…
Sosok perempuan yang mengerikan banyak
terdapat dalam kesusastraan Indonesia, baik lisan maupun tulisan.
Sosok perempuan mengerikan
tersebut muncul dalam legenda-legenda hingga sastra
kontemporer, misalnya Kuntilanak dan
Kelong Wewe atau
Wewe Gombel. Hantu-hantu perempuan
tersebut divisualisasi sebagai
sosok yang mengerikan dengan
punggung berlubang atau
payudara yang menggantung sampai menyentuh
permukaan tanah. Legenda-legenda
mengenai sosok tersebut juga ditransformasikan ke
dalam sastra kontemporer. Dalam
karya-karya Abdullah Harahap misalnya, perempuan kerap dijadikan
objek seksual sekaligus monster yang mengerikan. Novel-
novelnya, seperti Misteri
Perawan Kubur(2010), Penunggu
Jenazah (2010), Manekin (2013), dan Misteri Ratu Cinta (2013) menunjukkan hal
tersebut. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Adam Darmawan (2015)
terungkap bahwa novel-novel Abdullah Harahap sangat seksis dan
misoginis. Representasi misoginis dalam novel- novel itu ditunjukkanmelalui mekanisme
mutilasi tubuh perempuan
dan mutilasi naratif
terhadap tokoh- tokoh perempuan.
Dewasa ini, seiring dengan
berkembangnya kajian kritis
dan kajian gender dalam ranah ilmu sosial dan humaniora,
khususnya sastra, muncul kecenderungan untuk menulis ulang peran perempuan dalam legenda-legenda tersebut.
Perempuan yang dahulu
dianggap mengerikan, kini mulai
diberikan suara yang vokal
untuk membela diri.
Sebagai contoh, Cok Sawitri
yang mendekonstuksi tokoh Calon
Arang melalui novelnya Janda dari Jirah
(2007). Alih-alih melukiskan Calong Arang sebagai sosok
penyihir jahat dan, Cok Sawitri justru melukiskan tokohnya sebagai
penganut ajaran agama
Budha yang taat.
Selain itu, Toeti Heraty
juga menulis sebuah
prosa lirik Calon Arang:
Kisah Perempuan Korban Patriarki (2000).
Kecenderungan tersebut juga
membuat para penulis
muda mencoba hal serupa.
Pada tahun 2005, Intan Paramaditha merilis sebuah kumpulan
cerpen berjudul Sihir
Perempuan (buku ini kembali
dicetak pada tahun 2017 oleh penerbit Gramedia).
Kumpulan cerpen Sihir
Perempuan merupakan kumpulan
cerita horor dalam perspektif feminisme,
sesuatu yang digeluti
Intan Paramaditha dalam ranah akademiknya. Dalam Sihir
Perempuan, terjadi banyak gambaran perempuan
yang mencoba melawan ideologi
patriarki yang membelenggu tokoh-tokohnya. Kecenderung an
menulis ulang kisah perempuan yang dikonstruksi
sebagai monstros tersebut dilanjutkan oleh
dua buah novel
yang ditulis oleh Hendri Yulius. Hendri Yulius dikenal sebagai
aktivis dan akademisi yang vokal
dalam menyuarakan kesetaraan gender dan queer.
Hendri Yulius menulis dua buah novel berjudul
Lilith’s Bible (2013)
dan Mantra Lilith (2017).
Kedua novel itu merupakan
cerita horor dengan
perspektif feminisme. Keduanya
memiliki kekhasan dari segi
bentuk, yakni berbentuk cerita berbingkai dengan empat belas fragmen
cerita yang berbeda
namun dengan tema besar yang sama, yakni horor feminis. Selain itu,
bingkai yang menjadi kerangka cerita
meniru format Injil. Cerita
dibuka dengan Kejadian (prolog) dan
ditutup oleh Wahyu
(epilog). Kekhasan bentuk
novel tersebut pulalah yang
membuat novel ini
patut untuk dikaji. Selain
bentuk novelnya yang khas,
fragmen cerita dalam
novelnovel Hendri Yulius merupakan alusi dari banyak
cerita yang sudah
dikenal orang secara luas. Hendri Yulius menulis ceritanya dengan
meminjam dongeng dari Nusantara,
misalnya Timun Mas, kisah
percintaan terlarang antara
Dayang Sumbi dan Sangkuriang, hantu-hantu lokal seperti
Wewe Gombel, dan
bahkan dongeng Barat seperti Putri Duyung- nya H. C. Andersen. Novel
terbaru yang ditulis Hendri Yulius,
Mantra Lilith, merupakan
pembaharuan dari novel
pertamanya. Hendri Yulius
mengganti beberapa judul fragmen
cerita dan mengurangi beberapa bagian seperti artikel
feminisme yang ditulis untuk pengantar dan penutup novel Lilith’s Bible.
…
Lebih lengkapnya tentang artikel ini, KLIK