Selasa, 13 Februari 2018

PENDERITAAN SANTA LIDWINA: KONTEMPLASI 'PENDERITAAN' SULIONO



* Catatan penyerangan Gereja St Lidwina Bedog, Sleman, Yogyakarta
* By Heti Palestina Yunani


Mungkin Suliono mengira, serangannya pada Gereja St Lidwina Bedog, Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Sleman, Yogyakarta, 11 Februari itu dianggapnya akan membuktikan sesuatu pada dirinya, egonya, agamanya atau apapun yang ingin ia bela. Entah apa alasan pria Banyuwangii itu, saya tak ingin terburu menghakiminya. Kecuali satu, bahwa sangat tak setuju jika 'penderitaan' diri harus dilampiaskan dalam 'penderitaan' lain kepada sesama. Cuma saya yakin seribu persen, Suliono pasti tak pernah mengenal siapa sebenarnya Santa Lidwina,perempuan suci yang kenyang dengan penderitaan itu. Bagi St Lidwina dan umat di gereja itu, apa yang dilakukan Suliono dalam bentuk kekerasan yang menderitakan orang lain itu bukanlah apa-apa dibanding penderitaan Sang Santa selama ini.
Bisa jadi, mereka yang seagama dengan jemaat di gereja itu malah tak hendak berpikir aneh-aneh di luar konteks. Uskup Semarang Mgr Robertus Rubiyatmoko yakin, upaya mengoyak kebhinekaan hanya dilakukan segelintir orang. Lebih-lebih Romo Karl Edmund Prier yang terparah lukanya di natara lima korban atas peristiwa itu. Pastilah sebagai pemimpin umat, Romo asal Jerman yang mencintai musik tradisional Indonesia itu yakin, kekerasan bukanlah budaya umat beragama. Bukan karena mereka yang diserang itu ingin sekadar berdamai dan mengalah sebagai minoritas, tetapi mereka yang tenang bermisa pagi itu pasti sudahlah lama memahami siapa Santa yang melindungi gereja hingga dipakai menjadi nama. Itulah mengapa, setelah peristiwa penyerangan, saya khawatir pada beragamnya pemaknaan yang berkembang tak tentu. Saya mewas-waskan apa yang tak mampu dibaca lebih dalam dari peristiwa yang tampak. I am so afraid people can not read between the line.
Yang paling ditakutkan tentu terkait dengan potensi pemecah belah umat. Sayang media yang menyediakan asupan informasi masih ada juga yang berat membahasnya dari sisi sensitif semacam itu, semata agar kasus ini lebih mudah terbaca warganet. Ah, terlalu jauh itu. Bagi saya begitu. Dalam keterbatasan pemikiran saya tentang mengapa intoleran dan radikalisme di Indonesia makin subur, peristiwa yang disangka telah mencoreng muka salah satu agama yang sama dengan agama Suliono itu tak mau saya baca sebegitu beloknya. Jadi, anggap saja salah besar jika Suliono ingin ‘menghadiahkan’ sebuah penderitaan pada sesamanya. Suliono, bagi saya mewakili beberapa wajah orang serupa 'Suliono' di negeri ini yang tak pernah menyadari bahwa ia lah atau mereka lah sendiri yang tengah dalam 'penderitaan' itu.
St. Lidwina
Begitu saya mendengar berita itu, saya lebih tertarik menaikkan pikir saya tentang sosok St Lidwina, lengkap dengan penderitaan yang disandangnya. Itung-itung ini Sinau Perempuan, edisi tulisan saya berikutnya di Facebook. Kebetulan saya punya pengikat cerita tentang St Lidwina yang ternyata lahir di Schiedam, sebuah kota kecil di Belanda. Kota itu pernah saya datangi bersama mantan pacar masa lalu pada 2011. Setelah menyimaknya, ia sungguh perempuan luar biasa di mata saya. Jujur, saya baru mengenalnya setelah Suliono 'berulah'. Lahir di Minggu Palma, pada 1380, St Lidwina sudah masuk dalam penderitaan sejak usia belasan tahun. Di musim dingin, di usia 15 tahun, saat asyik ber-ice skating, ia jatuh. Tulang rusuknya patah. Darah keluar dari mulut, telinga dan hidungnya. Setelah cedera, gangren juga menyerangnya.
Belakangan, sejarawan berhipotesis bahwa sakit serius yang dialami St Lidwina adalah kasus multiple sclerosis pertama yang ditemukan di dunia, yaitu penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh dan menggerogoti lapisan pelindung saraf. Betul juga, sebab St Lidwina lalu lumpuh total kecuali tangan kirinya. Hidup dalam penderitaan semacam itu membuat St Lidwina yang dibesarkan bersama delapan saudara laki-laki dari Peter dan Petronella itu larut dalam doa dan meditasi. Ia berpuasa terus-menerus. Kalau pun makan, ia sering hanya mengambil sepotong kecil apel. Penderitaannya itu bukan setahun dua tahun tetapi selama 38 tahun. Bahkan sebelum tujuh tahun kematiannya, St Lidwina buta. Namun ia tetap berpuasa hingga meninggal pada usia 53 tahun pada 1433.
Dalam penderitaan yang begitu panjang, Ekaristi Kudus menjadi santapan St Lidwina setiap hari. Ia hidup hanya dengan menerima Komuni Kudus. Sampai tiba kontemplasinya yang luar biasa; menderita penyakit yang tak tersembuhkan, ia justru memiliki kekuatan untuk menyembuhkan orang lain. Banyak orang datang kepadanya meminta didoakan. Mereka tahu Tuhan mendengarkan doa-doanya. Dalam doa, ia sering disebut oleh umat saat mengalami beragam macam sakit. “Kiranya dengan doa-doamu ya Santa Lidwina, diriku/saudara kami ini memperoleh kesembuhan. Semoga engkau juga selalu mendoakan agar kami dapat menanggung dan menerima semua penderitaan dalam hidup ini dengan penuh iman dan ketabahan. Demi Kristus Tuhan ami. Aamiin,” demikian biasanya nama Santa itu disebutkan. Andai St Lidwina hidup saat Suliono menyerang gereja pagi itu, ia pasti mendoakan pria 22 tahun itu.
Sebab tindakan kekerasan orang kepada orang lain tergolong lah 'sakit' juga. Usai penyerangan, orang tahu sekarang bagaimana rumah Suliono di Desa Kandangan, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur, itu sangatlah miskin; sebuah penderitaan terkonstruksi. Letaknya jauh, berjarak sekitar 80 kilometer dari pusat Kota Banyuwangi. Perlu waktu tempuh sekitar tiga jam untuk sampai ke rumah sederhana yang menggambarkan wajah 28 juta orang miskin di negeri ini. Rumah dengan bangunan semipermanen itu dikabarkan belum teraliri listrik atau menumpang dari aliran listrik milik tetangga. Ada tiga kamar berukuran kecil dengan ruang tamu berkursi kayu tua. Rumah itu hanya ditempati pasangan Mistadji (58) dan Edi Susiyah (54), orangtua kandung Suliono karena Suliono dan tiga anak pasangan itu tinggal di luar Banyuwangi.
Melihat kondisi keluarga Suliono yang 'sakit' begitu, buru-burukah menuding anak petani itu sedang memerangi agama lain yang berbeda dengan agamanya? Saya tak mengingkari kemungkinan itu karena bisa saja alasan itu ada pada diri Suliono yang kerap berjubah hitam layaknya tudingan verbal pada tipikal penganut Islam fundamentalis. Kalau pun ia adalah contoh penindak terorisme yang menyumbang masalah kerawanan sosial di Indonesia, tentu ada hal lain yang memicu pola-pola tindakan terorisme seseorang. Inilah cerminan sebuah "penderitaan' yang dialami banyak orang seperti Suliono di negeri ini. Bukan salah Suliono mungkin, karena berapa banyak persoalan intoleran dan radikalisme di Indonesia tak pernah diselesaikan serius oleh pemerintah yang bertanggung jawab atas segala 'penderitaan' yang dialami rakyatnya. Jika kondisi ini benar secara massal, maka penyerangan Suliono di gereja itu jangan mudahlah dibaca sebagai tindakan yang mewakili kebencian agama pada agama yang lain.
Yang begitu terlalu sepele. Ini pasti tentang 'penderitaan' seseorang (dan masyarakat) dalam kemiskinan lahir dan batin yang mendorongnya melakukan hal-hal tak terkontrol dalam kehidupan sosial. Namun meski negara punya peran bersalah, sesungguhnya setiap kita juga bertanggung jawab atas sakitnya negeri ini dalam banyak sisi. Maka setiap kita harus punya peran untuk menyelesaikan penderitaan-penderitaan itu tanpa harus menyalahkan negara terus menerus. Kita tak bisa cuma berkeluh kesah tanpa melakukan apa-apa untuk memperbaiki segala catatan buruk kita tentang Indonesia. Jika memang ini masalahnya tentang agama, maka seyogyanya agama menjadi salah satu jalan keluar dari penderitaan itu. Lewat sosok yang nyata dalam kehidupan, St Lidwina menjadi contoh pada sekelompok orang yang ingin meyakini bahwa penderitaan bisa menjadi sumber harapan bagi orang lain.
Dalam Injil, Surat Roma 8:18-20, 22-26, pengharapan itu tergolong sebagai pengharapan yang tak terlihat. Itu masih bisa kita mintakan dalam doa menurut agama dan keyakinan masing-masing di zaman ini, ketika segala penderitaan sedang datang di Indonesia. Coba simak ini: "Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita. ......... Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin. Dan bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita. Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya? Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun. Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan."
Jika memang semua anak manusia pasti mengeluh atas 'penderitaan' maka satu-satunya pengharapan kita atas berbagai masalah yang membelit negara ini adalah hanya bertumpu pada pengharapan-pengharapan yang tak terlihat semacam itu. Nah, agama telah menyediakan peluangnya. Tuhan jelas dibuat tak terlihat agar manusia abadi dalam harapannya bertemu Sang Pencipta. Terkait peristiwa Minggu pagi itu, sayang jika agama kita kambing hitamkan sebagai hal yang paling sulit untuk dijaga daya tahannya di Indonesia. Saya memilih menghindar jauh dari analisa itu karena hanya akan mengaburkan persoalan yang sesungguhnya. Kini, kuburan St Lidwina di Schiedam menjadi tempat ziarah yang diagungkan umat Katolik untuk terus mengingatkan setiap orang akan 'penderitaan' yang semestinya diselesaikan oleh setiap orang dalam agamanya masing-masing.
Teladan atas kemuliaan perempuan itulah yang membuat Paus Leo XIII dari Gereja Katolik Roma mengkanonisasikan skater itu sebagai orang suci pada 1890. Masuk akal karena ia teramat pantas menjadi manusia sekelas Santo. Saking sucinya, setahun setelah ia meninggal, sebuah kapel dibangun di atasnya. Peninggalannya pernah dibawa ke Brussels, Belgia pada 1615, namun kembali lagi ke Schiedam pada 1871. Sebuah gereja baru bergaya neo-gothic yang didedikasikan untuk St Lidwina dibangun lagi pada 1859 di Singlekirk. Namun gereja itu dihancurkan lagi pada 1969. Relik tentangnya di antara patung dan beberapa benda peninggalannya dipindahkan ke kapel yang dipersembahkan kepadanya di sebuah rumah di West Frankeland.
Pada 1990, Paus Yohanes Paul II mengangkat status kapel itu ke sebuah basilika kecil, yang sekarang dikenal sebagai Basilika Lidwina. Sebagai santo pelindung para skater dan mereka yang sakit kronis itu, ada hari peringatan khusus untuk St Lidwina pada 18 Maret, 14 April atau 14 Juni, tergantung tradisi umat lokal setempat. Dari penderitaannya di akhir hidupnya, ada ucapan St Lidwina yang sangat manusiawi tentang bagaimana manusia sesungguhnya tak pernah berharap penderitaan datang kepadanya. "Jika saya hidup sehat oleh Ave Maria lagi, saya tidak ingin sakit lagi." Kalimat ini saya bayangkan terucap dari mulut Suliono. Andai kita tahu hatinya, tentu ia seperti kita, tak pernah mau menjadi pesakitan seperti sekarang. Doa Suliono yang bersuara merdu saat mengaji itu tentu yang baik-baik selama ini, di antaranya berharap bisa menikahi bidadari yang hanya ada di surga.
Termasuk ketika lulusan di SDN 5 Kandangan dan SMPN 1 Pesanggaran Banyuwangi itu ngangsu ilmu agama di Ponpes Ibnu Sina milik Kiai Maskur Ali, Ketua PCNU Banyuwangi. Semua setuju, tak ada pendidikan agama yang menyuruh melakukan tindakan yang menderitakan orang lain. Renung saya, jika memang semua orang sudah terlepas dari penderitaan termasuk dari tekanan sosial negara terhadapnya, maka tak pernah ada cerita seorang Suliono yang berperilaku santri itu bisa berbuat senekad itu pada orang lain yang seagama atau tak seagama dengannya. Jika Suliono tega melakukannya kemarin karena ia sedang 'sakit' atau dalam 'penderitaan', jangan-jangan kita semua berpotensi sama karena sedang dalam lingkaran 'penderitaan' di sebuah negara yang "tenggelam dalam lautan luka dalam" seperti lagu Butiran Debu by Rumor itu. Ah sudahlah, mari kita berlaku sekuat St Lidwina agar selamat. Shalom.

--===--

* Cuma tentang perempuan hebat di dunia yang saya kagumi
* Cuma tentang surat dalam Injil yang saya baca, bernama sama dengan nama adik kandung saya: Roma-Ahmad Romawi Yunani. Surat Roma atau disebut Surat Rasul Paulus adalah surat teragung yang pernah ditulis dalam Injil. Terdiri 16 pasal, surat ini untuk jemaat di Roma atau bangsa Romawi.


Tentang Penulis
Heti Palestina Yunani merupakan sosok perempuan tangguh, gigih memperjuangkan impian, bergelut dalam seni dan dunia jurnalistik. Hampir separuh usia, wanita cantik ini menuangkan rona hidup dalam tiap tulisan juga lukisan indah. Kecintaannya pada seni ia awali sedari kecil. Menulis adalah dunianya. Bagai dua hal tak terpisahkan. Di usianya yang menginjak angka 41, perempuan kelahiran 15 Agustus tersebut mengaku makin matang dan konsisten. Harapannya tak jauh dari impiannya selama ini. Menjadi jurnalis independen, yang menggabungkan konsep media dan seni. Pergumulan dengan banyak seniman membuat Hetty mampu menyerap seni layaknya makanan lezat yang ia suka. Sedangkan jurnalistik seolah mesin jahit, gabungan potensi bahan unik di sekitarnya. Dua puluh tahun sudah ia cukup kenyang menikmati profesi ini, namun tak cukup membuat Hetty puas. Ia pun memutuskan menjadi pewarta lepas, menduduki posisi redaktur di Padmagz dan mengelola Little Sun Art & Media Management sebagai Chief Executive Officer (CEO), di sela kesibukannya menjadi dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 (Untag), Surabaya.. – disarikan dari http://www.cybertokoh.com



Sumber Tulisan: