Rabu, 27 Mei 2020

“Menunggu Hadirnya Maaf” – Cerpen karya Erwin Pitang – Dimuat di Pos Kupang edisi 19 November 2018




"Ketika lara tertawan kata, rindu berkiblat syair senja...
Bunda, kudekap setitik hasrat di ladang ini.."
"ITULAH senja, Nak. Emas menjelma elok kemuning. Pada ranumnya segumpal duka asing menghujam. Di pelupuk mata, indah rona senja abadi, tak bergeming. Keabadian yang hilang, ya nama itu kusematkan untuk senja. Dan akan selalu hilang. Senja bersemilir lirik-lirik bayu labuhkan luka opera tempo dulu, bahagia lama beraura duka. Pesona senja goreskan sukma, bertepi ke masa silam. Mahligai senja lumpuhkan malam, namun bukan pada keindahan.
Secepat kilat datang dan berlalu pergi tanpa kompromi. Dia tak pernah mengerti kerinduan, sebab dialah kerinduan itu. Mengeluhkah ia akan hadirnya malam? Cemburukah ia pada malam bertudung kemilau indah gemintang pun simpul bahagia sang bayu?
Pernahkah ia bermimpi menjadi malam bertabur bintang-bintang bersayap dan tersayat?" Suara lembut bunda mengalun, menukik masuk dalam gendang telingaku. Suara itu terbata-bata pertanda ada duka yang ranum pada kelopak senja.
Senja yang kuagungkan kembali mengulang, kudekap indah lentik alisnya, lipur lara pengobat sukma, tatkala luka mendekap tepian hati nan teduh.
Gubuk mungil peninggalan almarhum ayahku masih tegak berdiri adalah tempat yang paling setia menunggu kehadiranku tatkala aku memutuskan untuk berhenti menjadi pekerja di ladang Tuhan, setelah empat tahun berladang di sana.
Dahulu, sebelum meninggalkan kami dan gubuk tua ini, aku sering ditemani ayah menikmati wanginya tiwus racikan bunda, sembari menatap pesona awan terbuai rayuan sang bayu juga kejora nan manis.
Di beranda gubuk ini juga ku bermimpi tuk menggapai bintang. Kataku pada ayah dan bunda," jika itu pun tak sampai biarlah langit menenun serpihan harapku."
"Semilir bayu menyingkap teduh wajah bunda, menepis sebongkah lara sejenak aku bertelut menahan gelora rindu pada mendiang ayah. Inikah amanah atau sekadar halusinasi bernanah tetes-tetes rindu?"
Bunda mendekatiku tatkala aku terpesona indah rumbai senja. Mata kami terhipnotis, lantas kalbu melukis kisah berbeda pada senja yang sama. Sejenak ku tebak ada luka terselubung dari keteduhan mata bunda saat menatap senja yang perlahan berlalu. Aku bukan peramal, tetapi sejak aku kembali, bunda menjadi pribadi yang selalu membuat mataku sedih dan imajinasiku bergelora.
Kehadiranku, tak mampu hentikan sembab di pelupuk mata bunda. Hujan tanpa musim menikam elok wajah bunda, pertanda aksara kejam akan menggerogotiku.
Kupalingkan tatapanku ke langit sembari menahan derita dibalik kebenaran dugaanku. Malam mulai meluruh. Aku dan bunda masih berada pada pikiran kami masing-masing.
"Nak, tahukah kamu seberapa besar kerinduan malam akan hadirnya bayu dan seperti apa jadinya malam tak berbintang atau bintang itu ada tetapi gagal menjadi kejora?" Tanya bunda sambil menghela napas panjang.
Kudengar ada degup jantung berdetak kaku ketika suara bunda kembali menggema ke kupingku tuk kedua kalinya.
Aku terdiam. Tertunduk lesu. Mencari jawaban yang pasti agar bisa membongkar siasat pertanyaan bunda.
Sebenarnya aku tahu apa yang hendak bunda katakan padaku, hanya saja bunda masih menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakannya.
Sejujurnya kerinduan malam akan hadirnya bayu adalah analogi yang bunda sematkan tentang kerinduannya akan sosok yang bisa membuatnya bahagia.
Aku bisa menyebutnya dengan sosok pekerja di ladang Tuhan. Tetapi mulutku terasa kaku tuk berucap, menjinakkan dan membenarkan alasan kenapa aku harus memutuskan untuk meninggalkan kehidupan membiara.
Suaraku pun belum sanggup berkumandang. Kata-kata masih hangat berselimutkan ragu.
"Bunda, aku tahu apa yang lagi bunda rasakan."
"Kamu tahu tetapi rela membuat bunda tersiksa?"
Bunda memotong pembicaraanku dengan suara keras. Kerasnya kata-kata bunda adalah cara untuk membuka daya pikirku, tuk mengerti tentang harapan-harapan yang bunda gali dengan peluh dan doa yang tak kunjung usai.
"Sedalam palung lautan kerinduan bunda akan keberhasilanmu menjadi pekerja di ladang Tuhan, dan kamu tahu ketika kamu gagal menjadi bintang kejora, sesungguhnya kamu telah menciptakan sebuah musim baru dalam keteduhan mata bunda. Air mata menjadi suara satu-satunya cara bunda berbicara tentang luka. Kamu pernah bilang kalau bermimpi harus sampai ke bintang dan kalau tidak sampai ke bintang ke langit pun cukup. Tetapi apa yang kamu berikan untuk bunda? Kamu justru meredupkan bintangmu sendiri. Kamu telah menghancurkan tanah dimana bunda berdiri, dan kamu tahu saat ini, di mata bunda kamu tidak ada artinya sedikitpun," kata bunda sembari berpaling menjauhiku.
Kata-kata bunda ini menjadi melodi bernada pedang yang menembus masuk ke hati melewati daun telinga yang diam dan tenang. Isak tangis bunda membuat aku tak tega melihatnya. Aku tak ingin air mata bunda yang berharga mengalir tak beraturan menodai keindahan matanya. Aku harus berkata jujur.
"Bunda, sebelumnya aku minta maaf telah membuat bunda kecewa dan tak bisa lagi memungut setiap pecahan air mata bunda yang terlanjur jatuh berkeping-keping menggores luka di hati. Aku akan merasa menjadi orang yang paling mementingkan kebahagiaan sendiri, andaikan niatku masih memacuku untuk terus melangkah merebut satu tahkta di altar Tuhan. Apakah bunda percaya akan kekuatan janji ?"
Kataku sambil mendekati bunda yang berdiri membelakangiku di pojok gubuk tua itu.
"Janji itu kehidupan, Nak. Kamu hadir karena janji. Janji setia yang bunda dan ayah semayamkan pada bahtera cinta yang tak pernah tenggelam dalam samudera ketakutan. Namun jangan jadikan janji sebagai sebuah ketakutan karena dia tak pernah mengancam andaikan kita jujur padanya." Kata bunda sambil menatapku dengan mata waspada.
"Sebelum aku memilih tuk berladang di kebun Tuhan, aku telah bersumpah darah dengan gadis dara yang kukenal di ujung usiaku yang sedang mekar. Setiap malam pada dinding hati yang tenang ini ada tangisan bergetar, mengusik, melantunkan rindu akan kepulanganku. Aku merasakan deraian air matanya jatuh bertalu mendesakku tuk bisa memungut setiap pecahan air matanya itu dan pergi menyerahkannya pada sebuah pelukan. Bahkan ketika detak jantungnya berdegup kencang memanggil namaku, ada badai rindu yang dasyat merobohkan kemapanan jiwaku. Pada malam yang terlambat hadirkan bintang, doaku menggema ke peraduan Tuhan. Aku memohon agar Tuhan bisa membiarkan aku kembali, karena Tuhan tak ingin kehadiranku di depan matanya sekedar mengisi ruang yang kosong. Semua karena rasa cinta yang hadir pada saat itu membuat rasaku untuk tidak menyakitinya semakin membuih dan aku melakukan itu karena aku tak ingin kebahagiaanku adalah duka bagi dia. Sumpah darah yang kami lakukan adalah kesetiaan untuk memiliki. Aku yakin Tuhan pun tidak akan cemburu karena Dia mengijinkanku pergi membawa serta cinta dengan status kekal untuk kumeteraikan pada ambang hati yang sedang terbuka untukku."
Sebait kata yang kulantunkan kepada bunda adalah usaha terbaikku untuk berkata jujur, bahwa cinta dan kekuatan janjilah yang telah membuatku gagal menjadi bintang sekaligus kejora bagi harapan yang bunda semai dalam ladang hati kecilnya.
Aku berharap kata-kataku bisa menjadi embun sejuk penyembuh luka hati bunda, agar bunda bisa menerima keyataan ini dengan ikhlas.
"Nak, imanmu terlalu kecil. Andaikan imanmu sebesar biji sesawi, kau bisa memindahkan gadis itu ke dalam doamu dan biarkanlah dia berbahagia dibalik lipatan jubahmu yang suci."
"Aku ada karena janji dan karena janji itu pula aku kembali hadir kedua kalinya untuk bunda. Aku kembali kepada bunda bukan karena aku melarat di ladang Tuhan, bukan pula tak ada anggur yang tak bisa kupetik dan kuteguk, rasanya juga bukan karena aksara doa bunda cacat sehingga tak sampai ke peraduan Sang Khalik, tetapi karena kekuatan janji itu bunda. Janji yang kata bunda adalah kehidupan itu. Aku ingin kehidupan itu tumbuh dan mekar di dalam cinta dan kesetiaan kami."
"Imanmu tak sebesar biji sesawi dan cintamu sebesar lukisan senja, maka pergilah dari hadapan bunda dan jadikanlah cintamu abadi. Arungilah kehidupanmu dan janganlah memikirkan kehidupan bunda. Cinta bunda kepadamu adalah kebencian yang menunggu hadirnya kata maaf dalam kehidupan bunda. Andaikan kehadiran kata maaf muncul dalam waktu dekat, mungkin kau bisa memeluk bunda lagi, tetapi kalau kata maaf tak pernah hadir dalam kehidupan bunda kau boleh kembali saat usia bunda sedang tersisa satu hembusan." Kata bunda sembari meninggalkan aku bersama heningnya gubuk tua di malam itu.
Kutatap langkah bunda dengan sepasang mata bimbang. Kulihat gubuk tua ini lagi tak sekadar gubuk tetapi film pendek dengan pemeran kedua yang telah tiada.
Semoga bunda tak sekejam ini. Dalam keheningan malam itu aku berseru entah kepada siapa suaraku akan berlabuh dan dalam hati kecil yang sedang berdarah kutujukan seutas kata," Tuhan, ini aku. Aku menanti setetas anggur merembes jatuh pada cawan-Mu."  

(Erwin Pitang, tinggal di Vocationary)

 
_________________________________
Artikel ini telah tayang di pos-kupang.com dengan judul Cerpen Erwin Pitang: Menunggu Hadirnya Maaf, https://kupang.tribunnews.com/2018/11/19/cerpen-erwin-pitang-menunggu-hadirnya-maaf.
Penulis: PosKupang
Editor: Apolonia Matilde