* Catatan penyerangan Gereja St Lidwina Bedog, Sleman,
Yogyakarta
* By Heti Palestina Yunani
Mungkin Suliono mengira, serangannya pada Gereja St
Lidwina Bedog, Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Sleman, Yogyakarta, 11
Februari itu dianggapnya akan membuktikan sesuatu pada dirinya, egonya,
agamanya atau apapun yang ingin ia bela. Entah apa alasan pria Banyuwangii itu,
saya tak ingin terburu menghakiminya. Kecuali satu, bahwa sangat tak setuju
jika 'penderitaan' diri harus dilampiaskan dalam 'penderitaan' lain kepada
sesama. Cuma saya yakin seribu persen, Suliono pasti tak pernah mengenal siapa
sebenarnya Santa Lidwina,perempuan suci yang kenyang dengan penderitaan itu.
Bagi St Lidwina dan umat di gereja itu, apa yang dilakukan Suliono dalam bentuk
kekerasan yang menderitakan orang lain itu bukanlah apa-apa dibanding
penderitaan Sang Santa selama ini.
Bisa jadi, mereka yang seagama dengan jemaat di gereja
itu malah tak hendak berpikir aneh-aneh di luar konteks. Uskup Semarang Mgr
Robertus Rubiyatmoko yakin, upaya mengoyak kebhinekaan hanya dilakukan
segelintir orang. Lebih-lebih Romo Karl Edmund Prier yang terparah lukanya di
natara lima korban atas peristiwa itu. Pastilah sebagai pemimpin umat, Romo
asal Jerman yang mencintai musik tradisional Indonesia itu yakin, kekerasan
bukanlah budaya umat beragama. Bukan karena mereka yang diserang itu ingin
sekadar berdamai dan mengalah sebagai minoritas, tetapi mereka yang tenang
bermisa pagi itu pasti sudahlah lama memahami siapa Santa yang melindungi
gereja hingga dipakai menjadi nama. Itulah mengapa, setelah peristiwa
penyerangan, saya khawatir pada beragamnya pemaknaan yang berkembang tak tentu.
Saya mewas-waskan apa yang tak mampu dibaca lebih dalam dari peristiwa yang
tampak. I am so afraid people can not read between the line.
Yang paling ditakutkan tentu terkait dengan potensi
pemecah belah umat. Sayang media yang menyediakan asupan informasi masih ada
juga yang berat membahasnya dari sisi sensitif semacam itu, semata agar kasus
ini lebih mudah terbaca warganet. Ah, terlalu jauh itu. Bagi saya begitu. Dalam
keterbatasan pemikiran saya tentang mengapa intoleran dan radikalisme di
Indonesia makin subur, peristiwa yang disangka telah mencoreng muka salah satu
agama yang sama dengan agama Suliono itu tak mau saya baca sebegitu beloknya.
Jadi, anggap saja salah besar jika Suliono ingin ‘menghadiahkan’ sebuah
penderitaan pada sesamanya. Suliono, bagi saya mewakili beberapa wajah orang
serupa 'Suliono' di negeri ini yang tak pernah menyadari bahwa ia lah atau
mereka lah sendiri yang tengah dalam 'penderitaan' itu.
St. Lidwina |
Begitu saya mendengar berita itu, saya lebih tertarik
menaikkan pikir saya tentang sosok St Lidwina, lengkap dengan penderitaan yang
disandangnya. Itung-itung ini Sinau Perempuan, edisi tulisan saya berikutnya di
Facebook. Kebetulan saya punya pengikat cerita tentang St Lidwina yang ternyata
lahir di Schiedam, sebuah kota kecil di Belanda. Kota itu pernah saya datangi
bersama mantan pacar masa lalu pada 2011. Setelah menyimaknya, ia sungguh
perempuan luar biasa di mata saya. Jujur, saya baru mengenalnya setelah Suliono
'berulah'. Lahir di Minggu Palma, pada 1380, St Lidwina sudah masuk dalam
penderitaan sejak usia belasan tahun. Di musim dingin, di usia 15 tahun, saat
asyik ber-ice skating, ia jatuh. Tulang rusuknya patah. Darah keluar dari
mulut, telinga dan hidungnya. Setelah cedera, gangren juga menyerangnya.
Belakangan, sejarawan berhipotesis bahwa sakit serius
yang dialami St Lidwina adalah kasus multiple sclerosis pertama yang ditemukan
di dunia, yaitu penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh dan menggerogoti
lapisan pelindung saraf. Betul juga, sebab St Lidwina lalu lumpuh total kecuali
tangan kirinya. Hidup dalam penderitaan semacam itu membuat St Lidwina yang
dibesarkan bersama delapan saudara laki-laki dari Peter dan Petronella itu
larut dalam doa dan meditasi. Ia berpuasa terus-menerus. Kalau pun makan, ia
sering hanya mengambil sepotong kecil apel. Penderitaannya itu bukan setahun
dua tahun tetapi selama 38 tahun. Bahkan sebelum tujuh tahun kematiannya, St
Lidwina buta. Namun ia tetap berpuasa hingga meninggal pada usia 53 tahun pada
1433.
Dalam penderitaan yang begitu panjang, Ekaristi Kudus
menjadi santapan St Lidwina setiap hari. Ia hidup hanya dengan menerima Komuni
Kudus. Sampai tiba kontemplasinya yang luar biasa; menderita penyakit yang tak
tersembuhkan, ia justru memiliki kekuatan untuk menyembuhkan orang lain. Banyak
orang datang kepadanya meminta didoakan. Mereka tahu Tuhan mendengarkan
doa-doanya. Dalam doa, ia sering disebut oleh umat saat mengalami beragam macam
sakit. “Kiranya dengan doa-doamu ya Santa Lidwina, diriku/saudara kami ini memperoleh
kesembuhan. Semoga engkau juga selalu mendoakan agar kami dapat menanggung dan
menerima semua penderitaan dalam hidup ini dengan penuh iman dan ketabahan.
Demi Kristus Tuhan ami. Aamiin,” demikian biasanya nama Santa itu disebutkan.
Andai St Lidwina hidup saat Suliono menyerang gereja pagi itu, ia pasti
mendoakan pria 22 tahun itu.
Sebab tindakan kekerasan orang kepada orang lain
tergolong lah 'sakit' juga. Usai penyerangan, orang tahu sekarang bagaimana
rumah Suliono di Desa Kandangan, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur,
itu sangatlah miskin; sebuah penderitaan terkonstruksi. Letaknya jauh, berjarak
sekitar 80 kilometer dari pusat Kota Banyuwangi. Perlu waktu tempuh sekitar
tiga jam untuk sampai ke rumah sederhana yang menggambarkan wajah 28 juta orang
miskin di negeri ini. Rumah dengan bangunan semipermanen itu dikabarkan belum
teraliri listrik atau menumpang dari aliran listrik milik tetangga. Ada tiga
kamar berukuran kecil dengan ruang tamu berkursi kayu tua. Rumah itu hanya
ditempati pasangan Mistadji (58) dan Edi Susiyah (54), orangtua kandung Suliono
karena Suliono dan tiga anak pasangan itu tinggal di luar Banyuwangi.
Melihat kondisi keluarga Suliono yang 'sakit' begitu,
buru-burukah menuding anak petani itu sedang memerangi agama lain yang berbeda
dengan agamanya? Saya tak mengingkari kemungkinan itu karena bisa saja alasan
itu ada pada diri Suliono yang kerap berjubah hitam layaknya tudingan verbal
pada tipikal penganut Islam fundamentalis. Kalau pun ia adalah contoh penindak
terorisme yang menyumbang masalah kerawanan sosial di Indonesia, tentu ada hal
lain yang memicu pola-pola tindakan terorisme seseorang. Inilah cerminan sebuah
"penderitaan' yang dialami banyak orang seperti Suliono di negeri ini.
Bukan salah Suliono mungkin, karena berapa banyak persoalan intoleran dan
radikalisme di Indonesia tak pernah diselesaikan serius oleh pemerintah yang
bertanggung jawab atas segala 'penderitaan' yang dialami rakyatnya. Jika
kondisi ini benar secara massal, maka penyerangan Suliono di gereja itu jangan
mudahlah dibaca sebagai tindakan yang mewakili kebencian agama pada agama yang
lain.
Yang begitu terlalu sepele. Ini pasti tentang
'penderitaan' seseorang (dan masyarakat) dalam kemiskinan lahir dan batin yang
mendorongnya melakukan hal-hal tak terkontrol dalam kehidupan sosial. Namun
meski negara punya peran bersalah, sesungguhnya setiap kita juga bertanggung
jawab atas sakitnya negeri ini dalam banyak sisi. Maka setiap kita harus punya
peran untuk menyelesaikan penderitaan-penderitaan itu tanpa harus menyalahkan
negara terus menerus. Kita tak bisa cuma berkeluh kesah tanpa melakukan apa-apa
untuk memperbaiki segala catatan buruk kita tentang Indonesia. Jika memang ini
masalahnya tentang agama, maka seyogyanya agama menjadi salah satu jalan keluar
dari penderitaan itu. Lewat sosok yang nyata dalam kehidupan, St Lidwina
menjadi contoh pada sekelompok orang yang ingin meyakini bahwa penderitaan bisa
menjadi sumber harapan bagi orang lain.
Dalam Injil, Surat Roma 8:18-20, 22-26, pengharapan itu
tergolong sebagai pengharapan yang tak terlihat. Itu masih bisa kita mintakan
dalam doa menurut agama dan keyakinan masing-masing di zaman ini, ketika segala
penderitaan sedang datang di Indonesia. Coba simak ini: "Sebab aku yakin,
bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan
yang akan dinyatakan kepada kita. ......... Sebab kita tahu, bahwa sampai
sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin.
Dan bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah menerima karunia sulung
Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai
anak, yaitu pembebasan tubuh kita. Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan.
Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang
masih mengharapkan apa yang dilihatnya? Tetapi jika kita mengharapkan apa yang
tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun. Demikian juga Roh membantu
kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus
berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan
keluhan-keluhan yang tidak terucapkan."
Jika memang semua anak manusia pasti mengeluh atas
'penderitaan' maka satu-satunya pengharapan kita atas berbagai masalah yang
membelit negara ini adalah hanya bertumpu pada pengharapan-pengharapan yang tak
terlihat semacam itu. Nah, agama telah menyediakan peluangnya. Tuhan jelas
dibuat tak terlihat agar manusia abadi dalam harapannya bertemu Sang Pencipta.
Terkait peristiwa Minggu pagi itu, sayang jika agama kita kambing hitamkan
sebagai hal yang paling sulit untuk dijaga daya tahannya di Indonesia. Saya
memilih menghindar jauh dari analisa itu karena hanya akan mengaburkan
persoalan yang sesungguhnya. Kini, kuburan St Lidwina di Schiedam menjadi
tempat ziarah yang diagungkan umat Katolik untuk terus mengingatkan setiap
orang akan 'penderitaan' yang semestinya diselesaikan oleh setiap orang dalam
agamanya masing-masing.
Teladan atas kemuliaan perempuan itulah yang membuat
Paus Leo XIII dari Gereja Katolik Roma mengkanonisasikan skater itu sebagai
orang suci pada 1890. Masuk akal karena ia teramat pantas menjadi manusia
sekelas Santo. Saking sucinya, setahun setelah ia meninggal, sebuah kapel
dibangun di atasnya. Peninggalannya pernah dibawa ke Brussels, Belgia pada
1615, namun kembali lagi ke Schiedam pada 1871. Sebuah gereja baru bergaya
neo-gothic yang didedikasikan untuk St Lidwina dibangun lagi pada 1859 di
Singlekirk. Namun gereja itu dihancurkan lagi pada 1969. Relik tentangnya di
antara patung dan beberapa benda peninggalannya dipindahkan ke kapel yang
dipersembahkan kepadanya di sebuah rumah di West Frankeland.
Pada 1990, Paus Yohanes Paul II mengangkat status
kapel itu ke sebuah basilika kecil, yang sekarang dikenal sebagai Basilika
Lidwina. Sebagai santo pelindung para skater dan mereka yang sakit kronis itu,
ada hari peringatan khusus untuk St Lidwina pada 18 Maret, 14 April atau 14
Juni, tergantung tradisi umat lokal setempat. Dari penderitaannya di akhir
hidupnya, ada ucapan St Lidwina yang sangat manusiawi tentang bagaimana manusia
sesungguhnya tak pernah berharap penderitaan datang kepadanya. "Jika saya
hidup sehat oleh Ave Maria lagi, saya tidak ingin sakit lagi." Kalimat ini
saya bayangkan terucap dari mulut Suliono. Andai kita tahu hatinya, tentu ia seperti
kita, tak pernah mau menjadi pesakitan seperti sekarang. Doa Suliono yang
bersuara merdu saat mengaji itu tentu yang baik-baik selama ini, di antaranya
berharap bisa menikahi bidadari yang hanya ada di surga.
Termasuk ketika lulusan di SDN 5 Kandangan dan SMPN 1
Pesanggaran Banyuwangi itu ngangsu ilmu agama di Ponpes Ibnu Sina milik Kiai
Maskur Ali, Ketua PCNU Banyuwangi. Semua setuju, tak ada pendidikan agama yang
menyuruh melakukan tindakan yang menderitakan orang lain. Renung saya, jika
memang semua orang sudah terlepas dari penderitaan termasuk dari tekanan sosial
negara terhadapnya, maka tak pernah ada cerita seorang Suliono yang berperilaku
santri itu bisa berbuat senekad itu pada orang lain yang seagama atau tak
seagama dengannya. Jika Suliono tega melakukannya kemarin karena ia sedang
'sakit' atau dalam 'penderitaan', jangan-jangan kita semua berpotensi sama
karena sedang dalam lingkaran 'penderitaan' di sebuah negara yang
"tenggelam dalam lautan luka dalam" seperti lagu Butiran Debu by
Rumor itu. Ah sudahlah, mari kita berlaku sekuat St Lidwina agar selamat.
Shalom.
--===--
* Cuma tentang perempuan hebat di dunia yang saya
kagumi
* Cuma tentang surat dalam Injil yang saya baca, bernama sama dengan nama adik kandung saya: Roma-Ahmad Romawi Yunani. Surat Roma atau disebut Surat Rasul Paulus adalah surat teragung yang pernah ditulis dalam Injil. Terdiri 16 pasal, surat ini untuk jemaat di Roma atau bangsa Romawi.
* Cuma tentang surat dalam Injil yang saya baca, bernama sama dengan nama adik kandung saya: Roma-Ahmad Romawi Yunani. Surat Roma atau disebut Surat Rasul Paulus adalah surat teragung yang pernah ditulis dalam Injil. Terdiri 16 pasal, surat ini untuk jemaat di Roma atau bangsa Romawi.
Tentang Penulis
Heti
Palestina Yunani merupakan sosok perempuan tangguh, gigih memperjuangkan
impian, bergelut dalam seni dan dunia jurnalistik. Hampir separuh usia, wanita
cantik ini menuangkan rona hidup dalam tiap tulisan juga lukisan indah.
Kecintaannya pada seni ia awali sedari kecil. Menulis adalah dunianya. Bagai
dua hal tak terpisahkan. Di usianya yang menginjak angka 41, perempuan
kelahiran 15 Agustus tersebut mengaku makin matang dan konsisten. Harapannya
tak jauh dari impiannya selama ini. Menjadi jurnalis independen, yang
menggabungkan konsep media dan seni. Pergumulan dengan banyak seniman membuat
Hetty mampu menyerap seni layaknya makanan lezat yang ia suka. Sedangkan
jurnalistik seolah mesin jahit, gabungan potensi bahan unik di sekitarnya. Dua
puluh tahun sudah ia cukup kenyang menikmati profesi ini, namun tak cukup
membuat Hetty puas. Ia pun memutuskan menjadi pewarta lepas, menduduki posisi
redaktur di Padmagz dan mengelola Little Sun Art & Media Management sebagai
Chief Executive Officer (CEO), di sela kesibukannya menjadi dosen Fakultas Ilmu
Komunikasi Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 (Untag), Surabaya.. – disarikan
dari http://www.cybertokoh.com
Sumber Tulisan: