Oleh Anjrah
Lelono Broto *)
Usai mendapat pemberitahuan dari seorang
kawan yang rajin terampil dan gembira yang juga kebetulan menjabat sebagai CEO
Waroeng Boenga Ketjil; Andhi “Kephix” Setyo Wibowo, saya menyegerakan diri
melihat kalender. Mengingat pemberitahuan kawan tersebut adalah sebuah undangan
untuk membagi pandang tentang pembacaan saya terhadap sebuah buku di hadapan
penulis-penulisnya. Saya khawatir, sudah ada perencanaan agenda tertentu pada
tanggal yang diberitahukannya.
Dan benar, pada hari dan tanggal yang
dimaksud, saya sudah punya rencana agenda berupa wisata relijius ke beberapa
tempat bersama dengan tetangga sedusun yang hemat cermat dan bersahaja. Setelah
melakukan negoisasi yang lumayan alot dan memakan waktu beberapa lama dan
difasilitasi kawan yang rajin terampil dan gembira di atas, akhirnya
tercapailah kesepakatan an bahwa agenda tersebut digelar pada hari Jum’at, 04
Mei 2018 di Waroeng Boenga Ketjil, belakang Pom Bensin Parimono, Plandi,
Jombang.
Selanjutnya, saya suka menyebut agenda
tersebut sebagai acara bincang senang, bukan diskusi, bedah buku, launching buku, dan atau sejenisnya yang
terkesan seram dan saya enggan menjadi bagian dari seram-seraman tersebut. Maka
jadilah sebuah agenda di mana saya membaca dan lalu membincang senang dengan
para penulisnya yang rata-rata suci dalam pikiran perkataan dan perbuatan.
Sebagai informasi pelengkap, buku kumpulan
cerpen “Sepenggal Cerita di Kota Terakhir Perjalanan Usia” ini
merupakan sebuah buku yang lahir dari sebuah tugas kuliah di Universitas Hasyim
Asy’ari Tebuireng Jombang Jawa Timur dengan dosen pengampu Raras Hafida Sari,
M.Hum. buku ini ditulis oleh Rio Hudan Dardiri, dkk (23 cerpenis lainnya), dan diterbitkan
oleh Penerbit Pustaka Ilalang dengan nomor ISBN 978-602-6715-23-4. Sebagai hasil
tugas mata kuliah, maka cerpen-cerpen di dalam buku ini juga memiliki kesamaan
garis tematik, yaitu “mimpi”.
Sebenarnya, saya sungguh sangat berharap,
dosen pengampu yang memberikan penugasan ini dapat juga hadir. Karena saya
pribadi ingin dapat menyambung silahturakhmi dan menggali latar belakang
pemilihan tematik. Namun, apa daya beliaunya berhalangan hadir. Namun, rasa
kekecewaan hati saya ditambal dengan kehadiran salah satu dosen (lajang) di PBS
Indonesia Universitas Hasyim Asy’ari lainnya; Agus Sulton. Beliau menyempatkan
hadir usai meluncur langsung dari Malang, usai memberikan kuliah di Universitas
Brawijaya Malang.
Saya pikir ilustrasi penganta peristiwa
sastra ini sudah lumayan panjang dan membosankan, saya akan langsung menukik
pada bagian isi catatan mini ini.
1.
Saya memilih kata “tunduk” dalam judul di
atas, sejatinya berangkat dari kegelisahan bahwa saya menangkap adanya aura
keterpaksaan untuk menulis cerpen di beberapa cerpen dalam buku ini. Saya
sendiri paham bahwa tidak semua orang itu dekat dengan aktifitas menulis, dalam
konteks ini cerpen, meskipun tengah menempuh studi di lingkungan pendidikan
bahasa dan sastra.
Saya jadi ingat pengalaman pribadi saya
beberapa tahun yang lalu ketika didaulat membedah buku dengan latar belakang
penugasan persis dengan buku ini, tapi bukan oleh Univ. Hasyim Asy’ari, masih
sekota namun beda kampus. Dalam diskusi tersebut, saya juga menyinggung adanya
aura keterpaksaan dan para (mahasiswa) penulisnya juga mengiyakan. Dan,
akibatnya mereka pun mengharamkan kehadiran saya dalam agenda-agenda kesenian
dan atau kesastraan di tahun berikutnya hingga kini. Ternyata, masih ada yang
tidak tahan dengan suara-suara yang “kurang diharapkan”. Namun, dalam hemat
saya (dan semoga benar), Univ. Hasyim Asy’ari beserta civitas akademikanya
tidak seperti saudara sekotanya.
Lugh, mengapa saya jadi curhat?!!
Mungkin ini terbawa aura cerpen-cerpen di
dalam buku ini. Sesuai dengan pengakuan (jujur) para penulisnya, beberapa dari
24 cerpenis di buku ini mengaku kali pertama menulis cerpen. Sebelumnya mereka
lebih akrab dengan puisi dan esai-esai (bukan puisiesai lho). Telah lazim pula,
di karya-karya awal para cerpenis cenderung untuk menjadikan cerpen sebagai
media curhat (Ajidarma, 1998:86-89). Bagi saya pribadi, ini mungkin karena sang
cerpenis belum bisa menemukan sosok rekaan yang lengkap dengan karakteristik
berikut konflik-konfliknya, sehingga menjadikan tokoh di dalam cerpennya
sebagai copy paste kediriannya di
dunia nyata. Dan atau, bisa juga, sebagai karya-karya awal, mayoritas para cerpenis
di buku ini memiliki keterbatasan literatur sebagai referensi cerpen. Sementara
tenggat pengumpulan tugas tinggal menghitung menit. Dan atau pula, mungkin karena
tema yang ditentukan oleh dosen pengampu yaitu “mimpi”, di mana hal ini (secara
harfiah) merupakan sesuatu yang bersifat pribadi, milik pribadi, dan hanya
dinikmati oleh diri sendiri. Sehingga beberapa
cerpen seperti Perjuangan Anak Desa,
Harapan, Semua Berhak Punya Mimpi, Mawarku, Tanpa Restu Ibu, dan beberapa
lainnya lebih mirip curhatan (pribadi) ala diary
ketimbang sebagai sebuah cerpen.
Namun, jangan berkecil hati, saya sendiri
juga sempat curhat di atas bukan?
Siapa saja memang berhak untuk curhat,
namun kita lihat waktu, tempat (media), serta kepada siapa kita berbagi
curhatan. Ketika saya tersadar sedang curhat, sesegera mungkin, saya melakukan
penghentian, artinya kontrol diri ternyata merupakan kebutuhan mutlak seorang
penulis, bahkan penulis karya fiksi. Ketika kontrol diri mampu didayagunakan
sebagaimana mestinya maka kesadaran kita akan menggiring kita pada etika dan
estetika sebuah cerpen, berikut pernik unsur-unsur instrinsiknya. Bagaimana mengembangkan
tema yang baik? Bagaimana menciptakan karakter tokoh yang bulat, pipih, ataukah
lonjong? Bagaimana membangun alur yang memikat? Bagaimana membuka dan menutup
cerita agar hasilnya membuat pembacanya terpesona? Dan lainnya, dan lainnya,
dan lainnya.
2.
Pun begitu, ada tiga cerpen yang menarik
perhatian saya di dalam buku ini. Sangat menarik, bahkan sangat menarik. Tiga cerpen
itu adalah Kota Terakhir Perjalanan Usia,
Galaksi Mimpi, dan Mimpiku Tersedak
Kelamin Dajjal. Sekarang mari kita kulik satu-satu untuk menemukan di bagian
mana keunikannya. Pertama, cerpen Kota
Terakir Perjalanan Usia karya Rio Hudan Dardiri (Rio HD). Cerpen ini
sebenarnya serta merta sudah menunjukkan bahwa Rio HD bukanlah cerpenis pemula
seperti mayoritas kawan lainnya. Di cerpen ini sebenarnya Rio HD juga sedikit
curhat, namun dirinya mampu mengemas curhatnya tesebut dengan apik, serta membungkusnya
dengan kehadiran tokoh Mokhsa yang membawa aura realisme magis. Kehadiran tokoh
yang tidak imajiner dalam sebuah cerita realis memang menghadirkan keunikan
tersendiri, dan Rio HD memilikinya dalam cerpen ini. Sebagai pribadi yang
memiliki latar belakang referensi tentang pondok pesantren, Rio HD juga
menghadirkan tokoh dan pernik-pernik khas pesantren, seperti Kyai dan Bancik (teras bertingkat di seputar
masjid maupun ndhalem kyai, pen). Tetapi,
Rio HD tidak menjubal-jubalkan referensinya tersebut dengan jumlah yang
berlebihan, kehadirannya jumlahnya pas, mengingat tokoh aku dalam cerpen ini
masih pertama kali menapakkan kaki di lingkungan pondok pesantren. Akan menjadi
lucu dan tidak logis bukan, jika cerpennya berkisah tentang pengalaman pertama
tinggal di lingkungan pondok pesantren namun idiom-idiom pesantren bertebaran
seperti cendawan di musim hujan. Dan Rio HD tidak melakukan kelucuan dan
ketidaklogisan itu. Saya ber-positif thinking,
kontrol dirinya telah melewati level beginner.
Cerpen kedua, berjudul Galaksi Mimpi karya Fitri Nurul Afni (Fitri
NA) ternyata lebih ciamik lagi. Tidak seperti mayoritas kawan-kawannya
mendefinisikan tematik “mimpi” sebagai harapan dan atau cita-cita, Fitri NA
dalam cerpen ini menghadirkan definisi yang sama sekali berbeda dan unik
sekali. Mimpi adalah sebuah beban yang harus dimiliki setiap anak, seperti
halnya jodoh (hingga jika jomblo sampai lama pasti menjadi objek bully-an). Demikian interpretasi saya
terhadap cerpen ini. Lepas dari kehadiran mimpi sebagai bagian terapi dalam
cerpen ini, namun pemaksaan adanya mimpi bagi setiap anak merupakan sesuatu
yang membebani. Jika dibaca lebih lanjut, saya bisa mengandaikan bahwa cerpen
ini sebenarnya merupakan sebuah protes halus Fitri NA kepada masyarakat tentang
keharusan memiliki mimpi (bisa dibaca harapan, cita-cita, dst) pada diri
seorang anak. Tengok pertanyaan guru di dalam kelas maupun orang tua tentang
cita-cita, bukankah seakan menasbihkan bahwa yang tidak memiliki cita-cita
adalah sebuah kebebalan. Padahal, bisa saja, cita-cita dan atau mimpi itu
sendiri datangnya seperti jodoh itu sendiri, rejeki juga, dan kematian juga, bagian
dari rahasia-Nya yang sebagai makhluk kita hanya bisa menebak-nebak dan
mengusahakannya, tidak dengan hasil akhirnya. Dan atau, cerpen Fitri NA ini
sendiri merupakan protes halusnya kepada ibu dosen pengampu yang mengharuskan
memiliki mimpi melalui tugas mata kuliahnya. Ah, saya terlalu jauh melemparkan
jaring interpretasi. Lupakanlah. Saya jadi sungkan dengan Pak Dosen Agus Sulton
yang rela menolong dan tabah. Terlepas dari itu semua, Fitri NA yang rupanya
telah rajin menulis di media massa lokal dan wattpad ini memang boleh dibilang telah melewati level intermediate.
Cerpen ketiga, karya Dandy Asghor Dawudi
(Dandy AD) berjudul Mimpiku Tersedak
Kelamin Dajjal. Cerpen ini, dalam pembacaan saya pribadi, sebenarnya lebih
mirip cerpen eksperimental. Dandy AD, entah sengaja atau tidak, telah
menghadirkan cerpen yang tidak lazim, alurnya meloncat sana-sini mirip timeline media sosial (meminjam istilah
Dadang Ari Murtono menyebut alur dalam buku novelnya Samaran). Dandy AD juga membangun ketidakutuhan tokoh dalam cerpen
ini, sehingga Roqim dan Tolbin nampaknya harus belajar menjadi pribadi yang
utuh pada Spongebob dan Patrick dalam film kartun Spongebob Squarepants. Lihatlah keutuhan karakter Spongebob yang
polos, rajin bekerja, suka bercanda, dll. Bandingkan juga dengan tokoh Patrick
yang pemalas, bodoh, namun setia kawan. Beberapa kawan cerpenis lainnya menilai
cerpen ini lebih mirip esai ketimbang cerpen, dan saya berdoa (dengan
sungguh-sungguh) Dandy AD bukanlah salah satu umat nabi sastra palsu, Denny JA.
Sebagai pribadi yang unik, seunik cerpennya, Dandy AD sendiri sejatinya juga
telah melewati level intermediate.
Tentu, saya sangat berharap bahwa
pencapaian tiga cerpenis di atas tidak mengecilkan hati kawan-kawan lainnya. Karena
saya juga sangat yakin bahwa pencapaian bukanlah sesuatu yang turun tiba-tiba
dari langit. Dan, saya sangat yakin pula bahwa teman-teman cerpenis lainnya di
buku ini juga telah memiliki pencapaian intermediate
bahkan expert di bidang yang lain. Bukankah
begitu Belia Puspa Wiyanti, penulis cerpen Mimpi
Kita Tak Sejauh Bintang?
Selamat atas kelahiran buku antologi
cerpen Sepenggal Cerita di Kota Terakhir
Perjalanan Usia. Semoga akan segera karya-karya lainnya, baik keroyokan
maupun pribadi. Dan tak kapok untuk mengundang saya lagi. Sudahkah tunduk dan
atau masih ingin menundukkan cerpen lagi, di lain usia.
************
Surodinawan-Mojokerto,
Mei 2018
*) Penggemar
Cerpen dan Penggagas Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LS3)