Rabu, 27 Mei 2020

Balon-Balon Permintaan Maaf - Cerpen Nurul Khotimah (Pikiran Rakyat, 25 Februari 2018)



SUNGGUH hari-hariku kini terlalu berat untuk kulewati. Setumpuk pekerjaan yang kian hari menggunung berhasil memberatkan punggung ini. Beban itu semakin terasa ketika sang kekasih yang kuharapkan dapat dijadikan pundak untuk bersandar saat kulelah, seseorang yang dapat kujadikan tempat pelepas penat kini telah pergi dan berpaling ke lain hati.
Semua bermula ketika aku yang tak sengaja lewat di depan kafe dekat tempat aku bekerja beberapa minggu yang lalu. Dengan jelas kulihat dia, orang yang selama ini kupercaya akan setia menjaga hatinya, tengah asyik berduaan dengan seorang pria. Pertengkaran hebat pun tak bisa dihindarkan hingga kuputuskan untuk mengakhiri hubungan ini.
Saat jam kantor telah selesai, kuputuskan untuk segera pulang. Di dalam bus itu suasana begitu ramai karena hampir terisi penuh dengan orang-orang yang baru pulang dari kerjaannya.
Kuputuskan untuk tidak peduli dengan semua itu. Aku memilih diam menghadap jendela bus. Menatap siluet yang terlewati sepanjang jalan.
Di tengah perjalanan, seorang pria dengan beberapa balon digenggamannya memilih duduk di bangku sebelahku yang memang saat kosong.
Setelah lama kuperhatikan, ternyata dia adalah pria yang dulu bersama pacarku di kafe itu. Dadaku langsung sesak seketika, peluh tiba-tiba mengalir deras di pelipisku. Emosiku tersulut, namun tak kubiarkan untuk meluapkanya dalam bus ini. Aku berusaha menahan diri dan memilih turun walaupun sebenarnya tujuanku masih cukup jauh. Namun belum sempat kuberdiri, pria itu terlebih dahulu mengangkat suara.
Aku tertahan. Terpaksa mengikuti keinginannya.
“Sekarang apa mau Anda? Belum puaskah Anda telah menghancurkan hubunganku dengannya?” ujarku, kesal dengan nada yang sedikit tinggi.
“Biarkan saya berbicara dan mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi saat itu,” katanya, lirih.
“Kau tak patut menghukum dia dengan memutuskan hubungan secara sepihak.”
Aku hanya terdiam, kupalingkan wajahku kembali menghadap jendela bus yang menghadirkan siluet keramaian jalanan. Telingaku tersumbat secara tiba-tiba. Tak ingin kudengar apapun darinya.
“Kau tahu? Balon-balon yang kubawa sekarang adalah pemberian darinya.”

Balon-balon Permintaan Maaf ilustrasi Yana Husna/Pikiran Rakyat
Aku sempat tersentak. Namun masih tak kupedulikan. Mendengarkannya hanya akan menambah luka yang hampir kering ini semakin perih. Apalagi dia memamerkan balon-balon pemberian darinya.
Dia seakan tak peduli dengan sikap acuh yang kusuguhkan. Dia terus bercerita. Aku. Terpojokkan, menahan emosi.
“Aku mempunyai seorang istri, yang belakangan sangat sensitif dan mudah sekali marah padaku.”
Aku sempat tertarik saat ia menyebutkan bahwa ia telah mempunyai istri. Entah, tiba-tiba telingaku perlahan refleks untuk bisa mendengamya bercerita.
Lanjutnya. “Sampai pada suatu pagi, istriku benar-benar marah besar hanya karena saat malam harinya aku tidak menuruti maunya untuk tidur di ranjang sebelah kanan, dekat dengan tembok. Bagiku tidur di sebelah manapun sama saja. Tetapi mungkin tidak bagi dirinya. Ia benar-benar marah dan sama sekali tak mau berbicara denganku.”
“Hingga suatu saat, aku bertemu dengan dia, kekasihmu. Dia menyarankanku untuk memberikan lima buah balon untuk istriku lengkap dengan surat permintaan maaf. Terdengar lucu memang, namun hal itu berhasil membuat istriku kembali tersenyum. Sejak saat itu, setiap hari aku selalu membawakannya balon-balon ini entah itu aku berbuat salah atau tidak.”
Aku sedikit terharu mendengar kisahnya, lantas dengan sendirinya aku mengangkat bicara.
“Jadi, sebenarnya Anda telah beristri? Lantas apa yang Anda lakukan sore itu dengan dia?” ujarku.
“Sejak pertemuan itu hingga sekarang, dialah yang membelikan balon-balon ini, bahkan ia membawanya lebih dari lima, karena biasanya sebelum sampai rumah selalu ada yang meletus. Dia juga yang mengajariku merangkai kata yang kutuliskan pada surat permintaan maaf yang kemudian kuberikan pada istriku.”
“Kau tahu, dia juga banyak bercerita tentang kekasihnya, yang tiada lain adalah Anda. Banyak sekali hal yang ia kagumi dari Anda. Betapa ia sangat mencintai Anda lebih dari ia mencintai dirinya sendiri. Mungkin ia masih belum bisa melupakan Anda. Hingga pada akhirnya kuputuskan untuk menemui Anda dan menjelaskan semuanya,” lanjutnya.
Pikiranku tiba-tiba kacau dan tak karuan. Aku membatin. Apa yang telah kulakukan? Aku telah menyakiti perasaan wanita yang selama ini tulus mencintaiku. Aku yang terlalu emosi saat itu, tak mampu berpikir jernih.
Oh Tuhan, berikan aku kesempatan satu kali lagi untuk bersamanya. Pintaku, dalam hati.
Saat aku meratapi apa yang telah terjadi tertunduk lesu dan tak berdaya, bus tiba-tiba berhenti tepat di depan tempat pemakaman umum. Kulihat pria itu turun dari pintu depan bus dan terdengar bunyi letusan. Dua baton yang dibawanya pecah.
Saat itu juga muncul rasa penasaran di benakku, banyak pertanyaan yang menggantung di pikiranku hingga kuputuskan untuk turun dari bus dan secara perlahan mengikuti langkahnya.
Tibalah ia pada sebuah makam yang tanah kuburannya masih basah. Ia tertunduk lama di atas makam tersebut. Kulihat nisan yang masih berwama putih bersih itu bernamakan “Ratna Ningsih binti Aji Suryadinata” dan tanggal wafatnya yakni “21 November 2017” berarti sekitar satu minggu yang lalu wanita itu telah meninggal.
Rasa penasaranku semakin bertambah. Siapa sebenarnya “Ratna” itu. Untuk apa dia kemari dan lama tertunduk di atas makamnya. Tiba-tiba dia membuka suara seraya mengikatkan balon-baton yang dibawanya pada nisan tersebut.
“Ratna, sayangku. Aku kembali datang membawa baton-baton kesukaanmu. Namun aku minta maaf karena baton yang kubawa tidak seperti biasanya. Hanya empat balon yang tersisa setelah dua baton yang lain meletus saat tadi turun dari bus. Kuharap kau tak akan marah. Sebagai permohonan maafku, biar kubacakan surat permohonan maaf yang dengan tulus kutulis untukmu. Dengarkan yaa sayang….”
Saat menyaksikan semua itu, hatiku turut larut dalam suasana duka. Tangis di mata tak terbendung lagi. Akhirnya baru kumengerti, dan kuputuskan untuk pergi karena tak ingin mengganggunya.
Rasa haru mengiringi langkahku. Sepanjang jalan pulang, rinaian bening tak henti-hentinya menetes dari mataku. Entah mengapa sore itu aku bisa menjadi sosok lelaki selemah dan secengeng itu. Aku teringat pada kekasihku, sungguhaku merasa bersalah.
Aku duduk menunggu sebuah bus di sebuah halte tua, bercat merah tua yang telah banyak memudar terkena panas dan hujan yang tak jauh dari pemakaman. Langit senja yang menghadirkan warna jingga khasnya, menemaniku sore itu.
Tiba-tiba, sebuah tangan mengulurkan selembar sapu tangan berwama pink bermotif bunga ke arahku. Kuperhatikan sapu tangan itu sama seperti sapu tangan yang dulu pernah kuberikan pada kekasihku saat ulang tahunnya.
Senja yang mulai berganti malam, menarik halus warna jingganya membuat siluet seseorang itu menjadi samar-samar, ditambah mataku yang baru mengeluarkan air mata semakin menambah kekaburan akan sosok orang itu.
Saat aku mulai menyadari bahwa sosok itu adalah Adina kekasihku, entah mengapa bulir bening itu kembali menetes membasahi pipi. Ia dengan sabar mengusap air mata yang jatuh dengan perlahan, usapan lembutnya tak hanya menyapu air mata tapi seakan menyapu semua rasa gelisah dan bersalah yang aku alami saat itu.
Minggu-minggu berikutnya hubunganku berjalan seperti dulu lagi. Aku merasa seperti seseorang yang telah mati namun diberi kesempatan untuk hidup kembali. Aku kembali bernyawa.
Adina, yang telah berkawan baik dengan pria itu mengisahkan bahwa ternyata istrinya tebh lama mengidap penyakit kanker otak yang sudah amat parah, ia sering mimisan dan muntah darah yang membuatnya sering pergi ke kamar mandi agar semua orang tidak tahu perihal penyakitnya. Termasuk suaminya.
Hingga setiap malam ketika hendak tidur ia meminta tidur di ranjang sebelah kiri, dengan alasan tiap malam ia sering ke kamar mandi untuk buang air kecil sehingga ia meminta suaminya tidur di ranjang sebelah kanan karena takut membangunkan suaminya.
Semua rencananya berlangsung dengan rapi. Tak seorang pun menyadari bahwa ia sebenarnya tengah menderita menahan sakit. Mungkin karena kebahagiaan yang diberikan suaminya, sehingga ia tak pernah menampilkan kesan seperti orang sakit di wajahnya.
Namun pada suatu hari ia benar-benar tak dapat lagi menahan rasa sakitnya. Ia jatuh pingsan saat menghidangkan sarapan pagi untuk suaminya. Dengan cepat ia dilarikan ke rumah sakit, namun sayang sudah terbmbat. Penyakitnya berhasil mengalahkan tubuh lemahnya. Ia pergi dengan damai.
Sadar bahwa ia terlambat menyadari apa yang dialami istrinya, ia kini dirundung rasa bersabh dan menyesal. Setiap sore ia selalu mengagendakan untuk mengunjungi makam istrinya dengan membawa balon-balon dan surat permintaan maaf, persis seperti yang dilakukannya dahulu ketika istrinya masih hidup.
***

-----------------------
Sumber: