Oleh Halim
Bahriz *)
Ia mengenal tari dari panggung dangdut, kelas tiga
SD—dan tak lama setelahnya berhasil menjuarai joget agustusan. Beranjak kelas
empat, gerak Jawa Klasik mulai menertibkan tubuh egaliternya. Cerita pun segera
berulang: Otniel kecil menjuarai tari gagahan tunggal tingkat kecamatan. Ketika
menempuh kepenarian di SMKI Banyumas, meskipun sering bolos sekolah, ia sudah
menari di Jakarta untuk perayaan Hari Baca Buku Sedunia. Pada bulan-bulan tertentu,
Otniel remaja memang kerap kebanjiran job menari cucuk lampah; dari satu
hajatan manten ke hajatan manten lainnya, dari satu kampung ke kampung lainnya,
dari satu pelosok gunung ke pelosok gunung lainnya. “Sampai bosan,” selorohnya.
Tapi ia senang menyaksikan dirinya bisa menjadi seorang remaja berpenghasilan.
Secara halus, Otniel menolak kalau dikatakan gemar membolos. “Jaraknya jauh.
Lagi pula, kelas sering kosong. Muridnya cuma delapan orang. Gurunya banyak
yang sudah sepuh. Gimana lagi, satu-satunya SMKI (yang saat itu) berstatus
swasta dari delapan SMKI yang ada di seluruh dunia.” Ia tertawa.
Otniel Tasman |
Otniel Tasman, lahir tahun 1989, di desa Kedunguter
yang tergolong sepi dari kesenian lengger. Ia tumbuh tanpa figur bapak dalam
keluarga Kristiani yang religius. Tapi kakak lelaki tertuanya menjadi sosok pengganti
yang, tentu saja, tak sepenuhnya berhasil memulihkan sebentuk nganga dalam
dirinya. Sang ibu adalah seorang single parent untuk empat anak dan
harus menanggung biaya kebutuhan hidup mereka dengan jerih payah. “Jadi, ya,
kelimpungan,” kenang Otniel. Ia sangat mencintai perempuan itu, meskipun sempat
ngambek tiga minggu karena tidak mendapat restu mendaftar sekolah di SMKI
Banyumas (kini SMKN 3). Sikap keras kepala ini, di kemudian hari, memboyong
bakatnya menuju jurusan tari ISI Surakarta dan panggung-panggung prestisius di
Indonesia. Bahkan, pada usia yang relatif muda, ia telah mencicipi residensi
seniman dan tour seni pertunjukan ke sejumlah negara.
Otniel remaja bergaul dalam dialeg panginyongan. Tapi
“sejarah resistensi Banyumasan” dan “spiritualitas tlatah Jawa ngapak” mulai
disadarinya, atau menjadi kesadaran baru, ketika ia sudah indekos di
Solo—melalui sebuah peristiwa yang mungkin, bagi sebagian orang, tampak sepele:
sebuah perkenalan dengan seseorang. Di Wisma Seni Taman Budaya Surakarta, dalam
acara Festival Kesenian Rakyat 2011, kali pertama ia bertatap mata dengan
Dariah. Sosok yang agaknya, bagi Otniel, mewarisi sebuah persona untuk
kerinduan manusia modern akan mitos. “Kharismatik,” kenangnya. “Selayaknya
perempuan yang memang terlahir sebagai perempuan. Anggun, di usianya sekarang,
yang telah di penjelang satu abad.”
Ada kekaguman yang dalam dan rasa percaya yang penuh,
ketika disampaikannya kesaksian itu. Keakraban mulai terjalin selepas
perjumpaan pertama mereka. Tapi Otniel yang dikenal periang, baru berani
mencandai Dariah lima tahun kemudian. “Mbah, kamu ini sebenarnya laki-laki apa
perempuan?” ujarnya. Spontan, dengan raut wajah yang mendadak tegang, sosok
lengger lanang tersebut mengutarakan jawaban mengejutkan, “Wani piro?”.
Sejak percakapan inilah, “inyong” dalam biografi bahasa Otniel, ia yakini
sebagai “indhang” bagi karya-karya koreografinya. Di atas panggung, tubuh-tubuh
yang ditampilkannya seakan-akan berkata, “Inyong saiki ngindhangi Mbok
Dariah!” Tapi dalam kehidupan sehari-hari: Otniel Tasman adalah Otniel
Tasman.
Dari sanalah, “ruh resistensi” yang sebelumnya tidak
Otniel miliki, sedikit demi sedikit, mulai ia mengerti dan selanjutnya memberi
sejenis “jurus negosiasi” untuk keterbelahan tubuhnya; antara dangdut, lengger,
dan beyoncé. Ia mulai membaca kampung halamannya sebagai ladang kreatif
yang terbuka dan terluka—oleh kolonialisme maupun penaklukan Mataram Islam. Ia
menyimpan angan kuat mementaskan riwayat hidup Dariah. Seakan sedang meramu
obat untuk memulihkan semacam kegugupan dan kegagapan, tradisi yang ramah dan
rapuh itu, agar ia terkoneksi dengan modernitas dalam sebentuk pernyikapan-penyikapan
yang rileks.
Semirip Otniel, Dariah mengadopsi figur bapak dari
kakeknya semenjak berusia lima tahun. Ia terlahir sebagai bayi laki-laki di
desa Somakaton, kecamatan Somagede, tak lama setelah meletus peristiwa Sumpah
Pemuda. Dariah, yang memiliki nama kecil Sadam ini, tumbuh dalam situasi
ekonomi keluarga yang jauh dari cukup. Dalam bayangannya, dengan menjadi
seorang lengger, ia bisa memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Sadam memang
memperlihatkan ketertarikan pada kesenian lengger semulai bocah dan gemar rengeng-rengeng
(bernyanyi dengan suara lirih) dalam aktivitas sehari-harinya. Tapi menjadi
pelengger tidaklah seremeh menjadi artis sinetron di masa sekarang. Piawai
dalam menari dan nembang, cumalah prasyarat teknis. Lebih dari itu, untuk
memperoleh semacam “babtis kultural,” ada pengorbanan yang mesti ditanggung,
yakni: hidup secara penuh-utuh sebagai sosok perempuan. Menjadi seorang
pelengger, seperti memilih “sebuah via dolorosa,” dengan janji kesendirian
pasti, pula relasi pertalikasihan yang terancam runyam.
Sadam kecil pergi ke berbagai tempat agar dirinya
punya kesanggupan menjadi seorang lengger. Di tengah kecemasan dan
perenungannya akan ketidakberuntungan nasib itu, sebuah panggilan gaib datang
kemudian mengubah segalanya: bermula dari perjumpaannya dengan Kaki Danabau,
(seorang musafir) yang mengatakan kepadanya, bahwa kelak, ia akan menjadi
seorang pelengger yang masyur—pada suatu malam, Sadam mendengar “tuntunan
aneh”. Ia mengikuti panggilan itu, berjalan menempuh jarak tak kurang dari 40
kilometer, tanpa tahu ke mana dan kapan suara tersebut akan memberi isyarat
berhenti untuk langka kakinya. Tapi kemudian ia tahu: suara itu mengantarnya
kepada makam Panembahan Ronggeng, di desa Gandatapa, kecamatan Sumbang. Seusai
pengalaman eksistensial inilah, Sadam mengganti namanya menjadi Dariah,
sekaligus meresmikan dirinya sendiri sebagai lengger lanang—yang, 70 tahun kemudian,
menjadi yang terakhir.
Keluarga menyambut tekad Sadam untuk menjadi pelengger
dengan kerelaan, pun masyarakat. Orang-orang tak hanya memberinya restu, bahkan
juga kekaguman dan rasa hormat. Karirnya yang memula di masa penjajahan Jepang,
cepat melesat. Pada tahun 1945, ia telah memperoleh popularitas, telah
diperebutkan banyak laki-laki; sedari yang “muda-bujang” sampai yang
“jago-kapuk.” Kenyataan tersebut membuat masyarakat segera percaya, bahwa
Dariah adalah tubuh yang “ketiban indhang”. Kepopuleran itulah, yang
pada gilirannya, mengilhami Otniel untuk mementaskan persembahan karya tari
berjudul Lengger Laut. Satu nomor produksi yang juga membuatnya memperoleh
jangkauan antusiasme lebih luas dan memulangkan namanya sebagai salah seorang
“putra Banyumas” yang punya sumbangsih—memicu kembali ramainya kesenian
lengger. Di desa Otniel tinggal, pertunjukan lengger terakhir kali digelar
tahun 1994.
Komposisi tari "Barangan" karya Otniel Tasman |
Dalam pementasan itu, Otniel mendengar iringan musik
seperti membangkitkan keringat dinginnya. Tapi ia mencoba iklas, berserah diri,
menjauh dari semacam paranoia. Saat tubuhnya mulai menari, ia perhatikan satu
per satu mata para penonton. “Mereka senyum-senyum,” ujarnya. “Dua kali saya
amati mata dan senyum-senyum itu, sebelum merasa pasti bahwa mereka tak melihat
saya dengan tatapan yang aneh, jijik, atau apalah yang terkesan negatif. Saya pun
masih melihat rasa senang, bahagia, pada raut wajah mereka. Jadi, ya, make sure
sajalah. Bahkan ketika turun panggung, mereka minta foto bareng dan berkata,
tahun depan lagi ya, Niel. Rasanya senang sekali. Sejauh ini, perayaan
agustusan tersebut menjadi salah satu momen terindah dalam karir kepenarian
saya.”
Pengalaman tersebut memberi kelegaan tersendiri bagi
Otniel dan semakin memantapkan konsep kesenimanan yang diusungnya. Selain,
tentu saja: Lengger Laut—yang mendapat sambutan amat baik dari beragam kalangan
dan berkesempatan tampil di banyak panggung prestisius. Di bulan Oktober nanti,
tiga tahun setelah pementasan pertamanya, karya masterpiece itu dipastikan
turut ambil bagian dalam gelaran (bienale) Europalia Festival 2017 yang memilih
Indonesia sebagai tamu kehormatan. Indonesia menjadi yang pertama dari kawasan
Asia Tenggara.
Lengger Laut, sebenarnya karya yang tertunda. Ketika
angan itu datang, Otniel tak punya cukup uang untuk biaya penelitian dan
tampilan pertunjukan yang ia bayangkan. Namun di tahun 2013, suatu kebetulan di
Ancol - Jakarta, memberinya langkah alternatif. Tanpa sengaja, dijumpainya
serombongan pengamen lengger asal Banyumas. Ia pun merasa terpanggil. “Miris,”
keluhnya. Enam bulan kemudian, penceritaan yang berkembang melalui serangkaian
riset sekaligus ziarah sejarah ini, tampil terolah di Teater Kecil ISI
Surakarta—berjudul: Barangan. Dalam prosesnya, untuk sebentuk totalitas,
Otniel sempat ikut ngamen di Malioboro bersama mereka, dan sempat mengalami
pengusiran di situ.
Barangan adalah karya pertamanya yang secara khusus mengangkat tematik lengger Banyumas. Menurut pengakuan Otniel, pertunjukan yang diproduksinya untuk tugas akhir perkuliahan itu, mendapat sambutan sangat baik dari penonton. Segar dan berisi. Penggarapan karya tari yang, oleh sejumlah dosen dijadikan rujukan bagi mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir lainnya tersebut, menjauh dari instrumentasi koreografis yang melulu menyandarkan estetika kepada komposisi gerak. Suatu tampilan yang cukup tipikal bagi produksi karya tari di lingkup pergaulan kreatif ISI Surakarta. Barangan menyaji napas yang lebih antropologis, dengan sentuhan dramatik yang komplit, gestur etnisitasnya egaliter, tanpa kehilangan corak morak kontemporer yang representif menampilkan sejenis kepiawaian akademis. Namun yang paling berharga dari semua itu adalah ini: jalan yang semakin terbuka untuk kemudahan mengakses dana demi “memboyong Dariah” ke atas pentas.
Barangan adalah karya pertamanya yang secara khusus mengangkat tematik lengger Banyumas. Menurut pengakuan Otniel, pertunjukan yang diproduksinya untuk tugas akhir perkuliahan itu, mendapat sambutan sangat baik dari penonton. Segar dan berisi. Penggarapan karya tari yang, oleh sejumlah dosen dijadikan rujukan bagi mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir lainnya tersebut, menjauh dari instrumentasi koreografis yang melulu menyandarkan estetika kepada komposisi gerak. Suatu tampilan yang cukup tipikal bagi produksi karya tari di lingkup pergaulan kreatif ISI Surakarta. Barangan menyaji napas yang lebih antropologis, dengan sentuhan dramatik yang komplit, gestur etnisitasnya egaliter, tanpa kehilangan corak morak kontemporer yang representif menampilkan sejenis kepiawaian akademis. Namun yang paling berharga dari semua itu adalah ini: jalan yang semakin terbuka untuk kemudahan mengakses dana demi “memboyong Dariah” ke atas pentas.
Bagi Otniel sendiri, jalur penting untuk memasuki
narasi-narasi lisan kampung halamannya lebih dalam lagi adalah Dariah. Simpulan
itu mulai dipahaminya ketika, pada tahun 2009, ia berjumpa Suprapto Suryodarmo.
Salah seorang sesepuh dunia tari yang disegani itu menaruh ketertarikan khusus
pada ketubuhan Otniel. Agustus 2016, Mbah Prapto melibatkannya sebagai salah
satu penari untuk gelaran Srawung Candi Sakral di Goa Selomangleng, Kediri.
Seusai pertunjukan bertajuk Lingga Kadewatan Mandala Selomangleng yang
menampilkan “ritus penghayatan” atas sosok yang diambil dari Ardhanariswari,
setelah melihat langsung dan menyentuh arca sebentuk patung itu, Otniel semakin
yakin dengan “lelaku eksistensial” yang dalam falsafah Jawa terkenal dalam
sebutan “nyawiji”.
Arca Andhanariswari merupakan persembahan sekaligus
penjelmaan untuk Kertanegara, sosok maharaja kerajaan Singhasari yang dianggap
berhasil mewujudkan rwa-binedha Siwa-Buddha sebagai “Sang Hyang Tunggal” ketika
masa pemerintahannya. Hibriditas Ketuhanan ini menjadi bekal, cikal bakal,
toleransi antar umat beragama yang memuncak di masa kerajaan Majapahit. Dalam
kemewujudannya, patung itu berbentuk acyntia: setengah laki-laki (ardha:
Bhatara Siwa) dan setengah perempuan (nari: Dewi Parwati)—dan dipahami sebagai
kedua-duanya, tapi juga sekaligus bukan kedua-duanya. Bersifat ana-tan-hana,
“keberadaan yang tiada” dan “ketiadaan yang ada”. Melalui perkenalannya dengan
Ardhanariswari, Otniel kian mendekat dan semakin mengerti, bahwa sosok Dariah
merupakan representasi kuat dan tepat atas metode mengolah diri (nyawiji),
yang kini jarang dipercaya dan ditinggalkan banyak orang itu.
Sebab itulah, sebenarnya, Otniel agak tak nyaman
apabila karyanya dianggap menitik-beratkan wacana (kesetaraan) gender.
Menurutnya, “Melampaui itu.” Gagasan nyawiji merupakan sebuah proses,
penghayatan hidup yang panjang, dan enggan mencukupkan antusiasme pada
persoalan keberterimaan lingkungan sosial tertentu atas kedirian tertentu. Nyawiji
merambah kebahagiaan melalui pokok-pokok pergulatan eksistensial yang tak hanya
serius, tapi juga berlangsung terus-menerus. Pembacaan “jati diri yang tumbuh
dari dalam” memang sudah semestinya tak berkenan menajami identitas tunggal,
melainkan justru mengembalikannya kepada abstraksi; mendorong tapal batas ke
tepi yang lebih luas untuk menjangkau sebentuk kebersamaan yang lebih leluasa.
Bukan malah menebalkan atau menghapusnya. Sebuah resistensi dengan cara yang
tak resisten. “Mungkin seperti Octopus, tubuh fluid yang meruang,” ujar Otniel.
“Tapi yang sebenarnya lebih tepat: kelahiran baru.”
Seperti merawat pohon, ada keteduhan yang ditempuh
untuk menampik kecurigaan masyarakat akan suatu bahaya kehadiran liyan. Tentu
saja, bukan belaka soal orientasi seksual dan ekspresi indentitas arkaik, yang
seringkali menjebak diri, dengan tampilan dan argumentasi politis yang agresif.
Bagi Otniel, penyikapan semacam itu seharusnya sudah berlalu. Sebab dunia
tradisi telah menyediakan cara-cara yang mutualistik. Berbagi ruang berarti
datang melalui jalan negosiasi, tanpa resiko kehilangan “indeks-eksistenial”.
Bhabha, seorang pakar poskolonial, menyebut jalan itu menuju “ruang ketiga”:
ke-ber-antara-an, hibriditas diri. Kata Otniel, “Selarasnya kehidupan panggung
dan sehari-hari. Yang terpenting, masyarakat di sekitar tidak resisten.”
“Nyawiji” adalah tentang mengolah keterbelahan.
Kemeleburan indentitas yang bermula dari identifikasi diri oleh diri sendiri.
Mungkin, mirip falsafah “manunggaling kawula gusti” dalam terapan antara
diri dan diri yang lain. Dalam prosedural lelakunya, tentu berlangsung
mondar-mandir, antara interioritas dan eksterioritas, antara apa yang disebut
dengan jagad cilik dan jagad gedhe. Otniel sebenarnya mengadaptasi style
resistensi ala Jawa ngapak. Penyikapan semacam ini telah ia tampilkan dengan
lugas dalam salah satu karya tarinya yang merupakan fragmentasi kehidupan
Dariah: No-She-He-Or-It. Bagi koreografer muda yang pernah
mempertanyakan “konsep kesenimanan” Eko Supriyanto ini, kesaksian untuk Dariah
taklah mencukupi apabila dipadatkan dalam satu judul penggarapan. No-She-He-Or-It
merupakan yang ketiga, setelah Lengger Laut dan Penantian Dariah.
Lengger Laut merangkum biografi Dariah dalam sebentuk salutasi.
Otniel memilih laut sebagai metafor untuk sang legenda lengger lanang.
Kehadirannya adalah mata yang menatap dari luar. “Dalam perjalanan riset, saya
melewati laut dan berhenti sejenak di sana. Dari kejauhan, laut itu (seperti
Dariah): cemerlang. Ketika didekati, mung banyu (cuma air).” Ia tambahkan,
“Ombak yang tampak indah, kadang dianggap membahayakan.” Ikonisasi Dariah
memang membuatnya menjadi narasi megah. Tapi kesederhanaan dan keberartiannya
dalam kehidupan sehari-hari yang seibarat air, “mung banyu”, kerap tak
terlihat, tak dilihat. Lengger Laut merupakan “kronologi kehadiran”
sosok Dariah pada tatapan publik; secara artistik lebih menguatkan tampilan
arkaik lengger—juga dialog tubuh antara persepsi Otniel atas Dariah dan persepsi
Otniel atas lengger itu sendiri. Sedangkan sisi tak terjamah Dariah yang
seumpama air, “mung banyu”, merupakan kehadiran dari mata yang menatap dari
dalam. Tatapan ini terpresentasi pada fragmentasi kedua: Penantian Dariah.
Popularitas yang dulu Dariah miliki tidak hanya
mendatangkan suatu kemelimpahan, tapi juga menjadikannya objek dari tatapan
negatif dan niat picik; memang tak mendapatkan antusiasme. Perihal penari
lengger lain yang meredup di masa kejayaan itu, yang cenderung menaruh sinistik
tertentu terhadap Dariah—meskipun mereka telah tahu, kesejatian seorang laut
adalah jiwa yang berombak; memang tak mendapatkan antusiasme. Sejumlah
laki-laki yang datang sukarela pada kekosongan hati Dariah, karena rasa
penasaran, tak sedikit yang sekadar memberi harapan palsu atau merasa tak
mendapat puas, lantas begitu saja meninggalkannya—setelah tahu: sebetapa pun
mempesonanya Dariah, ia tetaplah seorang berkelamin laki-laki, atau seusai
“percikan finansial” tak lagi cukup memberi basah; memang tak mendapatkan
antusiasme. Dari narasi diri semacam itulah, Penantian Dariah memula.
Dalam fragmentasi kedua tersebut, Otniel menyaji
“peristiwa menunggu” sebagai satu aktivitas sadar yang religius, filosofis. Ada
kecemasan yang ditampilkan secara repetitif; bongkar-pasang brongsong gelung
(wig hairstyle khas Jawa), kemben (kain khusus buat menutup dada), ngeliting
(menyiapkan rokok secara manual), nginang (mengunyah selembar daun sirih,
campuran kapur, biji pinang, dll)—untuk memperlihatkan “realisme magis” di
bilik kamar, ketika Dariah bersiap menuju pentas. Juga adegan onani yang
mengenapi pernyataan mengharukan atas sisi “manusia biasa” dalam diri seorang
lengger lanang. Variasi raut wajah dan tubuh yang terus terdesak dan terpental
ke sana ke mari menciptakan ritmik kesedihan berotot yang tertahan dalam
semacam wadag. Penantian Dariah, mungkin sebuah melankoli yang asin dan biru.
Sehampar rasa sabar yang luas untuk arus kepastian atau ketidakpastian yang
misterius di kedalaman. Waktu seolah terus remaja dan berbisik kepada Dariah,
“Ada yang akan tiba, entah apa, entah siapa.”
Lewat Penantian Dariah, Otniel seperti menggelar ruang
percakapan antara “jagad cilik Dariah” dan “semesta Sang Pencipta”. Sebagaimana
dirinya, ketika menjelang pentas dan teringat sosok religiuasitas ibunya.
“Kalau soal itu, (relasi filosofis antara kehadirannya sebagai perempuan di atas
panggung dan nilai-nilai Kristiani yang terlanjur dianutnya) terus saya
gunjingkan dengan diri sendiri,” ungkap laki-laki yang kini bertindik dan
mengecat rambutnya dengan warna pirang itu. Ditambahkannya, “Sejauh mengenal
lengger, saya seperti punya agama tersendiri. Ketika berdandan selayaknya
perempuan, menari di hadapan penonton, itulah surga nyata yang saya rasakan.
Saya selalu meminta restu kepada Gusti Pangeran sebelum berpentas, atas apa
yang saya jalani. Kalau mengingat-ingat hal itu, ya saya agak mbrebes mili (airmata
yang mengalir mendahului kata-kata).” Dari pengakuan tersebut, sifatnya yang
kocak, seakan-akan tak pernah ia miliki.
Bagi Otniel, jelajah kreatifnya atas Dariah adalah
perjalanan untuk kesenimanan yang tak melulu mendambakan sorot kamera dan
gemuruh tepuk tangan. Diakuinya, “Saya merasa seperti sedang menginvestigasi
tubuh saya sendiri; menyadari proses apa saja yang telah saya lalui bersamanya,
menemukan narasi-narasi baru, yang menjadi inspirasi dalam mengeksplorasi gerak
untuk karya-karya tari saya selanjutnya.” Dari sosok Dariah, Otniel merasa
menemukan cara jitu untuk terus bergerak maju menuju arena kontestasi identitas
dalam ruang kultural yang telah terlajur modern, rasional, sekaligus chaotik.
Tradisi Banyumas memberinya, “seblaka sesutane”—yakni semacam saran
filosofis agar diri tampil sewajarnya, tanpa ada yang ditutup-tutupi. Selaras
antara apa yang bergumam dalam hati dan kata yang terucap lewat mulut. “Lengger
itu tubuh yang sederhana,” ujarnya. “Lebih populis, lebih jujur. Tergerak dari
sebuah pandangan dan bergerak untuk sebuah pandangan.”
Otniel, seperti indhang lengger yang berpetualang ke
dunia baru untuk merasuki paham dan cara pandang orang, terhadap keterbelahan
tubuh. Pula cara pandang diri sendiri dalam mengolah dan mengelolanya. “Nyawiji”
serupa Dariah—yang meskipun di atas dipan tidurnya mungkin masih rebah sebuah
kesepian yang kian tua, tapi di kaki teras selembar lantai tempatnya melatih
bocah-bocah menari, ia tetap riang berbagi lirik-lirik pangkur bersama
tetangga-tetangga yang nampak menyayanginya; melafalkan gegendingan lawas
yang, ketika masa kejayaaan dan mudanya dulu, sanggup ia senandungkan dengan
syahdu. Kini lidahnya gampang keseleo dan ingatannya kerap melorot menjangkau
sejumlah pengucapan kata. Tapi tekad untuk terus menari, mengingat siapa
dirinya dalam gerak lengger yang memberinya bahagia, belumlah rontok. Meskipun
waktu telah dipenuhi uban dan pohon-pohon terlihat kian abu-abu. Dari kejauhan,
suara mereka tidak jarang memperdengarkan tawa lepas, seperti juga tawa lepas
Otniel yang pernah menggema di dinding-dinding sebuah area parkir.
September 2016, Jakarta adalah kepanikan di bawah
mendung tebal. Suhu yang pengap, mesin-mesin mobil yang bergantian menyala,
datang dan meninggalkan, kemudian terdengar redam dan udara terasa sedikit
sejuk. Hujan menderas. Panorama gedung-gedung jangkung mulai memudar dalam
derainya. Di smoking area yang cukup kumuh dan terlempar itu, di lantai sepuluh
Grand Indonesia yang berwibawa, Otniel menyaksikan hujan seolah-olah sedang
menyaksikan uap laut setelah matahari membakarnya. Dari mulutnya, asap rokok
berkepulan dan percakapan semakin tipis. Dalam kesyahduan ekspresi alam,
sesekali, tatapan matanya beralih: membidik mata orang lain yang sedang
membidiknya.” Tatapan yang beralih itu, serupa sebuah pintu yang terbuka dari
dalam.
--------------------------------------------------------------
*) Saya adalah
seorang penikmat buku, film, dan seni visual. Esai yang saya tulis di tahun
2016, "Filosofi Kopi dan Sederet Keganjilan Tak Filosofis," memenangi
lomba review film di sebuah situs tak otoritatif. Saya sempat mengikuti
Lokakarya Penulisan Kritik Seni Rupa dan Kurator Muda (DKJ & Ruangrupa,
2014), juga Bengkel Riset dan Penulisan Naskah Drama (DKJ & Studio Hanafi,
2015). Selain menekuni puisi, saya juga menulis cerita pendek. Buku kumpulan
cerita pertama saya, Kolektor Mitos, terbit di awal tahun 2017.
SUMBER: