Sumber: KOMPAS, 11 Pebruari 2018
Lelaki muda, belum selesai dua tiga tahun, setelah
bekerja serabutan dan memperoleh penghasilan tidak tentu, menyatakan
keinginannya memiliki jas. Satu setel dengan celana—sewarna—yang kalau dipakai
berpasangan menambah gagah. Lelaki itu belum pernah memiliki jas dan setelannya
sebelum ini. Ketika keinginannya disampaikan kepada ibunya, perempuan yang
menjanda sejak bapak lelaki muda itu meninggal, tersenyum dan maklum. “Kamu
sudah besar. Ibarat burung kalau sudah mulai menghias bulunya, dan
memperhatikan sarang, itu tandanya siap bertelor.” Lelaki muda belum menyadari
artinya karena yang menyibuki sekarang ini adalah bahwa dengan memiliki jas
hitam, ia juga harus punya sepatu yang bersih, kaus kaki, baju putih, dan dasi.
Butuh waktu tertentu untuk menggenapi itu semua. Dan ketika waktunya tiba, ia
berkata kepada ibunya. “Bu, kita potret bersama. Menandai zaman baru, karena
sekarang ada foto berwarna.” Lalu mereka ke studio foto, tapi harus menunggu
semingguan atau dua, karena katanya proses mencetak tergantung di laboratorium
di Jakarta.
Saat menunggu itulah ia bertemu perempuan yang seusia,
yang teman-temannya telah menikah dan beranak, dan tampak sensual kalau hamil.
Berkenalan dengan singkat, lalu keduanya sepakat untuk menikah.
“Saya sudah punya jas,” kata si lelaki.
“Urusannya bukan hanya jas atau celana. Tapi di mana
nanti kita tinggal? Bagaimana kita makan setiap harinya.”
“Bukankah selama ini kita punya tempat tinggal dan
makan?”
“Tapi saya tak yakin apakah kau mencintaku. Kamu tak
pernah mengatakannya selama ini.”
“Ini yang saya katakan: lelaki yang mengajakmu menikah
dan benar-benar menikah adalah lelaki yang mencintaimu. Dibandingkan lelaki
yang mengatakan mencintai, mengajakmu tidur, tapi tak kunjung menikahimu.”
Gambar-ilustrasi-astuti-kusumo-kompas
|
Lalu mereka bertunangan, dan menikah. Dengan jas dan
setelan, lelaki itu berpotret bersama ibunya, bersama istrinya. Potret berwarna
yang belum banyak jumlahnya saat itu. Namun, kisah berikutnya tak ada
dokumentasinya. Anak lahir, kebutuhan menambah dan penghasilan paspasan.
Suami-istri itu bekerja dalam bidangnya sendiri. Dia sendiri masih membuat apa
saja: tulisan, gambar lucu, ikut sayembara, ikut teka teki silang, ikut
berbagai lomba. Dari sini, dia mendapat honor yang dikirim melalui pos wesel,
tanda pengiriman uang yang harus dicap di kelurahan sebelum bisa dicairkan di
kantor pos. Sementara istrinya, menjahit apa saja yang dimaui pemberi jasa,
yang bisa, menjadi pelanggan. Bisa baju, bisa rok, bisa seprai, dengan imbalan
yang beragam, dari berterima kasih dan tanda persahabatan sampai yang
benar-benar menggiurkan—kalau memesan kebaya, tapi ini jarang.
“Istriku, kita jual saja jas kebanggaan itu.”
“Masih ada cara lain. Aku masih punya barang yang
dijual.”
Barang lain itu bisa berupa piring, bisa berupa
termos, bisa selimut bayi, bisa gunting, bisa barang apa saja yang disimpan
dari kado pernikahan. Sebagian sudah dipakai, sebagian lebih banyak dipandang.
Selalu ada penadahnya, yang berjalan menelusuri kampung, siap menampung barang
apa saja, termasuk rontokan rambut. Rambut yang putus. Penjual barang bekas ini
bahkan akan datang, ikut memeriksa barang mana yang kira-kira bisa dibeli. Itu
yang terjadi, dan sementara jas serta celana itu terselamatkan.
Sementara karena kemudian kebutuhan makin mendesak,
bukan dari kebutuhan mereka sendiri, melainkan karena kebutuhan keluarga besar,
kebutuhan sosial, kebutuhan berbasa basi. Dengan sikap pasrah, keduanya
menyetujui untuk melepas jas dengan celana. Untuk terakhir kalinya lelaki itu
mengenakan jas, becermin, tangannya dimasukkan ke dalam saku. Dan ajaiblah. Dan
heranlah. Tangannya menyentuh ujung saku dan menemukan selembar duit.
“Ya ampuuun, ini pasti malaikat yang
meletakkan. Kita tak usah menjual Pak.”
“Ya, ini pasti malaikat lokal. Kalau malaikat asing,
pasti isinya dollar.”
Untuk sementara waktu yang tak lama, jas itu selamat
dari penjualan. Namun, pemiliknya mempunyai alasan yang menguatkan selain
faktor kebutuhan. Praktis selama ini tak pernah memakai jas. Tak ada acara yang
mengharuskan memakai jas. Apalagi dasi. Juga sepatu hitam serta kaus kaki.
Akhirnya jas terjual—tanpa celana. Sebab, harga yang diberikan tidak berkurang
tanpa celana. Jadilah jas tersebut dilepas. Dan seperti mudah diduga, begitu
dilepas, kenangan pada jas tidak mengelupas. Malah makin lengket, makin
berseliweran. Apalagi jas itu dijajakan di pinggir jalan—tempat deretan para
penjual barang bekas. Seakan ujung lengan yang ada kancing tiga biji melambai,
menyapa, atau menyampaikan keluhan, minta dikasihani. “Jas itu berkata, ketika
diperlukan, dipakai dengan bangga, dan kini dipermalukan.”
Dengan segala tekad dan kemampuannya, suami-istri
mengumpulkan sisa-sisa yang bisa disisakan dari pendapatannya untuk menebus
kembali jas itu. Dan ketika waktunya tiba, mereka berdua menuju pangkalan di
pinggir jalan, tempat jas itu digantungkan bersama jas yang lain. Untung
pedagang itu masih mengenali.
“Saya beli kembali.”
“O, tak bisa. Sudah laku.”
“Kok masih digantung di situ?”
“Karena belum lunas. Tunggu saja.”
Jas itu sudah dibeli oleh seorang lelaki yang kurus.
Karena duitnya masih kurang, ia memberikan uang muka. Begitu bisa melunasi,
baru akan dibawa.
Lelaki yang dulunya pemilik jas, akan membayar uang
muka dari lelaki yang akan membeli. Dengan melebihkan jumlahnya.
“Ia bisa memilih jas yang lain.”
Lelaki yang kurus, yang sudah memberi uang muka
pembelian jas itu tidak memilih jas yang lain. Juga tidak menolak kalau tidak
jadi dijual. “Saya mau pakai jas itu untuk kawin Pak. Kalau tidak jadi, ya
sudah. Saya akan bilang calon istri saya.”
Luluhlah hati pemilik jas sebelumnya. Juga istrinya.
Calon pengantin itu berhak memilih jas yang akan dikenakan untuk perkawinan
nanti. Dan itu sudah ditentukan. “Sisanya, kita doakan saja mereka bahagia
seperti ketika kita mengenakan jas itu, dan tidak segera menjualnya.”
Yang tertinggal adalah soal celana yang menjadi
setelan jas. Setiap kali mencuci, atau menjemur, perempuan itu merasa kasihan.
“Dia ditinggal kawin lagi,” tuturnya sendu. Lalu berubah menjadi: “Lelaki biasa
begitu.”
Untuk menghindari kegelisahan setiap kali terkait
dengan celana yang setia, diusulkan membuat surat perjanjian antara
suami-istri. Dengan saksi Ibu. Yaitu bahwa mereka akan terus bersama-sama,
tidak saling meninggalkan, sampai salah satu meninggal dunia. Surat ini
ditandatangani, diberi meterai.
Untuk sementara aman. Sementara yang lama. Karena
bahkan ketika celana itu tak muat dipakai lagi—dan ditanggalkan, ditinggalkan,
dan ingatan tentang jas yang kawin lagi muncul, mereka masih berdua. Juga
ketika sang Ibu meninggal, dan surat bermeterai itu hilang atau tersimpan di
tempat yang terlalu rapat.
“Surat bermeterai sudah dibuat. Kenapa saya masih
cemas, suamiku?”
“Lalu bagaimana baiknya?”
“Kamu lebih takut Ibu daripada meterai…Ibu bisa
meninggal, meterai …. ”
“Meterai bisa kedaluwarsa. Tapi tetap saja cemas masih
ada. Barangkali cemas itu menandai ada yang kita harapkan, ada yang kita
inginkan, ada yang masih menyatukan. Cemas hanya sekadar mengingatkan itu.”
Mereka berdua juga mengingat bahwa mereka berjanji
bersama, sampai salah satu meninggal dunia. Dan membawa dalam doa. Doanya
kebetulan sama meskipun keduanya tidak saling mengetahui. Doa itu kurang
lebihnya adalah: mudah-mudahan pasangan saya meninggal duluan. Kalau saya yang
meninggal duluan, siapa yang akan mengurusnya?
Mungkin karena doa itu mempunyai makna, mungkin juga
kecemasan yang membuatnya terjaga dan saling memperhatikan, keduanya belum
mati-mati juga, setelah tiga kali melewati masa di mana lelaki itu memiliki jas
dan istri, sampai sekarang ini.
-----
Arswendo
Atmowiloto, lahir di
Solo tahun 1948. Nama aslinya Sarwendo, tetapi sejak menjadi penulis namanya
diubah menjadi Arswendo, lalu ditambahkan nama ayahnya Atmowiloto. Ia penulis
senior yang memiliki kecepatan menulis luar biasa. Sangat produktif, sehingga
puluhan novel, drama, skenario film, dan kumpulan cerpen lahir dari tangannya.
Mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa City, Amerika
Serikat, tahun 1979.
Astuti
Kusumo, lahir di
Yogyakarta tahun 1970. Ia pelukis otodidak yang menempuh pendidikan di UPN
Fakultas Ekonomi Yogyakarta. Meski otodidak, Astuti sudah berpameran keliling
dalam ASEAN Children Exhibition tahun 1985. Terakhir ia ikut berpameran dalam
Indonesian Art Exhibition 2018 di Jababeka Convention Center Cikarang. Pernah
memenangi penghargaan Silver Medal Shankar India Art Exhibition tahun 1985.