(Alm) Wahyu Prasetya |
Bintang Forum Penyair Indonesia 1987 di TIM, Jakarta,
Wahyu Prasetya, hari Rabu (14/2/2018) meninggal dunia dalam usia 61 (5/2/1957)
Kendati terus bersajak, penyair kelahiran Malang ..yang kini bekerja di Muara
Teweh, Kalimantan dan, domisili di Bekasi, Jawa-Barat, namanya terlupakan dalam
buku "Apa Siapa Penyair Indonesia." Padahal bukunya "02:30
Abstraction" (1996) terbit di Sorbourne, Perancis dan "Merely A
Dagger" (1996) di Idaho, USA.
"Tapi sebagai penyair kamu memang orang malang,
Yu ...namamu tak ada dalam kitab Apa Siapa Penyair Indonesia; ha ha ...
terkalahkan ama generasi penulis sajak era fesbukeer..." goda saya saat
kontak via inbox dengan Wahyu .. yang kebetulan di Muara Teweh, lagi 'dapat
sinyal.' Oya, " Tenang saja bro.., aku temani. Aku juga enggak ada
...." ujar saya sambil mengingat buku kuning yang dilaunching pada Hari
Puisi Indonesia, Oktober, 2017.
Kami tertawa-tawa dengan saling memberi kode: ha ha ha
....
Ketika saya memberi tahu, kalau suatu saat keak buku
yang 675 halaman itu kemungkinan direvisi, saya katakan tatkala bertemu Sihar
Ramses Simatupang -- selaku Ko--editor, nama Wahyu Prasetya .. penyair yang
kondang dengan sajak "Asia Tenggara", akan dimasukkan, pada edisi
pembaruan. Perihal ini, Wahyu mengucapkan syukur Alhamdulillah, kalau masih ada
yang ingat.
"Tolong...supaya namaku masuk, biodatanya kamu
yang buat .. seingatmu. Sebab di sini untuk menulis biodata aku sering
kesulitan sinyal. Mengko kalau sudah jadi sekalian dikirimkan ke email penyusun
buku. Tolong banget yaa.." tulis Wahyu di inbox.
Dan, sebelum saya menjalankan amanahnya, Wahyu yang
akrab dipanggil Pungky .. yang masa mudanya ... gara gara majalah Aktuil sangat
menyukai musik rock, seperti umumnya Arek Malang ... juga pernah rajin menulis
reportase pertunjukkan musik rock di koran Suara Indonesia, telah tiada.
Saya yang diberitahu via inbox oleh Foeza Hutabarat,
begitu kaget. Sebab, ada beberapa rencana mengumpulkan puisi puisi Wahyu ..
yang sejak lama dipesan Remmy Novaris DM untuk diduetkan dengan penyair Irawan
Sandhya Wiraatmaja -- sebagai sesama anggota Komunitas Bintaro, belum sempat
saya penuhi. Sejumlah puisi Wahyu yang masih diketik dan dulu tidak termuat di
Harian Sinar Harapan// Suara Pembaruan...tempat saya beketja sebagai jurnalis,
masih saya simpan.
Dengan tubuh lesu, saya yang lagi ada keperluan di
kaki Gunung Pancar, Bogor, segera pulang. Untuk ke rumah duka di kawasan
Bekasi, pasti terlambat. Sesampai di rumah menjelang Isya saya pilih untuk
menulis catatan 'hasil jngatan' ini sembari berdoa, semoga engkau ... sahabatku
.. yang kini telah rajin ibadah, khusnul khatimah.
NAFAS TELANJANG
Wahyu Prasetya mulai menulis ketika usianya menginjak
21, tahun 1978. Namanya mulai dikenal sesama penyair muda sebaya pada tahun
1979.. ketika dia juga Bambang Widjatmoko, yang waktu itu masih di Yogya,
memenangkan penulisan puisi yang diadakan Majalah Semangat, asuhan penyair PSK
Ragil Suwarna Pragolapati. Bahkan, Wahyu dan Bambang, dua penyair yang suka
diasuh oleh kakek dan neneknya ini, menerbitkan buku "Nafas
Telanjang."
Sejak era itu, sajak- sajak Wahyu Prasetya yang masih
berdomisili di Malang, mengalir deras merajai majalah Zaman, rubrik Tikungan
yang dianggap sebagai "Horison"nya anak muda, karena karya yang
dimuat sangat selektif. Pun, karya karya Wahyu banyak muncul di Majalah Putri,
asuhan penyair Adri Darmadji Woko, serta sejumlah media ternama lainnya,
termasuk nembus Majalah Sastra Horison.
Tahun 1982.., Wahyu memberanikan diri berkelana di
beberapa negara, dan menetap agak lama di Jerman Barat. Alasannya ke Jernan,
seperti diceritakan pada saya, agar dia dapat menonton band-band rock, Led
Zeppelin, Deep Purple, Black Sabbath, Pink Ployd hingga Iron Maiden, yang baru
diakui dunia setelah sukses di Jerman. "Aku juga ingin membuktikan pada
warga Malang, bahwa band yang umumnya digandrungi anak muda Malang, telah aku
tonton langsung. Maka, aku membuat reportasenya di Suara Indonesia, koran
Malang. .."
