SUNGGUH hari-hariku kini terlalu
berat untuk kulewati. Setumpuk pekerjaan yang kian hari menggunung berhasil
memberatkan punggung ini. Beban itu semakin terasa ketika sang kekasih yang
kuharapkan dapat dijadikan pundak untuk bersandar saat kulelah, seseorang yang
dapat kujadikan tempat pelepas penat kini telah pergi dan berpaling ke lain
hati.
Semua bermula ketika aku
yang tak sengaja lewat di depan kafe dekat tempat aku bekerja beberapa minggu
yang lalu. Dengan jelas kulihat dia, orang yang selama ini kupercaya akan setia
menjaga hatinya, tengah asyik berduaan dengan seorang pria. Pertengkaran hebat
pun tak bisa dihindarkan hingga kuputuskan untuk mengakhiri hubungan ini.
Saat jam kantor telah
selesai, kuputuskan untuk segera pulang. Di dalam bus itu suasana begitu ramai
karena hampir terisi penuh dengan orang-orang yang baru pulang dari kerjaannya.
Kuputuskan untuk tidak
peduli dengan semua itu. Aku memilih diam menghadap jendela bus. Menatap siluet
yang terlewati sepanjang jalan.
Di tengah perjalanan,
seorang pria dengan beberapa balon digenggamannya memilih duduk di bangku
sebelahku yang memang saat kosong.
Setelah lama kuperhatikan,
ternyata dia adalah pria yang dulu bersama pacarku di kafe itu. Dadaku langsung
sesak seketika, peluh tiba-tiba mengalir deras di pelipisku. Emosiku tersulut,
namun tak kubiarkan untuk meluapkanya dalam bus ini. Aku berusaha menahan diri
dan memilih turun walaupun sebenarnya tujuanku masih cukup jauh. Namun belum
sempat kuberdiri, pria itu terlebih dahulu mengangkat suara.
Aku tertahan. Terpaksa
mengikuti keinginannya.
“Sekarang apa mau Anda?
Belum puaskah Anda telah menghancurkan hubunganku dengannya?” ujarku, kesal
dengan nada yang sedikit tinggi.
“Biarkan saya berbicara dan
mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi saat itu,” katanya, lirih.
“Kau tak patut menghukum
dia dengan memutuskan hubungan secara sepihak.”
Aku hanya terdiam,
kupalingkan wajahku kembali menghadap jendela bus yang menghadirkan siluet
keramaian jalanan. Telingaku tersumbat secara tiba-tiba. Tak ingin kudengar
apapun darinya.
“Kau tahu? Balon-balon yang
kubawa sekarang adalah pemberian darinya.”
Balon-balon
Permintaan Maaf ilustrasi Yana Husna/Pikiran Rakyat
|
Aku sempat tersentak. Namun
masih tak kupedulikan. Mendengarkannya hanya akan menambah luka yang hampir
kering ini semakin perih. Apalagi dia memamerkan balon-balon pemberian darinya.
Dia seakan tak peduli
dengan sikap acuh yang kusuguhkan. Dia terus bercerita. Aku. Terpojokkan,
menahan emosi.
“Aku mempunyai seorang
istri, yang belakangan sangat sensitif dan mudah sekali marah padaku.”
Aku sempat tertarik saat ia
menyebutkan bahwa ia telah mempunyai istri. Entah, tiba-tiba telingaku perlahan
refleks untuk bisa mendengamya bercerita.
Lanjutnya. “Sampai pada
suatu pagi, istriku benar-benar marah besar hanya karena saat malam harinya aku
tidak menuruti maunya untuk tidur di ranjang sebelah kanan, dekat dengan
tembok. Bagiku tidur di sebelah manapun sama saja. Tetapi mungkin tidak bagi
dirinya. Ia benar-benar marah dan sama sekali tak mau berbicara denganku.”
“Hingga suatu saat, aku
bertemu dengan dia, kekasihmu. Dia menyarankanku untuk memberikan lima buah
balon untuk istriku lengkap dengan surat permintaan maaf. Terdengar lucu
memang, namun hal itu berhasil membuat istriku kembali tersenyum. Sejak saat
itu, setiap hari aku selalu membawakannya balon-balon ini entah itu aku berbuat
salah atau tidak.”
Aku sedikit terharu
mendengar kisahnya, lantas dengan sendirinya aku mengangkat bicara.
“Jadi, sebenarnya Anda
telah beristri? Lantas apa yang Anda lakukan sore itu dengan dia?” ujarku.
“Sejak pertemuan itu hingga
sekarang, dialah yang membelikan balon-balon ini, bahkan ia membawanya lebih
dari lima, karena biasanya sebelum sampai rumah selalu ada yang meletus. Dia
juga yang mengajariku merangkai kata yang kutuliskan pada surat permintaan maaf
yang kemudian kuberikan pada istriku.”
“Kau tahu, dia juga banyak
bercerita tentang kekasihnya, yang tiada lain adalah Anda. Banyak sekali hal
yang ia kagumi dari Anda. Betapa ia sangat mencintai Anda lebih dari ia
mencintai dirinya sendiri. Mungkin ia masih belum bisa melupakan Anda. Hingga
pada akhirnya kuputuskan untuk menemui Anda dan menjelaskan semuanya,”
lanjutnya.
Pikiranku tiba-tiba kacau
dan tak karuan. Aku membatin. Apa yang telah kulakukan? Aku telah menyakiti
perasaan wanita yang selama ini tulus mencintaiku. Aku yang terlalu emosi saat
itu, tak mampu berpikir jernih.
Oh Tuhan, berikan aku
kesempatan satu kali lagi untuk bersamanya. Pintaku, dalam hati.
Saat aku meratapi apa yang
telah terjadi tertunduk lesu dan tak berdaya, bus tiba-tiba berhenti tepat di
depan tempat pemakaman umum. Kulihat pria itu turun dari pintu depan bus dan
terdengar bunyi letusan. Dua baton yang dibawanya pecah.
Saat itu juga muncul rasa
penasaran di benakku, banyak pertanyaan yang menggantung di pikiranku hingga
kuputuskan untuk turun dari bus dan secara perlahan mengikuti langkahnya.
Tibalah ia pada sebuah
makam yang tanah kuburannya masih basah. Ia tertunduk lama di atas makam
tersebut. Kulihat nisan yang masih berwama putih bersih itu bernamakan “Ratna
Ningsih binti Aji Suryadinata” dan tanggal wafatnya yakni “21 November 2017”
berarti sekitar satu minggu yang lalu wanita itu telah meninggal.
Rasa penasaranku semakin
bertambah. Siapa sebenarnya “Ratna” itu. Untuk apa dia kemari dan lama
tertunduk di atas makamnya. Tiba-tiba dia membuka suara seraya mengikatkan
balon-baton yang dibawanya pada nisan tersebut.
“Ratna, sayangku. Aku
kembali datang membawa baton-baton kesukaanmu. Namun aku minta maaf karena
baton yang kubawa tidak seperti biasanya. Hanya empat balon yang tersisa
setelah dua baton yang lain meletus saat tadi turun dari bus. Kuharap kau tak
akan marah. Sebagai permohonan maafku, biar kubacakan surat permohonan maaf
yang dengan tulus kutulis untukmu. Dengarkan yaa sayang….”
Saat menyaksikan semua itu,
hatiku turut larut dalam suasana duka. Tangis di mata tak terbendung lagi.
Akhirnya baru kumengerti, dan kuputuskan untuk pergi karena tak ingin
mengganggunya.
Rasa haru mengiringi
langkahku. Sepanjang jalan pulang, rinaian bening tak henti-hentinya menetes
dari mataku. Entah mengapa sore itu aku bisa menjadi sosok lelaki selemah dan
secengeng itu. Aku teringat pada kekasihku, sungguhaku merasa bersalah.
Aku duduk menunggu sebuah
bus di sebuah halte tua, bercat merah tua yang telah banyak memudar terkena
panas dan hujan yang tak jauh dari pemakaman. Langit senja yang menghadirkan
warna jingga khasnya, menemaniku sore itu.
Tiba-tiba, sebuah tangan
mengulurkan selembar sapu tangan berwama pink bermotif bunga ke arahku.
Kuperhatikan sapu tangan itu sama seperti sapu tangan yang dulu pernah
kuberikan pada kekasihku saat ulang tahunnya.
Senja yang mulai berganti
malam, menarik halus warna jingganya membuat siluet seseorang itu menjadi
samar-samar, ditambah mataku yang baru mengeluarkan air mata semakin menambah
kekaburan akan sosok orang itu.
Saat aku mulai menyadari
bahwa sosok itu adalah Adina kekasihku, entah mengapa bulir bening itu kembali
menetes membasahi pipi. Ia dengan sabar mengusap air mata yang jatuh dengan
perlahan, usapan lembutnya tak hanya menyapu air mata tapi seakan menyapu semua
rasa gelisah dan bersalah yang aku alami saat itu.
Minggu-minggu berikutnya
hubunganku berjalan seperti dulu lagi. Aku merasa seperti seseorang yang telah
mati namun diberi kesempatan untuk hidup kembali. Aku kembali bernyawa.
Adina, yang telah berkawan
baik dengan pria itu mengisahkan bahwa ternyata istrinya tebh lama mengidap
penyakit kanker otak yang sudah amat parah, ia sering mimisan dan muntah darah
yang membuatnya sering pergi ke kamar mandi agar semua orang tidak tahu perihal
penyakitnya. Termasuk suaminya.
Hingga setiap malam ketika
hendak tidur ia meminta tidur di ranjang sebelah kiri, dengan alasan tiap malam
ia sering ke kamar mandi untuk buang air kecil sehingga ia meminta suaminya
tidur di ranjang sebelah kanan karena takut membangunkan suaminya.
Semua rencananya
berlangsung dengan rapi. Tak seorang pun menyadari bahwa ia sebenarnya tengah
menderita menahan sakit. Mungkin karena kebahagiaan yang diberikan suaminya,
sehingga ia tak pernah menampilkan kesan seperti orang sakit di wajahnya.
Namun pada suatu hari ia
benar-benar tak dapat lagi menahan rasa sakitnya. Ia jatuh pingsan saat
menghidangkan sarapan pagi untuk suaminya. Dengan cepat ia dilarikan ke rumah
sakit, namun sayang sudah terbmbat. Penyakitnya berhasil mengalahkan tubuh
lemahnya. Ia pergi dengan damai.
Sadar bahwa ia terlambat
menyadari apa yang dialami istrinya, ia kini dirundung rasa bersabh dan
menyesal. Setiap sore ia selalu mengagendakan untuk mengunjungi makam istrinya
dengan membawa balon-balon dan surat permintaan maaf, persis seperti yang
dilakukannya dahulu ketika istrinya masih hidup.
***
-----------------------
Sumber: