Sabtu, 05 Mei 2018

TUNDUK DAN ATAU MENUNDUKKAN CERPEN (Catatan Mini Membaca dan Bincang Senang dengan para cerpenis dalam Buku “Sepenggal Cerita di Kota Terakhir Perjalanan Usia”)



Oleh Anjrah Lelono Broto *)


     Usai mendapat pemberitahuan dari seorang kawan yang rajin terampil dan gembira yang juga kebetulan menjabat sebagai CEO Waroeng Boenga Ketjil; Andhi “Kephix” Setyo Wibowo, saya menyegerakan diri melihat kalender. Mengingat pemberitahuan kawan tersebut adalah sebuah undangan untuk membagi pandang tentang pembacaan saya terhadap sebuah buku di hadapan penulis-penulisnya. Saya khawatir, sudah ada perencanaan agenda tertentu pada tanggal yang diberitahukannya.
     Dan benar, pada hari dan tanggal yang dimaksud, saya sudah punya rencana agenda berupa wisata relijius ke beberapa tempat bersama dengan tetangga sedusun yang hemat cermat dan bersahaja. Setelah melakukan negoisasi yang lumayan alot dan memakan waktu beberapa lama dan difasilitasi kawan yang rajin terampil dan gembira di atas, akhirnya tercapailah kesepakatan an bahwa agenda tersebut digelar pada hari Jum’at, 04 Mei 2018 di Waroeng Boenga Ketjil, belakang Pom Bensin Parimono, Plandi, Jombang.
     Selanjutnya, saya suka menyebut agenda tersebut sebagai acara bincang senang, bukan diskusi, bedah buku, launching buku, dan atau sejenisnya yang terkesan seram dan saya enggan menjadi bagian dari seram-seraman tersebut. Maka jadilah sebuah agenda di mana saya membaca dan lalu membincang senang dengan para penulisnya yang rata-rata suci dalam pikiran perkataan dan perbuatan.   
     Sebagai informasi pelengkap, buku kumpulan cerpen “Sepenggal Cerita di Kota Terakhir Perjalanan Usia” ini merupakan sebuah buku yang lahir dari sebuah tugas kuliah di Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang Jawa Timur dengan dosen pengampu Raras Hafida Sari, M.Hum. buku ini ditulis oleh Rio Hudan Dardiri, dkk (23 cerpenis lainnya), dan diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Ilalang dengan nomor ISBN 978-602-6715-23-4. Sebagai hasil tugas mata kuliah, maka cerpen-cerpen di dalam buku ini juga memiliki kesamaan garis tematik, yaitu “mimpi”.
     Sebenarnya, saya sungguh sangat berharap, dosen pengampu yang memberikan penugasan ini dapat juga hadir. Karena saya pribadi ingin dapat menyambung silahturakhmi dan menggali latar belakang pemilihan tematik. Namun, apa daya beliaunya berhalangan hadir. Namun, rasa kekecewaan hati saya ditambal dengan kehadiran salah satu dosen (lajang) di PBS Indonesia Universitas Hasyim Asy’ari lainnya; Agus Sulton. Beliau menyempatkan hadir usai meluncur langsung dari Malang, usai memberikan kuliah di Universitas Brawijaya Malang.
     Saya pikir ilustrasi penganta peristiwa sastra ini sudah lumayan panjang dan membosankan, saya akan langsung menukik pada bagian isi catatan mini ini.
  
1.
     Saya memilih kata “tunduk” dalam judul di atas, sejatinya berangkat dari kegelisahan bahwa saya menangkap adanya aura keterpaksaan untuk menulis cerpen di beberapa cerpen dalam buku ini. Saya sendiri paham bahwa tidak semua orang itu dekat dengan aktifitas menulis, dalam konteks ini cerpen, meskipun tengah menempuh studi di lingkungan pendidikan bahasa dan sastra.
     Saya jadi ingat pengalaman pribadi saya beberapa tahun yang lalu ketika didaulat membedah buku dengan latar belakang penugasan persis dengan buku ini, tapi bukan oleh Univ. Hasyim Asy’ari, masih sekota namun beda kampus. Dalam diskusi tersebut, saya juga menyinggung adanya aura keterpaksaan dan para (mahasiswa) penulisnya juga mengiyakan. Dan, akibatnya mereka pun mengharamkan kehadiran saya dalam agenda-agenda kesenian dan atau kesastraan di tahun berikutnya hingga kini. Ternyata, masih ada yang tidak tahan dengan suara-suara yang “kurang diharapkan”. Namun, dalam hemat saya (dan semoga benar), Univ. Hasyim Asy’ari beserta civitas akademikanya tidak seperti saudara sekotanya.
     Lugh, mengapa saya jadi curhat?!!
     Mungkin ini terbawa aura cerpen-cerpen di dalam buku ini. Sesuai dengan pengakuan (jujur) para penulisnya, beberapa dari 24 cerpenis di buku ini mengaku kali pertama menulis cerpen. Sebelumnya mereka lebih akrab dengan puisi dan esai-esai (bukan puisiesai lho). Telah lazim pula, di karya-karya awal para cerpenis cenderung untuk menjadikan cerpen sebagai media curhat (Ajidarma, 1998:86-89). Bagi saya pribadi, ini mungkin karena sang cerpenis belum bisa menemukan sosok rekaan yang lengkap dengan karakteristik berikut konflik-konfliknya, sehingga menjadikan tokoh di dalam cerpennya sebagai copy paste kediriannya di dunia nyata. Dan atau, bisa juga, sebagai karya-karya awal, mayoritas para cerpenis di buku ini memiliki keterbatasan literatur sebagai referensi cerpen. Sementara tenggat pengumpulan tugas tinggal menghitung menit. Dan atau pula, mungkin karena tema yang ditentukan oleh dosen pengampu yaitu “mimpi”, di mana hal ini (secara harfiah) merupakan sesuatu yang bersifat pribadi, milik pribadi, dan hanya dinikmati oleh diri sendiri.  Sehingga beberapa cerpen seperti Perjuangan Anak Desa, Harapan, Semua Berhak Punya Mimpi, Mawarku, Tanpa Restu Ibu, dan beberapa lainnya lebih mirip curhatan (pribadi) ala diary ketimbang sebagai sebuah cerpen.
     Namun, jangan berkecil hati, saya sendiri juga sempat curhat di atas bukan?
     Siapa saja memang berhak untuk curhat, namun kita lihat waktu, tempat (media), serta kepada siapa kita berbagi curhatan. Ketika saya tersadar sedang curhat, sesegera mungkin, saya melakukan penghentian, artinya kontrol diri ternyata merupakan kebutuhan mutlak seorang penulis, bahkan penulis karya fiksi. Ketika kontrol diri mampu didayagunakan sebagaimana mestinya maka kesadaran kita akan menggiring kita pada etika dan estetika sebuah cerpen, berikut pernik unsur-unsur instrinsiknya. Bagaimana mengembangkan tema yang baik? Bagaimana menciptakan karakter tokoh yang bulat, pipih, ataukah lonjong? Bagaimana membangun alur yang memikat? Bagaimana membuka dan menutup cerita agar hasilnya membuat pembacanya terpesona? Dan lainnya, dan lainnya, dan lainnya.

2.
     Pun begitu, ada tiga cerpen yang menarik perhatian saya di dalam buku ini. Sangat menarik, bahkan sangat menarik. Tiga cerpen itu adalah Kota Terakhir Perjalanan Usia, Galaksi Mimpi, dan Mimpiku Tersedak Kelamin Dajjal. Sekarang mari kita kulik satu-satu untuk menemukan di bagian mana keunikannya. Pertama, cerpen Kota Terakir Perjalanan Usia karya Rio Hudan Dardiri (Rio HD). Cerpen ini sebenarnya serta merta sudah menunjukkan bahwa Rio HD bukanlah cerpenis pemula seperti mayoritas kawan lainnya. Di cerpen ini sebenarnya Rio HD juga sedikit curhat, namun dirinya mampu mengemas curhatnya tesebut dengan apik, serta membungkusnya dengan kehadiran tokoh Mokhsa yang membawa aura realisme magis. Kehadiran tokoh yang tidak imajiner dalam sebuah cerita realis memang menghadirkan keunikan tersendiri, dan Rio HD memilikinya dalam cerpen ini. Sebagai pribadi yang memiliki latar belakang referensi tentang pondok pesantren, Rio HD juga menghadirkan tokoh dan pernik-pernik khas pesantren, seperti Kyai dan Bancik (teras bertingkat di seputar masjid maupun ndhalem kyai, pen). Tetapi, Rio HD tidak menjubal-jubalkan referensinya tersebut dengan jumlah yang berlebihan, kehadirannya jumlahnya pas, mengingat tokoh aku dalam cerpen ini masih pertama kali menapakkan kaki di lingkungan pondok pesantren. Akan menjadi lucu dan tidak logis bukan, jika cerpennya berkisah tentang pengalaman pertama tinggal di lingkungan pondok pesantren namun idiom-idiom pesantren bertebaran seperti cendawan di musim hujan. Dan Rio HD tidak melakukan kelucuan dan ketidaklogisan itu. Saya ber-positif thinking, kontrol dirinya telah melewati level beginner.
     Cerpen kedua, berjudul Galaksi Mimpi karya Fitri Nurul Afni (Fitri NA) ternyata lebih ciamik lagi. Tidak seperti mayoritas kawan-kawannya mendefinisikan tematik “mimpi” sebagai harapan dan atau cita-cita, Fitri NA dalam cerpen ini menghadirkan definisi yang sama sekali berbeda dan unik sekali. Mimpi adalah sebuah beban yang harus dimiliki setiap anak, seperti halnya jodoh (hingga jika jomblo sampai lama pasti menjadi objek bully-an). Demikian interpretasi saya terhadap cerpen ini. Lepas dari kehadiran mimpi sebagai bagian terapi dalam cerpen ini, namun pemaksaan adanya mimpi bagi setiap anak merupakan sesuatu yang membebani. Jika dibaca lebih lanjut, saya bisa mengandaikan bahwa cerpen ini sebenarnya merupakan sebuah protes halus Fitri NA kepada masyarakat tentang keharusan memiliki mimpi (bisa dibaca harapan, cita-cita, dst) pada diri seorang anak. Tengok pertanyaan guru di dalam kelas maupun orang tua tentang cita-cita, bukankah seakan menasbihkan bahwa yang tidak memiliki cita-cita adalah sebuah kebebalan. Padahal, bisa saja, cita-cita dan atau mimpi itu sendiri datangnya seperti jodoh itu sendiri, rejeki juga, dan kematian juga, bagian dari rahasia-Nya yang sebagai makhluk kita hanya bisa menebak-nebak dan mengusahakannya, tidak dengan hasil akhirnya. Dan atau, cerpen Fitri NA ini sendiri merupakan protes halusnya kepada ibu dosen pengampu yang mengharuskan memiliki mimpi melalui tugas mata kuliahnya. Ah, saya terlalu jauh melemparkan jaring interpretasi. Lupakanlah. Saya jadi sungkan dengan Pak Dosen Agus Sulton yang rela menolong dan tabah. Terlepas dari itu semua, Fitri NA yang rupanya telah rajin menulis di media massa lokal dan wattpad ini memang boleh dibilang telah melewati level intermediate.
     Cerpen ketiga, karya Dandy Asghor Dawudi (Dandy AD) berjudul Mimpiku Tersedak Kelamin Dajjal. Cerpen ini, dalam pembacaan saya pribadi, sebenarnya lebih mirip cerpen eksperimental. Dandy AD, entah sengaja atau tidak, telah menghadirkan cerpen yang tidak lazim, alurnya meloncat sana-sini mirip timeline media sosial (meminjam istilah Dadang Ari Murtono menyebut alur dalam buku novelnya Samaran). Dandy AD juga membangun ketidakutuhan tokoh dalam cerpen ini, sehingga Roqim dan Tolbin nampaknya harus belajar menjadi pribadi yang utuh pada Spongebob dan Patrick dalam film kartun Spongebob Squarepants. Lihatlah keutuhan karakter Spongebob yang polos, rajin bekerja, suka bercanda, dll. Bandingkan juga dengan tokoh Patrick yang pemalas, bodoh, namun setia kawan. Beberapa kawan cerpenis lainnya menilai cerpen ini lebih mirip esai ketimbang cerpen, dan saya berdoa (dengan sungguh-sungguh) Dandy AD bukanlah salah satu umat nabi sastra palsu, Denny JA. Sebagai pribadi yang unik, seunik cerpennya, Dandy AD sendiri sejatinya juga telah melewati level intermediate.
     Tentu, saya sangat berharap bahwa pencapaian tiga cerpenis di atas tidak mengecilkan hati kawan-kawan lainnya. Karena saya juga sangat yakin bahwa pencapaian bukanlah sesuatu yang turun tiba-tiba dari langit. Dan, saya sangat yakin pula bahwa teman-teman cerpenis lainnya di buku ini juga telah memiliki pencapaian intermediate bahkan expert di bidang yang lain. Bukankah begitu Belia Puspa Wiyanti, penulis cerpen Mimpi Kita Tak Sejauh Bintang?
     Selamat atas kelahiran buku antologi cerpen Sepenggal Cerita di Kota Terakhir Perjalanan Usia. Semoga akan segera karya-karya lainnya, baik keroyokan maupun pribadi. Dan tak kapok untuk mengundang saya lagi. Sudahkah tunduk dan atau masih ingin menundukkan cerpen lagi, di lain usia.

************
Surodinawan-Mojokerto, Mei 2018

*) Penggemar Cerpen dan Penggagas Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LS3)