Kedua, saya juga ingin merasakan pengalaman hidup
dengan menulis sajak-sajak petualangan dari Mancanegara. Kenapa?? "Gaya
sithik dong, rek. Biar pada sajak sajakku .. selain ada angka tahun, ada pula
nama- nama kota di Jernan Barat.., he he .." tutur Wahyu.
Selama di Jerman, anak jejer Kauman Malang ini, nekad
bekerja apa saja; namun yang terlama sebagai penyapu halaman gereja. "Aku
jadi dapat uang, numpang tidur gratis....hingga penghasilanku bisa untuk nonton
musik, beli buku buku sastra yang kuperlukan, ben aku terangsang menulis puisi
terus.." ungkapnya.
Ketika di Jerman, Wahyu mengaku sering bertemu penyair
Emha Ainun Najib yang saat itu .. periode 1984, seusai pembacaan puisi di Belanda,
Emha pingin tahu Jerman. Tetapi, karena kehabisan ongkos, Emha sempat lontang
lantung tak bisa pulang, hingga kadang ke tempatku. Pokoknya berpindah
pindah.., sampai kita enggak ketemu lagi ..."
KOMUNITAS
BINTARO
Pulang ke Tanah Air, Wahyu yang saat itu sudah menikah
dengan BeeTjiek, memilih berdomisili di Dumai, Provinsi Riau, sekitar tahun
1985-1986. Dari Dumai itulah, sajak sajaknya dengan judul, al, Pipa Merenung,
Asia Tenggara, .dll, banyak muncul di media media Jakarta, termasuk di Berita
Buana rubrik Dialog asuhan penyair Abdul Hadi WM (Abdul Hadi).
Berkat sajak-sajaknya di Berita Buana, Abdul Hadi WM
yang juga anggota DKJ, mengundang Wahyu dan sekitar 90 -an penyair muda sebaya
untuk tampil dalam acara yang dianggap spektakuler yakni Forum Penyair
Indonesia 1987, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, selama
tiga hari. Dalam forum yang karya karya penyair dibahas, al, oleh Sutardji CB, beberapa penyair mulai melonjak kentingjat nasional, di antaranya Acep Zamzam Noor, Ahmadun Yeha (Yosi Herdanda), Isbedy Stiawan Z S, Soni Farid Maulana, Micky Hidayat, Fakhrunnas MA Jabbar, Gus Tf, Remmy Novaris DM, Aming Aminoedhin, Ahmad Nurullah, Djamal D Rahman, dll serta sejumlah penyair yang hingga kini masih konsisten menulis, Nanang R Supriyatin, Handry Tm, Gunoto Saparie, Ayid Suyitno Ps, Djuhardi Basri, Saiful Syaiful Irba Tanpaka, Tajuddin Noor Ganie, DedetSetiadi, Mathori AElwa, untuku sekadar menyebut nama.
tiga hari. Dalam forum yang karya karya penyair dibahas, al, oleh Sutardji CB, beberapa penyair mulai melonjak kentingjat nasional, di antaranya Acep Zamzam Noor, Ahmadun Yeha (Yosi Herdanda), Isbedy Stiawan Z S, Soni Farid Maulana, Micky Hidayat, Fakhrunnas MA Jabbar, Gus Tf, Remmy Novaris DM, Aming Aminoedhin, Ahmad Nurullah, Djamal D Rahman, dll serta sejumlah penyair yang hingga kini masih konsisten menulis, Nanang R Supriyatin, Handry Tm, Gunoto Saparie, Ayid Suyitno Ps, Djuhardi Basri, Saiful Syaiful Irba Tanpaka, Tajuddin Noor Ganie, DedetSetiadi, Mathori AElwa, untuku sekadar menyebut nama.
Usai Forum Penyair Indonesia, Remmy Novaris, Wahyu P,
Nanang juga Irawan Sandhya Wiraatmaja juga saya mendirikan Komunitas Bintaro,
menggunakan rumah Wahyu yang belum lama pindah dari Dumai ke Bintaro.
Sebagaimana komunitas yang lagi marak era itu, Komunitas Bintaro juga rajin
mengadakan pertemuan, diskusi sastra sampai larut nalam.
Ada peristiwa "lucu" yang membuat kami
selalu tertawa mengingat Komunitad Bintaro. Syahdan, waktu itu musim hujan
bulan November 1989, kami berempat, Remmy, Nanang, saya dan tentu Wahyu
berkumpul. Entah berapakali istri Wahyu membuatkan kopi untuk obrolan kami.
Tahu tahu .. karena asyik, waktu usai Subuh.
Saat akan pulang, karena kami punya kerjaan tetap,
sepatu kesayangan yang saya letakkan di depan pintu rumah Wahyu ternyata raib.
Kami sudah mencari kesana kemari ...takut digondol tikus, tetapi tak
ketemu.Akhirnya saya pulang nyeker ditemani Remmy dan Nanang yang PNS, dengan
bersepatu. Sepanjang jalan, Remmy dan Nanang terus meledek saya yang nyeker
hingga ketemu warung kelontong untuk beli sandal. Hmm..
BALIK KE MALANG
Memasuki tahun 1992-an, Wahyu Prasetya kembali ke
Malang... untuk mengurus hotel warisan. Di kota kelahiran ini, dia sangat
produktif berpuisi. Sajak- sajaknya lancar, mengalir, tanpa beban ...
menyuarakan kesepian, kerinduan manusia, kekerasan hidup serta sengkarut
masalah masalah zamannya. "Dalam menulis, aku terangsang setelah
mendengarkan suara kran ... pada air ledeng yang menetes.." begitu
resepnya.
Saya yang masih jomblo, saat itu, dan punya cita cita
' aneh' sejak remaja, yakni ingin punya istri secantik Ken Dedes, memang kalau
liburan kantor, sering pergi ke bekas kerajaan Singasari .. deket candi Jago,
yang ada petilasan yang dijaga patung Dwarapala. Di situ saya mencari gadis
gadis yang mirip Ken Dedes, tetapi tak pernah ketemu. Dengan perburuan itu
..yang memakan waktu satu minggu pula, saya sering ke Malang dan jumpa kembali
dengan Wahyu. Dan, Wahyu tahu serta sering meledek keinginan saya itu.
"Mbok cari pasangan hidup yang lumrah aja ...kan lebih gampang .. daripada
terus membujang .." begitu nasihatnya.
Selama beberapa kali pertemuan di Malang, saya tahu
Wahyu kian produktif. Lebih enam ratusan sajak lahir.. bagai kucuran air. .. di
antaranya yang kemudian dibukukan dalan "02: 30 Abstraction" yang
katanya terbit di Perancis dan "Merely Dagger" di Idaho, USA.
Selain itu, Wahyu semakin gencar menterjenahkan sajak
sajak penyair Eropa dan Amerika. Beberapa karya terjemahan ada yang dikirim dan
dimuat di majalah CAK...yang dikelola Sanggar Minum Kopi Bali, serta dikirim ke
Harian Suara Pembaruan, tempat saya bekerja.
Setelah saya menuruti nasihatnya, agar tak mencari
calon istri kayak Ken Dedes, saya mendapatkan jodoh, tepatnya dicarikan jodoh
oleh ibu saya. Karena menikah ...saya tak tergoda lagi mencari gadis ala Ken
Dedes di Singasari, Malang, hingga saya dan Wahyu tak bertemu lagi. Kabarnya,
dia juga menikah lagi, kemudian meninggalkan dunia begadangan dengan bekerja di
Muara Teweh, Kalimantan dengan keluarga di Jatiasih Bekasi.
Tahu dia ada di Kalimantan ... kemudian muncul di era
facebook, kalau tak salah dapat info dari Bambang Widiatmoko dan Remmy Novaris
DM. Sesuai petunjuk saya klik nama Haji Eyang, dan
seminggu kemudian berteman di FB. Kami juga teman teman sering kontak dengan
Wahyu Prasetya alias Haji Eyang hanya di FB (kecuali mungkin Bambang
Widjatmoko.)
Bahkan, Remmy mengatakan berulang kali jngin
menerbitkan puisi puisi Wahyu Prasetya untuk diduetkan dengan Irawan Sandhya
Wiraatmaja yang nama aslinya Mustari Irawan, kini Kepala Arsip Nasional
Republik Indonesia. Kenapa dengan Irawan?? Ternyata saat Wahyu di Jakarta,
selain sama sama anggota Komunitas Bintaro, Wahyu juga sering berkunjung ke
rumah Irawan, saat itu, di Jalan Senopati, Kebayoran Baru Jakarta Selatan.
Mereka berdua punya memori khusus selaku penyair.
Bahkan, ketika saya kabarkan peraih Hadiah Utama Hari Puisi
Indonesia, 2017 adalah Irawan Sandhya Wiraatmaja dengan buku Giang... terbitan
KKK yang dikelola penyair Kurniawan Junaedhie.., dalam obrolan di inbox, Wahyu
mengatakan, sangat pantas. Hmm.."Tahun depan andai buku puisi terbarumu
ikut .. bisa jadi kamu yang menang, Yu ..." goda saya.
Ternyata, pada 14 Februari yang bertepatan dengan Hari
Valentine, Wahyu Prasetya genap 61 tahun sejak 5 Februari lalu, telah kembali
ke pangkuan yang kuasa, tanpa sosok namanya dicatat dalam buku "Apa Siapa
Penyair Indonesia". Tragis. Tapi, saya --- juga tentu beberapa sahabat
yang pernah dekat, tahu, dia penyair sekali.
Dan, percaya ...plus semoga namanya serta amal amalnya
.. ditulis dan diabadikan sangat baik oleh malaikat yang disampaikan padaNya.
Aamin. (Arief Joko Wicaksono)
SUMBER: