Oleh Sofyan RH. Zaid*
“Puisi
dimulai dengan semangat dan kerinduan, dan berakhir dengan kerendahaan hati.”
– Goenawan Mohamad
Gairah Kepenyairan
Seperti yang diucapkan Borges, yang paling pahit dari kepenyairan adalah ketika kenyataan bertanya pada kita: “Berapa nilai karyamu sekarang?” Rilke benar, orang lain tidak bisa menjawab pertanyaan ini dengan jujur, kecuali nurani kita sendiri. Penyair punya tanggung jawab dan otoritas penuh pada setiap karya puisi yang ditulisnya. Penyair yang mengalami kepahitan seperti ini dan mendapatkan jawaban jujur dari nurani sendiri, akan mengerti bahwa: pujian dan cacian – sebagai kritik ataupun sentimentik – tidak penting lagi. Semua itu hanya sebagai bentuk lain dari apresiasi dan motivasi untuk terus menjaga ”gairah kepenyairan” dalam proses kreatif; teguh pada prinsip, setia pada proses, tidak tergesa-gesa, tapi juga sadar untuk tidak terlambat.
Seperti yang diucapkan Borges, yang paling pahit dari kepenyairan adalah ketika kenyataan bertanya pada kita: “Berapa nilai karyamu sekarang?” Rilke benar, orang lain tidak bisa menjawab pertanyaan ini dengan jujur, kecuali nurani kita sendiri. Penyair punya tanggung jawab dan otoritas penuh pada setiap karya puisi yang ditulisnya. Penyair yang mengalami kepahitan seperti ini dan mendapatkan jawaban jujur dari nurani sendiri, akan mengerti bahwa: pujian dan cacian – sebagai kritik ataupun sentimentik – tidak penting lagi. Semua itu hanya sebagai bentuk lain dari apresiasi dan motivasi untuk terus menjaga ”gairah kepenyairan” dalam proses kreatif; teguh pada prinsip, setia pada proses, tidak tergesa-gesa, tapi juga sadar untuk tidak terlambat.
Adakalanya
kejujuran butuh keberanian hingga bisa terungkap. Keberanian dalam menggunakan
“budaya banding” atau bahkan “budaya tanding” dalam istilah Emha Ainun Najib.
Secara sadar dan terbuka kita banding-tandingkan karya kita sendiri dengan karya
orang lain melalui pembacaan dan pengamatan yang mendalam. Sampai di sini,
sebenarnya untuk menjadi atau menjaga (gairah) kepenyairan sangatlah mudah,
hanya dengan terus menulis, membaca dan mempertanyakan nilai karya kita setiap
saat. Sehingga kepahitan yang kita teguk bisa menjadi jamu yang menguatkan
karya kita.
Puisi
yang Baik
“Puisi merupakan upaya mulia menulis diri di batu, bukan di pasir,” kata Oscar Wilde. Puisi yang baik seperti secangkir kopi, bisa dinikmati aromanya sebelum mencicipi rasanya. Puisi yang bisa dinikmati paling tidak memiliki empat komposisi utama yang harus berpadu secara harmoni:
“Puisi merupakan upaya mulia menulis diri di batu, bukan di pasir,” kata Oscar Wilde. Puisi yang baik seperti secangkir kopi, bisa dinikmati aromanya sebelum mencicipi rasanya. Puisi yang bisa dinikmati paling tidak memiliki empat komposisi utama yang harus berpadu secara harmoni:
1.
Keutuhan.
Puisi merupakan satu kesatuan bentuk dan isi dari awal sampai akhir. Ada
’keterkaitan’ dan ’keterikatan’ yang erat satu sama lain (kohesi, koherensi)
serta ’disiplin’ dalam menggunakan kata-kata yang senyawa (konsistensi, cataloque).
Semua unsur dalam puisi; kata, kalimat, bahkan tanda baca harus disadari
adanya: ditimbang dan dipilih agar saling gotong-royong mendukung kekuatan ide
yang diusung dan mengarah ke satu titik saja: sebuah ledakan!
2.
Kelenturan,
puisi setidaknya nyaman ketika dibaca, tidak kaku dan tidak ada sandungan.
Kenyamanan berhubungan dengan penggunaan bahasa yang lentur dan halus. Baik
menggunakan kalimat pendek yang tidak lengkap atau kalimat panjang yang
lengkap. Kelenturan juga berkaitan dengan gaya bahasa (majas), kata yang
dipilih (diksi) serta ‘pengucapan’ sebagai gaya ungkap yang digunakan. Ukuran
sederhananya, puisi yang lentur ibarat air, mampu mengalir sampai jauh,
melewati selokan dan sungai kemudian berakhir di laut, menyatu dengan keluasan.
3.
Kebaruan,
puisi bukan barang baru di dunia sebagai salah satu karya sastra. Jutaan puisi
lahir dan ribuan penyair muncul dari waktu ke waktu. Apa yang diangkat (tema)
bisa jadi sama, begitu juga kata-kata yang dipakai, yang membedakan hanyalah
‘bagaimana cara mengungkapkannya’. Dengan demikian, hindari peniruan secara
langsung (plagiat) dan penggunaan kata atau frasa yang sudah basi (klise). Pada
tahap ini, kita dipaksa berjuang mencari sesuatu yang baru dan berbeda melalui
pembendaharaan kata yang kita punya dari pengalaman membaca banyak karya orang
lain.
4.
Kesempurnaan,
dalam dunia kepenyairan ada istilah lisensia puitika, di mana penyair punya
alasan untuk tidak setia pada aturan yang ada (baku) dengan alasan khusus,
tujuan tertentu dan efek puitis yang hendak dicapai. Namun ‘ketidak-setiaan’
itu bisa dimaafkan selama ‘sengaja dilakukan’ dengan penuh keasadaran dan
pengetahuan. Hal ini berhubungan dengan EYD, penulisan kata yang benar dan
tidak ada kesalahan ketik (typo).
Sebuah
puisi yang memadukan empat komposisi di atas, akan menjadi puisi yang baik.
Puisi yang baik, maknanya tercipta dengan sendirinya, bukan disisipkan oleh
penyairnya. Sebab puisi bukanlah alat untuk menyampaikan pesan, meski kesan
harus tetap ada. Itulah kenapa puisi yang baik, tidak membawa pembaca pada
makna, tapi pada alamatnya saja. Puisi kadang tidak beda jauh dengan peta
rahasia yang menunjukkan adanya harta karun melalui tanda-tanda yang harus
dipecahkan. Dengan kata lain, puisi harus mampu mengubah pesan menjadi kesan
(hikmah), atau paling tidak sebaliknya.
Penciptaan
Puisi
Chairil Anwar percaya, jika puisi itu ‘dilahirkan’, oleh karenanya harus ‘diciptakan’, bukan sekadar ‘dituliskan’. Proses sederhana dalam penciptaan puisi mempunyai lima prinsip utama:
Chairil Anwar percaya, jika puisi itu ‘dilahirkan’, oleh karenanya harus ‘diciptakan’, bukan sekadar ‘dituliskan’. Proses sederhana dalam penciptaan puisi mempunyai lima prinsip utama:
1)
Ilham
(ide atau gagasan), ada banyak cara dan gaya menemukan ilham, bisa berasal dari
apa yang kita rasa, dengar, lihat dan rasakan, yang paling sederhana “puisi
kadang bermula dari sebuah larik yang kita temukan tanpa sengaja,” kata TS
Eliot. Ilham jangan hanya ‘dicari’, tetapi harus ‘ditemukan’. Sehingga kita
tidak perlu menunggu ilham untuk menulis puisi.
2)
Penulisan,
ilham yang kita temukan kemudian ditulis jadi puisi, tulis dengan segenap
perasaan, tanpa perlu berpikir, biarkan mengalir, sampai habis, sampai tidak
ada lagi yang bisa ditulis. Baik ditulis tangan pada kertas atau diketik
melalui komputer atau ponsel.
3)
Pengendapan,
simpan dan lupakan puisi yang sudah kita tulis untuk sementara waktu. Proses
ini penting untuk menghindari puisi yang terlalu emosional atau
individualistik. Ini semacam membuat jarak antara emosi penyair dengan puisinya
untuk mendapatkan emosi puisi yang murni atau sublim.
4)
Pengeditan,
tidak ada puisi yang bagus dalam sekali tulis, kalaupun ada, itu hanya
‘perasaan’ saja. Itulah kenapa puisi harus dibaca lagi berulang setelah
diendapkan. Lakukan pengeditan seperti seorang pemahat memoles dan merapikan
ukirannya, atau kolektor batu yang terus menggosok akiknya sampai berkilau.
Sabar dalam menimbang, memikirkan, merenungkan, merasakan, menambahkan,
membuang bahkan membongkarnya; mana kata dan frasa atau larik yang klise, mana
larik atau bait yang terlalu biasa, lalu naikkan ke ‘derajat sastra’.
5)
Peniupan Ruh,
menulis puisi seperti membuat burung dari tanah liat, untuk bisa hidup,
berkepak dan terbang, tiupkan ruh. Dengan kata lain, setelah semua proses
dilakukan, yang terakhir ialah memberikan “sentuhan akhir”: keindahan dan
kedalaman, agar puisi mempunyai nilai universal apapun tema yang diusung.
Pada
umumnya para penyair (pemula) dalam membuat puisi hanya berhenti pada proses
kedua saja (penulisan). Sehingga puisi yang dihasilkan baru ‘bakal’ puisi
(embrio), bukan puisi yang sebenarnya sebagai ‘anak’ kreativitas.
Jenis Kelamin Puisi
Ada banyak jenis puisi, secara garis besar dibedakan berdasarkan ‘bentuk’ dan ‘isi’. Misalnya dalam katagori bentuk: ada ‘puisi liris’, yakni puisi yang menggunakan kalimat tidak lengkap dengan larik-larik pendek, dan ‘puisi prosais’ yakni sebailknya, puisi yang menggunakan kalimat lengkap dengan larik-larik panjang, seperti halnya prosa.
Ada banyak jenis puisi, secara garis besar dibedakan berdasarkan ‘bentuk’ dan ‘isi’. Misalnya dalam katagori bentuk: ada ‘puisi liris’, yakni puisi yang menggunakan kalimat tidak lengkap dengan larik-larik pendek, dan ‘puisi prosais’ yakni sebailknya, puisi yang menggunakan kalimat lengkap dengan larik-larik panjang, seperti halnya prosa.
Sedang
dari sisi isi: ada ‘puisi puitis’, yaitu puisi yang bersifat majasi, maknanya
terselubung, tidak bisa dimengerti dalam sekali baca, butuh perenungan, bahkan
referensi lain di luar puisi, sehingga puisi kadang juga disebut dengan istilah
‘puisi kamar’. Puisi-puisi yang cocok dibaca dalam kamar yang sepi. Sedangkan
‘puisi komunikatif’ adalah sebaliknya, yaitu puisi yang bisa langsung
dimengerti dalam sekali baca, puisi jenis ini kadang dikenal dengan istilah
‘puisi panggung’. Puisi-puisi yang tepat dibaca di atas panggung pertunjukan.
Lantas
mana yang lebih baik? Hanya soal pilihan dan selera. Keduanya sama-sama baik
selama ditulis dengan benar sesuai ilmu dan kaidah yang ada. Hanya di kalangan
orang-orang yang serius menulis dan membaca puisi, ada beberapa pokok
pengetahuan yang tersirat:
a) Membiasakan diri
menulis puisi ‘puitis’ daripada ‘komunikatif’, apapun temanya. Sebab puitis
adalah satu sifat penting yang membedakan puisi dengan karya sastra lainya.
Meskipun pada awalnya tema yang diangkat selalu personal, tentang cinta,
kerinduan, kesepian dan keterasingan.
b) Mulailah menulis
puisi puitis dengan tema yang lebih luas, seperti tema sosial, lokalitas, dan
lainnya yang lebih bersifat universal atau human interest.
c) Ketika nomor a dan b
sudah terbiasa dilakukan, cobalah sekali waktu menulis puisi komunikatif, baik
tanpa atau keperluan tertentu, kemudian bandingkan hasilnya dengan puisi
komunikatif sebelumnya.
Kenapa
puisi harus puitis? Selain sebagai pembeda dengan karya sastra lain, puisi yang
puitis selalu memberi “efek gaib” bagi batin pembaca. Itulah yang dimaksud
‘getar keindahan’ yang paling jujur, bagaimana kata-kata memiliki jemari,
sanggup menyentuh dan memberikan kebahagiaan lain yang ‘begitu sesuatu’.
Istikamah
Campbell
pernah menulis:
Suatu
pagi, ada seorang wanita muda mengetuk pintu rumahku. Dia bertanya: “Beri tahu
saya, Tuan, puisi yang baik itu seperti apa?” Tanpa mempersilakan masuk dan
duduk, saya menjawabnya: “Puisi yang baik itu tidak menurut saya, tidak menurut
Anda, tidak juga menurut orang lain, namun menurut waktu dan puisi itu sendiri
yang tahu.” Wanita itu pergi dengan wajah muram, seperti bunga mawar yang layu.
Saya pun pergi ke ranjangku kembali seperti seekor kucing dan melanjutkan
tidur. Dalam mimpiku wanita itu menusuk dadaku dengan pisau dapur yang tumpul
sambil berteriak: “Ini puisi!”. Saya terjaga dan berkeringat dingin. Sejak itu,
saya jadi takut bicara soal puisi, saya hanya banyak membaca dan menulis sampai
bosan, dan begitu seterusnya. Jika ada orang lain lagi yang bertanya, jawaban
saya selalu sama dengan apa yang saya lakukan.
Cerita ini
seperti membenarkan ucapan Borges; “Kapan sebenarnya kita berhenti menulis?
Ketika kita telah berhenti membaca.”
*******
Jakarta, 19
Mei 2016
*
Penyair dan editor, buku puisinya Pagar Kenabian (2015) masuk 15 buku
nominasi Anugerah Hari Puisi Indopos 2015.
sumber: