Beberapa hari lalu saya dikagetkan oleh aksi seorang rektor yang memecat
seluruh pengurus pers mahasiswanya karena persoalan cerpen yang disinyalir
mengandung dukungan terhadap LGBT dan cerpen penuh dengan “sperma”.
Wuih, sebagai penikmat cerita pendek dan seorang yang menulis cerita
pendek boleh dong sesekali saya bangga terhadap cerita pendek hehe. Ternyata
pemilihan tema yang diceritakan dengan format cerita pendek ini sampai
segitunya ditakuti keberadaannya bahkan oleh orang sekelas rektor.
Apa sampai segitu cerpen bisa menghancurkan dunia? Eh, salah ding
ketinggian. Apa sampai segitunya cerpen bisa menghancurkan tatanan masyarakat
Indonesia? Apa iya setelah membaca cerpen yang bertemakan homoseksual bisa
merubah yang membaca menjadi orang homoseks? Ya ampun, ngeri banget dong kalau
tiba-tiba baca Ensiklopedia hewan tiba-tiba perilaku jadi kayak hewan, hehe. Eh
nggak ding, kayaknya hewan lebih manusiawi.
Di kolom Rak Buku kali ini saya ingin membahas soal satu novel yang
ditulis oleh penulis muda asal Makasar, Faisal Odang dengan judul Tiba Sebelum
Berangkat. Wah berangkat aja belum, gimana bisa tiba ya? Hheehe. Kita gas nanti
saat pembahasan.
Ulasan novel ini saya tulis lantaran ingat kejadian soal pembubaran pers
mahasiswa di atas karena kebetulan dengan menyentil isu yang sama, gender dan
kenapa novel ini begitu menarik bagi saya karena mengambil dari sudut pandang
Bissu, pendeta bagi masyarakat Bugis yang sering disebut “waria” karena
gendernya yang non biner alias tidak secara khusus mengkategorikan diri cowok
atau cewek. Apalagi nih, penulisnya ini adalah orang yang hidup dalam
lingkungan bissu dan adalah keturunannya. Jadi secara tidak langsung dia
mengalaminya. Begitu menarik atau mendorong? Yuks!
Secara umum
Agar tidak spoiler, secara garis besar novel ini bercerita soal
pencarian seseorang yang disekap saat kejadian bersejarah tahun 1950 di
Sulawesi Selatan. Alur novel ini maju mundur. Jadi sesekali pembaca akan
dihadapkan situasi penyekapan dan sesekali dihadapkan masa lalu karakternya
hingga akhirnya dia terbebas dan ah bro endingnya keren buanget, perlu aku kasi
tau?
Selama masa hidupnya inilah dia mengalami begitu banyak persoalan dari
sejak kecil mendengar kemelut partai orang tuanya, kehilangan ayahnya atas
dasar beda pandangan politik, hasrat seks yang tidak biasa dan pelarian untuk
terbebas dari perasaannya sendiri dan dari seorang bissu tua.
Tentang bissu
Para BISSU di Makkasar, 2017. (sumber, www.tribunnews.com) |
Bissu sendiri adalah karakter yang digunakan penulis sebagai karakter di
dalam novelnya. Dalam struktur budaya Bugis, peran bissu tergolong
istimewa karena dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai satu-satunya
operator komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara ritual tradisionalnya
dengan menggunakan bahasa dewa/langit (Basa Torilangi), oleh karena itu bissu
juga berperan sebagai penjaga tradisi tutur lisan sastra Bugis Kuno sure’La
Galigo. Bissu juga berperan mengatur semua pelaksaan upacara tradisional,
seperti upacara kehamilan, kelahiran, perkawinan (indo’botting),
kematian, pelepasan nazar, persembahan, tolak bala, dan lain-lain. Intinya,
peran bissu itu sangat penting.
Bissu itu memiliki gender yang non biner. Jika melihat seksnya, mereka
laki-laki, tapi dari penampilannya lebih condong ke perempuan dan feminim,
lengkap dengan rambutnya yang panjang. Mungkin banyak orang akan menyebut
mereka waria. Dalam bahasa Bugis, waria disebut calabai. Kata ini
berasal dari sala baine, yang artinya “bukan perempuan”. Mereka adalah
lelaki dengan kondisi jasmaniah melawan kodratnya. Senang berpenampilan dan
bertingkah laku feminin dalam kehidupan sehari-hari, pada raga seorang
laki-laki. Apabila terdapat remaja dalam suku Bugis yang menjadi calabai, biasanya
ia terpanggil pula untuk menjadi seorang Bissu.
Seorang waria baru dikatakan layak menjadi Bissu sepenuhnya
berdasarkan penilaian Puang Matoa atau Puang Lolo. Namun, sebelum benar-benar
diterima sebagai Bissu, calabbai tersebut harus menjalani prosesi
dibaringkan yang dilakukan di loteng bagian depan rumah Arajang. Calabbai yang
hendak dibaringkan ituhanya berlaku untuk satu orang saja. Pada hari terakhir
ia akan dimandikan, dikafani, dan dibaringkan selama sehari hingga senja.
Selama dibaringkan, di atas tubuhnya digantung sebuah guci berisi air.
Setelah melakukan prosesi itu, Bissu mendapat perlakuan yang
sangat istemewa. Bissu yang telah resmi dilantik akan diberi gelar
“Puang”, sebagaimana ia kemudian akan dipanggil dan disapa. Puang Matoa
(pimpinan tertua Bissu) diberi berhektar-hektar sawah yang pengerjaannya
dilakukan secara bergotong-royong, dan hasilnya digunakan untuk membiayai
upacara-upacara ritual dan kebutuhan hidup komunitas Bissu selama
setahun ke depan.Tidak hanya itu, perlakuan istimewa yang didapat termasuk
kebutuhan biologisnya. Di novel ini penulis menggambar adegan homoseks bissu
yang baru dilantik dengan Puang Matoa (pemimpin tertua bissu).
Sejarah DI/TII di Sulawesi Selatan
Novel ini juga menarik dengan ditambahkannya unsur sejarah. Dalam Novel
Tiba Sebelum Berangkat juga disisipkan unsur sejarah tentang Sulawesi Selatan
yang menjelaskan bagaimana bissu beserta generasinya dihabisi oleh kejadian
sejarah DI/TII karena pertentangan agama yang terjadi di era 1950an.Bissu mengalami
prahara yang memorak-porandakan seluruh pranata kebissu-annya.
Ini ditandai pada masa pemberontakan DI/TII tahun 1950-an, gerombolan
pimpinan Kahar Muzakkar melancarkan operasi penumpasan bissu yang
disebut dengan operasi toba (operasi taubat) yang gencar terjadi pada
tahun 1966. Perlengkapan upacara ritual bissu dibakar atau
ditenggelamkan ke laut dan tidak sedikit bissu maupun sanro (dukun)
dibunuh. Karena keberadaannya yang ambivalen, bissu dianggap tidak
menerima sunnatullah, karena secara fisik mereka adalah laki-laki tapi
penampilan seperti perempuan (tranvestities). Juga dianggap menyimpang
dari agama.
Tentang judulnya, menurut interpretasi saya
Saya belum pernah bertemu langsung dengan penulisnya. Hanya melalui
sosial media saja. Faisal Oddang sendiri adalah penulis yang bagi saya begitu
progressif di dunia sastra dan perlu kita slikidikin, eh selidiki. Dia adalah
penulis muda berbakat. Tahun 2018 karyanya masuk dalam pilihan Kusala Sastra
Khatulistiwa dan juga sempat mengikuti residensi penulis ke Iowa, Amerika
Serikat. Nah bicara judulnya, ini saya menerka dan coba menghubungkannya.
Menurut saya sendiri, judul ini diambil dari apa yang masyarakat Bugis
percaya terhadap bissu. Begini, bagi masyarakat Bugis, setiap bissu diyakini
memiliki kemampuan untuk melakukan kontak dengan masa lalu dan juga masa depan.
Dengan bahasa tersendiri, atau basa to rilangi(kalau orang di sana
bilangnya), bissu mampu berkomunikasi dengan para leluhurnya dari zaman
baheula hingga ke masa depan. Bahkan dia dianggap bisa meramalkan masa depan.
Atas dasar itulah saya menyimpulkan kenapa penulisnya memberi judul Tiba
Sebelum Berangkat. Ibarat kata, tubuh kasarnya di sini, pikirannya sudah mekeber
melingser alias sudah kemana mana.
————————–
Secara keseluruhan, konten novel ini begitu menarik buat saya. Soal
sosial, politik, budaya dan sejarah lengkap tercermin dalam karya Oddang ini. Bulan
lalu kita sudah bahas non fiksi dan sekarang kita sudah bahas fiksi (meskipun
sebagian ceritanya fakta hehe).
Berarti bulan depan aku akan menulis ulasan non fiksi lagi, bagaimana
kalau bahas The Gay Archipelago? Mumpung masih membicarakan homoseks dan
gender? Atau ada usulan lain? Komen di facebook fanspage Tatkala! [T]
Sumber:
Catatan:
Artikel ini ditulis oleh JULI SASTRAWAN, pengajar, penggiat literasi, sastrawan kw 5,
pustakawan di komunitas Literasi Anak Bangsa (Admin)