Judul : Maskumambang buat Ibu
Penulis: Nenden Lilis A.
Tebal Buku : 117 hlm
Cetakan pertama : Oktober 2016
Maskumambang buat Ibu adalah antologi puisi karya salah satu penyair terbaik perempuan
Indonesia yaitu Nenden Lilis Aisyah. Nenden merupakan dosen Sastra Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Sastra UPI. Selain Maskumambang buat Ibu,
puisi-puisinya terdapat dalam berbagai antologi sastra, antara lain Mimbar
Penyair Abad 21 (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), Malam Seribu Bulan
(Bandung: Forum Sastra Bandung, 1997), Antologi Puisi Wanita Penyair
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), Tangan Besi (Bandung:
Forum Sastra Bandung, 1998), Angkata 2000 dalam Sastra Indonesia (Jakarta:
Grasindo, 2000) dan masih banyak lagi. Antologi puisi Maskumambang buat Ibu
merupakan Antologi terbaru yang memuat puisi-puisi Nenden dari 1996-2014.
Antologi puisi tersebut berisi lima puluh puisi dalam
dua bahasa sekaligus yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Dalam kumpulan
puisinya, penyair menciptakan imaji-imaji yang kuat. Selain itu, penempatan
diksi yang cermat sehingga mampu membangkitkan imajinasi, asosiasi, dan emosi
juga bisa dinikmati pembaca. Misalnya, puisi yang berjudul Banjarmasin,
Suatu Hari. Puisi tersebut menggunakan sudut pandang aku. Keadaan aku dalam
puisi yang berjudul Banjarmasin, Suatu Hari ini diasosiakan dengan alam
dan suatu hal (objek) yang terdapat di Banjarmasin seperti yang terdapat dalam
larik, bukan seperti kebakaran di hutan-hutanmu apabila api ini tak mau
padam di hatiku. Selain itu, terdapat pula larik, tapi, suatu hari aku
akan seperti pasar terapung yang riuh di waktu subuh dan menghilang menjelang
fajar. Dalam larik tersebut, aku diasosiasikan dengan pasar terapung- yang
terdapat di Banjarmasin- di waktu subuh. Perasaan aku akan menjadi ramai dan
penuh harapan seperti harapan-harapan yang dimiliki seseorang ketika berkunjung
ke pasar terapung untuk membeli harapan-harapannya. Namun, perasaan aku juga
akan seketika sunyi sama seperti pasar terapung yang menjadi tiada saat
menjelang fajar.
NENDEN LILIS A. |
Berbeda dengan Banjarmasin, Suatu Hari, puisi
yang berjudul Sungai Batu berhubungan erat dengan gagasan tentang
eksploitasi lingkungan. Dalam puisi tersebut penyair memberikan gambaran
tentang terancamnya lingkungan oleh keserakahan manusia. Penyair menggunakan
majas personifikasi dalam penggambarannya. Sudut pandang yang digunakan adalah
aku sebagai alam yang dieksploitasi. Penyair sangat tepat memilihnya karena
emosi pembaca masuk dalam dunia yang diciptakannya. Selain itu, puisi tersebut
seolah memberikan kegetiran pada pembaca dan memberikan penyadaran tentang
manusia yang tak pernah puas (serakah). Berikut ini adalah puisinya.
Sungai Batu
aku tak memiliki apa-apa dalam tubuhku
tapi para petani menugalnya, seakan tubuhku tanah
“kami akan menanami benih!” seru mereka
kaupun datang, begitu saja melinggis dadaku
“aku haus tedas darah.” desahmu
aku katakana padamu
di dadaku tinggal sungai berbatu tak ada lagi yang
mengalir
batu? Batu pun tak apa-apa yang kita butuhkan sekarang
memang batu batu, satu-satunya milikku yang tersisa mereka ambil
Ada pula puisi yang berjudul Di Negeri Pohon-pohon
Kastanya. Puisi tersebut seolah mengajak pembaca berkelana dalam imajinasi
yang dibuat oleh penyair. Gerbang imajianasi sudah disuguhkan pada larik
pertama puisi, memang, hanya sejenak kau mengajakku wisata di abad
lama. Puisi tersebut mengisahkan tentang sebuah perjalanan di
centrum-centrum kota, museum para pengelana dunia. Hal itu terlihat pada bait
ketiga, larik yang menyebutkan, kita pun berebut meletakkan rumah-rumah
mungil bercerobong asap di antara kotak-kotak jalan yang teratur, menggerakkan
sepur mengikuti rel kereta desa-desa berair subur, menghidupkan kincir angin,
memasang gudang rempah, dan menghamparkan padang ternak.Namun, ada hal
menarik, keindahan-keindahan yang membuat aku terpesona dalam puisi tersebut
seketika sirna saat ia melihat ada bulan menggantung biru. Bulan mengantung
biru merupakan sebuah simbol. Bola mata biru (bulan berwarna biru di matamu)
yaitu orang asing (Belanda) yang berwarna biru. Kemudian, larik selanjutnya
menegaskan pernyataan sebalumnya bahwa hatiku bimbang, namun kuputuskan
pulang, aku teringat multatuli. Puisi lainnya berjudul Pada Suatu Hari
Teduh, Pengungsi, Penawar Mantra, Cisarua, Que Sera-sera, Menuju Negeri Dingin,
Di Jembatan Mirabeau, Kisah Sebatang Pohon, Kerikil, Kesaksian, Epilog,
Penjemput Maut, Pengintai, Panti, Rumah Kenangan, Sajak Rumah 1 dan
lain-lain.
Antologi puisi, Maskumambang buat Ibu menghadirkan
kesegaran dalam kesusasteraan Indonesia baik dari segi ide, bahasa atau imaji
yang dihadirkan. Hal tersebut menawarkan kesegaran dalam setiap kata, larik,
hingga bait. Antologi tersebut tepat untuk dibaca oleh para penikmat sastra
yang ingin berkelana dalam imajinasi penyair. Nilai tambah pada antologi Maskumambang
buat Ibu adalah latara yang terdapat dalam beberapa puisi yang berlatar di
negeri asing. Pembaca seperti merasakan setiap hal yang digambarkan oleh
penyair dalam puisinya. (Yunita Ayu)
SUMBER: