Rabu, 10 April 2019

Bissu; Waria Sebagai Pemuka Agama Dalam Novel Tiba Sebelum Berangkat



Beberapa hari lalu saya dikagetkan oleh aksi seorang rektor yang memecat seluruh pengurus pers mahasiswanya karena persoalan cerpen yang disinyalir mengandung dukungan terhadap LGBT dan cerpen penuh dengan “sperma”.
Wuih, sebagai penikmat cerita pendek dan seorang yang menulis cerita pendek boleh dong sesekali saya bangga terhadap cerita pendek hehe. Ternyata pemilihan tema yang diceritakan dengan format cerita pendek ini sampai segitunya ditakuti keberadaannya bahkan oleh orang sekelas rektor.
Apa sampai segitu cerpen bisa menghancurkan dunia? Eh, salah ding ketinggian. Apa sampai segitunya cerpen bisa menghancurkan tatanan masyarakat Indonesia? Apa iya setelah membaca cerpen yang bertemakan homoseksual bisa merubah yang membaca menjadi orang homoseks? Ya ampun, ngeri banget dong kalau tiba-tiba baca Ensiklopedia hewan tiba-tiba perilaku jadi kayak hewan, hehe. Eh nggak ding, kayaknya hewan lebih manusiawi. 
Di kolom Rak Buku kali ini saya ingin membahas soal satu novel yang ditulis oleh penulis muda asal Makasar, Faisal Odang dengan judul Tiba Sebelum Berangkat. Wah berangkat aja belum, gimana bisa tiba ya? Hheehe. Kita gas nanti saat pembahasan.
Ulasan novel ini saya tulis lantaran ingat kejadian soal pembubaran pers mahasiswa di atas karena kebetulan dengan menyentil isu yang sama, gender dan kenapa novel ini begitu menarik bagi saya karena mengambil dari sudut pandang Bissu, pendeta bagi masyarakat Bugis yang sering disebut “waria” karena gendernya yang non biner alias tidak secara khusus mengkategorikan diri cowok atau cewek. Apalagi nih, penulisnya ini adalah orang yang hidup dalam lingkungan bissu dan adalah keturunannya. Jadi secara tidak langsung dia mengalaminya. Begitu menarik atau mendorong? Yuks!
Secara umum
Agar tidak spoiler, secara garis besar novel ini bercerita soal pencarian seseorang yang disekap saat kejadian bersejarah tahun 1950 di Sulawesi Selatan. Alur novel ini maju mundur. Jadi sesekali pembaca akan dihadapkan situasi penyekapan dan sesekali dihadapkan masa lalu karakternya hingga akhirnya dia terbebas dan ah bro endingnya keren buanget, perlu aku kasi tau?
Selama masa hidupnya inilah dia mengalami begitu banyak persoalan dari sejak kecil mendengar kemelut partai orang tuanya, kehilangan ayahnya atas dasar beda pandangan politik, hasrat seks yang tidak biasa dan pelarian untuk terbebas dari perasaannya sendiri dan dari seorang bissu tua.
Tentang bissu
Para BISSU di Makkasar, 2017. (sumber, www.tribunnews.com)
Bissu sendiri adalah karakter yang digunakan penulis sebagai karakter di dalam novelnya. Dalam struktur budaya Bugis, peran bissu tergolong istimewa karena dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai satu-satunya operator komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara ritual tradisionalnya dengan menggunakan bahasa dewa/langit (Basa Torilangi), oleh karena itu bissu juga berperan sebagai penjaga tradisi tutur lisan sastra Bugis Kuno sure’La Galigo. Bissu juga berperan mengatur semua pelaksaan upacara tradisional, seperti upacara kehamilan, kelahiran, perkawinan (indo’botting), kematian, pelepasan nazar, persembahan, tolak bala, dan lain-lain. Intinya, peran bissu itu sangat penting.
Bissu itu memiliki gender yang non biner. Jika melihat seksnya, mereka laki-laki, tapi dari penampilannya lebih condong ke perempuan dan feminim, lengkap dengan rambutnya yang panjang. Mungkin banyak orang akan menyebut mereka waria. Dalam bahasa Bugis, waria disebut calabai. Kata ini berasal dari sala baine, yang artinya “bukan perempuan”. Mereka adalah lelaki dengan kondisi jasmaniah melawan kodratnya. Senang berpenampilan dan bertingkah laku feminin dalam kehidupan sehari-hari, pada raga seorang laki-laki. Apabila terdapat remaja dalam suku Bugis yang menjadi calabai, biasanya ia terpanggil pula untuk menjadi seorang Bissu.
Seorang waria baru dikatakan layak menjadi Bissu sepenuhnya berdasarkan penilaian Puang Matoa atau Puang Lolo. Namun, sebelum benar-benar diterima sebagai Bissu, calabbai tersebut harus menjalani prosesi dibaringkan yang dilakukan di loteng bagian depan rumah Arajang. Calabbai yang hendak dibaringkan ituhanya berlaku untuk satu orang saja. Pada hari terakhir ia akan dimandikan, dikafani, dan dibaringkan selama sehari hingga senja. Selama dibaringkan, di atas tubuhnya digantung sebuah guci berisi air.
Setelah melakukan prosesi itu, Bissu mendapat perlakuan yang sangat istemewa. Bissu yang telah resmi dilantik akan diberi gelar “Puang”, sebagaimana ia kemudian akan dipanggil dan disapa. Puang Matoa (pimpinan tertua Bissu) diberi berhektar-hektar sawah yang pengerjaannya dilakukan secara bergotong-royong, dan hasilnya digunakan untuk membiayai upacara-upacara ritual dan kebutuhan hidup komunitas Bissu selama setahun ke depan.Tidak hanya itu, perlakuan istimewa yang didapat termasuk kebutuhan biologisnya. Di novel ini penulis menggambar adegan homoseks bissu yang baru dilantik dengan Puang Matoa (pemimpin tertua bissu).
Sejarah DI/TII di Sulawesi Selatan
Novel ini juga menarik dengan ditambahkannya unsur sejarah. Dalam Novel Tiba Sebelum Berangkat juga disisipkan unsur sejarah tentang Sulawesi Selatan yang menjelaskan bagaimana bissu beserta generasinya dihabisi oleh kejadian sejarah DI/TII karena pertentangan agama yang terjadi di era 1950an.Bissu mengalami prahara yang memorak-porandakan seluruh pranata kebissu-annya.
Ini ditandai pada masa pemberontakan DI/TII tahun 1950-an, gerombolan pimpinan Kahar Muzakkar melancarkan operasi penumpasan bissu yang disebut dengan operasi toba (operasi taubat) yang gencar terjadi pada tahun 1966. Perlengkapan upacara ritual bissu dibakar atau ditenggelamkan ke laut dan tidak sedikit bissu maupun sanro (dukun) dibunuh. Karena keberadaannya yang ambivalen, bissu dianggap tidak menerima sunnatullah, karena secara fisik mereka adalah laki-laki tapi penampilan seperti perempuan (tranvestities). Juga dianggap menyimpang dari agama.
Tentang judulnya, menurut interpretasi saya
Saya belum pernah bertemu langsung dengan penulisnya. Hanya melalui sosial media saja. Faisal Oddang sendiri adalah penulis yang bagi saya begitu progressif di dunia sastra dan perlu kita slikidikin, eh selidiki. Dia adalah penulis muda berbakat. Tahun 2018 karyanya masuk dalam pilihan Kusala Sastra Khatulistiwa dan juga sempat mengikuti residensi penulis ke Iowa, Amerika Serikat. Nah bicara judulnya, ini saya menerka dan coba menghubungkannya.
Menurut saya sendiri, judul ini diambil dari apa yang masyarakat Bugis percaya terhadap bissu. Begini, bagi masyarakat Bugis, setiap bissu diyakini memiliki kemampuan untuk melakukan kontak dengan masa lalu dan juga masa depan. Dengan bahasa tersendiri, atau basa to rilangi(kalau orang di sana bilangnya), bissu mampu berkomunikasi dengan para leluhurnya dari zaman baheula hingga ke masa depan. Bahkan dia dianggap bisa meramalkan masa depan.
Atas dasar itulah saya menyimpulkan kenapa penulisnya memberi judul Tiba Sebelum Berangkat. Ibarat kata, tubuh kasarnya di sini, pikirannya sudah mekeber melingser alias sudah kemana mana.
————————–
Secara keseluruhan, konten novel ini begitu menarik buat saya. Soal sosial, politik, budaya dan sejarah lengkap tercermin dalam karya Oddang ini. Bulan lalu kita sudah bahas non fiksi dan sekarang kita sudah bahas fiksi (meskipun sebagian ceritanya fakta hehe).
Berarti bulan depan aku akan menulis ulasan non fiksi lagi, bagaimana kalau bahas The Gay Archipelago? Mumpung masih membicarakan homoseks dan gender? Atau ada usulan lain? Komen di facebook fanspage Tatkala!  [T]

Sumber:


Catatan:
Artikel ini ditulis oleh JULI SASTRAWAN, pengajar, penggiat literasi, sastrawan kw 5, pustakawan di komunitas Literasi Anak Bangsa (Admin)