan cakar-cakarnya sedemikian rupa, hingga
lelaki ceking dengan kumis melintang dan rambut abu-abu itu sanggup mengumumkan
puisi-puisi ciptaannya ke khalayak. Bebas. Tanpa mesti melewati tatapan bengis
mata redaktur yang senantiasa dicurigai keobyektifan dan kapasitas keilmuannya.
Bertahun-tahun sebelumnya, mati-matian Suyitno mengirim ratusan, kalau tidak
ribuan puisi ke koran-koran dan majalah-majalah. Mulai dari yang dianggap
memiliki wibawa dan pengaruh dalam bidang kesusatraan hingga yang acak adut dan
sama sekali tidak masuk radar halaman bermutu. Dan tak satu pun yang dimuat. Ia
juga tak kapok-kapok mengirim manuskrip puisi, yang dilambari pengantar
muluk-muluk yang ia tulis sendiri, ke penerbit. Dan tak satu pun penerbit yang
membalas kirimannya. Media sosial membuatnya mungkin melakukan apa yang dulu
tidak mungkin ia lakukan. Dan dengan kegirangan yang luar biasa, ia mengumumkan
siapa dirinya: aku penyair!
Di bawah
kuasa ilusi bahwa puisi-puisi yang dihasilkannya adalah puisi-puisi paling
adiluhung yang pernah diproduksi manusia sepanjang peradaban, seperti
kebanyakan – atau kalau tidak, semua – penyair, Suyitno merasa ia memiliki
tanggungjawab untuk memaksa orang lain membaca puisi-puisinya. Tak lega dengan
mengunggah puisi-puisinya belaka (khususnya dan terutama di Facebook), ia juga
menandai akun-akun orang lain dalam unggahannya. Dan untuk kerja kerasnya, ia
setidaknya menuai lima tanda suka dan nol komentar dari empat puluh tanda
paksaannya. Itu sudah cukup membuatnya tersenyum puas.
Tak ada pola
khusus mengenai bagaimana Suyitno menentukan akun-akun siapa yang akan ia
tandai. Dalam seminggu, kadang satu akun ia tandai lima kali, kadang satu kali,
dan kadang tidak sama sekali. Dengan lima ribu akun yang berteman dengannya, ia
memiliki banyak komposisi kemungkinan. Pada akhir September 2017, murni
ketidaksengajaan, ia menandai Bit dan Aliya dalam penandaan yang sama atas
puisi singkatnya. Berteman di Facebook, itu judul puisinya. Isinya
singkat belaka, hanya dua baris: sejak aku mengenalmu/aku bertambah teman.
Bit dan
Aliya bukan orang yang suka puisi. Apalagi pembaca puisi yang baik. Apalagi
mengerti teori-teori dalam dunia perpuisian. Namun, tak urung, mereka tertawa
ngakak sehabis membaca puisi Suyitno. Sebagai orang yang lahir dan tumbuh besar
di Indonesia dan pernah mengenyam Sekolah Dasar, mereka pernah membaca beberapa
puisi Chairil Anwar, Rendra, dan Toto Sudarto Bachtiar. Dan tentu saja
puisi-puisi mereka tidak bisa dibandingkan dengan puisi Suyitno. Dan puisi dari
ketiga penyair itu, setidaknya, memberi Bit dan Aliya dasar seperti apa puisi
itu sebenarnya.
Bit punya
waktu berlimpah. Umurnya dua puluh lima dan orangtuanya memperlakukannya
laiknya porselen yang gampang retak. Kakaknya meninggal diseruduk motor yang
dikendarai pemuda mabuk pada usia sepuluh tahun. Sejak itu, Bit menjadi anak
tunggal. Trauma mendalam yang mendera orangtuanya menyebabkan mereka begitu
protektif terhadap Bit. Bit, yang berselisih usia lima tahun dari kakaknya,
tumbuh dalam begitu banyak larangan. Jangan menyeberang jalan sembarangan.
Jangan bermain dengan anak itu. Jangan lari-larian. Jangan bermain lumpur.
Jangan hujan-hujan. Jangan jajan permen. Jangan pulang sekolah telat. Jangan
naik sepeda pancal. Jangan lupa pakai sandal. Jangan memanjat pohon. Jangan
menyentuh beling. Jangan pergi ke ujung gang. Jangan sampai tisunya
ketinggalan. Jangan pakai kaos kaki ungu. Jangan petak umpet, cuma bikin capek.
Jangan ikut kasti, nanti kakimu patah. Jangan ini. Jangan itu. Pada akhirnya,
tanpa disadari, Bit telah menjelma pemuda tanpa keberanian melakukan apa pun.
Ia lebih memilih menghabiskan waktu di dalam rumah bila tidak ada sesuatu yang
memaksanya untuk beraktivitas di luaran. Ia juga cenderung kesulitan dalam
pergaulan sosial secara langsung, yang mendorongnya menjauh dari kehidupan
sosial semacam itu. Ia, praktis, tak pernah memiliki teman, apalagi teman dekat.
Dan orangtuanya, yang masih dihantui tragedi kematian anak sulungnya,
menganggap itu yang terbaik bagi Bit. Sebagai kompensasi dari tindak protektif
itu, orang tua menyediakan apa pun yang berpotensi membuat Bit nyaman dan
kerasan di rumah. Mulai dari konsol game hingga akhirnya gawai-gawai
termutakhir dengan koneksi internet yang lajak. Selepas kuliah, Bit yang tidak
kunjung mendapat pekerjaan menghabiskan waktu dengan berselancar di media
sosial. Lalu ia, pada suatu hari, menerima permintaan pertemanan dari Suyitno
di Facebook. Dan akhir September itu, ia ditandai dalam sebuah kiriman puisi
yang menyedihkan. Keberlimpahan waktu yang dimiliki Bit lah yang menyebabkan
pemuda itu secara iseng mengklik tanda reaksi tawa, satu-satunya reaksi yang
didapat puisi Suyitno tersebut, dan mendapati nama akun Aliya.
Bit yakin ia
jatuh cinta pada saat itu. Gambar profil Aliya menampilkan sosok gadis ideal
masa kini: kulit putih, hidung mancung, bibir tipis segar, mata sipit, rambut
lurus sepunggung, dan tubuh langsing semampai. Bit mengklik akun itu dan mulai
berjalan-jalan di linimasa Aliya. Bit tidak mendapat banyak info dari
keterangan akun. Hanya bahwa Aliya tinggal di Surabaya. Di unggahan foto Aliya
dan keterangan yang menyertai foto tersebut, Bit mendapat gambaran bagaimana
suasana kafe Cakcuk atau bagaimana rak-rak buku berderet-deret di perpustakaan
H20. Itu semua adalah tempat-tempat yang asing bagi Bit meski sepanjang
hayatnya hingga saat itu ia tinggal di Surabaya.
Dengan
gelegak aneh di kedalaman dadanya, Bit menjelajahi waktu yang membeku di
linimasa Aliya. Sebelumnya, tentu saja, ia mengajukan permintaan pertemanan.
Untung saja akun Aliya diatur publik hingga ia tidak perlu menunggu permintaan
pertemanannya disetujui untuk segera memulai perjalanannya membongkar
jejak-jejak arkeologis kehidupan Aliya.
“Ia punya
banyak teman,” batin Bit setelah beberapa saat. Ia menemukan ratusan reaksi dan
komentar yang didapat Aliya dari setiap unggahannya, dan ratusan foto-foto yang
menandakan betapa perempuan itu suka dan acap jalan-jalan serta kumpul-kumpul
dengan banyak orang. Bit juga kerap bercanda dengan teman-teman media
sosialnya, namun itu terbatas di media sosial. Dari tiga ribu teman
Facebook-nya – dua ratus di antaranya cukup sering berinteraksi dengannya – ia
belum pernah ngopi darat dengan mereka dan ngobrol bertatap muka secara
langsung. Ia terlalu pemalu. Beberapa teman mayanya yang berdomisili di
Surabaya pernah mengajaknya kopi darat. Namun Bit tak pernah menanggapi
permintaan itu. Bukannya tidak ingin, namun ia hanya gentar. Ia tak tahu harus
bersikap bagaimana bila pertemuan langsung itu terjadi. Ia juga tak tahu apa
yang akan mereka bicarakan nantinya. Facebook dan platform media sosial lainnya
telah menyelamatkannya dari kegagapan semacam itu. Namun, tak pernah
benar-benar membantu menyelesaikan semua masalahnya. Hal pertama yang terlintas
di benaknya setiap kali mendapatkan ajakan untuk kopi darat adalah
pengalaman-pengalamannya selama sekolah atau kuliah. Di mana ia senantiasa
menghabiskan waktu sendirian di sudut kelas dan memandang teman-temannya saling
bercanda. Beberapa kali ada teman yang mencoba mengajaknya bercakap. Namun,
secara reflek, ia melindungi diri dengan cara membungkam; hanya mengangguk atau
menggeleng.
Empat menit
setelah mengklik akun Aliya untuk pertama kalinya, Bit merasakan dorongan untuk
mengirim pesan pribadi ke kotak pesan Aliya. Namun, dengan segera ia mendapati
bahwa ia tak tahu apa yang akan ia tulis. Ia tugur. Lalu, ia meneruskan
menjelajahi linimasa Aliya. Tiga jam setelah permintaan pertemannya terkirim,
Aliya menyetujuinya. Dan sepuluh detik kemudian, Aliya memperbaharui statusnya.
Siap-siap kopi darat nih, tulis Aliya. Bit merasakan dadanya panas.
Mangkel. Cemburu? Bit tidak tahu.
Bit
menunggu. Ia ingin mengomentari status itu. Namun, baru satu kata ia tulis,
buru-buru ia hapus. Begitu berulang-ulang. Tak ada kata atau kalimat yang layak
untuk ditulis di kolom komentar, pikir Bit. Hingga akhirnya Bit membanting
dirinya sendiri ke atas kasur. Ia berguling-guling seraya membayangkan apa yang
akan mereka lakukan, bila benar-benar bertemu. Bertemu sebagai sepasang
kekasih. Mungkin mereka akan jalan-jalan sepanjang sore. Atau membeli es krim
di Taman Bungkul. Atau membaca buku puisi sambil tertawa-tawa di H20.
Namun,
khayalan Bit tidak akan pernah terjadi. Tiga jam empat puluh lima menit setelah
Aliya memperbaharui statusnya, puluhan kiriman menyesaki dinding akun Aliya.
Semuanya muram. Semua menyampaikan pernyataan duka cita. Bit tak percaya apa
yang jelas-jelas tersurat dari kiriman-kiriman itu, bahwa Aliya ditemukan
dengan leher nyaris putus digorok oleh lelaki yang dikenalnya melalui Facebook
pada perjumpaan langsung mereka yang pertama. Beberapa akun memacak foto
pembunuh, seorang pemuda sepantaran Bit, dengan cambang dan kumis lebat dan
model rambut undercut, yang telah berhasil dibekuk polisi setengah jam
setelah kejadian.
Bit
mengunggah gambar karangan mawar di dinding akun Aliya. Berulang-ulang setiap
hari. Sebuah ziarah yang seakan abadi ke kuburan yang dibangun dengan pondasi
algoritma dan bit komputer. Akun Aliya terkesan singun. Begitu singun. (*)
Dadang Ari Murtono - Dok. Google+ |
Penulis
lahir dan tinggal di Mojokerto.